Share

Bab 7

Tika mematut dirinya di cermin lalu berputar sebelum akhirnya tersenyum puas. Dia memuji dirinya sendiri yang terlihat cantik dan manis mengenakan gaun mini berwarna maroon itu. Rambut yang biasanya selalu ia kucir ke atas, kini dibiarkannya tergerai. Lipstik berwarna senada dengan gaunnya dan sepatu berhak tinggi berwarna putih tulang melengkapi penampilannya.

"Ini tidak terlalu berlebihan bukan? Aku hanya pergi makan malam," gumam Tika.

"Apa sebaiknya aku bertanya pada Rose? Tapi, nanti dia heboh," ucap Tika bimbang pada dirinya sendiri.

Ring ring ring ring, suara dering ponsel memutus kebimbangan Tika. Sebuah nomer asing meneleponnya.

"Hallo,"sapa Tika sedikit ragu.

"Hallo, nona Tika, saya Reiden. Saya ada di depan apartemen Nona. Tuan Axel meminta saya menjemput Nona," ucap Reiden sopan.

"Ke-kenapa dijemput, aku bisa naik taksi," Tika kaget karena Axel bahkan menjemputnya.

"Tolong segera turun saja, Nona. Tuan, sudah menunggu," tegas Reiden lalu mematikan telepon. 

Muka Tika bersemu merah, hatinya menghangat menerima kebaikan Axel. Dia bergegas turun. Sepanjang perjalanan menuju tempat Axel berada, Tika dan Reiden hanya diam tanpa bicara. Tika sebenarnya ingin bertanya banyak hal pada Reiden, tapi dia menahan mulutnya. Reiden tampak seperti tidak suka diajak bicara.

"Silahkan turun, Nona. Tuan sudah menunggu di dalam," tutur Reiden setelah mobil yang mereka kendarai tiba di suatu restoran mewah bergaya italia. Lagi-lagi Tika terkesiap, restoran itu adalah restoran teromantis dan termewah di seluruh North Carolina. Itu adalah alasannya pindah ke kota ini, dia ingin menemukan seseorang yang berasal dari kota ini dan makan di restoran ini. Namun, kali ini dia makan bukan dengan pasangannya tetapi dengan krediturnya. Tika tidak tahu harus bahagia atau sedih.

"Nona mari masuk," suara seorang pelayan pria yang menyambutnya membuyarkan pikirannya.

Tika meraih tangan yang terulur padanya lalu berjalan seanggun mungkin.

"Orang kaya memang suka menghamburkan uang, tapi bahkan dia akan menagihkannya padaku nantinya, bukankah ini keterlaluan?" Tika mengomel dalam hati.

Sesosok pria tampan bermata biru yang selalu bermain di pikirannya selama ini sedang berdiri menunggunya. Netra Tika tak lepas memandang sosok itu. Sungguh, andaikan dia tak memiliki harga diri yang tersisa, Tika sudah berlari dan memeluk pria itu. Namun, Tika masih memiliki kewarasannya.

Sementara itu, saat melihat wanita itu mulai memasuki restoran dan berjalan dengan anggun, Axel tidak bisa mengendalikan debaran di jantungnya. Jantung yang telah sekian lama dingin dan mati itu serasa mendapatkan kehangatan dan kehidupan baru. Oleh karenanya, Axel sengaja menunggu wanita itu sambil berdiri, untuk melancarkan peredaran darahnya yang terpompa lebih cepat daripada biasanya.

“Se—selamat malam, Tuan,” sapa Tika saat sudah berada di hadapan Axel.

Axel mengangguk lalu berjalan ke belakang Tika. Tika yang awalnya hendak menggeser sendiri kursi, mengurungkan niat melihat Axel melakukan itu untuknya.“Terima kasih,” bisik Tika. Posisi tubuhnya cukup dekat dengan Axel sampai-sampai dia bisa mencium aroma tubuh lelaki itu. Tika hampir terbius, beruntungnya lelaki itu segera beringsut kembali ke tempat duduknya sendiri.

“Kau cukup cantik malam ini,” Axel memulai pembicaraan.

“Yeah, emm, aku memang selalu cantik,” balas Tika.

“Ternyata kau sangat narsis,” sindir Axel.

“Seperti seseorang,” Tika menahan senyum.

“Baiklah, kau ingin makan apa? Berhubung aku yang membayar makan malam kali ini, aku harap kau tidak terlalu boros,” sambung Tika blak-blakan.

“Kata siapa kau yang membayar?”

“Hah, bukannya kau mengajakku makan malam sebagai bayaran makan siang waktu itu?” Wajah Tika mengernyit.

“Benar, tapi, kan, aku tidak meminta kau membayari makananku. Aku hanya minta kau menemaniku makan,” tutur Axel santai.

Hati Tika melambung, meski Axel mungkin tidak memiliki niat tertentu, Tika cukup senang Axel mengjaknya makan malam.

“Baiklah, jangan sampai berubah pikiran.”

“Aku selalu menepati janjiku.”

“Bagus.” Tika tersenyum lalu menyesap anggur di gelasnya.

“Aku sudah memesankan makanan, aku harap kau suka,” cetus Axel.

Sedetik kemudian, beberapa pelayan datang menyajikan berbagai makanan italia di hadapan mereka. Tika berkali-kali menelan ludah. Dia benar-benar seperti menang lotre.

“Kau sangat murah hati,” puji Tika pada Axel.

“Tentu saja.”

Usai makan, Tika ingin berpamitan pulang. Namun, Axel mencegahnya.

“Ada hal lain yang harus kita lakukan?” Tika bertanya penasaran. Dia sempat memikirkan fantasi kotor dalam kepalanya, tapi nyatanya yang mereka lakukan setelah itu ialah duduk di atap gedung restoran.

“Kenapa kau membawaku kesini?” Tika mulai sedikit khawatir, mereka hanya berdua dan gedung ini cukup tinggi. Namun, Tika segera menghapus pikiran negatifnya.

“Tika, kau sungguh luar biasa,” ejek Axel.

“Maksudmu?”

“Beberapa saat lalu, kau berpikir aku akan mengajakmu tidur bersama, tapi saat ini kau berpikir aku akan membunuhmu. Bukankah, itu luar biasa?”

Ucapan Axel membuat pipi Tika bersemu merah.

“Aku tidak berpikir begitu,” Tika mengelak.

“Benarkah?”

Axel lalu melihat Tika sedang mencoba menghangatkan dirinya. Gaun yang dikenakan Tika tidak memiliki lengan, sedang di atas angin cukup kencang. Tanpa berpikir panjang, Axel mengenakan mantel luarnya pada Tika.

“Aku sungguh tak berpikir begitu,” Tika masih membela diri. “Terima kasih untuk mantelnya,”sambung Tika lagi seraya mengetatkan mantel hangat itu.

“Lalu, apa yang kau pikirkan?” pancing Axel.

“Aku memikirkan alasanmu melakukan ini semua padaku. Kita baru bertemu satu hari, kau adalah penolongku sekaligus bos yang memotong gajiku, tapi kau membuatku menemanimu makan malam di restoran mewah. Itu, tertalu membingungkan buatku.” Kata-kata Tika mengalir bagai air, tidak biasanya dia berbicara sebanyak itu di depan Axel.

“Rupanya sekarang kau mahir berbicara,”goda Axel.

Tika malu, dia merutuk dirinya yang terlalu banyak bicara, “Bukan, begitu.”

“Tidak apa, aku lebih senang melihatmu banyak bicara,”tutur Axel lembut. “Aku ingin mengenalmu lebih jauh, itu alasanku melakukan semua ini,” imbuhnya.

“Kau menggodaku atau ingin mempermainkanku?”

“Aku sungguh ingin mengenalmu. Itu saja,” tegas Axel. Dia tidak menyangka wanita itu bisa berpikir bahwa dia akan mempermainkan wanita.

“Oh, maaf. Aku hanya tak percaya, lelaki tampan dan kaya juga berkuasa ingin mengenalku lebih jauh.”

“Kau tidak seburuk itu, selain dari sifatmu yang sedikit kurang ajar, kau lumayan cantik dan manis,” ungkap Axel.

Sekali lagi, wajah Tika bersemu merah. Axel benar-benar telah menguasai hatinya. Dia merasa melambung hanya dengan mendengar Axel menyebutnya cantik.

“Apa yang ingin kau ketahui?” tanya Tika setelah mereka berdua terdiam sesaat.

“Semua. Bisa kau ceritakan tentang dirimu dan apa yang membawamu kesini,” pinta Axel.

“Umm, itu akan sedikit panjang.”

“Tidak masalah, mereka sudah menyiapkan tempat duduk dan juga camilan. Tunjuk Axel pada tempat dimana kursi dan makanan yang sebelumnya tidak ada sudah bertahta dengan manis.

“Kapan mereka melakukan ini?” Tika heran.

“Saat kau sibuk menghangatkan dirimu,”ujar Axel lalu menggandeng tangan Tika, menariknya menuju tempat kursi dan makanan berada.

“Sekarang, kau bisa mulai bercerita,”usai mereka duduk. Mereka duduk bersila beralaskan permadani lembut.

“Aku seorang yatim piatu,” Tika mulai bercerita. “Aku orang Indonesia dan lahir di Indonesia tapi orang amerika mengadopsiku, aku besar di New York dan hidup bersama keluarga angkatku. Setengah tahun yang lalu mereka meninggal karena kecelakaan. Aku memutuskan pindah untuk memulai hidup baru dan disinilah aku,” Tika mengakhiri ceritanya.

“Tapi namamu sedikit unik, tidak seperti nama orang amerika?”

“Ya. Namaku yang sekarang bukan nama yang diberikan oleh orang tua angkatku. Aku mengubah namaku menjadi nama orang Indonesia setelah kematian orang tuaku. Aku lebih suka nama yang ini,” ungkap Tika.

“Yah, kau melakukan hal yang benar. Namamu yang sekarang indah dan unik,” Axel tersenyum ke arah Tika.

Pembicaraan itu masih berlanjut sampai satu jam lamanya. Axel dan Tika membicarakan berbagai topik pembicaraan yang menyenangkan. Anehnya, apapun topik yang mereka bicarakan, mereka selalu memiliki kesepakatan yang sama. Mereka akhirnya memutuskan pulang saat Tika mulai mengantuk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status