Share

Bab 6

"Rose, sekarang aku tahu alasan pemotongan gajiku," ucap Tika menggebu usai teleponnya tersambung dengan Rose.

"Tika, kau bahkan tak menyapa lebih dulu. Jadi, apa alasannya?" Rose ikut antusias.

"Itu karena CEO baru itu," tukas Tika.

"Astaga, Tika. Hal itu sudah kita tahu dari kemarin," Rose mulai gemas. Seandainya berada di sampingnya, Rose ingin menepuk kepala gadis itu.

"Oh ya, maksudku karena CEO baru itu adalah orang yang membayariku makan siang beberapa hari yang lalu," Tika menjelaskan.

"What, suatu kebetulan yang aneh. Tapi apa kenapa dia mengurangi gajimu dan bagaimana dia bisa membayar makan siangmu," Rose bertanya kebingungan.

Tika menepuk dahinya, dia lupa belum menceritakan pada Rose soal pertemuannya dengan si CEO, tuan tampan yang membayar makan siangnya sekaligus memotong gajinya. 

"Baiklah, dengarkan, Rose. Akan aku ceritakan," ucap Tika. Tika menceritakan pertemuannya dengan CEO tampan itu dan bagaimana dia mendapatkan kartu namanya lalu merusaknya.

"Jadi, dia ingin menegurmu?" Rose mengambil kesimpulan setelah Tika selesai bercerita.

"Kurasa begitu," jawab Tika ragu.

"Aku rasa memang begitu. Oh, malangnya dirimu. Lalu, apa kau sudah berbuat sesuatu untuk menjelaskan kesalahpahaman?"

"Sudah."

"Waw, gadis keren, kau bahkan sudah berbicara dengan CEO tampan. Pasti para wanita iri kalau tahu."

"Tidak, aku tidak bicara dengannya. Aku bicara dengan asistennya tentang alasan aku tak bisa menemui bosnya," jelas Tika.

"Tetap saja, seorang bos membelikanmu makanan, Tika. Itu sesuatu yang membanggakan," ujar Rose menggoda.

"Iya tapi dia juga memotong gajiku, jadi dia bukan membayariku makan siang tapi meminjamiku uang dengan bunga yang sangat tinggi," sarkas Tika.

"Oh, ayolah Tika. Berpikirlah positif. Siapa tahu dia berubah pikiran setelah mendengar alasanmu," hibur Rose.

"Entahlah, aku harap juga begitu." 

Saat mengatakan itu, mata Tika menerawang. Dia juga berharap lelaki tampan yang beberapa hari ini sempat mengusik pikiran dan hatinya mau sedikit berbaik hati.

"Rose, aku lelah, aku tutup ya," pamit Tika.

"Oke, see you baby." 

Sambungan telepon terputus.

Tika menghela napas lalu berjalan menuju cermin. Dia melihat pantulan dirinya di cermin.

"Rasanya aku tidak terlalu jelek, aku memang mungil tapi rasanya proporsi badanku tidak cukup buruk. Wajahku juga lumayan. Jadi kenapa dia sangat tidak menyukaiku, bahkan memotong gajiku," gumam Tika pada dirinya sendiri.

"Pasti karena aku hanya karyawan biasa," gumam Tika lagi.

Malam itu, Tika menghabiskan waktunya dengan meneguk minuman keras untuk menghilangkan beban di hatinya karena tidak disukai oleh bos barunya.

***

Sepasang kaki terlihat berlari dengan kecepatan tinggi sepanjang jalan dari stasiun menuju sebuah gedung kantor. Sampai di depan pintu kantor, pemilik kaki itu menghela napas panjang untuk mengatur pernapasannya, tak lupa dia merapikan rambutnya yang dikuncir kuda. Setelah, dia yakin dengan penampilannya, dia lalu berjalan masuk ke dalam kantor. 

Saat akan masuk ke dalam lift, dia kalah cepat dengan beberapa karyawan lain yang juga terburu-buru. Akhirnya dia harus menunggu lift selanjutnya.

"Bukankah itu nona Tika?" celetuk Reiden pada Axel. Mereka berdua juga baru sampai di kantor dan melihat Tika yang sedang berdiri di depan lift.

"Bagus, kita tidak perlu bersusah payah memanggilnya." Axel langsung berjalan cepat menuju Tika.

Tika yang tak menyadari kedatangan mereka masih berdiri dengan santai. Hingga terdengar suara dehaman. Tika menoleh, matanya langsung membulat melihat orang yang ada di depannya. Tika beringsut mundur, sedikit ketakutan.

"Kau tidak apa-apa, Nona," sapa Reiden yang melihat perubahan raut wajah Tika.

"Y--a. Aku baik-baik saja," Tika tergagap. Dia menunduk, tak berani memandang Axel.

Axel lalu memberi kode pada Reiden untuk meninggalkan mereka berdua.

"Maafkan, aku. Aku tidak bermaksud untuk tidak menghubungimu atau tidak menepati janjiku." Tika masih menunduk. 

"Aku sudah menjelaskannya pada tuan Reiden, benar kan, Tuan?" Tika bertanya pada Reiden tanpa menyadari bahwa orang yang dia ajak bicara sudah berlalu pergi.

Tika sedikit mengangkat kepalanya karena tidak mendapat tanggapan dari Reiden. Namun, bukan Reiden yang dia lihat melainkan sepasang iris berwarna biru yang telah menghantui pikirannya. 

Tika akan kembali menunduk, tapi tangan Axel lebih dulu mencegahnya.

"Kenapa denganmu? beberapa hari yang lalu kau sangat berani," sindir Axel seraya menatap Tika dingin. 

Anehnya Tika merasa sakit ditatap seperti itu. Dia mengepalkan tangannya dan menguatkan diri. "Aku minta maaf, kau pasti kecewa padaku," sesal Tika. Dia sadar betul akan kesalahannya, tapi dia ingin diberi kesempatan.

"Kau memang gadis bodoh," ucap Axel dengan nada datar.

"Kau benar, aku memang bodoh. Aku bahkan sampai kehilangan setengah gajiku karena kebodohanku." Tika sengaja mengatakannya untuk melihat reaksi Axel.

"Itu hukuman yang pantas." Axel melepaskan dagunya lalu berjalan masuk menuju lift khusus jajaran direksi dan CEO.

Tika kelihatan ingin mengatakan sesuatu tapi mengurungkannya saat melihat Axel masuk ke lift.

"Kenapa kau bengong? Bukankah ada banyak hal yang ingin kau katakan. Ayo masuk!" perintah Axel tegas.

"Ba--baik." Tika menyusul Axel masuk ke dalam lift.

"Sepertinya kau ingin menyampaikan sesuatu, kenapa sekarang diam?" tegur Axel pada Tika yang sedari tadi menunduk diam.

"Eh, i--ya pak," Tika tergagap lagi. Tika mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa berbicara dengan baik ketika bersama Axel. Jujur saja, saat ini jantung Tika serasa mau copot karena hanya berdua dengan Axel.

"Bicaralah." Suara Axel sedikit melembut.

"Begini, Pak. Maksudku, Tuan. Aku tau aku salah, tapi bisakah engkau berbaik hati memulihkan gajiku?" Tika bertanya ragu sekaligus penuh harap.

"Tidak masalah, Gajimu tidak akan dipotong,"Axel menjawab enteng.

Mata Tika membulat, dia hampir tidak percaya dengan pendengarannya.

"Boleh diulang, Pak, ucapanmu baru saja?"

"Kau selain bodoh, tetapi juga tuli." Axel kesal.

"Maaf. Tapi, terima kasih, Pak. Eh, Tuan." Tika memegang lengan Axel seraya tersenyum. Hatinya bersorak, dia tidak perlu mencemaskan keuangannya lagi. Dia merasa sangat bersyukur, Axel ternyata bukan orang yang picik.

"Ada syaratnya," ucap Axel membuat senyum Tika hilang sekejap.

"Apa?" Tika bertanya dengan cemas. Namun, tetap berusaha berpikir positif.

Tanpa diduga, Axel beringsut ke arah Tika dan mendorong Tika ke sudut lift. Sekali lagi mata mereka bertemu, jantung Tika mencelus.

"Apa kau pikir akan aku minta?" Hangat napas Axel menerpa wajahnya.

Tika sungguh tak sanggup. Ketakutan sekaligus keinginan untuk mengecup lelaki di depannya muncul bersamaan. Dia menghela napas lalu menggeleng.

Axel menikmati sekelibat momen saat matanya menatap dalam mata Tika. Gadis itu meski kurang ajar memiliki pesona yang kuat.

"Kau hanya perlu mentraktirku makan malam," tutur Axel usai menjauhkan diri dari Tika.

Sebelum sempat menjawab, pintu lift terbuka. 

"Keluar, ini lantai divisimu!" perintah Axel.

Tika mengangguk lalu teringat sesuatu, "makan malamnya?"

"Reiden akan menghubungimu."

Pintu lift tertutup dan menyisakan Tika yang masih berdiri mematung. Tika menepuk pipinya sendiri, rasanya sakit. Artinya yang dia alami bukanlah mimpi. Seorang CEO tampan baru saja mengajaknya makan malam. Pipi Tika bersemu.

Namun, tanpa Tika sadari, seseorang yang telah mengatur ini ikut tersenyum karena rencananya berjalan lancar sejauh ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status