“ Langgengnya sebuah hubungan disebabkan karena saling jujur dan terbuka”
Hari-hari Maiza tidak seperti sebelumnya, ia seperti orang yang sedang kalimpasingan, tidur gelisah duduk resah berjalan pun gundah hatinya, wajahnya yang elok berubah murung, sudah seminggu larut dalam pikirannya sendiri. Sampah bekas makanan anak-anak belum dibersihkan. Dapur juga diabaikannya tidak sekali dua kali piring kotor menumpuk dalam panci.
Pakaiannya tampak lusuh karena sudah dari kemarin dikenakan, kodek bermotif batik yang membentuk di pinggangnya juga sudah kotor oleh tumpahan minum Rayya. Hal yang dilakukan Maiza hanyalah berkurung diri dalam bilik atau bercengkerama dengan kedua anaknya. Pakiah yang melihat perubahan mood istrinya menjadi ikut kebingungan juga. Tak pernah ia melihat orang yang disayanginya itu begitu hilang akal. Hal yang membuatnya semakin tidak paham adalah istrinya itu diam saja tidak menceritakan apa-apa.
Perempuan yang sudah mendampinginya selama delapan tahun itu biasanya rajin bersih-bersih. Tidak satupun debu yang luput dari sapuannya. Perempuan yang sangat memperhatikan kebersihan dirinya tampak acak-acak dengan rambut yang diikat tanpa disisir, kulit di bawah mata juga sudah sedikit buram karena kurang tidur. Semula Pakiah berpikir tidak apa-apa, nanti akan kembali berkemas seperti sedia kala. Namun, telah berlalu beberapa hari tidak ada perubahan dari istrinya. Kemudian ia menghampiri Maiza yang sedang berdiam diri di biliknya lantas duduk di samping pembaringan.
"Diak, apo nan tajadi? Ado salah dari Uda?" Pakiah meraba kepala istrinya, membelai rambut kusut yang belum disisir itu.
Pakiah ingin tau penyebab istrinya tidak senang hati lalu memandang istinya dengan harapan berbagi kesusahan dengannya.
Sementara Maiza yang mendengar suara bariton Pakiah seolah-olah bergema di telinga Maiza menggetarkan sanubarinya, tetapi nyalinya menciut hatinya perih seperti luka yang diasami. Maiza tidak siap dengan kenyataan nanti, apabila suaminya tau, bagaimana jika ia ditinggalkan dan anak-anaknya dibawa? tidak akan mampu hidup tanpa Pakiah di sisinya.
“Maiza, ceritakanlah apa yang sudah terjadi? Jangan buat uda bingung.” Pakiah masih berusaha membujuk Maiza yang masih menutup wajahnya dengan selimut.
Usaha Pakiah belum berhasil membuat Maiza buka suara sudah mulai kesal pada istrinya. Ia beranjak keluar dari bilik lalu duduk di kursi rotan tempat Anton dan Rayya bermain. Sedangkan Maiza masih tengkurap sesenggukan di balik bantal, tak kuasa menahan tangan Pakiah untuk tetap disisinya. Hati Pakiah menjadi risau, ia berdiri sambil melihat ke Mak Saidah yang hendak duduk bersamanya.
“Mak, saya mau ke lepau Uwak sebentar,” ujar Pakiah dengan berat.
“Uda ikut dengan Ayah, pergi jajan!” Pakiah mengajak Anton untuk pergi dengannya Anton mengangguk dengan girang.
Tanpa menunggu sahutan dari mertuanya, Pakiah langsung melangkah keluar sambil menggendong bocah itu menuruni tangga kayu. Tujuannya hanya tertuju ke lepau, tempat kaum lelaki terutama yang sudah berstatus bapak-bapak menghabiskan waktu minum kopi dan main domino di sana.
Sementara Mak Saidah yang bermaksud ingin menyampaikan perihal kegalauan yang menimpa Maiza, tetapi niat tak kesampaian karena dia malah menjadi gagap bicara. Pakiah tidak menyadari langsung saja pamit pergi dari rumah. Ada rasa penyesalan dalam dirinya karena sudah menceritakan rahasia keluarga pada putrinya, ternyata sudah membuat hancur hati Maiza. Mak Saidah menatah Rayya ke bilik lalu meminta Maiza memandikan cucunya.
“Maiza, Rayya bau sekali, mandikanlah! Mau ngapain kamu setelah itu, terserahlah!" ketus Mak Saidah yang juga tidak tahan melihat anaknya.
Maiza bangkit dari tidur ayamya, meraih tangan Rayya dan membuka baju balita empat tahun itu. Rayya yang merasa bahagia dimandikan ibunya sambil bernyanyi Aku Anak Sehat dengan polosnya.
“Za, tidak ada gunanya marah pada Amak, menurutmu saya suka? Tidaaak."
Mak Saidah berkata di sela-sela keheningan mereka. Maiza hanya terdiam pelan-pelan menggigit bibir untuk menahan sabak hatinya, menahan hujanan air mata. Namun, tangannya masih sigap mengguyur tubuh Rayya yang masih berbusa. Sudut matanya melihat Mak Saidah yang mulai mengusap mata.
“Ya, Mak. Za juga berusaha.” Maiza menjawab dengan suara berat.
“Jangan seperti tadi ke ayahnya anak-anak nanti dia marah, semakin bertambah pula masalahmu” ujar Mak Saidah menasihatinya.
Maiza hanya menunduk kala mendengar amaknya bicara, ada rasa sesal yang timbul setelah Pakiah pergi.
“Biar nanti Za bilang sama Uda yang sebenarnya, Mak. Moga dia mengerti!” Maiza bertekad memberitahu suaminya karena sudah pasrah menerima tanggapan Pakiah nantinya.
***
Di halaman rumah gadang, Mak Uwo Tini dan Mukhtar Palindih Kayo sedang mondar-mandir, ragu-ragu ketika hendak menaiki rumah. Kebetulan Maiza melihat keluar jendela menyaksikan gelagat mereka yang aneh.
“Eh, Mak Etek … Mak Uwo, masuklah. Ngapain berdiri di sana?” Maiza berbasa-basi pada saudara ibunya tersebut. Mereka pun bergegas menaiki anak tangga dan masuk ke rumah, Mak Uwo Tini yang berada di urutan akhir langsung menutup pintu.
“Assalamualaikum.” Suara Mak Etek Palindih menjadi berwibawa.
"Mana Pakiah?” tanya Mak Etek Palindih pada Maiza.
“Ke lepau tadi, Mak Etek,” jawab Maiza singkat.
"Amak mana, Za?" tanya Mak Uwo Tini.
“Lai di dapur!” jawab Maiza sambil menunjuk Mak Saidah yang menyuapi Rayya di dapur.
“Maaak. Naiklah, ada Mak Uwo.” Maiza memanggil amaknya, Mak Saidah pun bergabung bersama. Mak Uwo Tini adalah saudara sepupu dengan Mak Saidah. Orang tua keduanya kakak beradik.
“Mak Saidah, ketika itu Palindih datang ke rumah. Bercerita kalau kamu menolaknya, kenapa kamu tidak mau membantu?" tanya Mak Uwo Tini.
“Uni, tolong apa menurut Uni? Ia yang bercakak, saya dibawanya serta,” jawab Mak Saidah pada kakak sepupunya.
“Sayakan sudah berjanji pada Uni. Tak akan ingkar, percayalah!” Mukhtar Palindih Kayo memotong pembicaraan.
Sementara Maiza yang sudah tidak sabar bergabung terburu-buru dari dapur, tangannya hanya membawakan gelas dan cerek yang berisi air putih.
“Jadi … ini tujuan ketika Mak Etek pulang?” tanya Maiza tanpa basa basi.
“Nakan, ini kesempatan terakhir buat mamakmu, kalau tidak Mak Etek diusir dari rumah oleh etekmu," jawab Palindih dengan raut kesal.
Mendengar jawaban dari Mak Eteknya, Maiza juga berbalik kesal.
“Itu kan masalahnya, Mamak.”
Akhirnya mereka beradu mulut, tidak mau kalah saling menganggap benar pendapatnya sendiri. Perbincangan mereka menjadi sangat alot, Maiza dan ibunya bersikeras hendak membinasakan panaruah. Sedangkan Mak Uwo dan Mak Eteknya ingin menggunakan barang itu untuk mengalahkan lawan politiknya. Tanpa mereka sadari seseorang mendengarkan pembicaraan itu di balik pintu.
Tak lama kemudian terdengar panggilan anak kecil.
“Ayah, marilah. Apa namanya ini, Yah?” tanya Anton pada ayahnya agar melihat kulit kumbang di halaman.
Pakiah yang sudah cukup lama berdiri membuka pintu dengan lebar. Mak Saidah, Mak Uwo Tini, Mukhtar Palindih Kayo terperanjat melihat keberadaan urang sumando, menantu di rumah gadang. Tak terkecuali Maiza, ia menatap Pakiah dengan wajah pias, tidak tahu harus berkata apa suaminya sedang ada di depan matanya.
Bersambung.
Catatan:
¹. Dik, apa yang terjadi? Adakah salah Uda padamu?
----
Terima kasih sudah mampir di cerbungku, moga terhibur.
“Berbaiklah saat ini dengan saudarakarena mereka adalah tempat kamu mengadu di masa depan.”🌹🌹🌹“Pakiah …,” ujar Mak Uwo Tini, Mak Saidah dan Mak Palindih serempak berdiri.“U--da, dah lama U--da di sana?” tanya Maiza gagap, ia menelan saliva membasahi tenggorokan yang kering.Sementara Pakiah masuk ke dalam rumah, duduk dengan tenangnya lalu bersikap bijaksana padahal amarah membara dalam jiwa. Wajahnya memerah dari biasanya, sorot mata yang tajam seakan akan memotong-motong lawan bicara. Melihat suaminya tidak menanggapi, ia beranggapan kalau suaminya tidak mendengar pembicaraan mereka. Kemudian Maiza beranjak ke dapur, membuatkan secangkir teh.
“Akar penyakit adalah hati yang kurang bersyukur."🌹🌹🌹Usai perdebatan yang terjadi tempo hari dengan Mak Palindih dan Mak Uwo Tini, Pakiah mengajak Maiza pergi jalan-jalan, tujuannya ke Pakan Rabaa. Tiga lembar uang bergambar monyet berjuntai diberikan pada istrinya untuk belanja. Maiza sangat bahagia dengan sikap Pakiah yang kembali ramah, tidak kaku seperti sebelumnya.“Uda, adik minta maaf soal kejadian kemarin.” Maiza menyalami punggung tangan Pakiah.“Sudah uda maafkan. Sekarang ayo kita bawa anak bermain. Biar dapat angin segar. Cepatlah berkemas.” Pakiah menyuruh Maiza bersiap-siap.Kemud
“Kasih orang tua sepanjang masa, Kasih anak sepanjang jalan ke surgayaitu doa anak yang saleh” 🌹🌹🌹Perawat membawa Rayya ke ruang penanganan. Maiza dan Pakiah juga ikut serta. Maiza sangat tersiksa melihat Rayya terbaring di kasur yang beralaskan perlak selebar satu meter itu. Tubuh mungil yang tergolek lemas karena suhu tubuhnya masih panas, jari-jarinya yang kecil terkulai di tepi ranjang. Ibu siapa yang tidak teriris melihat putrinya yang semakin pucat. Naluri keibuan mengatakan, biarlah ia menjadi pengganti, tidak tahan melihat Rayya yang menderita.Perawat datang bersama seorang dokter muda. Langkah mereka cepat sehingga hentakan sepatu yang keras membuat lantai semen itu mengeluarkan lengkingan.&ld
“Orang munafik, manis di luar, busuk di dalam.”🌹🌹🌹Mendekati waktu senja Maiza dan Anton telah sampai di Pakan Rabaa. Tidak ada lagi oto cigak baruak yang mangkal. Alamat ia dan anaknya berjalan sejauh tiga kilometer. Ketika azan Maghrib berkumandang, Maiza dan anaknya masih melatih kaki untuk kuat berjalan. Ketika seperempat jalan sudah ditempuh mereka berpapasan dengan Tukang Angkat yang mengendarai becak, si Tukang Angkat menawarkan Maiza dan Anton pulang bersama. Maiza menjadi lega dia tidak sendiri di kegelapan yang hanya ditemani remang-remang cahaya bintang.Sesampainya di rumah, disambut oleh Mak Saidah. Perempuan tua itu tidak melihat keberadaan menantu dan c
“Harta yang didapatkan dengan jalan menzalimi tidak akan berkah”---Di Batu Gading, nagari yang terletak di kaki gunung dekat ke Pakan Rabaa. Nagari Batu Gading menjadi perlintasan, jika mau ke kampung Rayya mesti melalui nagari ini dulu. Di sana tepat di pinggir jalan terdapat kantor urusan Nagari. Sekarang sedang ramai dikunjungi oleh penduduk, mereka menanti keputusan sidang tentang siapa yang akan menjabat sebagai Pak wali berikutnya.Sidang yang sedang digelar dalam gedung sederhana Balai Kerapatan Adat Nagari (KAN) berlangsung dengan alot, setelah lima calon peserta PILWANA[1] yang berkompetisi, hanya dua orang yang lolos dalam seleksi. Mereka adalah Syaiful Tuanku Labai, putra asli Batu Gading, sosok yang cerdas tamatan Pondok Pesantren ternama di Agam, setelah tamat Diploma, ia menetap di kampung sebagai guru mengaji dan baru menikah setahun yang lalu dengan anak bako.[2] Bernama Santi, yang saat ini
“Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.”----Hari ini Pakan Rabaa sangat ramai banyak orang berjualan di los-los. Pembeli juga banyak dari biasanya, ada yang memang berniat untuk belanja ada pula yang hanya datang untuk bermain saja mencuci mata bahkan ada yang sekedar sarapan pagi makan lontong sayur di kedai Kak Meri. Rasanya yang legit berpadu dengan kuah tauco memang menggugah selera. Meskipun tempatnya kecil, hanya ukuran 4 x 3 sentimeter. Namun, orang antri hendak makan di sana. Begitu pula dengan dua orang perempuan itu, mereka beasal dari Batu Gading. Mereka juga sedang menikmati makan lontong di sana. Sembari makan, mereka bercerita tentang kejadian yang sempat menggegerkan seantero Nagari, yaitu tentang kematian Wali Nagari Baru.“Masa iya? Pak wali yang sehat bugar itu tetiba aja sakit, sedang bicara di podium lagi, banyak orang yang menyaksikan.” Seorang gadis yang berselendang biru memulai otanya.[1]&l
“Perselisihan dalam keluarga seperti Pariuak dengan sanduak Jika Tidak berselisih maka tidak akan ada rindu” 🌹🌹🌹 Ketika sampai di rumah, Mak Saidah menjadi bersemangat naik tangga hendak menemui Maiza. Mulut orang tua itu, mengeluarkan sumpah serapah yang tidak habis-habisnya untuk si pemetik lado. “Kalera!”¹ “Hidup dengan orang seperti benalu, tapi menggigit pada induk semangnya.” “Ular berbisooo!” “Cucuku … cucuku yang malang sekali.”
“Lebaran bukan hanya tentang kue atau baju lebaran, tetapi juga tentang silaturrahmi”🌹🌹🌹Menjelang Ramadhan, sudah delapan kali panen cabe menghasilkan laba, rata-rata lima karung lima puluh kilogram, pokok ladang telah pulang pengganti pupuk dan pestisida. Setelah hampir dua bulan, kini Pakiah dan Maiza memetik buah penghabisan.Selasa pagi, hari ke dua puluh tiga bulan puasa, Pakiah sudah bersiap ke ladang cabe, Maiza dan dua anaknya menyusul di belakang. Kali ini tidak mengupah orang untuk membantu panen hanya membawa anak dan bininya. Mereka berempat berjibaku menjelang zuhur. Anton dan Rayya bermain dengan bahagia, berkejar-kejaran di antara pesawangan, gelak tawa berderai, tidak ada intimidasi.