Erna tersenyum melihat Jaka keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambutnya yang basah sehabis keramas. Diam-diam Erna berpikir cedera dan rasa sakit dialaminya sekarang terasa sepadan. Sebab dengan begini, pria yang dicintainya itu selalu berada di sisi. Jaka merawatnya dengan sangat baik sejak hari pertama ia dirawat karena kecelakaan.
Erna menyesal pernah menampar dan memutuskan Jaka karena dibakar cemburu. Demi Tuhan, bukan itu yang ia inginkan. Anggap saja aku tak pernah melakukannya... Ia ingin merajut kembali hubungan mereka dalam kesempatan ini.
"Enak ya keramas siang-siang, segar?" tegur Erna dengan senyum lebar.
Jaka membalasnya dengan senyum tipis. "Sudah makan?" Lalu mengecek meja yang dipenuhi makan siang Erna yang masih utuh. "Gimana mau cepat sembuh kalau makan aja malas kayak gini," gumamnya sambil membuka satu per satu plastik wrap dari piring dan mangkuk-mangkuk Erna. Lalu menuangkan sayur dan lauk pauk untuk
Bu Parmi manyun memandangi makanannya. Sama sekali nggak selera. "Masakanmu nggak enak!" omelnya kepada Nuning yang ngelap keringet, gempor ngurusin emaknya yang super cerewet. "Ya wajarlah nggak enak .... Kan belum boleh pake garam," oceh Nuning sambil mengambil alih piring dari tangan Bu Parmi lalu menyuapinya. Bu Parmi mangap, bukan untuk makan, tapi buat ngomong. "Jaka mana sih, kok nggak kelihatan? Harusnya kan dia di sini ..." gumamnya. Lalu mingkem ogah disuapin. "Jaka lagi ngurusin Erna," jawab Nuning cepat, dan secepat itu pula Bu Parmi memegangi kepalanya. "Kenapa kamu biarin pelakor itu dekat-dekat sama suamimu sih?" "Siapa yang pelakor?" "Erna!" "Dia bukan pelakor, Mak .... Dia itu calon istri Jaka!" "Maksudmu, kamu rela dipoligami?" "Siapa yang rela dipoligami .... Aku dan Jaka udah cerai kok!" "Cerai gundulmu! Aku nggak ingat kalian pernah cerai, bohong kamu!" Bu Parmi mewek terus nan
Erna menggeleng saat Jaka pamit mau berangkat ke Jakarta. "Tapi aku kan masih sakit," rengeknya dengan air mata berlinang. "Pekerjaan kan bisa kamu urusi dari sini, apa gunanya si Doni asistenmu itu? Suruh aja dia." "Ada hal-hal yang nggak bisa diurusi sama Doni. Aku harus ke Jakarta malam ini, besok pagi ada rapat penting dengan investor. Sebagai owner aku harus datang. Ayolah, Er ... Kamu tahu sendiri soal ini, kan? Mestinya aku nggak perlu jelasin, kamu pasti udah tahu," tegas Jaka tak ingin dicegah. Erna manyun. Dia sebenarnya paham, tapi ingin sekali-kali bersikap egois. Ingin menjadi prioritas Jaka yang nomor satu. Sementara Jaka masih menahan diri, padahal ingin segera mempertegas hubungannya dengan Erna yang baginya sudah berakhir pagi itu, saat Erna memutuskannya. Perasaannya terhadap Nuning yang semula samar dan abu-abu pun sudah terkuak jelas. Ia ingin rujuk dengan Nuning. Tapi tak tega membahasnya dulu, mengingat kondisi Erna yang belum pulih sep
Jaka mengendarai mobilnya menuju rumah Nuning, menjemput Bambang yang sudah siap menunggunya di teras. Jaka keluar mobil untuk menyapa Bu Parmi dan Pak Priyo. "Saya ke Jakarta dulu ya, Mak... Pak..." pamitnya sambil menjabat tangan kedua orang tua itu dengan hormat. Lalu mencari-cari sosok Nuning dengan tatapannya yang memindai ke dalam rumah."Hati-hati di jalan ya. Semoga lancar semua urusanmu di Jakarta," ujar Bu Parmi sambil mengusapi pundak Jaka."Terima kasih doanya, Mak. Emak juga semoga lekas sembuh," jawab Jaka dengan tersenyum."Yuk, berangkat," kata Bambang sambil membuka pintu mobil.Jaka menganguk lalu melongok ke dalam rumah. Tersenyum melihat Nuning yang baru muncul, berpakaian rapi dengan sebuah tote bag di bahunya. "Aku ikut," kata perempuan itu sebelum Jaka sempat bertanya. Membuat Jaka tambah berseri-seri, senang Nuning mengantarnya ke bandara.Sepanjang perjalanan, Jaka yang duduk di sebelah Bambang tak hentinya mena
"Selamat malam, Nyonya Vincent? Saya Suryo. Saya ditugaskan langsung oleh Tuan Vincent sebagai sopir Nyonya selama di Jakarta," sapa seorang bapak-bapak berpakaian safari yang menjemputnya di bandara. "Selamat malam, Pak Suryo. Iya, Vincent juga sudah menelepon saya tadi, katanya Bapak sudah menunggu. Kayaknya saya pernah melihat Bapak?" "Kita pernah bertemu sekali, dulu saat saya menyopiri Tuan untuk menjemput Nyonya di kantor polisi." "Ohh, iya..." "Apakah ada kopor atau barang bawaan lain yang bisa saya bawakan, Nyonya?" "Nggak, saya cuma bawa tas ini aja," jawab Nuning sambil mengedikkan bahunya yang sedang mencangklung tote bag. "Baik, Nyonya. Kalau begitu, saya ambil mobil dulu." "Oke, saya tunggu di depan," jawab Nuning. Kemudian bergegas menuju area penjemputan kendaraan pribadi sambil memindai sekitar dengan tatapannya yang cemas. Pikirannya gelisah selama menunggu Pak Suryo. 'Jangan sampai ketemu Jaka.
"Apa yang sudah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia ...." ujar Nyonya Rose lirih, tapi Nuning bisa merasakan ketegasan dalam suaranya. "Aku menentang perceraian kalian. Sudah cukup, anggap saja aku tak pernah mendengar tentang ini," pungkas Nyonya Rose. Nuning menunduk karena udah mentok ide. 'Gawat... Kenapa jadinya serumit ini sih! Padahal Jaka sudah bilang ingin menikahiku. Aku juga menginginkannya. Aku nggak akan mengkhianatinya. Tapi, gimana ini?' Aha! Tiba-tiba saja Nuning punya ide cemerlang. "Tapi, Ma. Apakah itu akan tetap berlaku jika saya... mandul?" Ucapannya bagai bom atom yang meluluhlantakkan Nyonya Rose dengan keterkejutan hebat. Punggungnya yang terbiasa tegap seketika melunglai. Mleyot di sandaran kursi. Tekadnya yang tadi menyala-nyala pun meredup, nyaris padam. "Aku memang ibu yang buruk..." ujarnya dengan menunduk sambil memijiti kening. "Padahal, Vincent anak yang sangat baik. Sejak kecil dia jaran
Vincent tersenyum seraya melambai-lambaikan tangannya di layar."Ngapain malam-malam gini menghubungiku? Udah jam 12 nih," dengus Nuning menutupi rasa canggungnya. Tak menyangka bisa melihat Vincent lagi setelah sekian lama. Sinyal di Jakarta bagus, sehingga gambar videonya menjadi jelas dan suaranya pun jernih terdengar.Vincent terkekeh. "Di sini belum selarut itu, kok .... Waktu di Milan kan lima jam lebih lambat dari Jakarta," katanya membela diri. Lalu terdiam dan menatap Nuning dengan boxy smile-nya khas.Nuning jadi kikuk dipandangi sedemikian rupa. "Apaan lihat-lihat?" ujarnya mulai tersipu."Nggak boleh?" goda Vincent dengan menajamkan tatapannya. Membuatnya semakin tampan."Nggak!" Nuning buang muka. Takut tergoda."Dih... Emang kenapa?" Vincent tertawa lirih. Suaranya masih saja merdu dan membius.'Duhai hatiku ... tenanglah ... Dia memang tampan, tapi kau sudah punya Jaka! Jangan serakah, dong!' Nuning me
"Maaf Mama nggak bisa mengantarmu ke bandara," ujar Nyonya Rose saat Nuning berpamitan pulang. "Iya, Ma. Nggak apa-apa. Mama juga kelihatannya masih capek dan butuh istirahat." Nyonya Rose mengangguk dan tersenyum. "Sampaikan salamku buat orangtuamu. Terutama emakmu. Semoga lekas sembuh," ujarnya terdengar tulus. Nuning mengangguk dan balas tersenyum. Lalu masuk ke dalam Camry hitam yang telah menunggunya. "Ayo berangkat, Pak," katanya kepada Pak Suryo. "Nyonya nggak bawa kopor?" tanya Pak Suryo terdengar heran. "Nggak, Pak." Nuning memang sengaja tak membawa barang banyak supaya nggak mengundang kecurigaan orangtuanya di kampung. Toh cuma menginap sehari saja. Nuning dan Bambang kompakan bohong, bilang ke orangtuanya kalau Nuning sedang menginap di rumah kawan lamanya di Kalianda. Orangtuanya percaya karena Bambang bilang dia sendiri yang mengantar Nuning sampai rumah temannya. Sepanjang perjalanan, Nuning tertidur. Sebab dia
Bambang mencolek Jaka yang duduk di sebelahnya. "Yakin, kamu lebih milih cewek model begini ketimbang Erna yang anggun?" bisiknya sambil geleng-geleng melihat Nuning makan kayak orang kesurupan. Meski adiknya, tapi Bambang mengakui kalau tingkah Nuning ini bisa bikin lelaki jadi ilfeel. Untung saja Jaka sudah mengenalnya sejak kecil.Jaka mengulum senyum. "Ya begitulah Nuning, Mas. Kalau nggak gitu bukan Nuning namanya," jawabnya sambil menyendok dua potong rendang sekaligus, lalu meletakkannya ke piring Nuning."Kamu nggak mau, Mas?" Nuning menoleh kepada Bambang.Bambang mengangguk-angguk dengan mata berbinar, tapi Nuning secepat kilat melengos pura-pura nggak lihat. "Enak, tau!" Lalu melahapnya.Bambang menelan ludah keki. Dongkol nggak kebagian rendang. Padahal itu menu incarannya tiap ke rumah makan padang.Jaka tertawa geli memperhatikan tingkah kedua adik-kakak yang suka saling ledek itu. Lalu memanggil pelayan dan meminta tambahan rendang l