Share

5. Tujuan Gelap

“Sebentar.” Edward meminta Erin menunggu sembari mengecek satu per satu catatan yang ada di meja belajar.

Perasaan Erin semakin tidak tentu. Ia takut rencana kepribadian lain dari Edward membahayakan. ‘Apakah aku sudah mengambil keputusan yang benar?’ batin Erin sembari menatap sekeliling. Berapa kali pun Erin menatap sekeliling, suasana mengerikan dari lukisan dan poster yang di dinding tetap terasa nyata.

Edward kembali ke hadapan Erin dengan membawa sebuah kertas. “Jadi ... rencana Alex malam ini adalah taruhan balap liar.”

“A ... apa aku ... yang akan balapan?”

“Entahlah. Hanya tertulis seperti ini saja.” Edward memperlihatkan tulisan yang ada dalam secarik kertas.

“Edward! Buka pintunya!” teriak seseorang dari luar kamar.

Ekspresi Edward terlihat berubah. Aura ketegangan menyelimuti wajah Edward. “Sembunyi!” seru Edward pada Erin.

Erin menatap bingung ke arah Edward. Ia tak mengerti mengapa harus bersembunyi.

“Aku bilang sembunyi!” bentak Edward pada Erin.

Erin langsung mencari tempat untuk bersembunyi. Mata Erin tertutuju pada ruangan yang terbuka. Ia langsung masuk ke sana.

‘Apalagi sekarang Tuhan?’ gerutu Erin sembari berdiri di balik ruangan.

Selama bersembunyi beberapa menit, Erin tak mendengar suara apapun. Ia mencoba keluar dari ruangan untuk mencari keberadaan Edward. Ketika menatap sekeliling, Erin tak menemukan Edward di mana-mana.

‘Aku harus bagaimana?’ Erin menggigit kuku jarinya. Ia ingin keluar dari kamar Edward. Namun tidak mungkin tiba-tiba pergi tanpa alasan. Erin juga tak mengetahui keadaan di luar. Bisa saja berbahaya, karena Edward memintanya bersembunyi.

Klek!

Pintu kamar Edward terbuka. Erin merasa lega orang yang masuk ke dalam adalah Edward.

Brak!

Pintu ditutup kembali dengan kasar. Edward langsung duduk di sofa yang tersedia tanpa mempedulikan adanya Erin. Hal itu membuat Erin mencoba mendekat pada Edward.

“Edward ... apakah ada masalah?” Erin sengaja bertanya untuk memastikan masalah yang terjadi. Karena terdapat luka memar di pipi Edward.

Edward menatap tajam ke arah Erin. “Siapa kau? Sejak kapan masuk ke kamarku tanpa izin!”

Erin tak bergeming. Ia justru sibuk mencerna pertanyaan Edward yang tak masuk akal. Tak hanya itu, Erin menangkap aura yang berbeda dari Edward.

Edward bangkit dari posisinya. “Jawab!”

“A ... aku sejak tadi bersamamu di sini. Kau tadi menyuruhku sembunyi. Aku keluar dari persembunyian karena khawatir.”

Edward menatap Erin dengan intens. Tatapannya seolah-olah ingin menguliti tubuh Erin. Sementara Erin yang ditatap hanya menunduk.

“Apa kau wanita yang kuminta dari Edward?”

Erin mengangguk cepat. Akhirnya Erin bisa mencerna situasi. Rupanya yang ada di depan Erin mungkin Alex yang diceritakan Edward. Namun jika dilihat dengan mata telanjang, tubuh dan wajahnya masih sama seperti sebelumnya. Erin sulit mempercayai jika ada yang bisa berganti kepribadian.

“Mana buktinya?”

Erin segera mencari berkas kontrak kerjanya. Beruntung berkas tersebut tidak dipindahkan dari meja yang ada di sana. Erin segera memberikan pada Edward.

“Kau bisa membacanya di situ, Edward.”

“Namaku Alex. Apa Edward tidak memberitahumu?”

“I ... iya ... maksudku Alex.”

Edward yang telah berganti menjadi Alex, mulai membaca isi kontrak kerja. “Baiklah. Kau harus memenuhi tugas. Tunjukkan kemampuanmu.”

Erin merasa lega. “Apakah Edward sudah menyampaikan pesan padamu?”

Bukannya menjawab, Alex justru pergi ke arah lain. Langkah kakinya terlihat menuju ke kamar mandi. Entah apa yang ingin dilakukan Alex di kamar mandi.

‘Sepertinya yang ini susah ditaklukkan atau diajak bernegosiasi,’ batin Erin menduga-duga. Tak ada yang bisa dilakukan Erin selain menunggu. Ia sudah telanjur menandatangani kontrak, sehingga harus menyelesaikan semuanya sesuai kontrak kerja.

“Pegang ini!” Alex memberikan sebuah wadah yang berisi es batu.

Pluk!

Alex melempar sebuah kain ke dalam wadah yang dipegang Erin. Hal itu menyebabkan Erin terkena percikan air es.

“Rawat lukaku. Aku harus terlihat perfect malam ini.” Alex menyodorkan pipinya yang memar pada Erin.

Erin sempat tertegun melihat pipi Alex cukup dekat dengan wajahnya. Ia kemudian langsung tersadar. Tangannya langsung mencelupkan kain tersebut dalam wadah yang berisi es batu. Ketika merasa airnya tidak menetes, Erin menempelkan pada pipi Alex.

Alex menunggu Erin merawat luka memarnya dengan bermain ponsel. Sesekali Alex tertawa melihat chat konyol yang ada di grup sosial medianya. Tak hanya itu, Alex juga menuturkan beberapa kata umpatan saat tertawa.

‘Gila ini orang! Dia bisa bersantai seperti itu. Seolah-olah tidak merasakan apapun.’ Erin terus menggosipkan Alex dalam batinnya. Ia juga penasaran dengan apa yang dilihat Alex.

“Sudah cukup!”

Erin segera menghentikan aktivitasnya.

“Iblis sudah pergi. Sudah waktunya kita pergi juga.” Alex pergi menuju ke arah lemari.

Perkataan Alex membuat Erin semakin bingung untuk ditanggapi. Entah yang dimaksud iblis adalah yang sebenarnya atau tidak.

“Ini pakai!” Alex memberikan sebuah mini dress berwarna hitam pada Erin.

“Kenapa aku harus berganti baju?”

“Ah! Kau ini cerewet sekali! Kau harus terlihat cantik malam ini.”

Mendengar perkataan Alex, Erin mulai berpikir negatif. “Kau mau membawaku kemana? Kau tidak menyuruhku untuk melayanimu atau orang lain, kan?”

“Apa kau mau begitu?” Alex justru membalikkan pertanyaan lengkap dengan seringaian.

Erin meneguk ludahnya susah payah. Jika benar apa yang dikatakannya, maka ia salah mengambil keputusan. Erin tidak tahu harus bagaimana.

“Ah! Wajah ketakutanmu membuatku tidak berselera. Sudahlah! Cepat ganti baju saja.”

“Aku mau berganti baju kalau kau membuat kesepakatan denganku.”

“Apa? Cepat katakan! Jangan buang-buang waktu! Aku harus segera pergi!”

“Aku ingin mendapatkan gaji besok. Karena ingin membayar pengobatan ayahku.”

“Semua itu tergantung keberuntunganmu malam ini. Kau juga harus menjalankan apa yang aku inginkan.”

“Deal!” Erin mengulurkan tangannya pada Alex.

Alex enggan berjabat tangan dengan Erin. Ia justru pergi ke arah lain untuk mengambil baju yang dikenakan malam ini.

Erin segera pergi ke pintu yang diyakini pintu kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Erin berganti mini dress yang diberikan Alex. Ia tak menyangka jika bagian leher dan bahunya terbuka. ‘Astaga ... kalau seperti ini bisa membuatku masuk angin,’ gerutu Erin di depan cermin kamar mandi.

“Hei! Cepatlah! Lama sekali!”

Pintu kamar mandi terbuka. Di luar dugaan Erin, ternyata Alex sudah berganti baju. Seperti yang dikatakan Edward, Alex terlihat seperti badboy. Alex memakai kaos hitam dengan gambar mengerikan dan rompi yang robek-robek. Tak lupa celana jeans robek-robek. Tatanan rambutnya juga berubah dari sebelumnya.

“Ternyata kau memiliki lekuk tubuh yang indah. Tapi sayangnya ... aku sudah tidak berselera.”

Erin hanya diam mendengarkan ucapan Alex. Ia sudah lelah menebak-nebak apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Alex berjalan menuju pintu kamar. Erin hanya mengikuti di belakangnya.

Di luar kamar nampak sepi. Walaupun ada beberapa orang yang sedang berdiri di sana. Cukup aneh menurut Erin suasana rumah mewah itu.

Erin dan Alex sampai di garasi mobil. Menurut Erin yang dilihat saat ini, tidak terlihat seperti garasi biasa, melainkan seperti show room mobil. Ada berbagai mobil yang berjajar di sana. Modelnya cukup mewah. Bahkan Erin pernah melihatnya pada sebuah sinetron orang kaya di televisi.

Mobil yang dipilih Alex adalah mobil sport berwarna hitam mengkilap. Ada sebuah ornamen seperti api membara pada bagian sisi kanan dan kirinya. Tangan Alex melambai-lambai pada Erin. Erin segera mendekat pada Alex.

Tanpa di duga, atap mobil mulai terbuka. Erin semakin mengkhawatirkan tubuhnya. Lama-kelamaan, masuk angin akan menjadi kenyataan bagi Erin. Lain halnya dengan Alex yang nampak senang usai membuka atap mobilnya. Ia melajukan mobilnya dengan cepat tanpa mempedulikan arenanya saat ini.

Jantung Erin seakan melompat menanggapi sikap Alex yang langsung menggila dalam sekali tancap gas. Erin berpegangan erat pada apapun yang bisa dipegang di mobil Alex.

“Apa kau tidak kedinginan malam hari membuka atap mobil?” celetuk Erin pada Alex.

“Kau jangan cerewet! Kalau masih cerewet, aku akan menurunkanmu.”

Erin langsung mengunci rapat mulutnya. Ia tidak ingin berakhir sia-sia perjuangannya sejak tadi.

Alex terus menikmati perjalanan dengan kecepatan kencang. Tak peduli dengan makian orang yang dilewatinya. Sementara Erin hanya terlihat tegang menatap jalan raya. Setiap orang yang memaki, Erin langsung meminta pengampunan pada Tuhan dan membalas makian itu dengan mendoakan hal baik. Semua itu dilakukan Erin agar tidak dicabut nyawanya oleh Tuhan sebelum membayar pengobatan rumah sakit ayahnya.

Ckiiiiitt!

Suara rem cukup memekikkan telinga. Erin hanya bisa menutup mata. Ia tak ingin menyaksikan kematian tragisnya di jalanan.

“Kita sudah sampai.”

Erin perlahan membuka matanya. “K ... kenapa kita datang ke makam?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status