Home / Romansa / Pay Me With Your Body / 1. Sosok Tanpa Nama

Share

Pay Me With Your Body
Pay Me With Your Body
Author: Black Aurora

1. Sosok Tanpa Nama

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-05-09 15:23:14

Berdiri di atas podium megah dengan latar belakang logo universitas bergengsi di Chicago, Aveline Rose mengangkat dagunya dengan percaya diri.

Cahaya lampu sorot menyinari gaun toga hitamnya yang menjuntai sempurna hingga mata kaki.

Rambut pirang keemasannya yang disanggul sederhana tampak berkilau ketika terkena cahaya.

Di tangannya ada sebuah mikrofon, dan di balik dadanya ada jantung yang berdetak cepat karena gugup dan haru.

Ia baru saja menerima medali serta piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik. Suara sorakan teman-teman seangkatannya serta tepuk tangan orang tua para mahasiswa terdengar menggema di aula.

Namun sayangnya, Aveline tak memiliki satu pun keluarga di antara mereka.

Dengan senyum yang tulus, ia pun mulai berbicara. Suaranya terdengar lembut namun tegas, seperti embusan angin musim semi yang mampu menyentuh relung hati.

"Hari ini, saya berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras saya sendiri... tapi juga karena seseorang yang bahkan hingga saat ini, saya pun tak tahu namanya. Seseorang yang telah membiayai seluruh pendidikan saya, hingga akhirnya saya bisa berada di sini sebagai lulusan terbaik.”

Ia menahan napas sejenak, menunduk lalu tersenyum kembali.

“Kepada siapapun Anda... terima kasih karena telah mempercayai saya, seorang gadis yatim piatu dari panti asuhan kecil yang tak memiliki apa pun, selain mimpi yang tinggi dan keinginan yang besar untuk belajar. Dan hari ini, satu mimpi saya telah tercapai... berkat Anda.”

Ia menunduk untuk memberi hormat, lalu turun dari podium. Sorak sorai dan suara tepuk tangan kembali membahana saat semua berdiri untuk memberikan standing ovation.

... termasuk satu sosok misterius yang duduk di antara para tamu undangan.

Pria itu duduk tenang di deretan belakang, dengan mengenakan setelan jas gelap yang tampak mahal, kacamata hitam, serta masker yang menutupi wajahnya.

Penampilannya tidak mencolok, namun auranya sungguh terasa berbeda.

Tegap, tenang dan penuh wibawa.

Saat Aveline tadi menyebut “seseorang yang tak tahu namanya”, bibir di balik masker itu pun seketika menyeringai.

“Gadis kecil itu masih polos,” gumannya pelan.

Ia pun ikut bertepuk tangan. Tak cukup keras, namun cukup untuk ikut dalam euforia kemenangan Aveline.

Lalu tiba-tiba ia mendengar dua pria yang duduk di sebelahnya saling berbisik.

“Wow, jadi itu yang namanya Aveline Rose, ya? Yang lulusan terbaik?”

“Sangat cantik dan juga pintar, kan? Tapi sayang, dia bukan siapa-siapa, cuma anak miskin dari panti asuhan.”

“Iya. Sangat disayangkan, ya? Kalau saja dia dari keluarga kaya, pasti sudah jadi rebutan.”

Manik gelap pria bermasker itu seketika melempar lirikan ke arah mereka, dengan sorot yang dingin dan tajam seperti pisau.

Namun tetap saja tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.

Ia hanya berdiri dengan perlahan, lalu berjalan meninggalkan ruangan auditorium itu dengan tanpa suara.

Pintu mobil hitam mewah jenis Bentley itu telah terbuka sebelum pria itu mendekat, oleh sang supir mengenakan seragam rapi dengan topi khas sopir pribadi.

“Selamat siang, Tuan Wolfe,” ucap sang sopir seraya mengangguk penuh hormat.

Pria itu membuka masker dan kacamatanya. Masih tanpa kata, ia tersenyum kepada supirnya, lalu duduk di kursi belakang.

Wajah yang muncul itu bagaikan pahatan sempurna... rahang tegas, hidung tinggi, mata coklat yang tajam dan dalam, serta ekspresi dingin penuh perhitungan.

Dominic Wolfe.

Pria yang dikenal sebagai salah satu pengusaha yang disegani di Chicago, namun juga dermawan misterius yang tak banyak orang tahu keberadaannya.

“Kita mau ke mana, Tuan?” tanya sang sopir.

Dominic bersandar santai di kursi yang empuk, dan menatap ke luar jendela.

Sebersit senyum dingin muncul di sudut bibirnya.

“Pulang. Aku sedang menunggu tamu spesial yang akan segera datang.”

***

Sementara itu Aveline yang baru saja turun dari panggung penuh dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.

Teman-temannya berebut untuk memeluk serta memberikan ucapan selamat, namun fokusnya tetiba teralih ketika ponselnya bergetar.

1 (satu) Pesan Masuk. Dari nomor tak dikenal.

“Selamat atas kelulusanmu, Aveline Rose. Jika kamu masih ingin bertemu denganku, aku siap menerimamu malam ini. Aku kirimkan alamatnya, datanglah sendirian. -D”

Aveline terbelalak. Maniknya yang sebiru laut tampak membesar, lalu buru-buru menutup layar ponselnya sambil menahan rasa ingin menjerit karena terlalu bahagia.

“Oh my God... akhirnya!” bisiknya dengan mata berkaca-kaca.

Setelah tiga tahun ia selalu mencari, menanyakan kepada pihak kampus, bertanya kepada yayasan beasiswa, menyurati berbagai lembaga dan hasilnya selalu saja nihil.

Sosok penolongnya terlalu rapi menyembunyikan jejak.

Tapi kini... dia sendiri yang mengundang Aveline secara langsung!

Aveline merasa dadanya nyaris meledak karena sangat gembira.

Ia sering membayangkan sosok malaikatnya sebagai pria paruh baya yang bijaksana dan penuh senyum, atau wanita dewasa dengan aura keibuan dengan helai-helai rambut yang mulai memutih.

Seseorang yang tak suka menonjolkan diri, penyayang, dan memiliki hati selembut sutra, namun sangat kaya raya.

“Aku akan bertemu malaikatku malam ini...” bisiknya dengan kedua tangan terkepal erat, seakan tak sabar untuk menantikan malam agar segera tiba.

***

Malam itu Aveline berdiri di depan sebuah Mansion megah bergaya klasik-modern di wilayah North Shore, kawasan elit di pinggiran Chicago.

Ia tidak membawa apa pun selain seikat bunga mawar kuning yang harum, serta hati yang penuh dengan harapan. Semoga saja... pahlawannya menyukai bunga yang ia bawa.

Pagar besi tinggi dan kokoh itu pun otomatis terbuka, setelah wajahnya dikenali oleh kamera keamanan.

Seorang pria setengah baya membukakan pintu utama dan membawanya masuk tanpa banyak bicara, hanya memberi kode sopan.

Langkah Aveline sedikit ragu, dan jantungnya semakin berdetak cepat.

Gaun sederhana berwarna putih tulang yang dikenakannya tampak begitu kontras dengan interior mewah Mansion itu: marmer hitam mengilat, chandelier kristal, tangga spiral berlapis emas.

Akhirnya ia pun dibawa ke sebuah ruang tamu yang remang-remang namun hangat.

Lalu... muncullah sosok pria itu dari balik bayangan.

Mengenakan jas dan kemeja hitam dengan kancing bagian atas terbuka dan celana panjang abu gelap.

Tanpa sepatah kata pun, ia menatap lurus ke arah Aveline.

Aveline pun serta-merta menahan napas penuh keterkejutan. Itu... bukan pria paruh baya.

Bukan juga pria tua bijak seperti bayangannya. Tapi...

Seorang pria matang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya tinggi sekali. Dan sangat tampan.

Juga... Dingin.

Seolah dipenuhi oleh aura kekuasaan yang menyelimuti seluruh tubuhnya yang penuh otot maskulin.

“Aveline Rose,” ucap Dominic pelan, namun tatapannya seolah berkata bahwa Aveline adalah miliknya.

“Akhirnya kita bertemu.”

***

Halo. Selamat datang di buku baruku 🎀 yang mau lihat visual Aveline dan Dominic, silahkan bertandang ke i* blackauroranovels ya ❤️

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Bianca
gak pernah ngecewain deh. bab 1 aja udah mengalir ceritanya, dgn akhir bab yg menggebrak. sukaaaa
goodnovel comment avatar
Lian Liliput
yuhuuuu....aura Dominic berbahaya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pay Me With Your Body   102. Seseorang Yang Sangat Berkuasa

    Di dalam pesawat pribadi dengan kabin mewah berlapis kulit putih gading dan detail emas, sepasang suami-istri itu pun duduk berdampingan. Dominic menggenggam tangan Aveline, lali mencium punggung tangannya dengan lembut. "Aveline." "Hm?" "Apa pun yang menunggu kita di Prancis... Clarissa, polisi, media. Tolong jangan pernah ragu padaku." Aveline menatap suaminya dalam-dalam, lalu menyandarkan diri ke bahu kokoh itu. "Aku tidak akan pernah ragu. Tapi, aku mungkin akan tetap menggoda kalau ada yang memanggilmu 'Ayahku'." Dominic menoleh, menatap tajam istrinya yang masih saja memggodanya. "Jangan buat aku mencium bibirmu keras-keras di depan pilot." Aveline mengedikkan bahunya, lalu berjata pelan namun menantang, "Silakan." Dan di detik berikutnya, kursi pesawat itu pin menjadi saksi betapa seriusnya Dominic menanggapi sebuah tantangan di depannya. *** Begitu roda pesawat menyentuh landasan bandara kecil di Vesgos, Dominic langsung berdiri dari kursinya. Aveline ya

  • Pay Me With Your Body   101. Dua Arti Dalam Hidupku

    Lokasi : Bandara Internasional Pau Pyrénées Desing baling-baling helikopter terdengar mengeras saat rotor perlahan melambat. Helikopter hitam matte dengan logo La Maison du Nord itu mendarat mulus di lapangan helipad khusus milik Bandara Internasional Pau Pyrénées, gerbang terdekat menuju wilayah Vesgos di barat daya Prancis. Angin dari baling-baling mengacak rambut pirang Aveline yang kini ditata rapi dalam ponytail, membuat beberapa helai melambai liar sebelum Dominic mengulurkan tangannya, membenahi rambut istrinya dengan lembut. "Pegangan." Suara Dominic terdengar pelan di tengah bisingnya mesin yang masih menggerung. Ia membantu Aveline turun dari helikopter terlebih dahulu, lalu menyusul dengan langkah tenang dan penuh kontrol. Tiga mobil hitam Mercedes Benz V-Class menanti mereka di sisi landasan, diiringi petugas berseragam khusus dari bagian penerbangan privat. Tas dan koper mereka langsung ditangani staf, dan Dominic tetap setia berjalan di sisi Aveline, tidak sed

  • Pay Me With Your Body   100. Takut Kehilangan Kamu

    Pagi itu di NORD, suasana yang biasanya damai berubah tegang. Dominic Wolfe baru saja selesai melakukan panggilan kerja di ruang komunikasinya, ketika layar laptopnya menampilkan sebuah e-mail resmi dengan lambang Police Nationale – République Française (Kepolisian Negara Republik Perancis). Judulnya singkat tetapi memuat beban yang tidak bisa disepelekan: Convocation Officielle : Témoignage dans une enquête criminelle – Accident Mortel Vosges Dominic membaca dengan cepat. Email itu berisi panggilan resmi dari kepolisian Prancis, meminta kehadirannya untuk memberikan keterangan terkait kecelakaan mobil yang menewaskan Ezra Blaine. Nama Clarissa Blaine tercantum jelas di dokumen itu sebagai saksi sekaligus pihak yang menuduhnya terlibat dalam insiden tersebut. Sebelum Dominic menutup laptop, pintu ruang kerjanya tetiba terbuka dari luar. Aveline muncul dengan membawa dua cangkir teh. Senyumnya yang biasanya menenangkan, mendadak memudar saat melihat ekspresi suaminya. “Domi

  • Pay Me With Your Body   99. Janji

    Malam itu, laut di sekitar NORD tampak tenang. Bulan bulat sempurna menggantung di langit, memantulkan cahayanya pada permukaan air yang berkilau. Di dalam kamar suite utama, Aveline tertidur lelap, selimut lembut membungkus tubuhnya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Di dalam mimpinya, ia berdiri di sebuah halaman bersalju. Udara putih pekat, dingin, dan sunyi. Dari kejauhan, terdengar suara seorang wanita, lembut namun mendesak. “Aveline… viens ici, ma chérie…” (Aveline... datanglah ke sini, Sayangku...) Aveline kecil menoleh. Ada sosok berambut panjang mengenakan mantel gelap, wajahnya samar oleh kabut. Ia merasa harus berlari menghampiri wanita itu. Kakinya yang mungil berlari menyeberangi sebuah jembatan kayu sempit di atas sungai yang membeku. Lalu tiba-tiba saja, kayu di bawahnya retak. Bunyi patahan tajam menggema, lalu tubuhnya terjun bebas. Air yang membeku menelannya dalam sekejap. Dinginnya begitu menusuk, merampas napasnya. Ia menjerit, berusah

  • Pay Me With Your Body   98. Vesgos : Jejak Yang Tertinggal

    Udara Vesgos sore itu terasa dingin dan lembap. Dominic berdiri di depan bangunan besar bergaya klasik, yang lebih menyerupai benteng tua daripada rumah tinggal. Pilar-pilarnya tinggi, catnya sedikit terkelupas, namun aura kekuasaan tetap melekat kuat pada setiap lekuk bangunannya.“Château Deveraux,” guman Dominic pelan sambil menatap pintu besi hitam yang mulai terbuka perlahan.Seorang pelayan berpakaian rapi membukakan pintu dan mempersilakan Dominic masuk ke dalam ruang tamu yang luas. Aroma kayu tua, buku lawas, dan anggur yang tersimpan berabad-abad menyeruak di udara.Lucien Deveraux muncul dari balik pintu lain. Pria itu tinggi, berwibawa, rambutnya perak dengan sisiran sempurna. Mata tajamnya mengamati Dominic dengan ketenangan yang dingin, seperti sedang mengukur ancaman yang mungkin dibawa oleh tamunya.“Dominic Wolfe,” ucap Lucien datar. “Akhirnya kita bertemu.”“Terima kasih sudah meluangkan waktu,” balas Dominic singkat.Mereka saling berjabat tangan. Tidak erat. Ti

  • Pay Me With Your Body   97. Berjalan Bersama

    Langit di atas lautan mulai menggelap perlahan, memantulkan cahaya oranye keemasan dari mentari senja. Di dek atas NORD, Dominic berdiri dengan tangan bersidekap serta menatap lurus ke garis horizon. Angin laut lembut menerbangkan helai-helai rambutnya yang coklat gelap, namun pikirannya sama sekali tak tenang.Lalu tiba-tiba ia mendengar langkah kaki ringan mendekat di belakangnya“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Aveline lembut, sambil menyelipkan tangan ke lengannya.Dominic menoleh pelan, menatap wajah istrinya dengan kelembutan yang tak pernah usai. Lalu satu kecupan pun mendarat di puncak kepala Aveline sebelum ia menjawab.“Kamu,” jawabnya jujur. “Dan tentang apa yang akan terjadi kalau aku kehilangan kamu.”Aveline tersenyum kecil. “Kamu tidak akan kehilangan aku, Dominic.”Dominic mengangguk pelan. Pria itu lalu menundukkan wajahnya untuk mencium bibir Aveline-nya yang manis, seolah ingin memastikan bahwa kehadirannya nyata dan tetap utuh.Tiba-tiba ponselnya bergetar, dan n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status