Share

Bab 3 - Tawaran yang Menakjubkan

Axel masih berbincang serius dengan William, direktur CLD sekaligus teman baik selain Michael di perusahaan yang telah melesatkan kariernya. Jika Axel menduduki posisi CEO dengan susah payah mengikuti berbagai rangkaian tes, maka William sebaliknya. Jabatan Direktur Utama ia miliki karena ayahnya salah satu pemegang saham.

Axel atau William mungkin sama-sama tak pernah habis pikir bagaimana mereka bisa menjadi teman akrab. Sifat mereka bagai bumi dan langit. Axel yang selalu santai, William yang serius. Kesamaan diantara mereka, tentu ketampanan dan daya pikatnya yang membuat para wanita rela berbaris dan mengejar-ngejar untuk diajak kencan.

William memiliki postur tubuh jangkung dan atletis, hasil latihan di gym selama bertahun-tahun, rambut cokelat yang selalu terpangkas rapi, iris mata hijau yang mengingatkan pada warna air di Pantai Green Bay, serta kedua lesung pipi yang terlihat bukan hanya saat tersenyum tapi juga ketika dia bicara. Sorot mata tajam membuat dirinya semakin memikat dan terkesan misterius. Bibirnya tebal dan penuh, membuat para wanita berkhayal untuk merasakan ciumannya.

Beda Axel dan William dalam urusan wanita, Axel selalu menanggapi dan menikmati peran menjadi Don Juan, sedangkan William justru menghindarinya.

"Aku mau kautemui semua calon rekan bisnis potensial kita di Asia Tenggara, pergi dan lihat bagaimana cara kerja mereka. Aku tak ingin kita salah mengambil keputusan hanya karena tawaran keuntungan besar di awal!" perintah William tegas.

"Ok! Aku akan minta sekretarisku mengatur jadwal kunjungan ke Thailand, Singapura, dan Indonesia. Namun, aku masih menunggu data laporan keuangan ter-update yang sedang dikerjakan oleh GM yang baru," sahut Axel.

"Oh, apa dia sudah mulai bekerja hari ini?" tanya William.

"Yep. Seandainya kaulihat yang terjadi di ruanganku pagi tadi, Wil. Gadis itu sangat tidak menarik, kurasa. Dia jatuh saat berjalan, kacamatanya terlontar. Namun itu bagian terbaiknya, ternyata matanya sangat indah, Wil. Sayang sekali ia menutupinya di balik kacamata bergagang kuno. Semoga kerjanya sebagus matanya."

William hanya menggeleng-geleng mendengar ocehan Axel. Tepat saat itu pintu diketuk.

"Masuk!" serunya.

*

Mysha mematung, matanya tak berkedip, terpesona oleh pemandangan dua pria di hadapannya. Rasa percaya dirinya menguap seketika di bawah tatapan tajam kedua bos besar itu. Bibir yang sudah terbuka hendak mengatakan sesuatu kembali mengatup. Hampir saja ia berbalik dan kabur dari dua makhluk seksi dan tampan yang seakan siap memangsanya.

"Ms. Natasha, kebetulan sekali. Apa kau membawa data-data dan analisis yang kuminta?" Suara bariton milik Axel yang mulai akrab di telinga Mysha memanggilnya tepat sesaat sebelum ia berbalik.

Mysha hendak menjawab, namun suaranya tercekat. Akhirnya ia hanya mengangguk sambil menunjuk kepada tumpukan berkas di tangannya.

"Bagus, kalau begitu kemarilah!" perintah Axel sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya.

Mysha melangkah perlahan dan hati-hati, tidak ingin kejadian memalukan di ruang CEO pagi tadi terulang kembali. Heels-nya mengetuk-ngetuk berirama seiring langkah kaki yang beradu dengan lantai yang terbuat dari batu granit. Jarak yang terbentang antara pintu hingga meja direktur itu memberi Mysha cukup waktu untuk menenangkan diri.

Mysha menyerahkan berkas yang dibawanya kepada Axel. "Ini data-data dan analisis yang Anda minta. Maafkan saya jika sedikit terlambat, karena saya tadi mencari dan menunggu Anda di ruangan."

"Lain kali tak perlu menunggu, langsung minta sekretaris menghubungiku!" perintahnya tanpa memedulikan jawaban Mysha. "Oh ya, Will, kenalkan Mysha Natasha. Ia GM kita yang baru.” Axel menoleh ke arah Mysha. “Kenalkan William Davis, Direktur Utama CLD," lanjut pria itu memperkenalkan keduanya.

"It's my pleasure to meet you, Sir. Call me Mysha, please," Mysha menjabat tangan direktur muda nan tampan dan berkharisma itu. Telapak tangannya kukuh tetapi terasa halus. Sentuhan singkat itu nyatanya membuat Mysha bagai tersengat arus listrik. Ada sensasi hangat dan menarik dalam diri direktur muda itu.

Mysha buru-buru mengalihkan pikirannya kembali ke data-data perusahaan yang telah dirangkumnya. Tentu akan sangat memalukan jika di hari pertama saja ia sudah ketahuan terpesona pada tiga lelaki sekaligus.

"Selamat bergabung dengan CLD," ucap William singkat dan datar. Tatapannya menyelidik. Wanita berambut perak di hadapannya bekerja di perusahaan ini atas rekomendasi Michael, sebagai perwakilan  sementara pemegang saham yang terbesar wafat. Saat ini, perusahaan dalam kondisi peralihan hingga jelas diumumkan siapa ahli waris beliau. William tak ingin kondisi internal perusahaan ini akan menghambat rencana ekspansinya.

"Oke, berhubung kau sudah di sini, jelaskan secara singkat kondisi perusahaan dari data-data yang kaubuat dalam berkas ini juga analisismu sehubungan dengan rencana investasi kita di Asia Tenggara!" perintah Axel.

Apa?! Dia menyuruhku menjelaskan apa yang kubuat tadi? What the ... ! Kenapa tidak dia baca berkasnya terlebih dahulu baru mendiskusikan apa yang sekiranya perlu.

Mysha menggerutu dalam hati, tapi tetap saja ia tak mungkin membantah perintah pria dengan mata biru secerah langit itu. Ia pun mempresentasikan laporan tersebut, menunjukkan grafik-grafik, serta menjabarkan analisis yang berhasil dipikirkannya.

"Aku setuju dengan analisisnya, Will. Kurasa Singapura masih menjadi kota yang paling berpotensi untuk pembangunan apartmen selain Jakarta. Kalau di Bali dan Pattaya karena penopangnya adalah sektor pariwisata tentu hotel menjadi pilihan pertama untuk dikembangkan," ujar Axel menanggapi presentasi Mysha.

"Exactly, Sir. Dan perlu diingat juga, kita tidak bisa menjadi pemegang saham mayoritas. Peraturan di Indonesia dan juga negara-negara lainnya di Asia Tenggara melarang warga negara asing atas kepemilikan tanah dan bangunan, artinya kita harus benar-benar jeli dalam mencari rekan bisnis untuk pengembangan proyek kita," sahut Mysha.

Meskipun terbilang baru, gadis bernetra emas itu tak segan-segan mengatakan apa yang ada di pikirannya. Tak peduli bosnya akan suka atau tidak, sudah menjadi tanggung jawabnya memberikan masukan yang menyangkut masalah finansial dalam pengambilan keputusan besar perusahaan.

"You're right. Michael juga sudah mewanti-wanti sisi hukum tentang hal ini sejak awal rencana ekspansi ke Asia Tenggara bergulir. Kalau begitu segera kaubuat rencana anggaran untuk proyek kita di Singapura, Bali, dan Pattaya. Aku ingin laporannya sudah jadi sebelum Axel berangkat ke Bangkok," kata William lugas. Ia memang tak suka berbasa-basi. "Axel, jangan lupa lakukan penyelidikan mendalam tentang calon-calon rekanan kita." Dia tiba-tiba berhenti berbicara sebelum melanjutkan,"Coffee or tea?" tawar William.

"Coffee, please. Jangan pakai creamer, gula satu sendok," jawab Axel dengan nada memesan seperti di café, sengaja untuk membuat William geram.

"You don't need to make it for me, Sir," tolak Mysha halus.

"No problem. Jadi kopi atau teh?" tanya William memastikan.

"Coffee, please, jika tidak merepotkan," jawab Mysha. Berada diantara pria-pria seksi ini membuatnya membutuhkan banyak caffein untuk menjaga kesadaran dan kewarasannya.

William bangkit dari kursi menuju mini bar di sudut kantornya. Ia menuangkan bubuk kopi dan air ke dalam coffee maker lalu menekan tombol. Namun, sepertinya ada yang salah. Tombolnya tidak menyala, meski steker sudah terpasang pada soket. William mencobanya sekali lagi, menekan tombol lain lagi, namun lampu indikator mesin pembuat kopinya masih juga tidak menyala.

"Sial, mengapa alatnya rusak?!" rutuk William kesal. Segera saja ia menelepon sekretaris untuk memanggilkan teknisi ke kantornya.

Tanpa menunggu teknisi datang, Mysha bangkit dari duduknya menuju coffee maker. Wanita feminin dengan riasan minimalis itu memeriksa kabel dan soketnya. Ia mencoba menyalakan peralatan listrik lain di soket tersebut, dan bisa. Berarti yang bermasalah kabelnya. Ia melihat keanehan di ujung kabel dekat steker.

"Sorry, Sir, boleh saya coba perbaiki? Sepertinya ada kabel yang putus," ujar Mysha tanpa mengacuhkan tatapan kedua atasannya yang meragukannya.

Meski tak yakin, William tetap mengangguk, membiarkan gadis polos yang sepertinya menyimpan banyak misteri itu melakukan keinginanya.

Mysha mengambil pisau lipat serbaguna yang ada di saku blazer-nya, kemudian memotong kabel menjadi dua bagian. Setelah itu ia membuka lapisan pembungkus kabel hingga terlihat kawat-kawat tembaga penyusun kabel. Mysha memilin kembali jalinan kawat tembaga pada kedua potongan kabel tersebut hingga tersambung kembali menjadi satu. Mata emas gadis itu memindai, mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai perekat. Ia menemukan selotip dispenser di meja kerja William. Ragu-ragu ia meminta izin untuk mengambil alat pemotong selotip itu. Selanjutnya ia membungkus lagi kabel itu dengan selotip. Selesai.

Mysha memasang kembali steker ke soketnya, dan mesin pembuat kopi itu menyala.

"Selesai, tinggal menunggu air kopinya menetes," ujarnya bangga.

William dan Axel terpana melihat kebolehan Mysha memperbaiki peralatan elektronik. Mereka sama sekali tak mengira gadis yang tampak rapuh itu tanpa ragu mencabut dan memotong kabel.

"Apa kau selalu membawa pisau di sakumu?" tanya Axel penasaran. Tentu ia harus berjaga-jaga seandainya suatu saat mereka berkencan, jangan sampai saat hasratnya memuncak harus berakhir tiba-tiba di bawah todongan pisau lipat.

"Apa?" tanya Mysha bingung. Lalu ia mengerti yang ditanyakan oleh bosnya ketika melihat pisau lipat di genggaman tangannya. "Oh, ini kebetulan saja. Sebenarnya ini benda serbaguna, ada cutter, pembuka botol, gunting, flashdrive, dan laser pointer. Aku baru saja menyimpan data-data yang kurangkum tadi ke dalam flashdrive kalau-kalau Anda membutuhkan soft copy-nya," terang Mysha sambil menunjukkan benda yang dimaksud.

Tanpa sadar Axel mengembuskan napas lega. Tak pernah terpikir seorang gadis memilih flashdrive sepaket dengan pisau dan pembuka botol. Mysha memang gadis yang unik, simpul Axel dalam hati.

Setelah meminum kopi dan menghabiskan waktu sejam berikutnya dengan membahas masalah keuangan perusahaan, Mysha dan Axel pun meninggalkan ruang direktur.

Tanggapan Axel pada Mysha berubah. Jelas Mysha tak bisa ia pahami hanya lewat lima lembar kertas CV yang diberikan Michael tadi pagi. Makan malam mungkin bisa menjadi awal yang baik bagi mereka untuk saling mengenal.

*

Axel melihat lampu ruang kerja Mysha masih menyala dari kisi-kisi pintu pada pukul delapan malam. Para karyawan kebanyakan sudah pulang pada pukul lima sore. Para manajer bahkan sudah meninggalkan kantor dua jam yang lalu.

Axel mendorong pintu hingga setengah terbuka. "Masih lembur, Mys?" tanyanya berbasa-basi.

"Sir, Anda belum pulang?" tanya Mysha balik, memandang Axel dari balik layar monitor.

"Aku baru akan pulang, tapi kulihat lampu di ruanganmu masih menyala. Selain itu ada beberapa hal yang memang ingin kudiskusikan denganmu menyangkut perintah Will tadi siang," ujar Axel.

"Eh, masalah apa, Sir?" tanya Mysha. Meski pikirannya sudah penat, tapi jika Axel yang meminta, bagaimana ia berani menolak. Mau begkerja sampai pagi pun ia rela asal bersama dengan pria setampan Axel Delacroix.

"Kalau begitu sebaiknya kaurapikan barang-barangmu. Kita diskusikan sambil makan malam." Tatapan mata Axel mengisyaratkan perintah yang tak mungkin dibantah.

Makan malam dengan Axel? Sebuah tawaran yang begitu menggoda dan tak mungkin ditolak oleh Mysha. Ratusan wanita pasti berharap ada di posisinya saat ini.

Mysha bergegas merapikan berkas-berkas di meja, kemudian mematikan laptop dan mengambil tasnya. ia berjuang menjauhkan khayalan liarnya. Berkali-kali gadis itu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah makan malam pekerjaan. Atau mungkin lebih?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status