Share

7. Sah!

“Saya terima nikah dan kawinnya Wahyuning binti Supriyo dengan mas kawin Tiket Damri ke Jakarta dibayar tunai!”

Kepingin rasanya Bu Parmi nutupin mukanya pake gentong. Mestinya ikut lega karena Jaka bisa begitu fasih mengucap akad nikahnya dengan sekali tarikan napas. Kedua saksi pun menyatakan kalau pernikahan itu sah! Sah secara hukum dan agama. Tapi... mas kawinnya itu loh! Bikin Bu Parmi minder sama kasak-kusuk dan tawa lirih mengejek di sekitarnya.

Bu Parmi menyarankan seperangkat alat salat saja buat mas kawinnya kalau Jaka belum mampu beliin emas meski segram. Maklum, pernikahan ini terlalu mendadak dan nggak banyak persiapan. Begitu kelulusan sekolah, Jaka datang ke rumah sama pamannya. Bikin Pak Priyo dan Bu Parmi melongo anaknya dilamar secara tiba-tiba. Meski senang akhirnya Nuning ‘sold out’, diam-diam Bu Parmi sedih kehilangan secepat ini. Bagaimanapun tetap ingin mempersiapkan pernikahan ini sebaik-baiknya, meski dengan dana seadanya.

“Nggak mauuuu!” Nuning kelesotan sambil melolong kayak orang kesurupan tiket. “Mas kawin kok mukena sama sajadah, itu kan aku udah punya. Kayak bakal sering dipake aja.” Lalu malah melet pas ditoyor sama emaknya. “Maunya tiket Damri. Titik!” kekeuhnya.

“Beliin tiket itu kan udah kewajiban Jaka sebagai suami kalau mau boyong kamu ke Jakarta nanti? Ngapain dijadiin mas kawin segala?”

“Beliin alat salat juga kewajiban suami, ngapain dijadiin mas kawin segala? Hayooo??? Udah ah, Emak nggak usah bawel, yang mau kawin kan aku, bukan Emak?! Terserah aku dong minta mas kawin apa!”

Pak Priyo menarik istrinya keluar dari kamar Nuning sebelum emak dan anak itu gebuk-gebukan bantal karena nggak ada yang mau ngalah. Sebelum atap rumah rubuh karena keduanya terus-terusan saling menggonggong. Sebelum rusuh dan ngundang gempa bumi lokal di kampungnya.

Wis tho, Mak... Kalau maunya Nuning begitu mbok ya diturutin aja.”

“Tapi mas kawin macam apa itu, Pak? Masa tiket Damri dijadiin mas kawin siiih. Mau ditaruh mana muka Emak? Pasti bakal diketawain orang.”

“Orang-orang pasti dah nggak pada heran lagi, Mak. Dah pada paham, kalau nggak aneh-aneh ya bukan Nuning namanya.”

“Tapi kan malu, Pak!”

“Lah wong anak kita menikah bukan karena hamil duluan kok malu?”

“Ih, Bapak! Pernikahan itu kan sakral, Pak... Kudunya mas kawinnya juga jangan main-main dong.”

“Yang penting dibayar tunai kan Mak... nggak diutang!”

Pak Priyo pun ampun-ampun dipentungi centong sama Bu Parmi yang mulai darah tinggi.

Seangker-angkernya kumis si bapak, ternyata masih keok juga sama emak-emak berdaster yang lagi kalap.

***

Sebenarnya Jaka pun nggak setuju menjadikan tiket Damri ke Jakarta sebagai mas kawinnya. Otaknya nggak korslet kayak Nuning. Dia masih sedikit waras. “Ning, bukannya aku nggak mau beliin tiketnya, percaya deh. Nggak kamu minta juga aku pasti beliin kok. Kasihan ntar emakmu bisa syok dengernya,” katanya mengingatkan.

Nuning tetep ngeyel. “Kamu kok ngeremehin banget jantungnya emakku sih? Percaya deh, jantungnya emakku tuh kuat. Paling kuat malah daripada jantungnya emak-emak sekampung. Justru jantung emakku bisa copot kalau kita nggak jadi kawin! Makanya kamu nggak usah mikirin soal mas kawin, fokus aja sama akad nikah besok. Lagian soal mas kawin itu kan hakku. Maunya aku dong kepingin apa?” ocehnya bukan tanpa sebab.

Nuning memang sengaja minta dibeliin tiket dengan tanggal keberangkatan yang sudah ditetapkan. Biar orangtuanya nggak punya alasan menahannya berlama-lama tinggal di kampung. Perasaannya kepingin lekas ke Jakarta udah macam orang kebelet pipis gitu. Nah, memangnya ada orang yang sanggup nahan pipis lama-lama?

Sesederhana itulah pikiran Nuning. Tapi bikin Jaka garuk-garuk pantat. Andai aja benerin otak mencengnya Nuning segampang benerin sempaknya yang nyelip.

***

Nuning memang bukan wanita idaman Jaka. Bukan wanita yang memiliki cintanya. Hatinya sudah telanjur nemplok pada Erna. Tapi cintanya pada Erna nggak bisa menolong keluarga pamannya. Sementara, pernikahannya dengan Nuning bisa.

Paman dan bibinya merawat Jaka sejak kelas 4 SD. Mereka orang yang pertama kali mengulurkan tangan saat ibunya bercerai dari ayahnya yang mabok janda. Saat ibunya pontang-panting di Jakarta tanpa pekerjaan, pamannya menjemput dan membawa Jaka ke kampung agar bisa melanjutkan sekolah. Sementara ibunya tetap di Jakarta lalu bekerja sebagai pembantu. Paman dan Bibi mengurusnya seperti anak sendiri.

Sekali saja dalam hidupnya, Jaka ingin jadi pahlawan. Meski sekali saja, Jaka ingin menyelamatkan hidup seseorang, apalagi itu pamannya yang sudah dianggap sebagai ayah kandungnya sendiri. Dan saat ini pamannya terancam masuk penjara atas tuduhan penipuan.

“Kalau rumah dijual, nanti Paman sama Bibi tinggal dimana? Nanti Bibi bagaimana? Senyaman-nyamannya tempat istirahat kan rumah sendiri,” kata Jaka sambil mengusapi lengan bibinya yang diinfus, jantungan gara-gara kasus suaminya.

“Tapi mau gimana lagi? Pamanmu gagal panen semangka, padahal sudah keluar banyak modal. Modal nekat dan pake ngutang pula. Sekarang giliran utangnya jatuh tempo, nggak ada dana buat bayar. Terpaksa harus jual rumah satu-satunya. Tapi rumah belum laku... eh, malah pamanmu dituduh nggak mau bayar, terus diancam mau dipenjarain sekalian. Dimana otak mereka itu coba?!! Memangnya jual rumah segampang jual sembako!” omel bibinya sambil mencak-mencak sampai urat lehernya pada nongol karena kesal. Bikin Jaka celingak-celinguk tengsin diliatin pasien yang lain.

“Sabar, Bi... Sabar,” katanya sambil mendorong pelan bahu bibinya agar kembali rebahan santai, lalu menyelimuti tubuhnya yang kurusan karena stres. Tapi bukannya selow, bibinya malah termehek-mehek nggak peduli jadi tontonan pasien sebangsal. Air mata bibinya tumpah ruah menangisi nasib suaminya. Sampai habis satu box tisu untuk mengusapi air matanya, tangis bibinya tak juga kunjung usai.

Sementara sang Paman semakin hari semakin linglung merenungi nasib. Penjara seakan melambai-lambai menantinya.

Jaka nggak tega melihat Paman dan Bibi yang disayanginya jadi sekacau itu di hari tuanya. Apalagi mereka nggak punya anak yang bakal ngurusin mereka kalau Jakarta balik ke Jakarta nanti.

Lalu pikiran itu datang begitu saja.

“Paman, aku punya warisan dari Bapak. Pakai itu saja buat bayar utangnya.”

“Huss, ngawur kamu. Jangan. Nanti dikiranya Paman merawatmu karena ada maunya. Warisan itu hakmu, buat masa depanmu.”

“Tapi tanpa pertolongan Paman dan Bibi, aku nggak bakal punya masa depan kayak sekarang. Jadi, biarin aja. Nggak usah peduliin omongan orang. Aku ikhlas kok. Toh aku masih muda, masih kuat kerja cari duit. Kalau Paman, sudah saatnya pensiun. Jaka sedih liat Paman kerja keras tapi malah jadinya kayak gini.”

Pamannya mengusapi pundak Jaka dengan trenyuh. “Jak, jangan gadaikan masa depanmu untuk masalah ini. Kamu bisa pakai warisanmu buat yang lain. Percayalah, Paman bisa mengatasinya,” nasihatnya sambil batuk-batuk.

Tapi Jaka justru melihat keputusasaan di mata tuanya. Gimana Jaka bisa percaya?

Kalau Paman dipenjara, terus nanti Bibi gimana? Pikiran itu menghantuinya.

Jaka menghela napas berat. Ngenes memperhatikan wajah tua pamannya yang kian hari kian kuyu karena masalah finansial yang mencekik hari tuanya. Niat tanam semangka biar untung besar kayak orang-orang, kok malah buntung.

“Pakai saja uang warisan Jaka buat bayar utang, paman bisa menggantinya nanti kapan-kapan,” tekadnya tak ingin dibantah lagi.

Berangkatlah Jaka ke Jakarta. Menemui keluarga yang bertanggung jawab mengurusi warisannya. Dia tahu membahas soal ini tak akan mudah, tapi setidaknya dia perlu mencoba. Bagaimanapun ia harus lekas mencairkannya. Tapi, tiba-tiba saja ia teringat hukum dan syarat yang mengaturnya. Warisan itu baru bisa diterima kalau ia sudah berusia 21 tahun atau jika sudah menikah. Sayangnya, ia baru 19 sekarang.

Pikirannya kembali kusut. Terbayangi nasib Paman dan Bibi di kampung yang bergantung pada usahanya sekarang. Dipandanginya langit Jakarta dari halte tempatnya menunggu bis yang akan membawanya menuju rumah keluarga ayahnya di Bekasi. Langit yang mulai diselubungi mendung. Gelap. Segelap pikirannya yang mampet. Sebentar lagi turun hujan. Lalu banjir. Macet. Ruwet. Njlimet. Kondisi klasik ibukota yang cocok dengan masalahnya saat ini.

Jaka pun tersenyum sinis. “Kayak gini kok kamu ngebet banget kepingin ke Jakarta tho, Ning...” gumamnya sambil menunduk. Tapi kemudian ia tertegun mengingat nama itu.

Ide itu pun muncul seketika. Menikahi Nuning!

***

“Hmmm jadi gitu tho ceritanya,” Nuning manggut-manggut saat Jaka menjelaskan alasan pernikahan mereka. “Ya okelah, nggak masalah! Toh kita sama-sama diuntungkan dengan pernikahan ini. Aku dapat tiket ke Jakarta dan kamu dapat warisan. Adil kan?” ucap gadis itu dengan mata berbinar senang. Bikin Jaka linglung beberapa saat. Nggak pernah terbayangkan Nuning bakal menanggapi masalah sebesar ini dengan santainya. Tapi itulah Nuning. Alien kampung yang frekwensinya selalu terhubung dengannya.

 “Terus, gimana sama Erna? Kamu nggak nyoba tanya dia dulu, mau nggak nikah sama kamu?” ledek Nuning sambil cengengesan menang.

Jaka tersenyum kecut. Tanpa perlu tanya Erna dulu pun ia sudah tahu jawabannya. Erna bukan anak kampung biasa seperti mereka. Orangtuanya punya toko mebel yang besar. Semua keluarganya bergelar Sarjana. Erna juga bukan gadis lugu yang mau saja diajak kawin muda seperti umumnya anak gadis di kampung ini. Apalagi dengan pemuda kampung dengan masa depan abal-abal seperti dirinya. Sebesar apapun Erna menyimpan rasa suka padanya, Jaka tahu kalau Erna akan bersikap rasional. Lebih pilih lanjut kuliah ketimbang meladeni cinta monyetnya.

 “Kalau dia mau, terus kamu gimana?” jawab Jaka sambil menyenggol Nuning dengan bahunya. Lalu menoleh mengamatinya yang mendadak diam. Menebak ekspresi Nuning kadang kala sama rumitnya dengan memecahkan misteri si Kolor Ijo.

Nuning tersenyum ringan. “Ya nikah aja sama dia. Aku rapopo.” Lalu tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Jaka. “Nggak ada yang lebih penting bagiku selain perasahabatan kita, Jak.”

Jaka mencebik. “Ngapa kamu nggak kayak gini aja sejak dulu sih, Ning? Kan aku jadi bisa puas-puasin pacaran dulu sama Erna sebelum nikahin kamu.” Lalu minta ampun saat Nuning mencubitnya.

“Menang banyak dong kamu? Enak aja...” omel Nuning sambil menendang Jaka nyebur kali.

Jaka pun nggak mau basah sendirian. Dikejarnya Nuning yang kabur ke tegalan. Tertangkap. Digendong. Lalu nyeburin diri ke kali bareng-bareng sambil tergelak bersama. Menikmati kebersamaan mereka sebagai teman untuk terakhir kali. Sebab esok status mereka akan segera berubah jadi suami-istri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status