"Bapak dan Emak mengenalmu bukan baru kemarin, Jak. Kami tahu bagaimana kamu sejak kecil. Kamu itu anak baik. Kami mempercayaimu. Kami yakin sejak awal, kamu pasti bisa membimbing Nuning dan membina rumah tangga kalian dengan baik," ujar Pak Priyo dalam perjalanan menuju pasar. Jaka sengaja memelankan laju mobilnya agar mereka punya banyak waktu berbicara. "Kami terlalu syok mengetahui kalian bercerai, padahal setahu kami kalian tuh baik-baik saja," lanjut pria berseragam satpam itu.
"Karena itulah, kami berdua mati-matian mencegah pernikahanmu dengan Erna. Agar kamu tetap bisa bersama Nuning. Tapi kemudian," Pak Priyo menghela napas dalam-dalam, "aku baru sadar belakangan ini, kalau itu tidak adil untukmu dan juga Erna."
"Saya sudah memutuskan untuk rujuk dengan Nuning, Pak," sahut Jaka cepat.
"Kamu nggak bisa berpaling dari Erna begitu saja, Jak. Bagi mereka, kamu masih calon menantunya. Bapak juga punya anak perempuan, Bapak mengerti perasaan orangtua Erna se
Erna melirik Nuning dengan sinis. "Dia ... Sengaja ingin membuatku jatuh, Jak. Dia begitu membenciku!" tuduhnya sambil menangis.Nuning terperangah memandangi Erna. "Kau membuatku muak!" bentaknya geram. Muak pada sandiwaranya!"Cukup, Ning!" Jaka balas membentaknya. Nuning balas melotot padanya. Untuk sejenak, mereka saling adu tatap.Jaka kemudian menoleh kepada Erna yang merintih dan menangis. "Ssst, sudahlah. Mana yang sakit, Er?" ujarnya dengan suara yang lebih lembut."Sakit, Jak. Ngilu banget rasanya," kata Erna sembari terisak. Lalu meringis menggigit bibirnya. "Aduh ..."Mengerang sambil memegangi lututnya.Jaka mengusapi rambut Erna dengan kelembutan. Tatapannya menyorotkan kecemasan. "Ayo, kita periksa ke dokter," desahnya seraya membopong Erna dengan wajah kusut. "Maaf. Permisi, Ning," katanya sambil melangkahi kaki Nuning yang masih terduduk di lantai.Jaka sama sekali tak menanyakan keadaannya. Padahal bukan cu
Jaka menelan ludah. Tangannya memang menggenggam erat Erna yang sedang menangis kesakitan, tapi tatapannya tak lepas ke ranjang sebelah. Menatap Nuning yang sedang menggigit bibirnya, menahan sakit tanpa merengek sedikit pun. Jaka akan lebih lega kalau Nuning mengumpat saja. Melihat wanita itu pura-pura tegar sekarang, justru menyakiti perasaannya. Jaka tahu, Nuning tak ingin terlihat cengeng di depannya. Sejak dulu Nuning memang suka gengsi gede-gedean di depannya."Apa lihat-lihat?" omel Bambang kekanakan. Membuat Jaka terpaksa mengalihkan tatapannya kepada Erna yang masih saja menangis saat dokter membuka perban elastisnya, dibantu seorang suster. Lalu Erna menjerit saat dokter yang bertugas jaga hari itu menyentuh lututnya dan memeriksa area sekitarnya."Kebetulan lukanya yang belum sembuh membentur lantai, makanya nyeri. Sabar ya, Bu. Yuk, coba lututnya diangkat sedikit," kata dokter berpapan nama Putri itu sembari membantu Erna menaikkan lututnya ke posisi yang l
Jaka tertegun dengan counterpain di tangan. Melihat Erna nyalang menonton video dalam ponselnya. Namun Jaka tak berniat mencegahnya. Toh, cepat atau lambat Erna bakal mengetahui hubungannya dengan Nuning. Meski bukan cara ini yang Jaka harapkan. Sebisa mungkin, ia tak ingin menyakiti perasaan Erna. Tapi, sudah telanjur."Ini counterpainnya, Er ...." Jaka meletakkannya di meja sambi duduk di tempatnya semula.Erna membeku dalam kediaman yang panjang. Jaga juga diam. Memahami perasaan Erna yang pasti terpukul. Jaka tak ingin membela diri. Siap menerima amukan Erna.Erna meletakkan ponsel Jaka di meja. "Aku mencintaimu, Jak." Akhirnya Erna bersuara. "Sangat," tandasnya. "Kumaafkan untuk kali ini. Anggap aku tak pernah melihat apa-apa," ujarnya demikian mengejutkan."Er, hubungan kita sudah berakhir," ujar Jaka seraya mengambil kembali ponselnya."Tidak. Kita tetap akan menikah," sahut Erna begitu dingin dan keras kepala."Maaf ..
Nuning terlihat begitu cantik dengan kebaya barunya. Dia merias wajahnya sendiri. Toh, dia sudah ahli sekarang. Bisa karena terpaksa, lalu jadi terbiasa. "Cantik banget anakku," puji Bu Parmi di ambang pintu. Menatap Nuning yang sedang memoles sentuhan terakhirnya."Emak juga cantik." Nuning memuji Bu Parmi melalui pantulan cermin. Emaknya memang memakai kerudung untuk menutupi kepalanya yang masih gundul. Tapi wajahnya terlihat sangat segar karena sentuhan make up yang menutupi kerutan tua di wajahnya.Bu Parmi tersenyum dengan tatapan berkaca-kaca sambil mendekati Nuning. "Akhirnya, hari ini datang juga," desahnya lega. Sambil mengusapi pundak Nuning dengan sepenuh kasih. "Kamu layak bahagia, Nduk. Dengan pria yang kamu cintai, dan juga mencintaimu," ujar Bu Parmi lirih bagai rapalan sebuah doa.Nuning ingin menangis, tapi ditahannya, demi make up yang sudah sempurna. Dia tak boleh merusak kesempurnaan hari ini dengan air mata. Dia suda
Nuning melepas cincin dari Jaka, meletakkannya kembali ke dalam kotak Tiffany Blue dan menyimpannya ke laci. Meraih ponsel, lalu menelepon. "Halo, Nyonya Vincent? Tumben meneleponku?" sapa suara bariton di sana terdengar ramah. "Aku kalah taruhan. Jadi, sesuai kesepakatan ... aku akan menjadi pembantumu selama setahun, gratis. Kau tak perlu membayarku sepeser pun. Aku bisa bekerja mulai besok," kata Nuning tanpa basa-basi. Lama tak terdengar suara. Nuning pikir sambungan teleponnya mati. "Halo? Vin? Kau mendengarku?" tanyanya sambil mengecek layar ponsel, ternyata masih tersambung. "Telepon Pak Suryo agar menjemputmu di bandara," jawab Vincent tak seriang tadi. "Oke," jawab Nuning singkat. Mematikan telepon, dan mulai mengemasi pakaian dan beberapa barang pribadinya ke dalam kopor. Terdengar pintu kamarnya berderit, tapi Nuning tak menoleh. Melalui ekor mata, dia bisa menangkap sosok tubuh tambun emaknya memasuki kamar.
Jaka berlari-lari kecil menyusuri lorong Rumah Sakit. Menuju kamar perawatan Erna. "Saya sudah hampir sampai, Pak. Sebentar lagi," katanya, menjawab telepon dari Pak Kun yang terdengar tak sabar menunggunya. "Jak!" panggil bapak-bapak berkepala botak itu sambil melambaikan tangan, di ambang pintu kamar perawatan Erna yang sedang tertutup. "Gimana kondisi Erna, Pak?" tanya Jaka dengan napas terengah usai mengebut dari rumah bibinya menuju ke mari. Pak Kun mengelap keningnya yang berkeringat karena stres. "Lambungnya sudah selesai dikuras. Untung saja obat-obatan yang ditelannya tak terlalu banyak, tapi tetap saja berbahaya. Syukurlah dokter bilang masa kritisnya sudah lewat. Sekarang dia sedang tidur," jelasnya sambil geleng-geleng kepala, mengusir pikiran buruknya yang berandai-andai Erna tak selamat. Bisa-bisanya puterinya itu mencoba bunuh diri untuk kedua kali! "Aaah. Aku bisa gila!" Pak Kun memekik tertahan, sambil mengusapi kepalanya yang b
Pak Suryo sudah menunggu di bandara. Sopir berpakaian safari itu lekas menghampiri begitu melihat kemunculan Nuning. "Selamat pagi dan selamat datang kembali, Nyonya," sapa Pak Suryo seraya lekas mengambil alih sebuah kopor besar dari tangan Nuning. "Ini saja, Nyonya?" tanyanya ingin memastikan. Nuning menjawab hanya dengan anggukan kecil. Nuning terdiam sepanjang perjalanan. Pasrah ke mana Pak Suryo akan membawanya pergi. Vincent sudah mengatur semuanya, di mana ia harus tinggal dan mulai menjalani tugasnya sebagai pembantu gratisan selama setahun ke depan. Tak sampai sejam kemudian, kedua sudut bibirnya berkedut dan menarik segaris senyum saat Camry yang membawanya mulai memasuki kawasan Pantai Indah Kapuk. Nuning tahu ke mana tujuan ini akan berakhir. Mungkin orang-orang sering mendengar pulau reklamasi yang belakangan sering menjadi perbincangan hangat di seluruh negeri. Nah, Nuning sedang menuju kawasan itu, tepatnya menuju sebuah hunian prestisius dengan view
"Ada apa dengan istri saya, Dok? Kenapa dia sebenarnya? Apa sakitnya parah dan berbahaya?" desak Vincent saat sudah berdua saja dalam ruangan dokter Jinot. Vincent was-was, ada apa sampai dokter itu menyuruh perawatnya keluar dulu dari ruangan agar mereka bisa bicara empat mata saja. "Vin," panggil dokter Jinot seraya memandanginya dengan senyum, yang sanggup bikin perempuan tergila-gila melihatnya, untungnya Vincent bukan perempuan. Dia laki-laki normal. Dan laki-laki ini sedang gelisah memikirkan Nuning yang ia temukan pingsan setibanya Vincent di rumah. Mengacaukan kejutan yang sudah direncanakannya. "Katakan saja, Kak," jawab Vincent mengubah panggilannya kepada dokter Jinot menjadi Kakak, sebab mereka memang pernah sedekat itu. Calon kakak ipar tapi nggak jadi... Dokter Jinot berdeham sejenak. Lalu melipat tangannya di meja. Menatap Vincent dengan sorot keseriusan. "Dalam sebulan ini, apakah kau pernah menemui Nuning?" tanyanya membingungkan. "Ka