Tika mematut dirinya di cermin lalu berputar sebelum akhirnya tersenyum puas. Dia memuji dirinya sendiri yang terlihat cantik dan manis mengenakan gaun mini berwarna maroon itu. Rambut yang biasanya selalu ia kucir ke atas, kini dibiarkannya tergerai. Lipstik berwarna senada dengan gaunnya dan sepatu berhak tinggi berwarna putih tulang melengkapi penampilannya.
"Ini tidak terlalu berlebihan bukan? Aku hanya pergi makan malam," gumam Tika."Apa sebaiknya aku bertanya pada Rose? Tapi, nanti dia heboh," ucap Tika bimbang pada dirinya sendiri.Ring ring ring ring, suara dering ponsel memutus kebimbangan Tika. Sebuah nomer asing meneleponnya."Hallo,"sapa Tika sedikit ragu."Hallo, nona Tika, saya Reiden. Saya ada di depan apartemen Nona. Tuan Axel meminta saya menjemput Nona," ucap Reiden sopan."Ke-kenapa dijemput, aku bisa naik taksi," Tika kaget karena Axel bahkan menjemputnya."Tolong segera turun saja, Nona. Tuan, sudah menunggu," tegas Reiden lalu mematikan telepon. Muka Tika bersemu merah, hatinya menghangat menerima kebaikan Axel. Dia bergegas turun. Sepanjang perjalanan menuju tempat Axel berada, Tika dan Reiden hanya diam tanpa bicara. Tika sebenarnya ingin bertanya banyak hal pada Reiden, tapi dia menahan mulutnya. Reiden tampak seperti tidak suka diajak bicara."Silahkan turun, Nona. Tuan sudah menunggu di dalam," tutur Reiden setelah mobil yang mereka kendarai tiba di suatu restoran mewah bergaya italia. Lagi-lagi Tika terkesiap, restoran itu adalah restoran teromantis dan termewah di seluruh North Carolina. Itu adalah alasannya pindah ke kota ini, dia ingin menemukan seseorang yang berasal dari kota ini dan makan di restoran ini. Namun, kali ini dia makan bukan dengan pasangannya tetapi dengan krediturnya. Tika tidak tahu harus bahagia atau sedih."Nona mari masuk," suara seorang pelayan pria yang menyambutnya membuyarkan pikirannya.Tika meraih tangan yang terulur padanya lalu berjalan seanggun mungkin."Orang kaya memang suka menghamburkan uang, tapi bahkan dia akan menagihkannya padaku nantinya, bukankah ini keterlaluan?" Tika mengomel dalam hati.Sesosok pria tampan bermata biru yang selalu bermain di pikirannya selama ini sedang berdiri menunggunya. Netra Tika tak lepas memandang sosok itu. Sungguh, andaikan dia tak memiliki harga diri yang tersisa, Tika sudah berlari dan memeluk pria itu. Namun, Tika masih memiliki kewarasannya.Sementara itu, saat melihat wanita itu mulai memasuki restoran dan berjalan dengan anggun, Axel tidak bisa mengendalikan debaran di jantungnya. Jantung yang telah sekian lama dingin dan mati itu serasa mendapatkan kehangatan dan kehidupan baru. Oleh karenanya, Axel sengaja menunggu wanita itu sambil berdiri, untuk melancarkan peredaran darahnya yang terpompa lebih cepat daripada biasanya.“Se—selamat malam, Tuan,” sapa Tika saat sudah berada di hadapan Axel.Axel mengangguk lalu berjalan ke belakang Tika. Tika yang awalnya hendak menggeser sendiri kursi, mengurungkan niat melihat Axel melakukan itu untuknya.“Terima kasih,” bisik Tika. Posisi tubuhnya cukup dekat dengan Axel sampai-sampai dia bisa mencium aroma tubuh lelaki itu. Tika hampir terbius, beruntungnya lelaki itu segera beringsut kembali ke tempat duduknya sendiri.“Kau cukup cantik malam ini,” Axel memulai pembicaraan.
“Yeah, emm, aku memang selalu cantik,” balas Tika.
“Ternyata kau sangat narsis,” sindir Axel.
“Seperti seseorang,” Tika menahan senyum.
“Baiklah, kau ingin makan apa? Berhubung aku yang membayar makan malam kali ini, aku harap kau tidak terlalu boros,” sambung Tika blak-blakan.
“Kata siapa kau yang membayar?”
“Hah, bukannya kau mengajakku makan malam sebagai bayaran makan siang waktu itu?” Wajah Tika mengernyit.
“Benar, tapi, kan, aku tidak meminta kau membayari makananku. Aku hanya minta kau menemaniku makan,” tutur Axel santai.
Hati Tika melambung, meski Axel mungkin tidak memiliki niat tertentu, Tika cukup senang Axel mengjaknya makan malam.
“Baiklah, jangan sampai berubah pikiran.”
“Aku selalu menepati janjiku.”
“Bagus.” Tika tersenyum lalu menyesap anggur di gelasnya.
“Aku sudah memesankan makanan, aku harap kau suka,” cetus Axel.
Sedetik kemudian, beberapa pelayan datang menyajikan berbagai makanan italia di hadapan mereka. Tika berkali-kali menelan ludah. Dia benar-benar seperti menang lotre.
“Kau sangat murah hati,” puji Tika pada Axel.
“Tentu saja.”
Usai makan, Tika ingin berpamitan pulang. Namun, Axel mencegahnya.
“Ada hal lain yang harus kita lakukan?” Tika bertanya penasaran. Dia sempat memikirkan fantasi kotor dalam kepalanya, tapi nyatanya yang mereka lakukan setelah itu ialah duduk di atap gedung restoran.
“Kenapa kau membawaku kesini?” Tika mulai sedikit khawatir, mereka hanya berdua dan gedung ini cukup tinggi. Namun, Tika segera menghapus pikiran negatifnya.
“Tika, kau sungguh luar biasa,” ejek Axel.
“Maksudmu?”
“Beberapa saat lalu, kau berpikir aku akan mengajakmu tidur bersama, tapi saat ini kau berpikir aku akan membunuhmu. Bukankah, itu luar biasa?”
Ucapan Axel membuat pipi Tika bersemu merah.
“Aku tidak berpikir begitu,” Tika mengelak.
“Benarkah?”
Axel lalu melihat Tika sedang mencoba menghangatkan dirinya. Gaun yang dikenakan Tika tidak memiliki lengan, sedang di atas angin cukup kencang. Tanpa berpikir panjang, Axel mengenakan mantel luarnya pada Tika.
“Aku sungguh tak berpikir begitu,” Tika masih membela diri. “Terima kasih untuk mantelnya,”sambung Tika lagi seraya mengetatkan mantel hangat itu.
“Lalu, apa yang kau pikirkan?” pancing Axel.
“Aku memikirkan alasanmu melakukan ini semua padaku. Kita baru bertemu satu hari, kau adalah penolongku sekaligus bos yang memotong gajiku, tapi kau membuatku menemanimu makan malam di restoran mewah. Itu, tertalu membingungkan buatku.” Kata-kata Tika mengalir bagai air, tidak biasanya dia berbicara sebanyak itu di depan Axel.
“Rupanya sekarang kau mahir berbicara,”goda Axel.
Tika malu, dia merutuk dirinya yang terlalu banyak bicara, “Bukan, begitu.”
“Tidak apa, aku lebih senang melihatmu banyak bicara,”tutur Axel lembut. “Aku ingin mengenalmu lebih jauh, itu alasanku melakukan semua ini,” imbuhnya.
“Kau menggodaku atau ingin mempermainkanku?”
“Aku sungguh ingin mengenalmu. Itu saja,” tegas Axel. Dia tidak menyangka wanita itu bisa berpikir bahwa dia akan mempermainkan wanita.
“Oh, maaf. Aku hanya tak percaya, lelaki tampan dan kaya juga berkuasa ingin mengenalku lebih jauh.”
“Kau tidak seburuk itu, selain dari sifatmu yang sedikit kurang ajar, kau lumayan cantik dan manis,” ungkap Axel.
Sekali lagi, wajah Tika bersemu merah. Axel benar-benar telah menguasai hatinya. Dia merasa melambung hanya dengan mendengar Axel menyebutnya cantik.
“Apa yang ingin kau ketahui?” tanya Tika setelah mereka berdua terdiam sesaat.
“Semua. Bisa kau ceritakan tentang dirimu dan apa yang membawamu kesini,” pinta Axel.
“Umm, itu akan sedikit panjang.”
“Tidak masalah, mereka sudah menyiapkan tempat duduk dan juga camilan. Tunjuk Axel pada tempat dimana kursi dan makanan yang sebelumnya tidak ada sudah bertahta dengan manis.
“Kapan mereka melakukan ini?” Tika heran.
“Saat kau sibuk menghangatkan dirimu,”ujar Axel lalu menggandeng tangan Tika, menariknya menuju tempat kursi dan makanan berada.
“Sekarang, kau bisa mulai bercerita,”usai mereka duduk. Mereka duduk bersila beralaskan permadani lembut.
“Aku seorang yatim piatu,” Tika mulai bercerita. “Aku orang Indonesia dan lahir di Indonesia tapi orang amerika mengadopsiku, aku besar di New York dan hidup bersama keluarga angkatku. Setengah tahun yang lalu mereka meninggal karena kecelakaan. Aku memutuskan pindah untuk memulai hidup baru dan disinilah aku,” Tika mengakhiri ceritanya.
“Tapi namamu sedikit unik, tidak seperti nama orang amerika?”
“Ya. Namaku yang sekarang bukan nama yang diberikan oleh orang tua angkatku. Aku mengubah namaku menjadi nama orang Indonesia setelah kematian orang tuaku. Aku lebih suka nama yang ini,” ungkap Tika.
“Yah, kau melakukan hal yang benar. Namamu yang sekarang indah dan unik,” Axel tersenyum ke arah Tika.
Pembicaraan itu masih berlanjut sampai satu jam lamanya. Axel dan Tika membicarakan berbagai topik pembicaraan yang menyenangkan. Anehnya, apapun topik yang mereka bicarakan, mereka selalu memiliki kesepakatan yang sama. Mereka akhirnya memutuskan pulang saat Tika mulai mengantuk.
“Kau tampak menikmati kencanmu, Tuan?” tegur Reiden yang tengah membawa mobil menuju apartemen Axel. Sebelumnya, mereka telah menurunkan Tika di apartemennya. “Panggil saja namaku, Tika sudah tidak ada.” Axel protes. “Oke. Jadi, kau menikmati kencamu?” Reiden berbicara santai. “Aku bukan berkencan, aku sedang mencari informasi,” kelit Axel. 'Sesungguhnya terlalu berlebihan caramu mendapatkan informasi. Bahkan, bila dilakukan pemungutan suara, orang akan condong mengatakan kau sedang berusaha merebut hati seorang gadis,' Reiden mengatakan itu di hatinya. Sedang yang terjadi pada kenyataannya Reiden hanya terkekeh dan menanyakan pertanyaan formal, “Jadi informasi apa yang kau dapat?” “Tika mendapatkan payungnya dari orang tak dikenal. Dia bahkan tidak sempat melihat wajah orang yang memberinya payung. Dia mendapatkannya di stasiun yang berada di dekat kantor. Besok, kau bisa mencari rekaman CCTV yang mengarah ke sana,” jelas Axel.
Di lain sisi, Axel juga tengah memikirkan Tika. Sejak perbincangan waktu itu, bayangan Tika selalu muncul di pikirannya. Senyumnya, rambut panjangnya yang hitam legam, tubuh mungil namun berisi, juga suaranya. Bahkan malam itu, Axel hampir saja mengajak gadis itu ke kamarnya andai Reiden tidak datang menjemput. 'Sadarlah, Axel. Perasaan semacam itu tidak akan berhasil,' batin Axel menegur. 'Tapi, kalau hanya sekedar tidur, sepertinya tidak apa-apa bukan?' pikiran jahat Axel mulai bersuara. 'Tidak. Aku bukan lelaki seperti itu.' "Axel, kau akan makan siang dimana?" suara Reiden mengembalikan pikirannya yng menerawang. "Dimanapun yang dekat. Aku memiliki banyak pekerjaan." "Ayo, aku tahu tempatnya." Reiden berjalan memimpin Axel. Axel merapikan rambutnya yang sedikit berantakan lalu mengekori Reiden. "Sepertinya nona Tika sedang makan di dalam bersama temannya," ucap Reiden sesampainya mereka ke restoran yang Reiden
Kepada pembacaku, Hai-hai, salam kenal. Aku IchiOcha, penulis baru di pf Goodnovel. Novel Payung Merah ini debut novelku yang pertama lho..... Aku terharu banget, meski baru pertama ada teman-teman yang bersedia memasukkan bukuku di pustakanya. Terima kasih banget. Aku sangat menghargai itu karena aku sempat merasa ingin nyerah. Tapi berkat kalian aku jadi punya semangat lagi. Semoga kalian menyukai tulisanku dan mau memberi masukan agar aku semakin baik ke depannya dan semakin semangat lagi. Oh iya nanti bila ada bab-bab dari ceritaku yang mulai dikunci, aku akan adain give away 100 koin untuk 5 pembacaku. Syaratnya gampang banget, cukup beri masukan untuk bab-bab yang sudah kalian baca dan menshare ceritaku ke sebanyak mungkin pembaca goodnovel. Happy readers... With love, IchiOcha
"Pak, kenapa kau bersikap seperti itu pada nona Tika?" Reiden melontarkan pertanyaan saat lift mulai merayap naik. "Aku tidak tahu bahwa kau orang yang sangat ingin tahu, Rei," sinis Axel. "Sedikit," Rei tersenyum kaku seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lagipula, kemarin kau bilang tertarik padanya," imbuh Rei. "Perasaanku tidak penting yang penting aku sudah mendapatkan yang kuperlu, jadi dia tidak lagi berguna untukku," ketus Axel. Reiden menggut-manggut. Reiden tahu, bukan itu alasan Axel yang sesungguhnya. Saat Reiden bersembunyi sementara mengawasi mereka, Reiden dapat menangkap sekelebat tatapan hangat Axel pada Tika. Meski sekelebat, itu sudah cukup bagi Reiden untuk menyimpulkan bahwa Axel memiliki perasaan tertentu untuk Tika bukan sekedar tertarik. Axel sendiri sebenarnya tidak yakin dengan jawaban yang dia berikan pada Reiden. Hatinya sedikit nyeri saat mengatakan bahwa Tika sudah tidak berguna lagi untu
Hari itu, setelah Axel berkata begitu kejam dan meninggalkan Tika di depan lift, dia berdiri mematung selama beberapa saat. Perkataan Axel dan tatapan dinginnya membuat hati Tika terluka. Dia hampir saja menangis, andai ponselnya tidak berbunyi. Panggilan dari Rose, tapi Tika mengabaikannya. Gegas, Tika mengambil ikat rambut yang selama ini disimpannya dalam tas kerjanya, mengikat rambutnya asal, lalu berlari menuju ruangannya menggunakan tangga darurat. "Tika, sudah berapa kali kamu terlambat?" Suara madam Cleo sama sekali tidak terdengar ramah. Tika tidak langsung menjawab. Napasnya masih tersengal karena menaiki tangga sambil berlari. "Maaf bu." Hanya itu yang mampu Tika katakan. Dia kekurangan oksigen. Madam Cleo yang masih kesal dengan sikap Tika yang tidak disiplin, mengambil setumpuk dokumen dari mejanya lalu memberikannya ke Tika. "Ini! Kamu harus selesaikan hari ini!" Tika terbelalak, pekerjaan itu cukup banyak. Namun, dia tidak
Lokasi Penambangan Mineral di California "Mark, aku tahu kau tahu dimana Laura," ucap seorang laki-laki bermata biru pada seorang pria berambut keriting. Lawan bicaranya hanya tersenyum simpul, tidak menghiraukan, sibuk dengan berkas-berkas yang ada di depannya. Lelaki bermata biru mulai marah karena diabaikan. Dia beranjak dari tempat duduknya lalu mendekati pria berambut keriting itu. "Jangan pancing emosiku, Mark!" geramnya seraya menarik paksa kerah baju Mark. Bukannya takut, Mark malah tertawa mengejek, "Axel, jangan begitu sombong. Kau tidak lebih baik daripadaku. Hanya satu kata dari Laura, kau akan membusuk di penjara." Penghinaan yang baru saja Axel terima membuat darahnya mendidih, dia memukul Mark dengan keras sampai pria itu terlempar membentur dinding. Mark mengaduh lalu menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya, "Kau pikir, memukulku akan menyelesaikan masalah?" Mark merasa di atas awan. D
Sampai malam, pesan yang Tika kirim tak kunjung mendapatkan balasan. Meski telah belasan kali dia mengecek ponselnya bahkan memastikan ponselnya terhubung dengan jaringan. "Baiklah, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi." Tika menghela napas berat. Hatinya kembali sakit. Dia menyesal menuruti saran Rose. Tak lama kemudian Tika mulai menangis dan mengumpat Axel, "Laki-laki sialan, kenapa kau mempermainkan aku, huh?" "Bagaimana bisa kau memperlakukanku dengan begitu manis, tapi mengabaikanku di kesempatan lain. Apa aku tampak begitu mudah?" cerocos Tika. Air matanya berderai tak tertahan. Sekaleng bir diteguknya habis dalam sekali tarikan napas. Ring ring ring. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Serentak Tika berhenti menangis, dia mengusap air matanya lalu melihat pesan yang masuk. Tika mendesah kecewa, karena pesan yang masuk bukanlah dari Axel melainkan dari agen trip mendaki. Mereka membagikan poster tentang rencana pendakian k
"Laura, kau semakin cantik," puji seorang lelaki berlesung pipi. Dia memakai pakaian mendaki serta menggendong ransel besar dipunggungnya. Laura tidak menghiraukan. Dia sedang sibuk membetulkan tali sepatunya. Seperti pria itu, Laura juga menggunakan pakaian mendaki. "Kau tidak berubah. Masih begitu dingin," pria kembali bicara. "Dan kau, masihlah playboy yang suka merayu wanita," balas Laura. "Auch, aku tidak seburuk itu," kekehnya. "Sudahlah, kita mulai saja mendaki. Akan aku ceritakan hal yang perlu kau lakukan." Laura memimpin jalan. "Siap," ujar lelaki itu mengikuti langkah Laura. Tiga puluh menit semenjak perjalanan itu dimulai, mereka memutuskan beristirahat. "Mau minum?" tawar si pria pada Laura. Laura mengambil air dari tangan lelaki itu lalu meneguknya. "Kau harus menyamar menjadi karyawan di Meidenbourgh. Awasi Axel dan seorang gadis untukku," ujar Laura. "Untuk Axel, aku mengerti. Tap