Bab 3
ADARA*
Dara menatap amplop tebal di depannya. Sejenak gadis itu diam, lalu menyunggingkan senyum sinisnya pada wanita itu. Ini bukan untuk pertama kali ia direndahkan seperti itu."Apa ibu selalu menyelesaikan semua hal dengan uang?" tanya Dara penuh penekanan.
Wanita paruh baya itu tersenyum, menatapnya tajam. "Saya hanya menyelesaikan apa yang perlu saya selesaikan. Saya hanya melindungi apa yang perlu saya lindungi."
Benar seperti dugaan Dara. Saat wanita itu menelepon, ia menebak sesuatu akan terjadi padanya. Sesuatu seperti sekarang ini, direndahkan dengan uang seolah segala hal di dunia ini bisa selesai dengannya. Seolah semua hal di dunia ini hanya senilai uang semata.
"Jangan pernah bilang kalau kamu itu anak yang terlahir tanpa ayah, Dara! Dengarkan, Om! Tidak ada lelaki yang akan menikahimu jika mereka tau kamu tak punya wali nikah." Paman Dara selalu mengatakan seperti itu. Namun, Dara tak bisa membenarkan perkataan pamannya.
"Katakan saja sebagai anakku. Biar aku yang akan jadi walimu. Atau kita pindah sana namamu masuk dalam KK kami," tambah pamannya waktu itu.
"Itu dosa. Dara nggak mau berada dalam perzinahan terpimpin itu."
"Justru status Dara akan menentukan mana lelaki yang tulus," tambahnya.
Dara lebih memilih mengakui daripada harus mengikuti perintah pamannya. Meskipun ia selalu akan berakhir tragis dalam hubungan percintaannya. Tak mengapa asalkan ia tak mengulang kesalahan yang sama seperti ibunya. Mengulang noda turunan yang kerap dicap oleh banyak orang. Dara ingin membuktikan bahwa ia terlahir sama seperti anak lain, meskipun hingga kini ia merasa tak pernah mendapatkan hak itu.
Seperti saat ini, ibu dari seseorang yang baru saja mengajaknya menikah mendatanginya dengan membawa sejumlah uang. Uang yang akan diberikan untuk Dara dengan imbalan harus menjauh dari anaknya.
Rayyanul Fatha. Wanita yang kini di depan Dara adalah ibu dari lelaki itu. Lelaki yang beberapa minggu lalu bertemu dengan Dara dan mengatakan jatuh cinta padanya.
"Kalau saya minta semua harta ibu untuk saya, sanggup?" tanya Dara sambil tertawa sinis.
"Ah, iya. Menguntungkan juga kalau dapat semua harta ibu. Lumayan bisa kaya mendadak. Gimana, setuju?" Dara masih tertawa sambil menggelengkan kepala, meski dalam hati ia simpan ringisan perih.
"Kamu jangan keter laluan!" sergah wanita di depan Dara. Ia melihat gadis itu lumayan keras kepala. Mungkin jika gadis lain yang ia datangi, maka akan menangis atau bersujud padanya memohon restu.
Dara sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan wajah ibu Rayyan, menegaskan apa yang perlu diketahui wanita itu. Menegaskan bahwa ia bukan gadis yang mudah digertak.
"Saya memang miskin. Tumbuh besar di keluarga yang miskin, tapi saya memiliki harga diri yang tinggi." Dara menggeser amplop cokelat hingga tepat di depan wanita itu.
Bahkan rasa lelah yang tengah dirasa Dara setelah seharian bekerja, kini bertambah saat melihat wanita itu dan menghadapinya.
"Dan, saya rasa ibu adalah salah satu orang kaya yang suka menghamburkan uang untuk hal yang tak penting. Tanpa memberikan uang ini pun, saya akan menjauh dari anak ibu. Gak perlu repot-repot, Bu." Dara tersenyum sinis. Menunjukkan sisi kuat dan tak ingin diinjak, padahal dalam hatinya telah remuk redam tak terelakkan.
"Oh, jika ingin terlihat baik dan ringan tangan, kenapa enggak ke panti asuhan, ke masjid atau panti sosial lainnya. Lebih terkesan baik." Dara menekan sinis, membuat Yasmin menatap tajam padanya.
Banyak orang memperlakukan orang lain berdasarkan harta dan kedudukan. Dara tidak punya apapun di sini, ia hanya memiliki harga diri yang tinggi, dan itu yang selalu coba ia pertahankan.
Wanita itu mengangguk-angguk melihat keberanian sikap Dara. Entahlah dari mana putranya menyukai gadis itu, sama sekali tak setara dengannya dari segi apa pun. Sama sekali tak memiliki sopan santun dan sombong.
"Ma, aku akan menikahinya. Dia beda, Ma." Rayyan berkata pada ibunya. Membuat telinga wanita itu terasa panas. Jika dibandingkan dengan Sandra, Dara tentu tidak ada apa-apanya.
"Kamu gak boleh nikah selain sama Sandra." Wanita itu menegaskan. Ia tak ingin Rayyan salah memilih jodohnya.
Sandra, gadis cantik lulusan kedokteran yang kini menjadi salah satu dokter spesialis kandungan di rumah sakit swasta di Jakarta. Sandra dan Rayyan sudah berteman sejak SMP, jadi tak ada salah jika mereka menikah karena sudah saling mengenal. Cocok dengan Rayyan yang juga merupakan seorang dokter, pun mereka bekerja di rumah sakit yang sama.
Rayyan tetap pada pendiriannya. Ia tak bisa membiarkan orang lain menentukan kata hatinya. Tentang cinta dan perasaan hanya ia sendiri yang bisa menentukan.
Permintaan Rayyan membuat Yasmin sebagai seorang ibu menjadi gusar. Ia hanya membayangkan masa depan anaknya akan gelap jika menikah dengan Dara.
Lalu, Yasmin mengambil nomor Dara dari ponsel anaknya. Wanita itu menghubungi Dara untuk meminta bertemu dan membuat suatu kesepakatan.
"Ada lagi yang ingin dikatakan, Bu?" tanya Dara sebelum beranjak pergi dari cafe itu. Ia merasa gerah menghadapi wanita itu.
"Tidak ada hal yang penting, selain persetujuan untuk menjauhi anakku."
Dara tersenyum miring pada Yasmin yang meraih cangkir teh dan menyesapnya.
"Dengan uang, ibu bisa kendalikan banyak hal. Namun, tidak dengan perasaan."
"Apa maksudmu? Kamu tetap ingin mendekati anak saya?" tanya Yasmin semakin dibuat bingung oleh sikap Dara. Sementara Dara, ia suka melihat Yasmin kepanasan.
"Melanjutkan apanya? Saya bahkan belum memulai. Dokter Rayyan yang selama ini ngejar-ngejar saya. Sementara saya sendiri tahu di mana tempat saya harus berdiri. Jadi, tolong jangan temui saya lagi dengan menginjak harga diri seperti ini."
Setelah mengatakan itu, Dara pergi dari hadapan ibu Rayyan. Pergi meninggalkan kalimat yang sedikit menohok hati Yasmin. Namun, itu tak memberi perubahan yang besar, karena Yasmin tetap tak mau menerima Dara sebagai menantunya.
Kelas mereka beda. Kasta yang berbicara.
Dara ibarat lumpur kotor yang terinjak di bawah sepatu orang-orang. Bagaimana bisa Rayyan akan mengambil kotoran yang bahkan orang lain menghindarinya?
*
Bohong. Semua yang Dara katakan pada ibu Rayyan adalah kebohongan. Kebohongan dari hatinya untuk tetap menjaga harga diri. Kalimat-kalimat wanita itu serupa pisau yang mengoyak hatinya begitu dalam. Dara merasa kembali terhina dan seolah tak boleh mendapatkan hak untuk mencintai. Tak mendapatkan hak untuk bahagia.
Andai bisa mengulang waktu, Dara ingin tak pernah bertemu dengan Rayyan. Gadis itu tak ingin membuat luka baru di hatinya. Padahal berkali-kali ia katakan pada diri sendiri untuk tak boleh sembarangan jatuh cinta. Kenapa hati serumit itu? Kenapa Dara harus jatuh cinta pada lelaki yang jauh di atas levelnya.
Setelah pulang dari cafe, Dara langsung pulang ke rumah. Ia ingin mengekspresikan dirinya sendiri yang lemah. Gadis itu meringkuk di atas ranjang di dalam rumah setengah bata itu. Meringkuk sambil menangis menahan isakan. Karena bisa jadi kakek dan nenek bisa mendengarnya dari luar, dan Dara tak mau itu terjadi.
Bukan pertama kali ia direndahkan karena statusnya. Noda turunan yang seolah menempel di wajahnya. Hingga ke mana pun ia pergi, noda itu tetap mengikuti. Noda yang ditorehkan oleh seorang lelaki dalam rahim ibunya. Noda yang tak pernah bisa dibersihkan dengan apa pun, hingga Dara harus ikut menanggung sia lnya.
Kadang, Dara berpikir bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas hidupnya. Seseorang yang ia sebut ayah biologisnya, tapi hingga kini ibu Dara tak pernah bicara siapa pelakunya. Dara berjanji untuk tidak memaafkan siapa pun yang telah membuat hidupnya seperti itu, ia mengutuk lelaki yang menanamkan benih di rahim ibunya.
Gadis itu telah mencoba untuk lupa. Dara telah mencoba untuk mengabaikan, tapi sialnya perasaan itu tetap ada. Perasaan cinta yang telah ia bunuh beberapa kali dalam hidupnya. Kadang ia merasa bahwa tak mengapa jatuh cinta, ia juga perempuan biasa yang memiliki perasaan itu. Namun, kejamnya saat orang-orang menyadarkan tentang statusnya. Menyadarkan tentang ia yang tak boleh jatuh cinta, karena tak akan ada yang menerimanya untuk dinikahi.
Itu menyakitkan.
Dara masih terisak di atas ranjangnya, kini ia menutup wajahnya dengan sebuah bantal. Namun, gadis itu mengusap air matanya dengan cepat saat sebuah ketukan terengar di depan pintunya.
"Dara … nenek sakit lagi."
Bab 4ADARA.Dara sedang menahan isak tangisnya, lalu terdengar sebuah ketukan pintu kamarnya.“Dara … nenek sakit lagi.” Dara mendengar kakeknya memanggil.Gadis itu segera menghapus air matanya, meski tak bisa ia sembunyikan hidung dan matanya yang memerah.Dara membuka pintu, mendapati sang kakek yang berdiri khawatir di depannya. Segera ia menuju ke kamar nenek untuk melihat keadaan wanita tua itu.Di sebuah ruangan sebelum sampai di kamar nenek, Dara melihat ibunya, Liana. Kembali air dari sudut matanya menetes kala melihat ibunya sedang tertawa sediri dengan sebuah buku dan pulpen di depannya. Liana selalu meminta buku dan pulpen untuk menulis apa saja yang ia tulis, lalu tertawa atau menangis setelah itu. Tulisan acak seperti anak yang sedang belajar menulis.Pemandangan itu selalu menyoyak hati Dara. Ia berjanji pada diri sendiri suatu hari akan membawa ibunya berobat dan sembuh. Namun, kenyataan dan mimpinya tak sesuai dengan harapan. Untuk memenuhi kebutuhan harian saja Dar
Bab 5ADARA.“Minum dulu, Nek!” Dara mengangsurkan segelas air putih di dekat mulut neneknya.Nenek mengela napas lega, ia merasa sedikit tenaga setelah minum obat. Dara berhasil pulang setelah memberikan beberapa pukulan untuk preman jalanan, setelah itu ia lari tunggang langgang sampai di rumah.Ia tak menceritakan semua itu pada siapa pun, karena itu sama saja menyusahkan orang-orang rumah. Apalagi kondisi nenek memang tak sehat. Kakeknya pun sudah tidak muda lagi untuk terus menerus mendengar beban kabar buruk.“Nenek istirahat ya.” Dara menarik selimut sebatas dada untuk neneknya. Perempuan tua itu mengangguk, lalu mulai memejamkan mata.“Kalau ada apa-apa, panggil Dara ya, Kek.” Gadis berusia dua puluh tahun itu berpesan. Seperti biasa, mengingatkan sang kakek bahwa saat neneknya kambuh ia harus memanggilnya di dalam kamar, bahkan jika gadis itu tak terjaga dari tidurnya.Lelaki senja bernama Suryadi itu mengangguk, dengan sudut mata yang hampir saja mengeluarkan air mata. Ia t
Bag 6 . Seperti biasa saat senja menyapa, Dara akan kembali ke rumahnya. Ia akan pulang bersama Ayu karena gadis itu menawarkan akan mengantarkannya ke rumah. Hanya Ayu satu-satunya teman yang paling mengerti keadaan Dara. Gadis itu tak ikut menghakimi hidup Dara seperti yang orang lain lakukan. Saat Dara mengeluh tak ada uang, ia bersedia mengantar jemput agar temannya itu tak harus jalan kaki untuk pulang. Padahal rumah mereka berbeda arah. Bahkan Ayu sering menjadi tempat Dara meminjam uang, tanpa batas kapan harus mengembalikan. Ayu hanya merasa lebih beruntung dari Dara, jadi ia hanya ingin berbaik hati dengan gadis itu untuk rasa syukurnya. Saat Dara keluar dari cafe, ia melihat Rayyan sudah tercekat di depan pintu. Dara menatapnya dengan tatapan bertanya, melihat wajahnya kembali ia mengingat perlakuan ibu Rayyan waktu itu. Merendahkan harga dirinya dengan begitu ke ji. "Aku tunggu di motor, ya," ucap Ayu yang langsung meninggalkan Dara dan Rayyan untuk berbicara berdua. D
Bag 7.Semua menatap curiga pada Dara karena cincin itu terjatuh dari dalam tasnya. Dara sendiri, wajahnya tampak pias karena ketakutan. Tak mungkin cincin itu ada dengan sendirinya di tas Dara.Yasmin mendekat dan menatap tak suka pada Dara, lalu ia berjongkok untuk mengambil cincin yang terpelanting tak jauh dari kaki Dara."Tolong jelasin kenapa ini ada di kamu?" tanya Yasmin penuh penekanan.Dara diam, ia tak mampu berkata. Wajahnya mendadak pucat disertai degup jantung yang bertalu. Sejenak ia menggeleng menatap Rayyan yang berdiri di sampingnya, tapi lelaki itu malah menatapnya meminta penjelasan."Begini ya kelakuan kamu yang sebenarnya. Datang ke rumah orang dan merasa punya kesempatan untuk mencuri." Yasmin mencerca semakin menjadi-jadi. Sementara yang lain hanya menatap Dara dan menunggu penjelasannya."Perempuan pencuri tak layak menjadi menantu di rumah ini! Ray terlalu berharga untuk bersanding dengan pencuri seperti kamu!" Yasmin melayangkan telunjui tepat di depan mata
Bab 8 Setelah pertemuan malam itu, Rayyan tak berani menemui Dara. Ia malu pada gadis itu, juga malu pada diri sendiri karena sempat tersirat prasangka buruk untuk Dara. Gadis cantik itu juga tampak sangat menghindari Rayyan, karena tahu persis posisi mereka jauh berbeda. Jangankan untuk menikah dan hidup bersama, untuk menjalin hubungan pertemanan saja, Dara merasa memiliki sekat yang tak bisa ditembus. Rayyan merupakan seorang dokter spesialis penyakit dalam, anak dari pengusaha terkenal yang keluarganya juga memiliki rumah sakit swasta di Jakarta pusat, tempat Rayyan bekerja. Bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan Dara. "Kusut amat wajahnya, kenapa Ray?" tanya Sandra yang baru saja selesai memeriksa pasien yang baru saja melahirkan. Ia melewati ruang kerja Rayyan dan melihat temannya sedang melamun. Sandra langsung duduk di depan Rayyan, karena melihat wajah yang tampak tertekuk itu. Rayyan meletakkan kembali ponselnya. Wajah itu terlihat kusut karena beberapa kali ia
Bab 9."Li, balikin ya. Itu punya anak Bu Asih, kasian besok dia sekolah."Seorang lelaki berusia empat puluh tujuh tahun itu membujuk. Sementara Liana yang dibujuk hanya tersenyum mengelus seragam SMA yang kini ada di tangannya. Herman, abang Liana duduk berdekatan dengan adik satu-satunya itu, ia ingin memberi pengertian bahwa seragam itu bukan miliknya. Herman ingin membangunkan kesadaran Liana, bahwa kini sudah berpuluh tahun berlalu, dan ia tak layak lagi mengenakan seragam SMA seperti dulu."Bu Asih, sabar dulu ya. Saya akan coba minta baik-baik." Herman berkata pada pemilik seragam itu.Suryadi dan Halimah ikut membujuk Liana, tapi mereka tak tahu caranya agar perempuan itu mengerti. Biasanya saat Halimah membujuk, wanita itu akan diam dan menurut, karena satu-satunya orang yang bisa ia kenali hanyalah Halimah, ibunya.Liana akan merasa aman jika Halimah berada di sampingnya, dan akan menjerit jika disentuh oleh lelaki termasuk ayah dan abangnya. Trauma yang ia alami telah me
Bab 10.Malam terasa menggigil karena langit begitu mendung dan gelap. Angin malam juga memberi hawa menyejukkan bagi tubuh Dara yang tak mengenakan jaket. Gadis itu kembali melirik jam di tangan, hampir pukul sembilan malam dan belum ada satupun angkutan umum yang lewat. Ia bangun dari halte dan memandang ke arah jalanan, hanya mobil-mobil pribadi yang lewat, selebihnya sepi."Bawa motorku aja, Ra. Besok kalau aku udah sehat, aku hubungi, dan kamu jemput ke sini. Pakek aja nggak apa-apa," kata Ayu sambil tetap menahan sakit di bagian perutnya."Aku naik angkutan umum aja," ucap Dara menolak. Ia tak suka menggunakan barang milik orang lain, apalagi motor yang harganya mungkin tak bisa ia jangkau. Ia hanya tak ingin terbiasa memakai milik orang lain, juga khawatir tak bisa menjaganya dengan baik, karena malam di Jakarta terkadang menjadi surga bagi penjahat.Sore tadi, Dara harus mengantarkan Ayu ke rumahnya, karena gadis itu naik pitam dan pingsan di cafe saat sedang bekerja. Ayu mem
Bab 11.Dara membuka mata, ia dibawa oleh lelaki itu ke sebuah bar yang cukup terkenal di Jakarta. Gadis itu ditidurkan di sebuah ranjang, di kamar khusus bagi pelanggan yang biasanya menikmati kesenangan dunia. Menghisap madu dari para gadis yang menjajakan diri demi kebutuhan, entah uang atau memang kehausan.Dara melenguh karena baru sadar dari pingsan akibat pengaruh obat bius. Dengan hati-hati ia meraba pakaian dan merasakan perubahan tubuhnya yang ternyata masih utuh. Baju dan jilbabnya masih seperti semula, itu artinya lelaki itu belum melakukan apa-apa padanya."Hai, cantik!" sapa lelaki yang sejak tadi memperhatikannya. Ia sudah lama menunggu Dara bangun dari pingsannya.Lelaki itu bangun dari sofa yang ia duduki, laku mendekat pada Dara dengan tatapan buas yang menjijikkan. Lelaki berwajah tampan yang umurnya sekitar tiga puluh dua tahun itu naik ke ranjang.Debar di dada Dara makin mengencang. Ia ketakutan saat lelaki itu semakin tak berjarak dengannya. Lelaki yang tak dik