Share

3. Tawaran Menyakitkan

Bab 3

ADARA

*

Dara menatap amplop tebal di depannya. Sejenak gadis itu diam, lalu menyunggingkan senyum sinisnya pada wanita itu. Ini bukan untuk pertama kali ia direndahkan seperti itu.

"Apa ibu selalu menyelesaikan semua hal dengan uang?" tanya Dara penuh penekanan.

Wanita paruh baya itu tersenyum, menatapnya tajam. "Saya hanya menyelesaikan apa yang perlu saya selesaikan. Saya hanya melindungi apa yang perlu saya lindungi."

Benar seperti dugaan Dara. Saat wanita itu menelepon, ia menebak sesuatu akan terjadi padanya. Sesuatu seperti sekarang ini, direndahkan dengan uang seolah segala hal di dunia ini bisa selesai dengannya. Seolah semua hal di dunia ini hanya senilai uang semata.

"Jangan pernah bilang kalau kamu itu anak yang terlahir tanpa ayah, Dara! Dengarkan, Om! Tidak ada lelaki yang akan menikahimu jika mereka tau kamu tak punya wali nikah." Paman Dara selalu mengatakan seperti itu. Namun, Dara tak bisa membenarkan perkataan pamannya.

"Katakan saja sebagai anakku. Biar aku yang akan jadi walimu. Atau kita pindah sana namamu masuk dalam KK kami," tambah pamannya waktu itu.

"Itu dosa. Dara nggak mau berada dalam perzinahan terpimpin itu."

"Justru status Dara akan menentukan mana lelaki yang tulus," tambahnya.

Dara lebih memilih mengakui daripada harus mengikuti perintah pamannya. Meskipun ia selalu akan berakhir tragis dalam hubungan percintaannya. Tak mengapa asalkan ia tak mengulang kesalahan yang sama seperti ibunya. Mengulang noda turunan yang kerap dicap oleh banyak orang. Dara ingin membuktikan bahwa ia terlahir sama seperti anak lain, meskipun hingga kini ia merasa tak pernah mendapatkan hak itu.

Seperti saat ini, ibu dari seseorang yang baru saja mengajaknya menikah mendatanginya dengan membawa sejumlah uang. Uang yang akan diberikan untuk Dara dengan imbalan harus menjauh dari anaknya.

Rayyanul Fatha. Wanita yang kini di depan Dara adalah ibu dari lelaki itu. Lelaki yang beberapa minggu lalu bertemu dengan Dara dan mengatakan jatuh cinta padanya.

"Kalau saya minta semua harta ibu untuk saya, sanggup?" tanya Dara sambil tertawa sinis.

"Ah, iya. Menguntungkan juga kalau dapat semua harta ibu. Lumayan bisa kaya mendadak. Gimana, setuju?" Dara masih tertawa sambil menggelengkan kepala, meski dalam hati ia simpan ringisan perih.

"Kamu jangan keter laluan!" sergah wanita di depan Dara. Ia melihat gadis itu lumayan keras kepala. Mungkin jika gadis lain yang ia datangi, maka akan menangis atau bersujud padanya memohon restu. 

Dara sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan wajah ibu Rayyan, menegaskan apa yang perlu diketahui wanita itu. Menegaskan bahwa ia bukan gadis yang mudah digertak.

"Saya memang miskin. Tumbuh besar di keluarga yang miskin, tapi saya memiliki harga diri yang tinggi." Dara menggeser amplop cokelat hingga tepat di depan wanita itu.

Bahkan rasa lelah yang tengah dirasa Dara setelah seharian bekerja, kini bertambah saat melihat wanita itu dan menghadapinya.

"Dan, saya rasa ibu adalah salah satu orang kaya yang suka menghamburkan uang untuk hal yang tak penting. Tanpa memberikan uang ini pun, saya akan menjauh dari anak ibu. Gak perlu repot-repot, Bu." Dara tersenyum sinis. Menunjukkan sisi kuat dan tak ingin diinjak, padahal dalam hatinya telah remuk redam tak terelakkan. 

"Oh, jika ingin terlihat baik dan ringan tangan, kenapa enggak ke panti asuhan, ke masjid atau panti sosial lainnya. Lebih terkesan baik." Dara menekan sinis, membuat Yasmin menatap tajam padanya.

Banyak orang memperlakukan orang lain berdasarkan harta dan kedudukan. Dara tidak punya apapun di sini, ia hanya memiliki harga diri yang tinggi, dan itu yang selalu coba ia pertahankan.

Wanita itu mengangguk-angguk melihat keberanian sikap Dara. Entahlah dari mana putranya menyukai gadis itu, sama sekali tak setara dengannya dari segi apa pun. Sama sekali tak memiliki sopan santun dan sombong.

"Ma, aku akan menikahinya. Dia beda, Ma." Rayyan berkata pada ibunya. Membuat telinga wanita itu terasa panas. Jika dibandingkan dengan Sandra, Dara tentu tidak ada apa-apanya. 

"Kamu gak boleh nikah selain sama Sandra." Wanita itu menegaskan. Ia tak ingin Rayyan salah memilih jodohnya.

Sandra, gadis cantik lulusan kedokteran yang kini menjadi salah satu dokter spesialis kandungan di rumah sakit swasta di Jakarta. Sandra dan Rayyan sudah berteman sejak SMP, jadi tak ada salah jika mereka menikah karena sudah saling mengenal. Cocok dengan Rayyan yang juga merupakan seorang dokter, pun mereka bekerja di rumah sakit yang sama.

Rayyan tetap pada pendiriannya. Ia tak bisa membiarkan orang lain menentukan kata hatinya. Tentang cinta dan perasaan hanya ia sendiri yang bisa menentukan.

Permintaan Rayyan membuat Yasmin sebagai seorang ibu menjadi gusar. Ia hanya membayangkan masa depan anaknya akan gelap jika menikah dengan Dara.

Lalu, Yasmin mengambil nomor Dara dari ponsel anaknya. Wanita itu menghubungi Dara untuk meminta bertemu dan membuat suatu kesepakatan.

"Ada lagi yang ingin dikatakan, Bu?" tanya Dara sebelum beranjak pergi dari cafe itu. Ia merasa gerah menghadapi wanita itu.

"Tidak ada hal yang penting, selain persetujuan untuk menjauhi anakku."

Dara tersenyum miring pada Yasmin yang meraih cangkir teh dan menyesapnya.

"Dengan uang, ibu bisa kendalikan banyak hal. Namun, tidak dengan perasaan."

"Apa maksudmu? Kamu tetap ingin mendekati anak saya?" tanya Yasmin semakin dibuat bingung oleh sikap Dara. Sementara Dara, ia suka melihat Yasmin kepanasan.

"Melanjutkan apanya? Saya bahkan belum memulai. Dokter Rayyan yang selama ini ngejar-ngejar saya. Sementara saya sendiri tahu di mana tempat saya harus berdiri. Jadi, tolong jangan temui saya lagi dengan menginjak harga diri seperti ini."

Setelah mengatakan itu, Dara pergi dari hadapan ibu Rayyan. Pergi meninggalkan kalimat yang sedikit menohok hati Yasmin. Namun, itu tak memberi perubahan yang besar, karena Yasmin tetap tak mau menerima Dara sebagai menantunya.

Kelas mereka beda. Kasta yang berbicara.

Dara ibarat lumpur kotor yang terinjak di bawah sepatu orang-orang. Bagaimana bisa Rayyan akan mengambil kotoran yang bahkan orang lain menghindarinya?

*

Bohong. Semua yang Dara katakan pada ibu Rayyan adalah kebohongan. Kebohongan dari hatinya untuk tetap menjaga harga diri. Kalimat-kalimat wanita itu serupa pisau yang mengoyak hatinya begitu dalam. Dara merasa kembali terhina dan seolah tak boleh mendapatkan hak untuk mencintai. Tak mendapatkan hak untuk bahagia.

Andai bisa mengulang waktu, Dara ingin tak pernah bertemu dengan Rayyan. Gadis itu tak ingin membuat luka baru di hatinya. Padahal berkali-kali ia katakan pada diri sendiri untuk tak boleh sembarangan jatuh cinta. Kenapa hati serumit itu? Kenapa Dara harus jatuh cinta pada lelaki yang jauh di atas levelnya.

Setelah pulang dari cafe, Dara langsung pulang ke rumah. Ia ingin mengekspresikan dirinya sendiri yang lemah. Gadis itu meringkuk di atas ranjang di dalam rumah setengah bata itu. Meringkuk sambil menangis menahan isakan. Karena bisa jadi kakek dan nenek bisa mendengarnya dari luar, dan Dara tak mau itu terjadi.

Bukan pertama kali ia direndahkan karena statusnya. Noda turunan yang seolah menempel di wajahnya. Hingga ke mana pun ia pergi, noda itu tetap mengikuti. Noda yang ditorehkan oleh seorang lelaki dalam rahim ibunya. Noda yang tak pernah bisa dibersihkan dengan apa pun, hingga Dara harus ikut menanggung sia lnya.

Kadang, Dara berpikir bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas hidupnya. Seseorang yang ia sebut ayah biologisnya, tapi hingga kini ibu Dara tak pernah bicara siapa pelakunya. Dara berjanji untuk tidak memaafkan siapa pun yang telah membuat hidupnya seperti itu, ia mengutuk lelaki yang menanamkan benih di rahim ibunya.

Gadis itu telah mencoba untuk lupa. Dara telah mencoba untuk mengabaikan, tapi sialnya perasaan itu tetap ada. Perasaan cinta yang telah ia bunuh beberapa kali dalam hidupnya. Kadang ia merasa bahwa tak mengapa jatuh cinta, ia juga perempuan biasa yang memiliki perasaan itu. Namun, kejamnya saat orang-orang menyadarkan tentang statusnya. Menyadarkan tentang ia yang tak boleh jatuh cinta, karena tak akan ada yang menerimanya untuk dinikahi.

Itu menyakitkan.

Dara masih terisak di atas ranjangnya, kini ia menutup wajahnya dengan sebuah bantal. Namun, gadis itu mengusap air matanya dengan cepat saat sebuah ketukan terengar di depan pintunya.

"Dara … nenek sakit lagi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status