Tak sampai dua menit Axel sudah berdiri di antara Mysha dan Michael. Sontak wanita berambut panjang yang digelung bawah itu terkejut dan menarik tangannya segera. Mysha bisa merasakan hawa penuh kemarahan ditujukan ke arahnya. Mata biru Axel terasa membekukan. Hanya ada kebisuan yang merebak di antara mereka selama beberapa saat.
"Ikut aku!"
Tanpa basa-basi Axel menarik tangan Mysha untuk bangkit berdiri. Membuat wanita itu tersentak naik dalam keterkejutan.
"What are you doing?!" Michael turut bangkit dan menahan tangan Axel untuk menarik Mysha lebih jauh.
"It's my business. Jangan ikut campur!" Masih terus menatap Mysha, Axel memuntahkan ketidaksukaannya.
"No, you're not! Mysha sedang makan siang bersamaku, jadi ini urusanku juga!"
Meski Michael memiliki suara selembut sutra, baru kali ini Mysha mendengarkan nada tegas melindungi yang begitu kental. Mysha bisa merasakan tangannya bergetar ketika kedua pria di hadapannya berusaha saling posisi dengan sikap yang tetap terlihat elegan.
Axel menoleh ke arah Michael sedikit. Alis yang sedikit tertekuk dan mata nanar tak juga menggoyahkan Michael. Bibir Axel membentuk garis lurus penuh kebencian. Namun, pengacara Crown Land Developer itu hanya membalasnya dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi.
"It's hurts." Mysha akhirnya angkat bicara ketika genggaman Axel terlalu keras dirasa.
Secara refleks Michael langsung menarik tangannya lepas. Tangan Axel kini kembali menarik Mysha keluar dari kursinya dengan paksa. Axel sama sekali tak peduli saat Mysha meringis kesakitan dan berusaha menahan diri untuk tidak menjerit dan mempermalukan mereka bertiga.
Baru setelah Mysha telah berdiri tak berjarak di sebelahnya, Axel menghentikan tarikan itu. Sama sekali tak dilihatnya Mysha tengah mengelus tangannya yang terasa berdenyut.
"Coba kulihat! Apa sakitnya parah? Perlu ke dokter?" Baru saja Michael mendekat, Axel lagi-lagi menepis tangan pengacara itu.
"Tidak mungkin ada orang yang bisa kesakitan hanya gara-gara disuruh berdiri." Axel membalas dingin. Suaranya tetap lirih, namun terasa menyerang dengan brutal.
"Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja." Mysha makin salah tingkah. Wanita itu memilih mundur satu langkah menjauhi keduanya.
Axel menarik napas pelan dan panjang. Membekukan aliran panas yang sedari tadi menjalari pembuluh darahnya. Ia sedang berada di tempat umum karenanya Axel tak ingin ada orang lain melihat dirinya dan Michael memperebutkan wanita.
Axel adalah Don Juan yang dikejar banyak wanita. Bukan sebaliknya. Ia akan menjaga image-nya tetap seperti itu. Saat ini, juga selamanya. Apalagi dengan banyak mata di sekitar mereka. Ya ... bahkan seorang Mysha tidak akan bisa mengubahnya. Lagipula, berkat kekurangajaran Michael, kini sang investor telah menyadari keberadaan mereka dan memandang penuh rasa ingin tahu. Berengsek!
"Di meja Selatan ada investor Arab. Ini makan siang dalam rangka memuluskan negosiasi." Axel sengaja menyembunyikan fakta bahwa sesungguhnya ia telah mendapatkan tanda tangan yang diperlukan.
Mysha dan Michael menoleh serentak ke arah meja yg dimaksud. Mereka bersitatap. Mysha mengangguk kikuk sementara Michael memberikan senyuman paling ramah yang pernah Mysha lihat. Senyuman yang membuat hati kecil wanita itu ingin membelai wajah Michael yang terlihat penuh welas asih.
"Ayo ikut. Akan kuperkenalkan kau padanya."
Kali ini Axel menyeret Mysha tanpa bisa dicegah.
Jantung Mysha seperti pesawat jet yang dipacu sangat kencang. Genggaman tangan Axel terkesan sangat posesif dan mengintimidasi untuk tetap bersamanya.
"Sorry, I was gone for a while. Let me introduce you, ini Mysha Natasha. General Manager kami yang telah merancang desain profitabilitas yang tadi Anda baca." Axel menepuk punggung Mysha perlahan.
"Nice to meet you, Sir." Mysha tersenyum malu-malu.
"Have a seat." Investor Arab itu menunjuk kursi dengan telapak tangan terbuka.
Axel menarik kursi keluar dan membiarkan Mysha duduk di sebelahnya. Axel harus terlihat seperti seorang gentlemen di hadapan investor. Terlihat sebagai pria baik-baik yang bisa dipercaya siapa pun.
Investor Arab itu memuji soal proposal yang Mysha buat dan Axel pun menyampaikan isinya dengan sangat sempurna sehingga ia yakin untuk ikut berpartisipasi.
"It's an honor, Sir." Mysha tersipu mendengar pujian pria asing itu.
"Dia memang berbakat." Axel tiba-tiba menggenggam tangan Mysha hangat.
Jantung Mysha rasanya mau melompat ke luar tubuhnya. Wajahnya mungkin sudah semerah tomat segar. Beraninya Axel melakukan hal ini di depan investor asing?
"Ah, apa kalian sepasang kekasih?" Investor itu tiba-tiba bertanya sesuatu yang nyaris membuat Mysha tersedak napasnya sendiri.
"No, Sir!" Mysha menggeleng cepat-cepat takut Axel merasa tersinggung.
"Not yet," sambung Axel tanpa ekspresi membuat Mysha memandangnya dengan mulut ternganga. Axel jelas memilih saat yang salah untuk bercanda.
Sang investor hanya tertawa dan berkata, "Baiklah, saya doakan kalian langgeng dan lekas sah jadi suami istri."
Mysha hanya bisa tersenyum pasrah. Ia tak mungkin mendebat orang yang sangat penting bagi masa depan perusahaannya. Bisa-bisa investor itu merasa tersinggung dan memilih pergi sebelum menandatangani berkas-berkas.
Lagipula Axel tampak tetap tenang menyesap jus yang dipesannya. Membiarkan jantung Mysha seperti melompat-lompat dalam dadanya saat melihat bibir sensual itu menyentuh tepian gelas kristal.
Mysha bahkan telah melupakan apa yang terjadi pada Michael. Pria berkacamata itu memilih keluar restoran tak lama kemudian. Meninggalkan Axel, Mysha, dan investor Arab itu untuk menyelesaikan makan siang mereka sembari mengobrol.
Ya ... Michael akan menahan diri demi masa depan Crown Land Developer. Ia tak ingin memancing keributan yang tidak perlu, terutama di tempat umum.
*
"Saya tidak suka sikap Anda tadi, Sir!" Mysha menatap Axel di lobi restoran ketika sang investor memilih pulang ke hotel sendirian.
"I don't care. Aku tidak suka kau melalaikan pekerjaanmu dan justru bermesraan dengan orang lain saat jam kantor." Axel menyilangkan tangannya di depan dada. Membuat lekuk otot lengannya tercetak jelas meski ia mengenakan jas hitam berbahan halus.
"But Sir, kami hanya makan siang bersama. Tidak lebih. Lagipula ini kan jam istirahat." Mysha merasa gusar. Ia merasa dirinya akan ditelan Axel bulat-bulat dan itu membuatnya sedikit tidak nyaman.
"Tidak ada orang yang makan siang sambil bergandengan!" Sentakan Axel membuyarkan lamunan Mysha.
Mysha menarik napas berusaha memahami isi kepala dari lelaki yang luar biasa tampan di hadapannya.
"Saya benar-benar hanya mengobrol tentang masa lalu. Tidak ada yang lebih dari itu." Mysha berusaha membela dirinya. "Saya juga tidak dalam kondisi siap bertemu dengan investor asing. Muka saya kusut, rambut juga sudah agak berantakan. Lagipula, saya sama sekali tidak membawa bahan presentasi. Bagaimana kalau dia sampai kecewa dan malah membatalkan niatnya untuk berinvestasi?"
"Aku sudah membuatnya tanda tangan sebelum makan," jawab Axel enteng.
Mysha terbelalak. "Jadi sudah deal?"
Axel mengangguk. "Itu sebabnya aku ingin memperkenalkanmu yang sangat lihai dalam menyusun rancangan profitabilitas."
"Waaaah, Anda memang hebat, Sir!" Mysha tertawa sembari mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
Ekspresi yang membuat mata keemasan wanita itu semakin bercahaya. Rambut keperakannya bergerak seiring kepalanya yang mengangguk puas. Kekesalannya terurai. Mau tidak mau Mysha mengagumi kepiawaian Axel dalam melakukan negosiasi dengan investor. Axel adalah tonggak utama CLD untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak luar. Bahkan di tengah rasa marah yang tak bisa Mysha mengerti alasannya, Axel masih menjaga dirinya supaya tidak langsung menggebrak meja tempat ia dan Michael makan siang, demi menjaga nama baik CLD.
Apa Axel cemburu padanya? Sesuatu yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Mysha. Jika Axel memang menginginkan dirinya seutuhnya, maka hal pertama yang ingin Mysha lakukan adalah ….
"Ayo, kembali ke kantor!"
Lagi-lagi lamunan Mysha harus terganggu oleh kenyataan hidup. Seandainya ia bisa berada dalam dunia khayalnya sebentar lagi, ia mungkin sudah bisa ….
"Kau selalu lamban." Axel merengkuh tangan Mysha dan menariknya tergesa.
Membiarkan degup jantung Mysha bertalu dan pikiran yang semakin tak menentu. Jemari kukuh Axel menangkup tangannya. Kuat namun juga lembut.
"Masuklah."
Mysha kembali tergelagap saat pikiran mesumnya tersingkir pergi.
"Ya Tuhan, Mysha. Kenapa sering melamun?"
Mysha tak menjawab bahkan ketika mobil dengan desain futuristik itu sudah meluncur di atas jalanan kota New York menuju kantornya.
Lagi-lagi Mysha masih bergeming. Takut jika dirinya mengotori mobil mahal ini. Panel berwarna monochrome keperakan tampak sangat berkilau. Bahkan gagang persneling persis seperti kristal sihir yang memukau. Mysha masih tak berani membayangkan jika ia sampai lancang bergerak dan membuat onar.
Axel melirik Mysha yang terduduk kaku dan menunduk dalam. Tanpa sadar seringai dingin menghias wajah tampannya. Mysha pasti kini mengakui kehebatannya sebagai seorang yang tak pernah gagal menggaet investor. Wanita itu akan berpikir jika Axel Delacroix adalah lelaki sempurna yang layak ia puja.
Satu langkah kecil rencananya sudah mulai dijalankan.
*
"Terima kasih sudah mengantarkan saya, Mr. Delacroix." Mysha sedikit mengangguk ketika mereka tiba di depan ruang General Manager.
"Panggil saja Axel." Axel menyipit tajam.
Mysha menggeleng. "Saya tidak boleh melakukannya. Anda atasan saya dan sangat tidak sopan jika saya memanggil nama kecil Anda."
"Aku yang memerintahkanmu begitu. Panggil aku Axel!"
Mysha mengerut takut. Tubuh Axel yang tegap bergerak mendekat dengan perlahan tapi pasti. Menyudutkannya.
Axel menatap Mysha yang ketakutan dengan perasaan tak menentu. Pria itu sungguh ingin menghempaskan Mysha ke dinding dan menghabiskan malam panjang berdua dalam rasa yang tak akan bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Namun setiap Axel melakukan satu langkah pendekatan, Mysha membangun temboknya sendiri.
"Kenapa kau mau memanggil pengacara brengsek itu dengan Michael dan bukan Johannson?!"
Mysha kehilangan senyumnya. Ia paling benci mendengar ada seseorang diolok-ngolok.
"Itu terserah saya."
Axel yang tidak sabar tiba-tiba sedikit mendorong Mysha hingga bersandar ke tembok. Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah Mysha dengan begitu intim. Tangan kanannya menyangga berat tubuh ke dinding nyaris menghimpit tubuh Mysha hingga ia tak bisa bergerak. Wajah mereka kini dalam posisi yang sangat dekat. Nyaris tak berjarak.
"Panggil aku Axel. Atau aku tidak akan melepaskanmu."
Tangan kiri Axel terangkat dan menggenggam tangan Mysha serta mengecupnya perlahan.
Axel kabedon, heii! Kira-kira Mysha akan takut apa suka, ya?
Mysha menahan napas ketika Axel mengecup tangannya. Seketika getaran aneh menjalar ke seluruh badannya, membuat bulu kuduk meremang sementara jantungnya berdegup kencang. Kaki wanita itu terasa lemas. Ingin sekali dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Axel, tapi dengan cepat dia mengumpulkan kembali tekad dan kekuatan, memaksa logika bergerak mengalahkan dorongan untuk melempar diri dalam pelukan kukuh pria yang kini sedang menggodanya. Bagaimana pun juga, dia memiliki prinsip yang teguh dalam hidup, tidak ingin berakhir sama seperti ibunya yang trauma dengan pria. "Sir," ucap Mysha dengan nada terkendali, tegas dan berwibawa, sambil menarik tangannya dari genggaman Axel. Dia harus tenang walau dadanya berdebar keras dan tubuhnya mendamba sentuhan dari atasannya tersebut. "Anda tidak bisa memaksa saya dan ingat, ruangan ini dipasang CCTV." Sekuat tenaga, Mysha mendorong dada Axel. Tidak diduga, pria itu menurut, walau matanya berkilat menatap Mysha. Pandangan yang membuat sebuah sensas
"Kau akan ikut ke Bangkok besok. Axel," ulang Mysha, sekali lagi membaca secarik kertas di tangannya. Pesan itu begitu singkat. Tanpa basa-basi. Di dalam amplopnya terdapat sebuah tiket pesawat tujuan Bangkok untuk sekali pergi. Netra emasnya melebar, tubuh wanita itu mendadak terasa lemas. Mysha terduduk di kursi. Sebelah tangannya memijat kening yang tiba-tiba terasa pening. Mysha tak mengerti dengan perasaannya sendiri saat ini. Amarah dan gairah melesak di dadanya, membuatnya sesak. "Bagaimana mungkin Axel memutuskan hal ini tanpa bertanya lebih dulu kepadaku?" tanya Mysha geram. Jangan-jangan ini hanya siasat CEO tampan itu untuk menjebakku agar bisa bersamanya, atau mungkin dia benar-benar menyukaiku? Bukankag kemarin dia dengan angkuh menyatakan bahwa aku miliknya? Suara batin Mysha berperang. Jujur ia tak yakin jika sang Penakluk Wanita itu menyukainya. Namun gagasan itu sangat menggoda. Mysha kembali memandangi tiket pesawat di tangannya. Bangkok. Mengeja kata itu membawa
"Damn it!" Axel hendak menggebrak meja dan melangkah tergesa keluar ruangan. Ia nyaris kehilangan kontrol tepat ketika dirinya dan Mysha bersirobok. Axel menarik napas panjang dengan sangat perlahan. Nyaris tak terlihat. Ia berusaha memadamkan semua kemarahan yang sempat berkobar di dadanya. Rahang yang sedari tadi kaku, kini sudah kembali tenang. Axel berjalan dengan tegap keluar ruangan. Pandangan matanya begitu dingin seolah bisa membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Langkahnya begitu cepat tapi tak terlihat terburu-buru. Bulu kuduk Mysha meremang. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Ini baru pertama kali Mysha merasa tekanan yang menakutkan alih-alih pikiran liar mendominasi. Wanita itu berjalan tergesa meski ia bisa merasakan aura mengerikan menguar. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Mysha terus berdoa di dalam hati. Axel bahkan tidak memedulikan larangan sekretaris William ketika menerobos masuk ke ruangan. Membuka pintu lebar-lebar tanpa peduli untuk menutupnya k
Mysha terdiam ketika mobil sedan putih membelah jalanan New York. Wanita itu menenggelamkan dirinya ke dalam lautan warna-warni lampu kota yang berlari dari balik jendela, membiarkan pikirannya melayang, berusaha mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Tangannya tanpa sadar memeluk diri lebih erat. Axel memaksanya untuk ikut ke Bangkok dan Michael membelanya. Perdebatan mereka membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Setiap perkataan yang terlontar membuat Mysha menahan diri untuk tidak berharap lebih. Axel membutuhkan dirinya. Mengulang kata-kata itu dalam kepala membuat desiran di dadanya makin menjadi dan telinganya terasa hangat. Benarkah yang dikatakan oleh Axel? Apakah pria itu membutuhkan dirinya sebagai wanita atau sebagai General Manager? Mysha menutup mata erat, berusaha mengusir ilusi bahwa Axel mencintainya. Dari perlakuan pria itu, lebih tepat bila Axel hanya ingin memiliki tubuhnya. Demi Tuhan! Getaran gairah langsung menjalar ketika Mysha membayangkan dirinya ber
"DAMN!" Axel memaki kebodohannya. Setelah selesai bicara dengan William dan membereskan dokumen-dokumen penting yang diperlukan di Bangkok, Axel buru-buru mengendarai mobilnya. Tentu saja bukan untuk langsung kembali ke apartemen. Entah hal apa yang memicunya, tiba-tiba ia sudah berada di area parkir apartemen Mysha. Buat apa malam-malam ia pergi ke apartemen Mysha? Memintanya menjelaskan detail profit analysis planning jelas hanyalah kamuflase. Axel sedang tidak mood untuk melampiaskan hasratnya dengan wanita lain. Ia mulai bosan dengan tipikal wanita di sekelilingnya yang dengan senang hati melemparkan diri kepadanya. Mysha berbeda. Gadis itu berani menolak, bahkan menamparnya. Padahal sangat jelas gairah yang membara di mata gadis itu, tapi dia mampu memegang kendali dirinya. Dan itulah yang membuat egonya sebagai pria tertantang untuk menaklukkan gadis itu. Sayang kedatangannya di sana benar-benar tidak tepat waktu. Mood yang sudah jatuh akibat pertengkaran di kantor dengan Micha
Mysha tertegun melihat benda yang ada di tangannya. Dalam kotak beledu indah, napasnya tercekat, tidak menyangka akan mendapat benda tersebut. "I-ini untukku?" tanya Mysha, tangannya gemetar menyentuh garis halus anting emas berukiran rumit khas Thailand. Ada giok berbentuk ular melingkar di tengahnya. Ego Axel melambung membuat ujung bibir berkedut menahan senyum. Taktiknya kali ini berhasil. Tidak ada wanita yang tidak menyukai perhiasan, bunga, dan coklat, termasuk Mysha yang selama ini sulit ditaklukkan. Pria itu dapat melihat sorot kagum dan gembira di mata emas Mysha, dalam hati merekam baik-baik ekspresi wanita yang selama beberapa hari terakhir memenuhi pikirannya. Kali ini dia pasti berhasil. Axel tidak menjawab. Dia hanya mendorong kotak itu lebih dalam ke genggaman Mysha, tetap mempertahankan wajah dinginnya. Namun tiba-tiba dia tersentak, ketika Mysha mendorong kembali kotak merah dengan ukiran perak yang menunjukkan pengrajin pembuatnya. "Aku tidak bisa menerimanya," u
Selesai menutup telepon dari William, Axel segera membereskan dokumennya. Slide presentasi telah siap. Profitabilitas, Payback Period, Break Even Point, dan Return on Investment sudah dihitung dengan cermat. Analisis investasi juga telah dibuat selengkap-lengkapnya. Menurutnya kali ini CLD benar-benar mempertaruhkan citranya demi menggaet Nathanael Willoughby. Namun, jika proyek ini berhasil, CLD akan menjadi kekuatan bisnis properti dunia yang lebih disegani. Axel dan William yakin, proyek ini akan sukses. Dokumen-dokumen sudah disalin ke dalam CD yang berisi proposal investasi lengkap, mulai dari company profile, struktur organisasi, produk yang akan dikembangkan, target market, sampai dengan analisis investasi dan profitabilitasnya. Seharusnya Axel merasa lega, karena di balik emosinya yang sedang menggelegak, ia dapat mengendalikan semua pekerjaannya dengan baik. Namun entah mengapa, masih ada ganjalan di hatinya. Sepertinya ia terpengaruh dengan kata-kata William sebelum mengak
Mysha membaca doa sekhusyuk yang ia mampu sebelum memasuki ruangan rapat. Wanita itu duduk dengan kaku di kursi yang disediakan. Rambut yang digulung atas dengan model sedikit acak membuatnya tak percaya diri. Berkali-kali ia berusaha merapikan rambutnya. Rasanya penampilannya begitu sederhana dibandingkan kedua atasannya yang terlihat begitu berkelas. Namun, ternyata William bisa membaca kegundahan Mysha dan mengizinkan wanita itu merapikan rambutnya sebelum Mr. Willoughby dan rombongannya tiba dalam tiga puluh menit ke depan. Tidak sampai sepuluh menit, Mysha sudah kembali dengan tatanan rambut yang lebih rapi dan elegan. Ia mengepang dua rambutnya sebelum menggulungnya ke belakang sehingga terlihat lebih berkelas. Ia bersyukur sudah menguasai banyak tatanan rambut untuk berbagai acara. Salah satu yang membuatnya menghemat pengeluaran karena tidak perlu ke salon saat menghadiri pesta. Setelah kembali duduk dan menyesap sedikit air putih yang terhidang, Mysha berhasil menenangkan d