“Kamu dimana sih?!” tanya Vincent terdengar marah saat Nuning mengangkat teleponnya. Setelah 99 panggilan sebelumnya ia abaikan.
“Kantor Polisi,” sahut Nuning lugas.
“Hah? Kantor apa? P-polisi?!” pekik Vincent di telepon sampai Nuning harus menjauhkan ponselnya dari kuping. “Dimana itu? Kujemput sekarang. Jangan kemana-mana!” perintahnya, lalu menutup telepon setelah Nuning memberitahu lokasinya.
Nuning ketiduran di pojokan saat Vincent tergopoh-gopoh datang bersama pengacara untuk menjemputnya sejam kemudian. “Ayo pulang,” katanya dengan wajah sedingin es. Lalu melepas jas dan memakaikannya kepada Nuning. “Urusanmu sudah beres. Jangan diulangi. Bisa-bisanya kamu meninju dan menggigit Satpol PP? Emangnya kamu_? Ck. Sudahlah!” cecarnya sebelum menggandeng Nuning menuju mobil.
Nuning memang habis berantem. Orang-orang melaporkan dirinya kepada petugas, mengira ada orang gila lepas dari RSJ Grogol nyasar ke Monas. K
Nuning terpukau begitu mobil yang menjemput mereka di bandara memasuki halaman luas sebuah villa kuno yang katanya punya Opa Daniel, sesepuh keluarga Rain. Ia akan tetap mematung di ambang pintu kalau saja Vincent tak buru-buru merangkul dan menggandengnya masuk. Opa Daniel yang sudah menunggu, menyambut kedatangan mereka dengan senyum hangat kebapakan. “Jadi, inilah istri dari pernikahan rahasiamu itu?” ujarnya kepada Vincent, lalu menoleh kepada Nuning. “Siapa namamu, Nak?” tanyanya sambil mengamati Nuning yang lekas menyebut namanya. “Baiklah, Nyonya Vincent. Selamat datang dan nikmati saja pestanya. Berbaurlah dengan yang lain,” katanya sembari terkekeh pergi. Nuning menggigit bibir begitu melirik hidangan yang sudah tersaji. Perutnya seketika mulai dangdutan ngajak makan. Tapi ia harus bersabar karena menunggui Vincent yang sedang berbasa-basi dulu dengan orang-orang. Tak peduli berapa kali Nuning telah menyebut namanya, mereka selalu tanya lagi karena cepat lup
Opa Daniel menyampaikan pidato ulang tahunnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku bangga dengan pejuangan kalian hari ini, anak-anak, cucu-cucuku, dan semua menantuku. Kalian semua pemenangnya, nggak ada yang kalah dalam permainan tadi... kecuali mereka yang menyerah. Dan seperti itulah pernikahan. Kalian hanya akan menang jika bisa melaluinya hingga akhir, kala maut memisahkan. Ketiga misi tadi menggambarkan rangkaian proses pernikahan yang sedang dan akan kita lalui. Analogi dari misi pertama, persis menggambarkan kondisi kalian di awal-awal pernikahan. Antar pasangan mungkin masih perlu waktu untuk saling mengenal lebih baik di tahap ini. Akan ada banyak pertanyaan yang bisa memicu persoalan, tapi percayalah, jawaban demi jawaban atas persoalan antara kalian itu akan muncul dengan sendirinya di tengah jalan. Kalian hanya perlu bersabar melaluinya bersama-sama. Saling terbuka dan saling percayalah. Cobalah saling mengisi kekurangan satu sama lain. Misi kedua, menggambar
Jaka menjemput Nuning di bandara Radin Inten seorang diri. Lalu mengadu banyak hal kepada Nuning tentang semua kekisruhan yang menimpa persiapan pernikahannya sembari nyetir. “Ujianku buat nikahin Erna kok banyak banget tho ya?” keluhnya terdengar lelah. “Salah sendiri mau nikahin dia. Balikan lagi aja sama aku, kan aman...” ledek Nuning bikin Jaka senewen. Nuning jadi ngiri melihat semangat perjuangan Jaka yang tiada habis demi Erna. Mulai saat ini, dia nggak boleh baper lagi sama Jaka. Sebab Jaka sudah menarik batas yang tegas. Hubungan mereka sudah sangat jelas. Mantan, tapi tetap teman. Tanpa secuil pun perasaan yang tertinggal. "Setelah ini, apa rencanamu? Mau balik ke Jakarta lagi, apa menetap di kampung?" tanya Jaka mengganti topik setelah curcol panjangnya. "Entahlah. Tapi aku kepikiran ingin jadi youtuber." Jaka ketawa lirih. "Youtuber apaan?" Akhirnya kepo juga. "Youtuber tukang makan-makan." Lalu Nuning menceritakan tentang koleksi
Meski Jaka sudah minta maaf dan pada akhirnya mengembalikan Nuning secara baik-baik, Pak Priyo dan Bu Parmi masih belum bisa terima. Apalagi setelah itu si mantan mantu langsung siap-siap menikah dengan Erna, anaknya Pak Botak yang masih satu kampung dengan mereka. Kalau Jaka nikah dengan orang jauh sih mereka nggak akan semalu ini. Hal itu serasa mencoreng-moreng wajah mereka dengan arang yang paling kelam. Harga diri mereka sebagai orangtua Nuning bagai diinjak-injak dan diringsek sampai habis. Tiada yang tersisa dalam hati Bu Parmi selain kemarahan. “Huh. Dasar si Botak matre... mau terima Jaka jadi mantunya karena udah sukses aja sekarang. Coba dulu? Saat Jaka masih jadi orang susah? Emangnya dia mau kalau anaknya dikasih mas kawin tiket Damri kayak anak kita dulu?” Bu Parmi diam-diam masih menyimpan dendam kesumatnya. Kenyataan kalau puteri mereka sebenarnya telah diceraikan Jaka sejak 5 tahun lalu tersebar cepat ke seantero kampung. Jadi berita paling nge
Nuning sedang mempersiapkan kebayanya yang cantik buat kondangan ke nikahannya Jaka besok. Nggak peduli Bu Parmi dan Pak Priyo ngamuk-ngamuk melarang. “Jangan merendahkan dirimu sendiri, Nduk! Ngapain datang ke nikahannya mantan?! Emak tuh capek dengerin gosip tentang kalian yang nggak ada udahnya! Kedatanganmu besok paaaassti jadi gosip besarrrr!” cegah Bu Parmi sambil kipas-kipas bukan karena gerah, tapi karena hatinya masih panas! Kesal anaknya selalu kebagian jatah digosipin yang jelek-jelek. Sementara Jaka dan Erna kebagian bagusnya. “Kalau tau bakal gini jadinya, mati-matian bakal kucegah kalian biar nggak nikah!” omel Pak Priyo berapi-api. Kedua orang tua itu tiba-tiba saling lirik. Seakan terkoneksi dalam obrolan tanpa suara. Lalu tersenyum licik sambil manggut-manggut. Lalu melipir ninggalin Nuning buat menuntaskan misi terakhir. "Jadi, apa rencanamu sekarang, Pak?" desak Bu Parmi sambil menyingsingkan lengan bajunya, siap diaj
Sekeras orangtuanya melarang, sekeras itu pula niat Nuning menghadiri penikahan Jaka dengan Erna. Masa bodoh semua orang memandanginya dengan canggung saat ia baru tiba dan memasuki tenda. Tapi Nuning sudah berbesar hati dan nggak ambil peduli mau dikatain apa lagi. Toh urusannya dengan Jaka udah kelar. Dia datang ke sini sebagai sahabat, bukan mantan. Padahal orang-orang memandanginya karena kaget melihat perubahannya yang semakin cakep dan stylish. Belum lagi jam tangan emas berlapis berlian yang dipakainya, kelihatan kayak asli padahal emang asli. Kalau orang-orang kampung tahu itu emas dan berlian asli, pasti pada semaput. Kehadiran Nuning di tengah-tengah tenda biru itu sukses mencuri perhatian. Dirinya terlihat begitu elegan dalam balutan kebaya yang sewarna dengan jam tangan cantiknya, juga tas dan sepatu mahal keluaran brand international yang dibeli langsung dari Italia. Tapi kasak-kusuk orang-orang yang semula sibuk ngomongin Nuning berubah jadi me
Jaka udah curiga sejak kapan tahu pernikahannya hari ini bakal disabotase. Tiba-tiba saja penghulunya menghilang tanpa kabar. Sementara bapaknya Erna nggak pede buat nikahin anaknya sendiri, tapi ogah nyerahin perwakilannya ke Wali Hakim. Jadwal akad nikahnya jadi molor jauh dari waktunya. “Kita tunggu sampai penghulu datang!” kata bapaknya Erna sok tenang. Padahal keringetnya lagi banjir ngeliat tenda birunya udah penuh sama orang-orang yang kepingin menyaksikan pernikahan sakral ini. Undangan yang datang membludak diluar dugaan. Soalnya orang sekampung telanjur kepo. Soalnya drama pernikahan puterinya ini berbalut rumor yang kerap melibatkan kisah masa lalunya si calon mantu dengan si mantan. Ibunya Erna mohon-mohon kepada si bapak supaya memberanikan diri nikahin anaknya, soalnya penghulunya nggak datang-datang padahal udah menjelang siang. Bapaknya Erna kekeuh nggak mau. Tapi karena tamunya udah pada ngumpul ramai, Pak Botak nekat maju juga. Ngomongnya jadi berbe
Nuning memegangi jantungnya yang nyaris melompat ke langit saking senangnya. "Vincent? Betulan ini kamu?" tanyanya yang tak perlu, sebab dari desah napasnya saja, Nuning tahu ini memang dia. "K-kamu di Milan kan?" tanyanya. Lalu terdengar suara tawa merdu Vincent yang rasanya sanggup merontokkan seluruh bulu keteknya yang lupa belum dicabutin."Iya, aku masih di Milan. Kamu?"Nuning tersenyum sembari berjalan menjauhi janur kuning yang melambai-lambai di belakangnya. Kalau si janur bisa ngomong, pasti udah manggiin dia, 'Woooy jangan kabur! Tanggung jawab lo, udah bikin rusuh pernikahan mantan!'"Aku sekarang di kampung. Ehm, ada apa meneleponku?" jawab Nuning masih dengan senyumnya yang malu-malu senang. Jantungnya masih terasa jeladugan tak menentu.Tapi kemudian, jantungnya serasa berhenti berdetak saat terdengar suara perempuan lain dalam telepon Vincent, tapi itu bukanlah suara Nyonya Rose..."Sayaaang, ayo lekas