“Berbaiklah saat ini dengan saudara
karena mereka adalah tempat kamu mengadu di masa depan.”
🌹🌹🌹
“Pakiah …,” ujar Mak Uwo Tini, Mak Saidah dan Mak Palindih serempak berdiri.
“U--da, dah lama U--da di sana?” tanya Maiza gagap, ia menelan saliva membasahi tenggorokan yang kering.
Sementara Pakiah masuk ke dalam rumah, duduk dengan tenangnya lalu bersikap bijaksana padahal amarah membara dalam jiwa. Wajahnya memerah dari biasanya, sorot mata yang tajam seakan akan memotong-motong lawan bicara. Melihat suaminya tidak menanggapi, ia beranggapan kalau suaminya tidak mendengar pembicaraan mereka. Kemudian Maiza beranjak ke dapur, membuatkan secangkir teh.
“Minum dulu, Uda,” pinta Maiza. Pakiah tidak menyahut hanya berdehem saja. Kemudian menyeruput minuman dua kali teguk dia tersedak dan batuk-batuk.
Melihat gelagat Pakiah yang aneh istri dan keluarganya menjadi salah tingkah. Mereka saling pandang bertanya-tanya kenapa Pakiah bersikap begitu.
“Uda?” panggil Maiza. Keningnya berkerut.
“Kenapa lain sekarang rasa minumannya? Kamu tidak memberiku tubo 'kan?” tanya Pakiah pada istrinya. Maiza terbelalak mendengar pertanyaan suaminya, tak menyangka ayah dari anak-anaknya itu menuduh hal yang tak baik padanya.
“Uda … Nggak mungkin saya akan berbuat begitu. Saya tidak sejahat itu, Da." bela maiza dengan suara bergetar.
“Kalau benar tak ada niat begitu, kenapa hal sebesar ini kamu sembunyikan? Apa saya tak di anggap di rumah gadang ini?” murka Pakiah. Suaranya meninggi, bergema sampai ke telinga karena kemarahannya tidak dapat ditahan lagi.
“Uda … Uda, bukan begitu. Maafkan Maiza,” pinta Maiza berharap belas kasihan dari suaminya. Ia mulai menangis, bening di matanya sudah tidak tertahankan.
Mukhtar Palindih, Mak Uwo Tini dan mertuanya hanya terdiam menyaksikan Pakiah dan Maiza berbicara.
“Pakiah, sabar dulu. Kita perlu bicara baik-baik. Mari tenangkan diri dulu,” ujar Mak Palindih pada Pakiah.
“Iyo, Pakiah. Maiza nggak tahu apa-apa. Kami yang membawanya,” sela Mak Saidah.
“Baik kalau begitu, rancak kito bicaro baiyo-iyo,” cakap Pakiah dengan serius. Mamak rumah dan mertuanya pun setuju.
Kemudian mereka pindah duduk di anjungan rumah gadang, duduk dengan jarak satu meter. Pakiah dan Mak Palindih bersila di bagian ujung. Sedangkan Maiza, Mak Uwo Tini dan amaknya bersimpuh menjorok ke mudik.
Supaya pembicaraan mereka tidak terganggu, Maiza mengajak Anton dan Rayya main bersama. Diberinya kedua balita itu gulo-gulo tare. Maiza kembali bergabung di anjungan untuk melanjutkan pembicaraan.
“Marilah kita mulai, apa sebenarnya punca masalah di sini,” ucap Pakiah.
“Baiklah,” sahut Mak Palindih. Mak Saidah dan Mak uwo Tini mengiyakan.
“Pakiah, sebelumnya ambo sebagai Mamak di rumah gadang menyampaikan pada Pakiah. Bak kata pepatah mengatakan tasingguang ka naik, talantak ka turun ambo mohon maaf sebanyak-banyaknya.” Mukhtar Palindih Kayo memulai percakapan.
Mak Palindih memainkan fungsi sebagai tetua keluarga. Bersikap bijaksana dalam berbicara, menyampaikan dengan penuh kehati-hatian.
“Iyo, Mak, lah sampai,” jawab Pakiah.
"Perkara yang Pakiah dengar barusan, sampai mana Pakiah mengetahui?" tanya Mak Palindih menguji sampai sejauh mana yang telah diketahuinya.
"Saya mendengar semua pembicaraan. Dahulu saya pikir hanya omongan dari orang ke orang. Ternyata semua hal itu benar adanya. Saya melihat dengan mata kepala sendiri kalian berkumpul membicarakan barang haram itu," jelas Pakiah.
“Jelas bagi saya, tidak dapat menerima kenyataan ini dengan akal sehat. Jika ternyata Mak Palindih sebagai mamak yang disegani berniat melakukan kejahatan serupa itu,” imbuhnya.
Mak Palindih gelagapan namanya disinggung oleh Pakiah. Membuatnya kebakaran jenggot, dia memutar duduknya dan meneguk minum hingga tandas dari gelas.
“Ooo, maksudku bukan begitu.” Mukhtar Palindih Kayo berdalih.
“Saya mendengar semuanya, Mamak jangan berkilah. Kalau perhatian Mamak dengan anak kemenakan. Tolong jangan meminta hal yang tak mungkin pada mertua ataupun orang rumah saya,” tegas Pakiah.
“Pakiah, kalau boleh Mak Uwo ikut bicara. Jangan terlalu berlebihan menekan Mamak kalian. Apa pun urusan yang ada di nagari ini, sebanyak orang di Batu Batuah hanya kepada Mamak kalian ini satu-satunya tempat mengadu atau kalian tak mengakuinya sebagai Mamak lagi?” Mak Uwo Tini membela Mak Palindih. Mamaknya Maiza itu semakin besar hati dengan adanya orang berpihak padanya.
“Selama ada saya, tak akan pernah mengizinkan anak bini saya melakukan keburukan itu. Lebih baik Mamak berdua pulang! Nanti habis kesabaran saya!” Pakiah menegaskan pendiriannya.
“Baik kalau begitu, Pakiah!” jawab Mak Palindih dengan kecewa.
“Uni, ayo kita pulang. Tak ada guna berlama-lama. Mereka tidak butuh kita!”
Mak Palindih mengajak Mak Uwo Tini pergi dari rumah gadang. Saking kesalnya, Mamaknya Maiza itu menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan bunyi berdentang.
***
Sesampai di depan rumah Mak Uwo Tini, ia mengajak Mukhtar Palindih Kayo mampir untuk menenangkan diri.
“Ke rumah dulu, Palindih. Makan awak dulu.”
“Iya lapar perut, Kak.”
Palindih masuk ke rumah Mak Uwo Tini, ia melihat sekeliling rumah janda itu. Suram tidak ada cahaya yang masuk ke dalam rumah, terlebih lagi hanya ada jendela kecil.
Sementara Mak Uwo Tini sedang mempersiapkan jamuan makan untuk Mukhtar Palindih Kayo. Menu sederhana samba lado maco panggang (cabe rebus dicampur ikan laut kering dipanggang), sayurnya pucuak parancih (daun ubi). Walaupun sederhana Palindih makan dengan lahapnya.
Setelah selesai makan, Mukhtar Palindih Kayo tersandar ke tembok. Pikiran terbang jauh ke Batu Gading teringat pada istrinya. Selama berkeluarga dia sudah banyak menanggung malu karena direndahkan. Penghasilannya sebagai mandor kuli bangunan tidak dapat menandingi kekayaan si Istri, hingga ia dianggap sepele oleh mertua. Apalagi ia tidak mempunyai anak, semakin keinginan mereka sangat besar untuk menceraikan dia dari istrinya.
Sementara si istri menantangnya untuk ikut pemilihan kepala desa agar Mukhtar Palindih Kayo tetap bisa bersama dengannya. Ia sudah berusaha bersaing secara sehat, tetapi tidak mudah mengalahkannya. Mak Uwo Tini yang sedari tadi memperhatikan lalu ia menyapanya.
“Jangan terlalu dipikirkan. Tidak dapat jalan keluar di rumah gadang, Kakak bersedia membantumu.” Mak Uwo Tini menawarkan bantuan. Palindih tertegun sejenak mendengar ucapan Mak Uwo Tini.
“Gimana Kakak dapat membantu?”
“Tidak dapat sama Mak Saidah, sama saya ada yang lebih hebat. Bisa langsung ….”
“Haaah?” Palindih terperangah hingga terlompat dari duduknya.
“Tenanglah! Nanti terdengar sama orang yang lalu.” Mak Uwo Tini menempelkan telunjuk di bibirnya.
“Ada syaratnya,” ujar perempuan enam puluh tahun itu.
“Apa, Kak?” Palindih menatapnya serius.
“Kini sedang minta makan, sama Kakak sudah habis serbuk itu, berikan pada urang sumandomu. Biar Maiza sadar diri kalau ingin bermusuhan,” jawab Mak Uwo Tini setengah berbisik.
“Setelah itu pakailah sesuai tujuan, kalau tak tahu caranya, tanya sama saya,” imbuh Mak Uwo Tini.
Palindih tersenyum lebar setelah mendapat angin segar. Kini ia tak memohon-mohon lagi pada uninya. Kakak sepupu tertuanya malah mengulurkan dengan suka rela.
Bersambung.
¹ Permen dari manisan gula
² Saya
³ Tersinggung naik, tersenggol turun.
“Akar penyakit adalah hati yang kurang bersyukur."🌹🌹🌹Usai perdebatan yang terjadi tempo hari dengan Mak Palindih dan Mak Uwo Tini, Pakiah mengajak Maiza pergi jalan-jalan, tujuannya ke Pakan Rabaa. Tiga lembar uang bergambar monyet berjuntai diberikan pada istrinya untuk belanja. Maiza sangat bahagia dengan sikap Pakiah yang kembali ramah, tidak kaku seperti sebelumnya.“Uda, adik minta maaf soal kejadian kemarin.” Maiza menyalami punggung tangan Pakiah.“Sudah uda maafkan. Sekarang ayo kita bawa anak bermain. Biar dapat angin segar. Cepatlah berkemas.” Pakiah menyuruh Maiza bersiap-siap.Kemud
“Kasih orang tua sepanjang masa, Kasih anak sepanjang jalan ke surgayaitu doa anak yang saleh” 🌹🌹🌹Perawat membawa Rayya ke ruang penanganan. Maiza dan Pakiah juga ikut serta. Maiza sangat tersiksa melihat Rayya terbaring di kasur yang beralaskan perlak selebar satu meter itu. Tubuh mungil yang tergolek lemas karena suhu tubuhnya masih panas, jari-jarinya yang kecil terkulai di tepi ranjang. Ibu siapa yang tidak teriris melihat putrinya yang semakin pucat. Naluri keibuan mengatakan, biarlah ia menjadi pengganti, tidak tahan melihat Rayya yang menderita.Perawat datang bersama seorang dokter muda. Langkah mereka cepat sehingga hentakan sepatu yang keras membuat lantai semen itu mengeluarkan lengkingan.&ld
“Orang munafik, manis di luar, busuk di dalam.”🌹🌹🌹Mendekati waktu senja Maiza dan Anton telah sampai di Pakan Rabaa. Tidak ada lagi oto cigak baruak yang mangkal. Alamat ia dan anaknya berjalan sejauh tiga kilometer. Ketika azan Maghrib berkumandang, Maiza dan anaknya masih melatih kaki untuk kuat berjalan. Ketika seperempat jalan sudah ditempuh mereka berpapasan dengan Tukang Angkat yang mengendarai becak, si Tukang Angkat menawarkan Maiza dan Anton pulang bersama. Maiza menjadi lega dia tidak sendiri di kegelapan yang hanya ditemani remang-remang cahaya bintang.Sesampainya di rumah, disambut oleh Mak Saidah. Perempuan tua itu tidak melihat keberadaan menantu dan c
“Harta yang didapatkan dengan jalan menzalimi tidak akan berkah”---Di Batu Gading, nagari yang terletak di kaki gunung dekat ke Pakan Rabaa. Nagari Batu Gading menjadi perlintasan, jika mau ke kampung Rayya mesti melalui nagari ini dulu. Di sana tepat di pinggir jalan terdapat kantor urusan Nagari. Sekarang sedang ramai dikunjungi oleh penduduk, mereka menanti keputusan sidang tentang siapa yang akan menjabat sebagai Pak wali berikutnya.Sidang yang sedang digelar dalam gedung sederhana Balai Kerapatan Adat Nagari (KAN) berlangsung dengan alot, setelah lima calon peserta PILWANA[1] yang berkompetisi, hanya dua orang yang lolos dalam seleksi. Mereka adalah Syaiful Tuanku Labai, putra asli Batu Gading, sosok yang cerdas tamatan Pondok Pesantren ternama di Agam, setelah tamat Diploma, ia menetap di kampung sebagai guru mengaji dan baru menikah setahun yang lalu dengan anak bako.[2] Bernama Santi, yang saat ini
“Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.”----Hari ini Pakan Rabaa sangat ramai banyak orang berjualan di los-los. Pembeli juga banyak dari biasanya, ada yang memang berniat untuk belanja ada pula yang hanya datang untuk bermain saja mencuci mata bahkan ada yang sekedar sarapan pagi makan lontong sayur di kedai Kak Meri. Rasanya yang legit berpadu dengan kuah tauco memang menggugah selera. Meskipun tempatnya kecil, hanya ukuran 4 x 3 sentimeter. Namun, orang antri hendak makan di sana. Begitu pula dengan dua orang perempuan itu, mereka beasal dari Batu Gading. Mereka juga sedang menikmati makan lontong di sana. Sembari makan, mereka bercerita tentang kejadian yang sempat menggegerkan seantero Nagari, yaitu tentang kematian Wali Nagari Baru.“Masa iya? Pak wali yang sehat bugar itu tetiba aja sakit, sedang bicara di podium lagi, banyak orang yang menyaksikan.” Seorang gadis yang berselendang biru memulai otanya.[1]&l
“Perselisihan dalam keluarga seperti Pariuak dengan sanduak Jika Tidak berselisih maka tidak akan ada rindu” 🌹🌹🌹 Ketika sampai di rumah, Mak Saidah menjadi bersemangat naik tangga hendak menemui Maiza. Mulut orang tua itu, mengeluarkan sumpah serapah yang tidak habis-habisnya untuk si pemetik lado. “Kalera!”¹ “Hidup dengan orang seperti benalu, tapi menggigit pada induk semangnya.” “Ular berbisooo!” “Cucuku … cucuku yang malang sekali.”
“Lebaran bukan hanya tentang kue atau baju lebaran, tetapi juga tentang silaturrahmi”🌹🌹🌹Menjelang Ramadhan, sudah delapan kali panen cabe menghasilkan laba, rata-rata lima karung lima puluh kilogram, pokok ladang telah pulang pengganti pupuk dan pestisida. Setelah hampir dua bulan, kini Pakiah dan Maiza memetik buah penghabisan.Selasa pagi, hari ke dua puluh tiga bulan puasa, Pakiah sudah bersiap ke ladang cabe, Maiza dan dua anaknya menyusul di belakang. Kali ini tidak mengupah orang untuk membantu panen hanya membawa anak dan bininya. Mereka berempat berjibaku menjelang zuhur. Anton dan Rayya bermain dengan bahagia, berkejar-kejaran di antara pesawangan, gelak tawa berderai, tidak ada intimidasi.
“Amak sudah pergi, Ayah juga tiada. Kemana lagi badan hendak ditumpangkan?”Sangat terasa bagi Pakiah menjadi orang terasing, pergi minum ke lepau seperti seorang sendiri, padahal banyak bapak-bapak yang hadir, tetapi Pakiah tak dibawa serta dalam obrolan mereka. Hanya sekali dia pergi ke sana, setelah itu lebih banyak santai di rumah.Begitu pula dengan Maiza lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Malas bertemu orang sebab enggan digunjingkan, ia menjadi tipis telinga, setiap amak-amak berkumpul membicarakan masalah anak atau keluarga Maiza hanya lewat saja. Dia merasa mereka sedang membicarakan dirinya. Akibatnya tetangga sudah menjauh tidak ada siapa pun yang datang bertamu.Penghasilan ladang mereka merosot tajam sebab tak tertangani oleh Pakiah sendiri, tidak ada orang yang mau diupah untuk mengolahnya, masyarakat nagari mengasingkan mereka. Ladang sudah rimbun menjadi parak ilalang, rumput saruik