🌹🌹🌹
“Maiza,” panggil Mak Saidah.
“Maiza, kemarilah.” Mak Saidah melambai-lambaikan tangan pada Maiza yang sedang memasak di dapur. Ia tidak mendengar panggilan dari amaknya tersebut.“Anton, panggilkan Ibu kamulah!” perintah Mak Saidah pada cucunya yang sedang bermain kelereng di dekatnya."Yo, Nek," jawab bocah lelaki itu lalu berlari ke dapur menemui ibunya yang sedang mengaduk santan gulai.“Bu, Nenek imbau,” panggil Anton pada ibunya.“Eh yo. Ibu naik lai,” sahut Maiza, lantas dia menaiki anak tangga yang menghubungkan rumah gadang dengan dapur.Sesampainya di rumah Maiza duduk di dekat amaknya. Ia memijit-mijit lengan yang kurus hanya kulit berbalut tulang.“Maiza, saya bermimpi, Abak kamu datang berpakaian sarugo, mancaliak ka amak, mukanya teduh sekali.” Mak Saidah menceritakan mimpinya semalam, hingga membuat bulu kuduk Maiza berdiri.“Mak bermimpi karena kepikiran Abak terus. Mangucap, Mak.” Maiza mengingatkan Mak Saidah agar tidak berpikiran aneh-aneh hingga membuatnya sakit lagi. Mak Saidah hanya mengangguk pelan, nasihat yang disampaikan putrinya sudah kurang berarti karena yang ia harapkan adalah segera menyusul sang suami.“Za, saya tau Abakmu pulang tu hendak menjemput mak. Mungkin sebentar lagi menyusul Abakmu,” ujarnya pelan.“Apo ko carito, Amak. Nan iyo sajolah,” tegas Maiza. Ia tidak ingin Mak Saidah berpikir untuk mati, sebab amaknya satu-satulah yang dapat menjadi tempat curahan hati.“Za, kamu tau cerita keluarga kita?” tanya Mak Saidah, matanya sayu menadah ke langit.“Mana pula saya tau, Mak,” jawab Maiza yang kurang mengerti dengan topik pembicaraan. Namun, ia heran melihat amaknya yang sedang berusuh hati, malah ingin bercerita nostalgia keluarga mereka.“Za, dulu Niniak kita. Mendiang kakek nan Ka Limo pergi marantau. Untuk mengubah hidup yang miskin lantas pindah ke nagari yang jauh. Berkuli ke ladang orang, ada rezeki mulai manaruko tanah rimbo. Sejak itu, kakek tidak pernah pulang ke kampung, beranak pinak di rantau orang, sampai menjadi keluarga terpandang. Saat perang dengan Belanda pecah, cicit mendiang kakek pulang ke kampung,” tutur Mak Saidah sambil menerawang ke langit. Mak Saidah menceritakan pada putrinya tentang mendiang Niniak Kalimo yang pergi merantau ke Sumpu.***Pada abad ke 18, awal pemerintahan Raja Ibadat III, yaitu Sulthan Pandak. Bertepatan dengan penjajahan kolonial Belanda. Zaman itu kerajaan Sumpu masih berjaya. Sang Raja menerima sepasang suami istri muda untuk tinggal di wilayah kekuasaanya. Ia menyambut hangat kedatangan mereka karena berasal dari daerah kerajaan Adityawarman, kakeknya Raja. Nama mereka adalah Puhun Ka Limo dan Rumanti.Sepasang suami istri itu mendapat tempat di hati sang Raja karena Puhun Ka Limo ahli silat beladiri dan bijaksana. Raja mengangkatnya sebagai Dubalang Sati, pejabat yang menjaga keamanan kerajaan. Sebagai hadiah bakti, mereka mendapatkan sebidang tanah dan sebuah rumah untuk dihuni. Penderitaan selama pergi merantau berangsur hilang terbayar dengan kemakmuran yang mereka terima. Sebagai orang yang dipercaya oleh sang Raja, Puhun ka Limo kerap kali menjadi penasehatnya terlibat membicarakan masalah pemerintahan.Setelah menjadi tangan kanan, kehidupan suami istri itu mulai membaik bertambahlah kebahagian setelah dikaruniai sepasang anak. Sebagai orang yang sudah berpengaruh, Puhun Ka Limo mulai memperluas lahan dengan menebus tanah gadai dengan emas sampai mengolah tanah rimba yang belum bertuan. Tidak ada lagi kekhawatiran untuk tidak bisa makan, hidup sudah enak dan sejahtera.Sampai akhirnya pada akhir pemerintahan sang Raja. Terjadi kisruh di keluarga kerajaan karena sang Raja tidak mempunyai penerus tahta. Setelah raja wafat, tidak satu pun anggota keluarga yang layak diangkat menjadi pengganti karena calon Raja harus keturunan asli dari Raja dan ibunya keturunan Puti. Sepeninggal Raja, pemerintahan menjadi kacau, terpecah-pecah dalam kelompok suku, mereka saling menikam satu sama lain. Sebagai Dubalang yang setia, Puhun Ka Limo berusaha menyatukan keluarga kaum adat yang kebanyakan adalah bangsawan, tetapi dia jatuh sakit setelah lawannya mengirimkan tinggam.Orang yang tidak senang dengan sang Dubalang tidak berani menyerang seorang pandeka tersebut secara langsung.
Akibatnya Puhun Ka Limo menderita karena penyakit kiriman itu. Dadanya berlubang mengeluarkan bau anyir.Sudah banyak obat yang dipakai tak kunjung sembuh karena pengaruhnya sangat kuat. Begitu kabar yang didapatnya dari dukun ternama yang mengobatinya. Tidak tahan lagi akan sakitnya yang semakin parah Puhun Ka Limo akhirnya wafat meninggalkan seorang Istri dan sepasang anaknya.
Sementara kerajaan semakin pecah, sejak penjajah Belanda menerapkan sistem birokrasi. Posisi raja satu tingkat di bawah pemerintahan Belanda, keluarga kerajaan tidak dapat berbuat apa-apa karena kekuatan penjajah lebih unggul.Akibatnya penjajah dengan leluasa menguras kekayaan dan memancing tindakan kaum Paderi yang berkuasa di wilayah tersebut. Kesewenang-wenangan Belanda semakin menjadi-jadi hingga terjadi penyerangan terhadap penduduk sampai membuat pejuang di basis pertahanan meradang.
Sudah lama tidak ada perlawanan semenjak perjanjian damai pada tahun 1825 untuk gencatan senjata dengan kamum Paderi.
Kini penjajah melanggar janji sehingga pecah perang Marapalam. Kekuatan Belanda lebih setingkat dengan dilengkapi dengan senapan yang lengkap menyerang para pejuang yang sedang tertidur lelap di markas.Mendapat serangan mendadak para pejuang kebingungan lantas tak sempat mengambil peralatan lalu melarikan diri ke Bukit Barisan. Basis kekuatan di Bukit Marapalam jatuh ke tangan penjajah, bangsawan kerajaan pun tidak dapat berbuat apa pun karena Dubalang Sati juga telah tiada.
Anak keturunannya yang masih hidup, tertekan oleh perlakuan dan penindasan dari penjajah Belanda. Mengajak kaum Adat yang masih setia dengan raja untuk bersatu dengan kaum Paderi yang bersembunyi di Bukit Barisan. Namun, usaha perjuangan belum berhasil memukul mundur tentara Belanda.Mereka menyusun taktik yang lebih baik dan menunggu waktu yang tepat untuk mengusir penjajah dari tanah kelahiran.
Pada pertengahan abad ke-19, Cucu Dubalang Sati--Pandeka Puhun Ka Limo menyusun rencana untuk melarikan diri.Melalui bantuan para pejuang, mereka berhasil kembali ke tanah nenek moyang hanya bisa membawa sedikit emas dan perak. Pulang ke Nagari Batu Batuah, ikut berjuang dengan prajurit tanah air melawan penjajahan Belanda. Pejuang berhasil memukul mundur penjajah Belanda dari Indonesia, tetapi Jepang mengantikan posisi kolonial menjarah dan menghancurkan penduduk lokal sehingga perang sengit kembali terjadi.
Tak terkecuali di Batu Batuah, garis keturunan Dubalang Sati adalah seorang pejuang. Ia juga ikut melawan penjajahan Jepang. Tahun 1945, Jepang kalah setelah bom atom Amerika jatuh di kota Nagasaki dan Hirosima. Kemudian Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sejak itu, mulailah mereka tenang menikmati kebebasan. Akan tetapi, setelah kemerdekaan yang diimpikan tercapai, perlawanan masih bergolak dengan meletusnya perang PRRI. Cucu dari Dubalang Sati ikut tertangkap dengan tuduhan penghianatan. Tinggallah anak-anaknya yang masih muda yang tidak dapat membela ayah mereka.Pemerintahan presiden Soekarno sudah mulai stabil. Tidak ada lagi perang saudara, ekonomi sudah mulai hidup. Anak cucu dari Puhun Ka Limo juga beranak-pinak. Bermodalkan simpanan emas yang ditinggalkan mereka kembali membuka sawah dan ladang.Habis hari berganti tahun kembali menjadi keluarga terpandang dengan melimpahnya kekayaan, tetapi generasi baru sudah terlena, mental pejuang dari mendiang kakek mereka tidak lagi menjiwa. Kesombongan merajah dalam hati tak segan menindas orang lemah dan menyakiti orang demi dendamnya.
***
Mak Saidah menutup ceritanya dengan lega, kisah yang selama ini terpendam akhirnya terkatakan juga. Sebab dengan kondisinya sekarang, ia ragu entah umurnya akan panjang.
“Apa yang engkau tanam hari ini, itulah yang dituai di kemudian hari.”🌹🌹🌹Mendengar cerita yang dituturkan oleh amaknya, ada rasa bangga yang tumbuh di hati Maiza. Betapa tidak? Keluarganya adalah keturunan orang baik dan berada. Nenek moyang mereka juga pejuag sekaligus tokoh masyarakat.Sampai saat ini nama baik itu sering diceritakan dari orang tua ke anak-anak.Ia ingin ketika Anton dan Rayya sudah besar kelak dapat meniru semangat pendahulunya. Ia ingin sekali menceritakan kisah yang sama supaya anak-anaknya mengenal nenek moyang mereka. “Hebat ya, Nek. Kakek kita seorang pejuang. Dengar tuh, Anton … Rayya. Kita contoh semangat kakek kita,” ujar Maiza mengajari anaknya.
“ Langgengnya sebuah hubungan disebabkan karena saling jujur dan terbuka”Hari-hari Maiza tidak seperti sebelumnya, ia seperti orang yang sedang kalimpasingan, tidur gelisah duduk resah berjalan pun gundah hatinya, wajahnya yang elok berubah murung, sudah seminggu larut dalam pikirannya sendiri. Sampah bekas makanan anak-anak belum dibersihkan. Dapur juga diabaikannya tidak sekali dua kali piring kotor menumpuk dalam panci.Pakaiannya tampak lusuh karena sudah dari kemarin dikenakan, kodek bermotif batik yang membentuk di pinggangnya juga sudah kotor oleh tumpahan minum Rayya. Hal yang dilakukan Maiza hanyalah berkurung diri dalam bilik atau bercengkerama dengan kedua anaknya. Pakiah yang melihat perubahan mood
“Berbaiklah saat ini dengan saudarakarena mereka adalah tempat kamu mengadu di masa depan.”🌹🌹🌹“Pakiah …,” ujar Mak Uwo Tini, Mak Saidah dan Mak Palindih serempak berdiri.“U--da, dah lama U--da di sana?” tanya Maiza gagap, ia menelan saliva membasahi tenggorokan yang kering.Sementara Pakiah masuk ke dalam rumah, duduk dengan tenangnya lalu bersikap bijaksana padahal amarah membara dalam jiwa. Wajahnya memerah dari biasanya, sorot mata yang tajam seakan akan memotong-motong lawan bicara. Melihat suaminya tidak menanggapi, ia beranggapan kalau suaminya tidak mendengar pembicaraan mereka. Kemudian Maiza beranjak ke dapur, membuatkan secangkir teh.
“Akar penyakit adalah hati yang kurang bersyukur."🌹🌹🌹Usai perdebatan yang terjadi tempo hari dengan Mak Palindih dan Mak Uwo Tini, Pakiah mengajak Maiza pergi jalan-jalan, tujuannya ke Pakan Rabaa. Tiga lembar uang bergambar monyet berjuntai diberikan pada istrinya untuk belanja. Maiza sangat bahagia dengan sikap Pakiah yang kembali ramah, tidak kaku seperti sebelumnya.“Uda, adik minta maaf soal kejadian kemarin.” Maiza menyalami punggung tangan Pakiah.“Sudah uda maafkan. Sekarang ayo kita bawa anak bermain. Biar dapat angin segar. Cepatlah berkemas.” Pakiah menyuruh Maiza bersiap-siap.Kemud
“Kasih orang tua sepanjang masa, Kasih anak sepanjang jalan ke surgayaitu doa anak yang saleh” 🌹🌹🌹Perawat membawa Rayya ke ruang penanganan. Maiza dan Pakiah juga ikut serta. Maiza sangat tersiksa melihat Rayya terbaring di kasur yang beralaskan perlak selebar satu meter itu. Tubuh mungil yang tergolek lemas karena suhu tubuhnya masih panas, jari-jarinya yang kecil terkulai di tepi ranjang. Ibu siapa yang tidak teriris melihat putrinya yang semakin pucat. Naluri keibuan mengatakan, biarlah ia menjadi pengganti, tidak tahan melihat Rayya yang menderita.Perawat datang bersama seorang dokter muda. Langkah mereka cepat sehingga hentakan sepatu yang keras membuat lantai semen itu mengeluarkan lengkingan.&ld
“Orang munafik, manis di luar, busuk di dalam.”🌹🌹🌹Mendekati waktu senja Maiza dan Anton telah sampai di Pakan Rabaa. Tidak ada lagi oto cigak baruak yang mangkal. Alamat ia dan anaknya berjalan sejauh tiga kilometer. Ketika azan Maghrib berkumandang, Maiza dan anaknya masih melatih kaki untuk kuat berjalan. Ketika seperempat jalan sudah ditempuh mereka berpapasan dengan Tukang Angkat yang mengendarai becak, si Tukang Angkat menawarkan Maiza dan Anton pulang bersama. Maiza menjadi lega dia tidak sendiri di kegelapan yang hanya ditemani remang-remang cahaya bintang.Sesampainya di rumah, disambut oleh Mak Saidah. Perempuan tua itu tidak melihat keberadaan menantu dan c
“Harta yang didapatkan dengan jalan menzalimi tidak akan berkah”---Di Batu Gading, nagari yang terletak di kaki gunung dekat ke Pakan Rabaa. Nagari Batu Gading menjadi perlintasan, jika mau ke kampung Rayya mesti melalui nagari ini dulu. Di sana tepat di pinggir jalan terdapat kantor urusan Nagari. Sekarang sedang ramai dikunjungi oleh penduduk, mereka menanti keputusan sidang tentang siapa yang akan menjabat sebagai Pak wali berikutnya.Sidang yang sedang digelar dalam gedung sederhana Balai Kerapatan Adat Nagari (KAN) berlangsung dengan alot, setelah lima calon peserta PILWANA[1] yang berkompetisi, hanya dua orang yang lolos dalam seleksi. Mereka adalah Syaiful Tuanku Labai, putra asli Batu Gading, sosok yang cerdas tamatan Pondok Pesantren ternama di Agam, setelah tamat Diploma, ia menetap di kampung sebagai guru mengaji dan baru menikah setahun yang lalu dengan anak bako.[2] Bernama Santi, yang saat ini
“Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.”----Hari ini Pakan Rabaa sangat ramai banyak orang berjualan di los-los. Pembeli juga banyak dari biasanya, ada yang memang berniat untuk belanja ada pula yang hanya datang untuk bermain saja mencuci mata bahkan ada yang sekedar sarapan pagi makan lontong sayur di kedai Kak Meri. Rasanya yang legit berpadu dengan kuah tauco memang menggugah selera. Meskipun tempatnya kecil, hanya ukuran 4 x 3 sentimeter. Namun, orang antri hendak makan di sana. Begitu pula dengan dua orang perempuan itu, mereka beasal dari Batu Gading. Mereka juga sedang menikmati makan lontong di sana. Sembari makan, mereka bercerita tentang kejadian yang sempat menggegerkan seantero Nagari, yaitu tentang kematian Wali Nagari Baru.“Masa iya? Pak wali yang sehat bugar itu tetiba aja sakit, sedang bicara di podium lagi, banyak orang yang menyaksikan.” Seorang gadis yang berselendang biru memulai otanya.[1]&l