Axel masih berbincang serius dengan William, direktur CLD sekaligus teman baik selain Michael di perusahaan yang telah melesatkan kariernya. Jika Axel menduduki posisi CEO dengan susah payah mengikuti berbagai rangkaian tes, maka William sebaliknya. Jabatan Direktur Utama ia miliki karena ayahnya salah satu pemegang saham.
Axel atau William mungkin sama-sama tak pernah habis pikir bagaimana mereka bisa menjadi teman akrab. Sifat mereka bagai bumi dan langit. Axel yang selalu santai, William yang serius. Kesamaan diantara mereka, tentu ketampanan dan daya pikatnya yang membuat para wanita rela berbaris dan mengejar-ngejar untuk diajak kencan.
William memiliki postur tubuh jangkung dan atletis, hasil latihan di gym selama bertahun-tahun, rambut cokelat yang selalu terpangkas rapi, iris mata hijau yang mengingatkan pada warna air di Pantai Green Bay, serta kedua lesung pipi yang terlihat bukan hanya saat tersenyum tapi juga ketika dia bicara. Sorot mata tajam membuat dirinya semakin memikat dan terkesan misterius. Bibirnya tebal dan penuh, membuat para wanita berkhayal untuk merasakan ciumannya.
Beda Axel dan William dalam urusan wanita, Axel selalu menanggapi dan menikmati peran menjadi Don Juan, sedangkan William justru menghindarinya.
"Aku mau kautemui semua calon rekan bisnis potensial kita di Asia Tenggara, pergi dan lihat bagaimana cara kerja mereka. Aku tak ingin kita salah mengambil keputusan hanya karena tawaran keuntungan besar di awal!" perintah William tegas.
"Ok! Aku akan minta sekretarisku mengatur jadwal kunjungan ke Thailand, Singapura, dan Indonesia. Namun, aku masih menunggu data laporan keuangan ter-update yang sedang dikerjakan oleh GM yang baru," sahut Axel.
"Oh, apa dia sudah mulai bekerja hari ini?" tanya William.
"Yep. Seandainya kaulihat yang terjadi di ruanganku pagi tadi, Wil. Gadis itu sangat tidak menarik, kurasa. Dia jatuh saat berjalan, kacamatanya terlontar. Namun itu bagian terbaiknya, ternyata matanya sangat indah, Wil. Sayang sekali ia menutupinya di balik kacamata bergagang kuno. Semoga kerjanya sebagus matanya."
William hanya menggeleng-geleng mendengar ocehan Axel. Tepat saat itu pintu diketuk.
"Masuk!" serunya.
*
Mysha mematung, matanya tak berkedip, terpesona oleh pemandangan dua pria di hadapannya. Rasa percaya dirinya menguap seketika di bawah tatapan tajam kedua bos besar itu. Bibir yang sudah terbuka hendak mengatakan sesuatu kembali mengatup. Hampir saja ia berbalik dan kabur dari dua makhluk seksi dan tampan yang seakan siap memangsanya.
"Ms. Natasha, kebetulan sekali. Apa kau membawa data-data dan analisis yang kuminta?" Suara bariton milik Axel yang mulai akrab di telinga Mysha memanggilnya tepat sesaat sebelum ia berbalik.
Mysha hendak menjawab, namun suaranya tercekat. Akhirnya ia hanya mengangguk sambil menunjuk kepada tumpukan berkas di tangannya.
"Bagus, kalau begitu kemarilah!" perintah Axel sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya.
Mysha melangkah perlahan dan hati-hati, tidak ingin kejadian memalukan di ruang CEO pagi tadi terulang kembali. Heels-nya mengetuk-ngetuk berirama seiring langkah kaki yang beradu dengan lantai yang terbuat dari batu granit. Jarak yang terbentang antara pintu hingga meja direktur itu memberi Mysha cukup waktu untuk menenangkan diri.
Mysha menyerahkan berkas yang dibawanya kepada Axel. "Ini data-data dan analisis yang Anda minta. Maafkan saya jika sedikit terlambat, karena saya tadi mencari dan menunggu Anda di ruangan."
"Lain kali tak perlu menunggu, langsung minta sekretaris menghubungiku!" perintahnya tanpa memedulikan jawaban Mysha. "Oh ya, Will, kenalkan Mysha Natasha. Ia GM kita yang baru.” Axel menoleh ke arah Mysha. “Kenalkan William Davis, Direktur Utama CLD," lanjut pria itu memperkenalkan keduanya.
"It's my pleasure to meet you, Sir. Call me Mysha, please," Mysha menjabat tangan direktur muda nan tampan dan berkharisma itu. Telapak tangannya kukuh tetapi terasa halus. Sentuhan singkat itu nyatanya membuat Mysha bagai tersengat arus listrik. Ada sensasi hangat dan menarik dalam diri direktur muda itu.
Mysha buru-buru mengalihkan pikirannya kembali ke data-data perusahaan yang telah dirangkumnya. Tentu akan sangat memalukan jika di hari pertama saja ia sudah ketahuan terpesona pada tiga lelaki sekaligus.
"Selamat bergabung dengan CLD," ucap William singkat dan datar. Tatapannya menyelidik. Wanita berambut perak di hadapannya bekerja di perusahaan ini atas rekomendasi Michael, sebagai perwakilan sementara pemegang saham yang terbesar wafat. Saat ini, perusahaan dalam kondisi peralihan hingga jelas diumumkan siapa ahli waris beliau. William tak ingin kondisi internal perusahaan ini akan menghambat rencana ekspansinya.
"Oke, berhubung kau sudah di sini, jelaskan secara singkat kondisi perusahaan dari data-data yang kaubuat dalam berkas ini juga analisismu sehubungan dengan rencana investasi kita di Asia Tenggara!" perintah Axel.
Apa?! Dia menyuruhku menjelaskan apa yang kubuat tadi? What the ... ! Kenapa tidak dia baca berkasnya terlebih dahulu baru mendiskusikan apa yang sekiranya perlu.
Mysha menggerutu dalam hati, tapi tetap saja ia tak mungkin membantah perintah pria dengan mata biru secerah langit itu. Ia pun mempresentasikan laporan tersebut, menunjukkan grafik-grafik, serta menjabarkan analisis yang berhasil dipikirkannya.
"Aku setuju dengan analisisnya, Will. Kurasa Singapura masih menjadi kota yang paling berpotensi untuk pembangunan apartmen selain Jakarta. Kalau di Bali dan Pattaya karena penopangnya adalah sektor pariwisata tentu hotel menjadi pilihan pertama untuk dikembangkan," ujar Axel menanggapi presentasi Mysha.
"Exactly, Sir. Dan perlu diingat juga, kita tidak bisa menjadi pemegang saham mayoritas. Peraturan di Indonesia dan juga negara-negara lainnya di Asia Tenggara melarang warga negara asing atas kepemilikan tanah dan bangunan, artinya kita harus benar-benar jeli dalam mencari rekan bisnis untuk pengembangan proyek kita," sahut Mysha.
Meskipun terbilang baru, gadis bernetra emas itu tak segan-segan mengatakan apa yang ada di pikirannya. Tak peduli bosnya akan suka atau tidak, sudah menjadi tanggung jawabnya memberikan masukan yang menyangkut masalah finansial dalam pengambilan keputusan besar perusahaan.
"You're right. Michael juga sudah mewanti-wanti sisi hukum tentang hal ini sejak awal rencana ekspansi ke Asia Tenggara bergulir. Kalau begitu segera kaubuat rencana anggaran untuk proyek kita di Singapura, Bali, dan Pattaya. Aku ingin laporannya sudah jadi sebelum Axel berangkat ke Bangkok," kata William lugas. Ia memang tak suka berbasa-basi. "Axel, jangan lupa lakukan penyelidikan mendalam tentang calon-calon rekanan kita." Dia tiba-tiba berhenti berbicara sebelum melanjutkan,"Coffee or tea?" tawar William.
"Coffee, please. Jangan pakai creamer, gula satu sendok," jawab Axel dengan nada memesan seperti di café, sengaja untuk membuat William geram.
"You don't need to make it for me, Sir," tolak Mysha halus.
"No problem. Jadi kopi atau teh?" tanya William memastikan.
"Coffee, please, jika tidak merepotkan," jawab Mysha. Berada diantara pria-pria seksi ini membuatnya membutuhkan banyak caffein untuk menjaga kesadaran dan kewarasannya.
William bangkit dari kursi menuju mini bar di sudut kantornya. Ia menuangkan bubuk kopi dan air ke dalam coffee maker lalu menekan tombol. Namun, sepertinya ada yang salah. Tombolnya tidak menyala, meski steker sudah terpasang pada soket. William mencobanya sekali lagi, menekan tombol lain lagi, namun lampu indikator mesin pembuat kopinya masih juga tidak menyala.
"Sial, mengapa alatnya rusak?!" rutuk William kesal. Segera saja ia menelepon sekretaris untuk memanggilkan teknisi ke kantornya.
Tanpa menunggu teknisi datang, Mysha bangkit dari duduknya menuju coffee maker. Wanita feminin dengan riasan minimalis itu memeriksa kabel dan soketnya. Ia mencoba menyalakan peralatan listrik lain di soket tersebut, dan bisa. Berarti yang bermasalah kabelnya. Ia melihat keanehan di ujung kabel dekat steker.
"Sorry, Sir, boleh saya coba perbaiki? Sepertinya ada kabel yang putus," ujar Mysha tanpa mengacuhkan tatapan kedua atasannya yang meragukannya.
Meski tak yakin, William tetap mengangguk, membiarkan gadis polos yang sepertinya menyimpan banyak misteri itu melakukan keinginanya.
Mysha mengambil pisau lipat serbaguna yang ada di saku blazer-nya, kemudian memotong kabel menjadi dua bagian. Setelah itu ia membuka lapisan pembungkus kabel hingga terlihat kawat-kawat tembaga penyusun kabel. Mysha memilin kembali jalinan kawat tembaga pada kedua potongan kabel tersebut hingga tersambung kembali menjadi satu. Mata emas gadis itu memindai, mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai perekat. Ia menemukan selotip dispenser di meja kerja William. Ragu-ragu ia meminta izin untuk mengambil alat pemotong selotip itu. Selanjutnya ia membungkus lagi kabel itu dengan selotip. Selesai.
Mysha memasang kembali steker ke soketnya, dan mesin pembuat kopi itu menyala.
"Selesai, tinggal menunggu air kopinya menetes," ujarnya bangga.
William dan Axel terpana melihat kebolehan Mysha memperbaiki peralatan elektronik. Mereka sama sekali tak mengira gadis yang tampak rapuh itu tanpa ragu mencabut dan memotong kabel.
"Apa kau selalu membawa pisau di sakumu?" tanya Axel penasaran. Tentu ia harus berjaga-jaga seandainya suatu saat mereka berkencan, jangan sampai saat hasratnya memuncak harus berakhir tiba-tiba di bawah todongan pisau lipat.
"Apa?" tanya Mysha bingung. Lalu ia mengerti yang ditanyakan oleh bosnya ketika melihat pisau lipat di genggaman tangannya. "Oh, ini kebetulan saja. Sebenarnya ini benda serbaguna, ada cutter, pembuka botol, gunting, flashdrive, dan laser pointer. Aku baru saja menyimpan data-data yang kurangkum tadi ke dalam flashdrive kalau-kalau Anda membutuhkan soft copy-nya," terang Mysha sambil menunjukkan benda yang dimaksud.
Tanpa sadar Axel mengembuskan napas lega. Tak pernah terpikir seorang gadis memilih flashdrive sepaket dengan pisau dan pembuka botol. Mysha memang gadis yang unik, simpul Axel dalam hati.
Setelah meminum kopi dan menghabiskan waktu sejam berikutnya dengan membahas masalah keuangan perusahaan, Mysha dan Axel pun meninggalkan ruang direktur.
Tanggapan Axel pada Mysha berubah. Jelas Mysha tak bisa ia pahami hanya lewat lima lembar kertas CV yang diberikan Michael tadi pagi. Makan malam mungkin bisa menjadi awal yang baik bagi mereka untuk saling mengenal.
*
Axel melihat lampu ruang kerja Mysha masih menyala dari kisi-kisi pintu pada pukul delapan malam. Para karyawan kebanyakan sudah pulang pada pukul lima sore. Para manajer bahkan sudah meninggalkan kantor dua jam yang lalu.
Axel mendorong pintu hingga setengah terbuka. "Masih lembur, Mys?" tanyanya berbasa-basi.
"Sir, Anda belum pulang?" tanya Mysha balik, memandang Axel dari balik layar monitor.
"Aku baru akan pulang, tapi kulihat lampu di ruanganmu masih menyala. Selain itu ada beberapa hal yang memang ingin kudiskusikan denganmu menyangkut perintah Will tadi siang," ujar Axel.
"Eh, masalah apa, Sir?" tanya Mysha. Meski pikirannya sudah penat, tapi jika Axel yang meminta, bagaimana ia berani menolak. Mau begkerja sampai pagi pun ia rela asal bersama dengan pria setampan Axel Delacroix.
"Kalau begitu sebaiknya kaurapikan barang-barangmu. Kita diskusikan sambil makan malam." Tatapan mata Axel mengisyaratkan perintah yang tak mungkin dibantah.
Makan malam dengan Axel? Sebuah tawaran yang begitu menggoda dan tak mungkin ditolak oleh Mysha. Ratusan wanita pasti berharap ada di posisinya saat ini.
Mysha bergegas merapikan berkas-berkas di meja, kemudian mematikan laptop dan mengambil tasnya. ia berjuang menjauhkan khayalan liarnya. Berkali-kali gadis itu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah makan malam pekerjaan. Atau mungkin lebih?
Mysha melangkah masuk ke kantornya gontai dan menghempaskan dirinya di atas kursi kerja yang nyaman, mengistirahatkan kepala dan pundaknya yang pegal. Oh, seandainya saja ada pria tampan yang memijatnya….Stop!Pikiran liar membuat wanita itu mengingat kembali alasan mengapa dia tiba di kantor pagi buta, sebelum semua orang yang cukup waras bangun. Ia bahkan melihat wajah terkejut satpam ketika dia meminta kunci gedung. Ugh! Mysha tidak bisa tidur semalaman, memikirkan hal yang nyaris saja dia lakukan bersama Axel, pimpinannya. Tanpa sadar Mysha menyentuh bibirnya yang dipulas lipgloss dan pelembab, apa harusnya dia menerima saja ciuman Axel?Tidak!Mysha menggelengkan kepalanya keras-keras, mengusir bayangan keluar dari otak. Dia punya alasan mengapa dia harus bertahan dari pesona Axel bagaimana pun caranya, salah satunya adalah ajaran keras dari ibunya untuk menjaga harta paling berharga seorang wanita dan hal lain adalah karena dia belum pernah berciuman. Bagaimana kalau Axel tahu
Michael mendorong pintu ruang kerja Mysha, kemudian masuk dan menghempaskan tubuhnya di sofa empuk di depan meja kerja General Manager itu, bahkan sebelum dipersilakan. "Ini, minumlah!" Michael menyodorkan segelas hot espresso yang dibawanya. Aroma nikmat kopi menguar, menggelitik saraf-saraf indera penciuman Mysha. "Untukku?" tanya Mysha. Pertanyaan bodoh, pikir Mysha. Jelas tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain mereka berdua. Lagi pula jika bukan untuknya, mengapa Michael menyuruhnya minum. "Eh-maksudku, kau tak perlu repot-repot." Mysha tergagap. "Tak masalah. Aku dengar dari security, hari ini kau datang jam empat pagi. Demi Tuhan, Mysh! Kau tak harus bekerja terlalu keras. Aku tak ingin melihat kantung mata yang semakin dalam di sini," ujar Michael sembari menyentuh bagian bawah mata Mysha dengan lembut. Mysha refleks menarik mundur wajahnya dari jemari kukuh nan lembut itu. Ia tak ingin ada gosip-gosip yang menyangkutpautkan Michael dengan dirinya. Apalagi ia baru
Tak sampai dua menit Axel sudah berdiri di antara Mysha dan Michael. Sontak wanita berambut panjang yang digelung bawah itu terkejut dan menarik tangannya segera. Mysha bisa merasakan hawa penuh kemarahan ditujukan ke arahnya. Mata biru Axel terasa membekukan. Hanya ada kebisuan yang merebak di antara mereka selama beberapa saat. "Ikut aku!" Tanpa basa-basi Axel menarik tangan Mysha untuk bangkit berdiri. Membuat wanita itu tersentak naik dalam keterkejutan. "What are you doing?!" Michael turut bangkit dan menahan tangan Axel untuk menarik Mysha lebih jauh. "It's my business. Jangan ikut campur!" Masih terus menatap Mysha, Axel memuntahkan ketidaksukaannya. "No, you're not! Mysha sedang makan siang bersamaku, jadi ini urusanku juga!" Meski Michael memiliki suara selembut sutra, baru kali ini Mysha mendengarkan nada tegas melindungi yang begitu kental. Mysha bisa merasakan tangannya bergetar ketika kedua pria di hadapannya berusaha saling posisi dengan sikap yang tetap terlihat e
Mysha menahan napas ketika Axel mengecup tangannya. Seketika getaran aneh menjalar ke seluruh badannya, membuat bulu kuduk meremang sementara jantungnya berdegup kencang. Kaki wanita itu terasa lemas. Ingin sekali dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Axel, tapi dengan cepat dia mengumpulkan kembali tekad dan kekuatan, memaksa logika bergerak mengalahkan dorongan untuk melempar diri dalam pelukan kukuh pria yang kini sedang menggodanya. Bagaimana pun juga, dia memiliki prinsip yang teguh dalam hidup, tidak ingin berakhir sama seperti ibunya yang trauma dengan pria. "Sir," ucap Mysha dengan nada terkendali, tegas dan berwibawa, sambil menarik tangannya dari genggaman Axel. Dia harus tenang walau dadanya berdebar keras dan tubuhnya mendamba sentuhan dari atasannya tersebut. "Anda tidak bisa memaksa saya dan ingat, ruangan ini dipasang CCTV." Sekuat tenaga, Mysha mendorong dada Axel. Tidak diduga, pria itu menurut, walau matanya berkilat menatap Mysha. Pandangan yang membuat sebuah sensas
"Kau akan ikut ke Bangkok besok. Axel," ulang Mysha, sekali lagi membaca secarik kertas di tangannya. Pesan itu begitu singkat. Tanpa basa-basi. Di dalam amplopnya terdapat sebuah tiket pesawat tujuan Bangkok untuk sekali pergi. Netra emasnya melebar, tubuh wanita itu mendadak terasa lemas. Mysha terduduk di kursi. Sebelah tangannya memijat kening yang tiba-tiba terasa pening. Mysha tak mengerti dengan perasaannya sendiri saat ini. Amarah dan gairah melesak di dadanya, membuatnya sesak. "Bagaimana mungkin Axel memutuskan hal ini tanpa bertanya lebih dulu kepadaku?" tanya Mysha geram. Jangan-jangan ini hanya siasat CEO tampan itu untuk menjebakku agar bisa bersamanya, atau mungkin dia benar-benar menyukaiku? Bukankag kemarin dia dengan angkuh menyatakan bahwa aku miliknya? Suara batin Mysha berperang. Jujur ia tak yakin jika sang Penakluk Wanita itu menyukainya. Namun gagasan itu sangat menggoda. Mysha kembali memandangi tiket pesawat di tangannya. Bangkok. Mengeja kata itu membawa
"Damn it!" Axel hendak menggebrak meja dan melangkah tergesa keluar ruangan. Ia nyaris kehilangan kontrol tepat ketika dirinya dan Mysha bersirobok. Axel menarik napas panjang dengan sangat perlahan. Nyaris tak terlihat. Ia berusaha memadamkan semua kemarahan yang sempat berkobar di dadanya. Rahang yang sedari tadi kaku, kini sudah kembali tenang. Axel berjalan dengan tegap keluar ruangan. Pandangan matanya begitu dingin seolah bisa membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Langkahnya begitu cepat tapi tak terlihat terburu-buru. Bulu kuduk Mysha meremang. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Ini baru pertama kali Mysha merasa tekanan yang menakutkan alih-alih pikiran liar mendominasi. Wanita itu berjalan tergesa meski ia bisa merasakan aura mengerikan menguar. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Mysha terus berdoa di dalam hati. Axel bahkan tidak memedulikan larangan sekretaris William ketika menerobos masuk ke ruangan. Membuka pintu lebar-lebar tanpa peduli untuk menutupnya k
Mysha terdiam ketika mobil sedan putih membelah jalanan New York. Wanita itu menenggelamkan dirinya ke dalam lautan warna-warni lampu kota yang berlari dari balik jendela, membiarkan pikirannya melayang, berusaha mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Tangannya tanpa sadar memeluk diri lebih erat. Axel memaksanya untuk ikut ke Bangkok dan Michael membelanya. Perdebatan mereka membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Setiap perkataan yang terlontar membuat Mysha menahan diri untuk tidak berharap lebih. Axel membutuhkan dirinya. Mengulang kata-kata itu dalam kepala membuat desiran di dadanya makin menjadi dan telinganya terasa hangat. Benarkah yang dikatakan oleh Axel? Apakah pria itu membutuhkan dirinya sebagai wanita atau sebagai General Manager? Mysha menutup mata erat, berusaha mengusir ilusi bahwa Axel mencintainya. Dari perlakuan pria itu, lebih tepat bila Axel hanya ingin memiliki tubuhnya. Demi Tuhan! Getaran gairah langsung menjalar ketika Mysha membayangkan dirinya ber
"DAMN!" Axel memaki kebodohannya. Setelah selesai bicara dengan William dan membereskan dokumen-dokumen penting yang diperlukan di Bangkok, Axel buru-buru mengendarai mobilnya. Tentu saja bukan untuk langsung kembali ke apartemen. Entah hal apa yang memicunya, tiba-tiba ia sudah berada di area parkir apartemen Mysha. Buat apa malam-malam ia pergi ke apartemen Mysha? Memintanya menjelaskan detail profit analysis planning jelas hanyalah kamuflase. Axel sedang tidak mood untuk melampiaskan hasratnya dengan wanita lain. Ia mulai bosan dengan tipikal wanita di sekelilingnya yang dengan senang hati melemparkan diri kepadanya. Mysha berbeda. Gadis itu berani menolak, bahkan menamparnya. Padahal sangat jelas gairah yang membara di mata gadis itu, tapi dia mampu memegang kendali dirinya. Dan itulah yang membuat egonya sebagai pria tertantang untuk menaklukkan gadis itu. Sayang kedatangannya di sana benar-benar tidak tepat waktu. Mood yang sudah jatuh akibat pertengkaran di kantor dengan Micha