Berdiri di atas podium megah dengan latar belakang logo universitas bergengsi di Chicago, Aveline Rose mengangkat dagunya dengan percaya diri.
Cahaya lampu sorot menyinari gaun toga hitamnya yang menjuntai sempurna hingga mata kaki. Rambut pirang keemasannya yang disanggul sederhana tampak berkilau ketika terkena cahaya. Di tangannya ada sebuah mikrofon, dan di balik dadanya ada jantung yang berdetak cepat karena gugup dan haru. Ia baru saja menerima medali serta piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik. Suara sorakan teman-teman seangkatannya serta tepuk tangan orang tua para mahasiswa terdengar menggema di aula. Namun sayangnya, Aveline tak memiliki satu pun keluarga di antara mereka. Dengan senyum yang tulus, ia pun mulai berbicara. Suaranya terdengar lembut namun tegas, seperti embusan angin musim semi yang mampu menyentuh relung hati. "Hari ini, saya berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras saya sendiri... tapi juga karena seseorang yang bahkan hingga saat ini, saya pun tak tahu namanya. Seseorang yang telah membiayai seluruh pendidikan saya, hingga akhirnya saya bisa berada di sini sebagai lulusan terbaik.” Ia menahan napas sejenak, menunduk lalu tersenyum kembali. “Kepada siapapun Anda... terima kasih karena telah mempercayai saya, seorang gadis yatim piatu dari panti asuhan kecil yang tak memiliki apa pun, selain mimpi yang tinggi dan keinginan yang besar untuk belajar. Dan hari ini, satu mimpi saya telah tercapai... berkat Anda.” Ia menunduk untuk memberi hormat, lalu turun dari podium. Sorak sorai dan suara tepuk tangan kembali membahana saat semua berdiri untuk memberikan standing ovation. ... termasuk satu sosok misterius yang duduk di antara para tamu undangan. Pria itu duduk tenang di deretan belakang, dengan mengenakan setelan jas gelap yang tampak mahal, kacamata hitam, serta masker yang menutupi wajahnya. Penampilannya tidak mencolok, namun auranya sungguh terasa berbeda. Tegap, tenang dan penuh wibawa. Saat Aveline tadi menyebut “seseorang yang tak tahu namanya”, bibir di balik masker itu pun seketika menyeringai. “Gadis kecil itu masih polos,” gumannya pelan. Ia pun ikut bertepuk tangan. Tak cukup keras, namun cukup untuk ikut dalam euforia kemenangan Aveline. Lalu tiba-tiba ia mendengar dua pria yang duduk di sebelahnya saling berbisik. “Wow, jadi itu yang namanya Aveline Rose, ya? Yang lulusan terbaik?” “Sangat cantik dan juga pintar, kan? Tapi sayang, dia bukan siapa-siapa, cuma anak miskin dari panti asuhan.” “Iya. Sangat disayangkan, ya? Kalau saja dia dari keluarga kaya, pasti sudah jadi rebutan.” Manik gelap pria bermasker itu seketika melempar lirikan ke arah mereka, dengan sorot yang dingin dan tajam seperti pisau. Namun tetap saja tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya berdiri dengan perlahan, lalu berjalan meninggalkan ruangan auditorium itu dengan tanpa suara. Pintu mobil hitam mewah jenis Bentley itu telah terbuka sebelum pria itu mendekat, oleh sang supir mengenakan seragam rapi dengan topi khas sopir pribadi. “Selamat siang, Tuan Wolfe,” ucap sang sopir seraya mengangguk penuh hormat. Pria itu membuka masker dan kacamatanya. Masih tanpa kata, ia tersenyum kepada supirnya, lalu duduk di kursi belakang. Wajah yang muncul itu bagaikan pahatan sempurna... rahang tegas, hidung tinggi, mata coklat yang tajam dan dalam, serta ekspresi dingin penuh perhitungan. Dominic Wolfe. Pria yang dikenal sebagai salah satu pengusaha yang disegani di Chicago, namun juga dermawan misterius yang tak banyak orang tahu keberadaannya. “Kita mau ke mana, Tuan?” tanya sang sopir. Dominic bersandar santai di kursi yang empuk, dan menatap ke luar jendela. Sebersit senyum dingin muncul di sudut bibirnya. “Pulang. Aku sedang menunggu tamu spesial yang akan segera datang.” *** Sementara itu Aveline yang baru saja turun dari panggung penuh dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Teman-temannya berebut untuk memeluk serta memberikan ucapan selamat, namun fokusnya tetiba teralih ketika ponselnya bergetar. 1 (satu) Pesan Masuk. Dari nomor tak dikenal. “Selamat atas kelulusanmu, Aveline Rose. Jika kamu masih ingin bertemu denganku, aku siap menerimamu malam ini. Aku kirimkan alamatnya, datanglah sendirian. -D” Aveline terbelalak. Maniknya yang sebiru laut tampak membesar, lalu buru-buru menutup layar ponselnya sambil menahan rasa ingin menjerit karena terlalu bahagia. “Oh my God... akhirnya!” bisiknya dengan mata berkaca-kaca. Setelah tiga tahun ia selalu mencari, menanyakan kepada pihak kampus, bertanya kepada yayasan beasiswa, menyurati berbagai lembaga dan hasilnya selalu saja nihil. Sosok penolongnya terlalu rapi menyembunyikan jejak. Tapi kini... dia sendiri yang mengundang Aveline secara langsung! Aveline merasa dadanya nyaris meledak karena sangat gembira. Ia sering membayangkan sosok malaikatnya sebagai pria paruh baya yang bijaksana dan penuh senyum, atau wanita dewasa dengan aura keibuan dengan helai-helai rambut yang mulai memutih. Seseorang yang tak suka menonjolkan diri, penyayang, dan memiliki hati selembut sutra, namun sangat kaya raya. “Aku akan bertemu malaikatku malam ini...” bisiknya dengan kedua tangan terkepal erat, seakan tak sabar untuk menantikan malam agar segera tiba. *** Malam itu Aveline berdiri di depan sebuah Mansion megah bergaya klasik-modern di wilayah North Shore, kawasan elit di pinggiran Chicago. Ia tidak membawa apa pun selain seikat bunga mawar kuning yang harum, serta hati yang penuh dengan harapan. Semoga saja... pahlawannya menyukai bunga yang ia bawa. Pagar besi tinggi dan kokoh itu pun otomatis terbuka, setelah wajahnya dikenali oleh kamera keamanan. Seorang pria setengah baya membukakan pintu utama dan membawanya masuk tanpa banyak bicara, hanya memberi kode sopan. Langkah Aveline sedikit ragu, dan jantungnya semakin berdetak cepat. Gaun sederhana berwarna putih tulang yang dikenakannya tampak begitu kontras dengan interior mewah Mansion itu: marmer hitam mengilat, chandelier kristal, tangga spiral berlapis emas. Akhirnya ia pun dibawa ke sebuah ruang tamu yang remang-remang namun hangat. Lalu... muncullah sosok pria itu dari balik bayangan. Mengenakan jas dan kemeja hitam dengan kancing bagian atas terbuka dan celana panjang abu gelap. Tanpa sepatah kata pun, ia menatap lurus ke arah Aveline. Aveline pun serta-merta menahan napas penuh keterkejutan. Itu... bukan pria paruh baya. Bukan juga pria tua bijak seperti bayangannya. Tapi... Seorang pria matang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya tinggi sekali. Dan sangat tampan. Juga... Dingin. Seolah dipenuhi oleh aura kekuasaan yang menyelimuti seluruh tubuhnya yang penuh otot maskulin. “Aveline Rose,” ucap Dominic pelan, namun tatapannya seolah berkata bahwa Aveline adalah miliknya. “Akhirnya kita bertemu.” *** Halo. Selamat datang di buku baruku 🎀 yang mau lihat visual Aveline dan Dominic, silahkan bertandang ke i* blackauroranovels ya ❤️SEPULUH TAHUN KEMUDIAN... Angin musim semi berhembus lembut di halaman luas sebuah mansion megah yang berdiri di tepian danau Michigan. Bangunan bergaya neoklasik dengan sentuhan modern itu berdiri kokoh, dikelilingi taman bunga yang selalu bermekaran sepanjang tahun karena perawatan ketat para gardener. Pilar-pilar putih menjulang gagah, sementara jendela kaca raksasa memantulkan cahaya matahari pagi. Burung-burung kecil beterbangan di udara, seolah ingin menambah kesempurnaan pagi itu. Mansion itu adalah rumah bagi Dominic dan Aveline. Setelah begitu banyak badai dan bahaya yang mereka lewati, siapa sangka takdir justru menghadiahkan mereka sesuatu yang nyaris mustahil. Yaitu sebuah keluarga kecil yang utuh. “Ayah! Ayah! Lihat, aku bisa lebih cepat daripada Henry!” teriak seorang bocah berusia delapan tahun, rambut pirangnya berantakan, kakinya berlari di atas rerumputan hijau. “Tidak bisa! Aku yang lebih cepat!” sahut adiknya yang berusia lima tahun, dengan ramb
Musik lembut dari orkestra masih mengalun ketika pintu ballroom terbuka kembali. Semua kepala menoleh sejenak, lalu muncul sosok perempuan anggun dengan gaun malam satin biru gelap. Rambut coklatnya ditata sederhana namun elegan, wajahnya bercahaya dengan keteduhan khas seorang ibu. Wanita itu adalah Elle Takahashi. Di kedua tangannya, masing-masing tergenggam erat dua anak kecil kembar. Akio di sisi kanan dan Ayaka di sisi kiri. Meski bukan anak kandungnya, jelas terpancar hanya kasih sayang murni di antara mereka. Mereka bertiga berjalan sambil berceloteh ringan. Tatapan polos kedua anak itu melirik ke segala arah, kagum dengan dekorasi pesta yang berkilauan. “Look, Ayaka,” bisik Akio sambil menunjuk langit-langit ballroom yang dipenuhi ribuan kristal cahaya. “Seperti bintang jatuh.” Ayaka terkekeh kecil. “Atau seperti istana putri!” Tawa kecil mereka terdengar jernih, membuat banyak tamu menoleh sambil tersenyum. Sementara itu, seorang babysitter berjalan d
Malam itu, langit Chicago dihiasi gemerlap lampu kota yang seakan ikut merayakan kebahagiaan dua insan yang telah melewati jalan berliku. Di sebuah ballroom megah di tepi Chicago Riverwalk, pesta pernikahan Dominic dan Aveline berlangsung dengan kemewahan yang elegan, sesuai janji yang pernah Dominic ucapkan sebelumnya. “Pernikahan di Portofino khusus untuk kita. Di kota yang kamu sukai, dan tempat kamu menari dengan bebas untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.” "Dan di Chicago, karena di sanalah seluruh hidupmu sebelumnya berada. Teman-temanmu. Kenangan masa kecilmu. Kalau kamu ingin mengundang siapa pun, entah itu teman kuliah, rekan penari, anak-anak panti asuhan bahkan teman sekolah di masa kecil sekalipun, maka lakukanlah, Little Dove." Ballroom itu dipenuhi kristal berkilauan, bunga mawar putih dan kuning yang melambangkan cinta abadi mereka, serta dentingan orkestra live yang memainkan alunan romantis. Gaun putih Aveline berkilau di bawah cahaya lampu gantung,
Udara dingin dari perairan Danau Michigan menyapu dek kapal, ketika NORD meluncur perlahan mendekati garis kota Chicago. Siluet gedung-gedung pencakar langit menjulang, terpantul cahaya senja yang menguning keemasan. Riuh suara pelabuhan terdengar samar di kejauhan, namun Dominic memilih jalur yang berbeda. Ia sudah mempersiapkan sesuatu jauh sebelum kapal ini merapat. “Pelabuhan ini terlalu ramai,” gumannya seraya menatap layar navigasi. “Aku tidak ingin kamu berdesakan dengan orang asing setelah perjalanan panjang.” Aveline yang berdiri di sisinya, menoleh dengan senyum tipis. “Kamu selalu memikirkan segalanya dengan detail, ya?" Dominic hanya mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang namun penuh kendali. “Tentu saja. Aku tidak akan pernah setengah-setengah kalau menyangkut dirimu, Sayang.” Beberapa menit kemudian, terdengar suara deru baling-baling. Sebuah helikopter hitam elegan sudah menunggu di dek atas. Begitu NORD hampir mencapai batas pelabuhan, helikopter i
BEBERAPA HARI KEMUDIAN... Matahari sore merayap pelan ke ufuk barat, cahayanya redup keemasan menembus pepohonan cemara yang berjajar kaku di pemakaman keluarga Deveraux. Angin membawa aroma tanah basah dan bunga lili putih yang ditaburkan di atas nisan marmer hitam. Di hadapan mereka terhampar dua makam yang berdampingan. Celeste, dan Lucien Deveraux. Aveline berdiri terpaku. Kedua tangannya saling menggenggam erat di dada, jari-jarinya pucat dan terjalin dalam posisi berdoa itu terlihat bergetar. Matanya menatap nisan itu tanpa berkedip, seolah berharap prasasti dingin itu akan runtuh dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Dominic berdiri di sampingnya dengan posisi sedikit di belakang, seolah memberi ruang bagi istrinya untuk menghadapi luka yang terlalu dalam, dan menerimanya dengan lapang dada sebagai bagian dari hidupnya. “Ayah dan ibu…” bisik Aveline lirih. “Kalian berdua akhirnya bersama lagi. Meskipun seharusnya tidak dengan cara yang seperti ini
Aveline terbangun dalam dekapan Dominic. Tubuhnya terasa begitu hangat, membuatnya mengira bahwa dirinya sudah mati dan kini berada di alam lain, dipertemukan kembali dengan suaminya yang lebih dulu tiada. “Dominic…?” bisiknya lirih dan serak bercampur isakan kecil. Ia menatap wajah pria itu yang begitu dekat dengannya. Mata coklat gelap dan dalam yang dirindukannya, garis rahang yang tegas, dan senyum tipis yang begitu nyata hingga terasa terlalu indah untuk menjadi kenyataan. "Apa aku sudah mati? Tapi aku tidak keberatan... jika akhirnya bisa bertemu denganmu lagi," ucap Aveline sendu dengan mata birunya yang berkaca-kaca. Dominic sempat tertegun. Sesungguhnya ia ingin segera meyakinkan istrinya bahwa ia masih ada di sini, hidup dan bernafas. Namun melihat sorot mata Aveline yang penuh keyakinan itu membuat Dominic diam-diam tersenyum nakal. Ia berniat menjahili istrinya. “Aku datang menjemputmu, sayang,” ucapnya pelan, penuh nada misteri. “Kita akan bersama di duni