DUAAAAR! Bakal diapain si Mysha di bangkok?
"Kau akan ikut ke Bangkok besok. Axel," ulang Mysha, sekali lagi membaca secarik kertas di tangannya. Pesan itu begitu singkat. Tanpa basa-basi. Di dalam amplopnya terdapat sebuah tiket pesawat tujuan Bangkok untuk sekali pergi. Netra emasnya melebar, tubuh wanita itu mendadak terasa lemas. Mysha terduduk di kursi. Sebelah tangannya memijat kening yang tiba-tiba terasa pening. Mysha tak mengerti dengan perasaannya sendiri saat ini. Amarah dan gairah melesak di dadanya, membuatnya sesak. "Bagaimana mungkin Axel memutuskan hal ini tanpa bertanya lebih dulu kepadaku?" tanya Mysha geram. Jangan-jangan ini hanya siasat CEO tampan itu untuk menjebakku agar bisa bersamanya, atau mungkin dia benar-benar menyukaiku? Bukankag kemarin dia dengan angkuh menyatakan bahwa aku miliknya? Suara batin Mysha berperang. Jujur ia tak yakin jika sang Penakluk Wanita itu menyukainya. Namun gagasan itu sangat menggoda. Mysha kembali memandangi tiket pesawat di tangannya. Bangkok. Mengeja kata itu membawa
"Damn it!" Axel hendak menggebrak meja dan melangkah tergesa keluar ruangan. Ia nyaris kehilangan kontrol tepat ketika dirinya dan Mysha bersirobok. Axel menarik napas panjang dengan sangat perlahan. Nyaris tak terlihat. Ia berusaha memadamkan semua kemarahan yang sempat berkobar di dadanya. Rahang yang sedari tadi kaku, kini sudah kembali tenang. Axel berjalan dengan tegap keluar ruangan. Pandangan matanya begitu dingin seolah bisa membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Langkahnya begitu cepat tapi tak terlihat terburu-buru. Bulu kuduk Mysha meremang. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Ini baru pertama kali Mysha merasa tekanan yang menakutkan alih-alih pikiran liar mendominasi. Wanita itu berjalan tergesa meski ia bisa merasakan aura mengerikan menguar. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Mysha terus berdoa di dalam hati. Axel bahkan tidak memedulikan larangan sekretaris William ketika menerobos masuk ke ruangan. Membuka pintu lebar-lebar tanpa peduli untuk menutupnya k
Mysha terdiam ketika mobil sedan putih membelah jalanan New York. Wanita itu menenggelamkan dirinya ke dalam lautan warna-warni lampu kota yang berlari dari balik jendela, membiarkan pikirannya melayang, berusaha mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Tangannya tanpa sadar memeluk diri lebih erat. Axel memaksanya untuk ikut ke Bangkok dan Michael membelanya. Perdebatan mereka membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Setiap perkataan yang terlontar membuat Mysha menahan diri untuk tidak berharap lebih. Axel membutuhkan dirinya. Mengulang kata-kata itu dalam kepala membuat desiran di dadanya makin menjadi dan telinganya terasa hangat. Benarkah yang dikatakan oleh Axel? Apakah pria itu membutuhkan dirinya sebagai wanita atau sebagai General Manager? Mysha menutup mata erat, berusaha mengusir ilusi bahwa Axel mencintainya. Dari perlakuan pria itu, lebih tepat bila Axel hanya ingin memiliki tubuhnya. Demi Tuhan! Getaran gairah langsung menjalar ketika Mysha membayangkan dirinya ber
"DAMN!" Axel memaki kebodohannya. Setelah selesai bicara dengan William dan membereskan dokumen-dokumen penting yang diperlukan di Bangkok, Axel buru-buru mengendarai mobilnya. Tentu saja bukan untuk langsung kembali ke apartemen. Entah hal apa yang memicunya, tiba-tiba ia sudah berada di area parkir apartemen Mysha. Buat apa malam-malam ia pergi ke apartemen Mysha? Memintanya menjelaskan detail profit analysis planning jelas hanyalah kamuflase. Axel sedang tidak mood untuk melampiaskan hasratnya dengan wanita lain. Ia mulai bosan dengan tipikal wanita di sekelilingnya yang dengan senang hati melemparkan diri kepadanya. Mysha berbeda. Gadis itu berani menolak, bahkan menamparnya. Padahal sangat jelas gairah yang membara di mata gadis itu, tapi dia mampu memegang kendali dirinya. Dan itulah yang membuat egonya sebagai pria tertantang untuk menaklukkan gadis itu. Sayang kedatangannya di sana benar-benar tidak tepat waktu. Mood yang sudah jatuh akibat pertengkaran di kantor dengan Micha
Mysha tertegun melihat benda yang ada di tangannya. Dalam kotak beledu indah, napasnya tercekat, tidak menyangka akan mendapat benda tersebut. "I-ini untukku?" tanya Mysha, tangannya gemetar menyentuh garis halus anting emas berukiran rumit khas Thailand. Ada giok berbentuk ular melingkar di tengahnya. Ego Axel melambung membuat ujung bibir berkedut menahan senyum. Taktiknya kali ini berhasil. Tidak ada wanita yang tidak menyukai perhiasan, bunga, dan coklat, termasuk Mysha yang selama ini sulit ditaklukkan. Pria itu dapat melihat sorot kagum dan gembira di mata emas Mysha, dalam hati merekam baik-baik ekspresi wanita yang selama beberapa hari terakhir memenuhi pikirannya. Kali ini dia pasti berhasil. Axel tidak menjawab. Dia hanya mendorong kotak itu lebih dalam ke genggaman Mysha, tetap mempertahankan wajah dinginnya. Namun tiba-tiba dia tersentak, ketika Mysha mendorong kembali kotak merah dengan ukiran perak yang menunjukkan pengrajin pembuatnya. "Aku tidak bisa menerimanya," u
Selesai menutup telepon dari William, Axel segera membereskan dokumennya. Slide presentasi telah siap. Profitabilitas, Payback Period, Break Even Point, dan Return on Investment sudah dihitung dengan cermat. Analisis investasi juga telah dibuat selengkap-lengkapnya. Menurutnya kali ini CLD benar-benar mempertaruhkan citranya demi menggaet Nathanael Willoughby. Namun, jika proyek ini berhasil, CLD akan menjadi kekuatan bisnis properti dunia yang lebih disegani. Axel dan William yakin, proyek ini akan sukses. Dokumen-dokumen sudah disalin ke dalam CD yang berisi proposal investasi lengkap, mulai dari company profile, struktur organisasi, produk yang akan dikembangkan, target market, sampai dengan analisis investasi dan profitabilitasnya. Seharusnya Axel merasa lega, karena di balik emosinya yang sedang menggelegak, ia dapat mengendalikan semua pekerjaannya dengan baik. Namun entah mengapa, masih ada ganjalan di hatinya. Sepertinya ia terpengaruh dengan kata-kata William sebelum mengak
Mysha membaca doa sekhusyuk yang ia mampu sebelum memasuki ruangan rapat. Wanita itu duduk dengan kaku di kursi yang disediakan. Rambut yang digulung atas dengan model sedikit acak membuatnya tak percaya diri. Berkali-kali ia berusaha merapikan rambutnya. Rasanya penampilannya begitu sederhana dibandingkan kedua atasannya yang terlihat begitu berkelas. Namun, ternyata William bisa membaca kegundahan Mysha dan mengizinkan wanita itu merapikan rambutnya sebelum Mr. Willoughby dan rombongannya tiba dalam tiga puluh menit ke depan. Tidak sampai sepuluh menit, Mysha sudah kembali dengan tatanan rambut yang lebih rapi dan elegan. Ia mengepang dua rambutnya sebelum menggulungnya ke belakang sehingga terlihat lebih berkelas. Ia bersyukur sudah menguasai banyak tatanan rambut untuk berbagai acara. Salah satu yang membuatnya menghemat pengeluaran karena tidak perlu ke salon saat menghadiri pesta. Setelah kembali duduk dan menyesap sedikit air putih yang terhidang, Mysha berhasil menenangkan d
Mysha menahan napas ketika Axel menyentuh garis wajahnya, berusaha menenangkan jantung yang sudah melompat liar. Axel menjadi berani karena kesalahan ucapnya barusan. Mysha mengutuki diri dan membungkam pikiran liarnya ketika Axel mendekat. Aroma musk yang maskulin masuk tanpa permisi ke indra penciumannya, membuat kaki perempuan itu lemas. Ingin sekali dia bersandar pada dada bidang di hadapannya. Ketika Axel menunduk dan mengecup pipinya pelan, Mysha menutup mata sementara napasnya berlomba. Sensasi geli menyebar dari pipi hingga ke seluruh tubuh ketika lagi-lagi pria itu berbisik pelan, penuh gairah, di telinganya. "You finally falling for me." Suara bariton itu seakan membelai seluruh tubuhnya, membuat helaan napas lolos dari mulut yang setengah terbuka. Mysha merasakan tubuhnya meremang, menginginkan pria arogan itu saat ini juga. Arogan. Kesadaran menghantamnya keras, membuat Mysha kembali fokus. Dia menjilat bibirnya yang kering dan menelan ludah, sebelum berkata, "Saya pe