“Mas Haris.”
Alya tidak menyangka jika Haris suaminya berada di balik korden yang disingkap oleh Manto. Suami yang hilang sejak beberapa hari yang lalu ternyata disekap oleh Manto. Kini, dia hanya berdiri mematung di samping Manto. Manto yang mengundangnya di hotel ini.
“Hrmmmppp! Hrmmmppp!” Haris terus meronta. Matanya memancarkan kemarahan yang teramat dalam. Sedangkan Alya hanya menangis.
“Sudahlah Haris, menyerahlah! Berikan istrimu yang cantik ini kepadaku! Hutang judimu kuanggap lunas. Sama-sama enak kan?”
Tawa Manto menggema. Haris hanya meraung dengan suara tertahan. Dia tidak rela istrinya direbut oleh laki-laki lain, apalagi tua bangka tidak tahu diri seperti Manto.
Alya membuang wajahnya. Dia tidak sanggup menatap mata nyalang Haris. Semua berawal dari beberapa hari yang lalu, ketika tiba-tiba Manto datang ke rumahnya.
“Pak Manto,” Alya terkejut dengan kedatangan pria bertubuh gelap dan gempal. Perutnya yang buncit tampak menyembul dari kancing bajunya yang terlepas.
“Haris, ada?” tanya pria itu dengan senyum nakal. Alya risih melihatnya.
“Sudah beberapa hari Mas Haris belum pulang, ada keperluan apa Pak Manto ke sini?” sahut Alya dengan penuh selidik. Terlihat pria itu menyorotinya seakan ingin menelanjanginya bulat-bulat.
“Boleh saya masuk?”
“Tidak! cukup di sini saja! Ada keperluan apa Pak Manto ke sini!” gertak Alya dengan garangnya. Membuat Manto gemas.
“Cuma mau menagih hutang judi suamimu sebanyak 400 juta!”
Bagaikan tersambar petir tepat di telinganya, Alya terperanjat. Wanita berumur tiga puluhan itu mengelus dada. Raut wajahnya pias. Suaminya memang gila judi, tapi dia tidak menyangka kalau hutang suaminya sudah bejibun.
“400 juta, Pak?”
“Ini catatannya,” Manto menunjukan surat hutang yang ditandatangani di atas sebuah materai. Mata Alya membulat. Tubuhnya melemas.
“Bayar hutang suamimu, atau aku akan menjebloskan dia ke penjara.”
Alya diam. Haris sudah kelewatan. Sebagai suami, dia tidak pernah memberi nafkah lahir batin sepenuhnya. Justru Alya dan Leo, anak semata wayangnya yang baru menginjak bangku sekolah dasar sering mendapatkan perlakuan kasar dari sang suami. Alya sudah tidak tahan lagi.
“Harusnya Haris yang bayar bukan saya. lagipula, saya ingin menuntut cerai darinya,” tandas Alya. Alya sudah menbulatkan tekadnya. Dia akan memulai kehidupan baru dengan Leo, tanpa adanya Haris.
Manto tergelak. Alya mengernyit dahi keheranan. Pria itu terlihat menggeser ponselnya dan menunjukan sebuah video.
“Kamu bisa mengelak dari Haris, tapi tidak dengan anakmu kan? Lihat aku berhasil menculiknya sepulang sekolahnya tadi.”
Alya mengangga sambil menutup mulutnya. Astaga, pantas saja Leo belum pulang dari tadi, ternyata bedebah ini yang telah menculiknya.
“Kembalikan Leo, brengsek!” pekik Alya yang beringas memukuli tubuh tambun itu.
“Bayar hutang suamimu, kalau kamu ingin anakmu kembali dengan selamat.”
Alya tergugu dalam tangis. Pria itu begitu licik. Dia tahu letak kelemahan Alya dan berusaha menjeratnya perlahan.
“Nanti malam, datanglah ke hotel Cempaka indah di jalan Soedirman. Kamar nomor 1304. Kita bahas masalah ini di sana,” ujar Manto sebelum membalikan badan menuju mobilnya. Alya tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Namun, dia antisipasi dengan membawa pisau lipat
Kini, setelah kedatangannya di hotel itu, Alya langsung dipaksa untuk menyetujui pernikahan dengan Manto. Pisau yang dia bawa sudah disita oleh para bodyguard di depan kamar tadi. Alya tidak mampu menolak karena dipertontonkan video anaknya yang sedang dirantai.
Alya hanya bisa menangis. Terlebih sekarang, dia dihadapkan dengan sang suami yang masih terbelenggu dengan tali di sebuah kursi. Matanya menyulutkan emosi yang besar tatkala melihat Alya merintih kesakitan karena keperkasaan besar yang terus menghujam.
Manto lantas menarik kain yang menyumpal mulut Haris.
“Bedebah! Lepaskan istriku!”
“Kenapa kamu masih memperdulikan istrimu sementara di meja judi, kamu sama sekali tidak memikirkan anak istrimu?”
Haris bungkam. Pertanyaan sarkas dari Manto menyadarkannya akan ketidak mampuannya menahan nafsu berjudi. Sekarang, dia harus menahan perih melihat sang istri dilecehkan karena hutang yang sudah bejibun.
“Sekarang, aku tanya sekali lagi sama kamu. Relakan istri dan anakmu bersamaku. Maka semua hutangmu aku anggap lunas. Dan satu lagi penawaran yang lebih special.”
Note:
Hello readers, sudah tahap revisi nih. semoga kalian suka ya. Jangan lupa untuk tinggalkan review dan Votenya makasih.
Suara gedoran pintu menyentak Alya yang baru saja terlelap. Semalaman dia tidak bisa tidur. Terus kepikiran dengan apa yang akan terjadi hari ini. “Bangun Woi!” pekik suara bass diiringi gedoran yang lebih keras. Alya tergeragap. Itu pasti suara bodyguard yang disuruh menjaganya di luar kamar presidensial ini. Semalam setelah Manto puas menggagahinya, Alya dialihkan ke kamar ini. Alya beringsut membuka pintu sampai sebuah tangan besar langsung menyeretnya. Kemudian, dia digiring bak pesakitan menuju sebuah mobil. Alya tidak mampu mengelak. Dia tidak ingin Leo kenapa-napa di tangan Manto. Alya tercenung begitu sampai di depan Pengadilan Agama. Dia memang sudah menginginkan bercerai dengan suami yang tidak berguna itu. Namun, tidak pernah terbayangkan di benaknya kalau mereka harus berpisah dengan cara seperti ini. Sebuah perjanjian yang menjadikan hidupnya bak neraka. “Akhirnya kamu datang juga Alya cantik. Bagaimana apakah kamu siap menjad
Alya mengerjapkan mata begitu terbangun di sebuah kasur Queen size. Dia mendapati ruangan kamar yang begitu mewah. Bahkan melebihi kamar hotel tempatnya menginap semalam. Dia melangkah menuju jendela. Menyikap kordennya. Matanya berbinar begitu beradu dengan cahaya matahari yang masuk. Pemandangan hamparan gunung yang menakjubkan dengan miniatur kota di bawahnya. Alya menebak kalau dirinya berada di sebuah Villa yang cukup mewah di puncak. Dia menggeser dinding kaca. Seketika aroma pegunungan menerpa dirinya. Alya memejamkan mata. Menghirup sejuknya udara pegunungan yang menenangkan. Melupakan masalah yang membelenggu sejenak. Sekilas, Alya melihat sebuah Villa yang tidak kalah mewah dari Villa itu. Villa dengan konsep victorian style terlihat megah di seberang sana. Dahinya mengernyit begitu melihat kerumunan orang. Sepertinya ada sebuah acara besar yang sedang dilaksanakan di sana. Mendadak, Alya merasakan rambutnya ditarik ke be
Sedangkan di Villa mewah itu, Andrew Schimmer tampil menawan dengan jas pengantin yang dikenakannya. Pesonanya membius tamu undangan terutama kaum hawa, Lelaki berdarah Filipina, Spanyol dan Indonesia itu sangat sempurna. Belum lagi dengan tonjolan kekar memenuhi setiap jengkal tubuhnya. “Come on, Honey. Where are you?” bisik Andrew resah di ujung telefon. Aksen Tagalognya masih kental. Dia tidak memperdulikan begitu banyak kaum hawa yang menahan histeris karena kagum. Terus berjalan membelah kerumunan sambil tangannya yang masih memegang ponsel. Ara, nama tunangannya. Sebentar lagi akan menjadi istrinya. Namun menjelang ikrar janji suci, tunangannya tidak kunjung muncul. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Sebab itu dia menghubungi keluarga Ara satu-satu. Tapi, tidak kunjung ada jawaban. “Permisi Tuan, acara akadnya mau dimulai jam berapa?” Bernando memberanikan diri untuk bertanya. Dia sudah sangat hafal dengan mimik muka Andrew yang
“Tuan, serius ingin menikahi saya?” tanya Alya yang menghentikan langkahnya. Mau tak mau Andrew juga ikut berhenti.“Kenapa kamu keberatan?” Andrew balik bertanya. Tatapannya begitu menikam hati Alya. Alya hanya tertunduk. “Bukan seperti itu maksud saya, Tuan. Sebelumnya saya berterima kasih karena Tuan sudah menolong saya tadi.” “Stop! Saya tidak menerima basa basi kamu. Mending sekarang kamu bersiap-siap karena sebentar lagi kita akan melakukan akad,” sambar Andrew yang begitu angkuhnya. Alya mengunci mulutnya rapat-rapat. Pesona pria itu sangat mematikan. Tampan tapi mulutnya pedas. Andrew mengedarkan pandangan. Begitu melihat Bernando, dia langsung melambaikan tangan, isyarat mendekat. Sang aspri dengan langkah lebarnya menghampiri sang majikan. “Bawa dia ke ruang make up. Dandani secantik mungkin. Aku tidak mau dia mempermalukanku di acara pernikahan ini.”Bernando mengernyit dahi sambil melihat ke arah wanita yang berpakaian lusuh di samping majikannya. Dia kembali menatap ke
Alya memutar mata jengah. Akhirnya, dia pasrah di posisi seperti itu. Berusaha memejamkan mata, meski terdengar suara dengkuran halus yang menguar bau alcohol cukup membuatnya tidak nyaman. Tubuh pria itu menempel ketat di punggungnya, sehingga Alya bisa merasakan dada bidang yang naik turun. Yang lebih membuat Alya merinding. Di sela-sela bau alcohol, Bau badan pria itu juga menguar kuat. Bukan seperti bau parfum pria kebanyakan, tapi perpaduan unik antara keringat dan juga parfum, Baunya sangat segar dan menggugah insting kewanitaannya. “Hmmmmm….Hmmmm….” Secara refleks Alya bergumam. Beberapa detik dia tersadar. Astaga, Kenapa aku begini sih! Ah, dia benci mengakuinya, tapi dia cukup terangsang akan hal itu. Seketika pikiran liarnya melayang kemana-mana. Membayangkan Pria itu tanpa pakaian. Badannya pasti sangat bagus dan menawan. Apalagi, Alya membuang pikiran kotornya. Tetapi, di posisi sedekat itu dengan pria gagah, mana mungkin dia bisa mengusir
Alya terjaga dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya. Mimpi barusan begitu mengerikan. Dia melihat Leo yang disiksa oleh Manto. Terlihat anak semata wayangnya itu menangis sambil memanggil-manggil namanya. “Kamu kenapa sih berisik!" Alya sedikit terjingkat saat mendengar Andrew yang bergumam dalam tidurnya. Sepertinya dia dalam kondisi tidak sadar. Tubuh kekarnya yang tanpa selimut itu terbuka. Menggeliat pelan. Hal yang membuat Alya tidak berkedip adalah sesuatu yang menonjol di balik celana pria itu. Seketika Alya teringat dengan kejadian semalam, di mana benda itu menggesek bongkahan sekal dirinya. Masih terasa hangat, keras dan berurat. Alya mengigit bibir. Penasaran dengan isi di dalamnya. “Kenapa kamu teriak pagi-pagi hah?” Suara barinton itu mengejutkan dirinya. Andrew terlihat menatapnya dari matanya yang menyipit karena masih ngantuk. Wajahnya tampan meski dalam keadaan kuyu. “Ak
Dengan degub jantung yang tidak menentu, Alya mengulurkannya tangannya. Bagai tersengat listrik, dia mengenggam benda yang begitu besar dan menjulang itu, bahkan lingkaran tangannya saja tidak muat.“Ayo urut,” pintanya diiringi suara bass yang mendesah. Menggelitik telinga Alya. Wanita itu mulai mengerakannya jemari lentiknya ke keperkasaan yang sudah sangat mengamuk itu. Betapa tidak, dia bisa merasakan otot-otot yang berdenyut seakan sudah siap memuntahkan laharnya.“Terus, seperti itu Alya,” ceracaunya. Alya terbawa suasana. Jemarinya semakin kuat memilin benda itu. Benda yang Alya bayangkan begitu sesak masuk memenuhi dinding-dinding kewanitaannya. Seketika bulu kuduknya berdiri.Alya menyoroti bongkahan dada Andrew yang sekal. Kedua pundak yang kokoh. Serta perut yang menggembung bukan karena lemak, melainkan otot yang padat berisi. Kalau diamati lebih dekat, terdapat bulu-bulu liar yang tumbuh di area pusarnya, menurun hingga daera
Alya merintih sambil menggesek-gesekkan lubang senggamannya ke kepala kejantanan yang sudah sangat keras. Dia ingin supaya Andrew menghujamnya dengan keras. Tetapi pria itu hanya bergeming sambil menatap liar kemolekan Alya yang menggeliat.“Saya tidak akan bergerak kalau kamu tidak bicara dengan jelas,” tandas Andrew. Alya masih bingung dengan kemauan pejantan itu.“Bicara apa , Tuan? Saya tidak paham,” ujar Alya dengan polosnya. Andrew memutar mata jengah.“Coba sekarang aku tanya, kenapa kamu menggesekan liangmu dengan kejantananku,” tanya Andrew. Raut wajah Alya memerah, haruskah dia menjawab pertanyaan bodoh ini.“Aku ingin punyamu yang besar , Tuan,” jawab Alya yang tidak percaya bisa berkata seperti itu. Dia merasa liar sekali mengatakannya.“Ulangi sekali lagi?”Alya memejamkan mata. Demi dinding kewanitaannya yang semakin gatal, Alya terpaksa menuruti Andrew.&