Share

4. Keluarga adalah Utama

Bab 4

ADARA

.

Dara sedang menahan isak tangisnya, lalu terdengar sebuah ketukan pintu kamarnya.

“Dara … nenek sakit lagi.” Dara mendengar kakeknya memanggil.

Gadis itu segera menghapus air matanya, meski tak bisa ia sembunyikan hidung dan matanya yang memerah.

Dara membuka pintu, mendapati sang kakek yang berdiri khawatir di depannya. Segera ia menuju ke kamar nenek untuk melihat keadaan wanita tua itu.

Di sebuah ruangan sebelum sampai di kamar nenek, Dara melihat ibunya, Liana. Kembali air dari sudut matanya menetes kala melihat ibunya sedang tertawa sediri dengan sebuah buku dan pulpen di depannya. Liana selalu meminta buku dan pulpen untuk menulis apa saja yang ia tulis, lalu tertawa atau menangis setelah itu. Tulisan acak seperti anak yang sedang belajar menulis.

Pemandangan itu selalu menyoyak hati Dara. Ia berjanji pada diri sendiri suatu hari akan membawa ibunya berobat dan sembuh. Namun, kenyataan dan mimpinya tak sesuai dengan harapan. Untuk memenuhi kebutuhan harian saja Dara masih kesulitan. Kakek hanya bekerja sebagai buruh tani, yang bahkan terkadang harus pulang saat pekerjaan belum selesai karena kelelahan. Usianya tak lagi mendukung untuk bekerja, sebab itu Dara mengambil alih semua.

Dara mengabaikan ibunya di ruang itu, ia tak ingin membuat keributan. Karena setiap kali Dara mendekat, Liana akan berteriak menyuruhnya untuk menjauh.

“Pergi kamu!” Liana selalu mengusir Dara dengan kata itu.

Padahal gadis itu hanya ingin tahu bagaimana rasanya memeluk ibu. Bagaimana rasanya bercerita pada sosok ibu, seperti yang teman-teman cerita saat di kelas.

Liana harus mendapatkan pengobatan dan terapi khusus dari dokter jiwa. Itu mimpi Dara yang belum tercapai.

Dara membuang pikiran itu, ia kembali tersadar saat mendengar rintihan dari dalam kamar nenek. Gadis itu masuk dan melihat wanita tua yang rambutnya telah memutih itu mengerang sambil memegangi bagian dadanya.

“Nenek harus minum obat,” Dara membuka sebuah kotak di samping kasur tipis tempat neneknya berbaring.

“Obatnya abis, Nduk.” Kakek berkata saat melihat tangan cucunya mencari-cari kotak obat itu.

Dara bergeming, ia mendekat pada tubuh sang nenek. Kembali ia mendengar suara erangan yang begitu memilukan. Nenek terlihat sangat sakit dengan kondisinya.

“Tunggu sebentar. Dara akan beli.” Tanpa menunggu lagi, Dara segera bergegas ke kamarnya.

Dara mengambil jaket yang tersangkut di sebuah paku dinding, juga dompet yang ia taruh di lemari. Gadis itu mencoba membuka dompetnya, lalu meringis saat melihat selembar uang dua puluh ribuan tersisa di sana. Akhir bulan membuat ia harus ektra hemat, dan mungkin esok pagi ia harus berjalan kaki menuju tempat kerja. Atau ia akan meminta berhutang dulu pada Airin, salah satu temannya. Ah, ia sudah terlalu banyak merepotkan Airin dalam hidupnya.

“Dara akan segera pulang. Tunggu sebentar!” ucap Dara sebelum ia benar-benar pergi.

*

Dara berhasil mendapatkan setengah resep obat dari apotik. Ia hanya bisa menebus setengahnya karena uang yang tersisa hanya cukup untuk separuh.

Gadis itu berjalan tenang di pinggir aspal jalanan. Suasana malam sudah terlihat sunyi di bawah cahaya lampu kekuningan.

Dara merapatkan jaket untuk menghangatkan tubuhnya sendiri karena malam terasa begitu dingin. Ia juga memakai penutup kepala jaketnya agar tak mudah dikenali oleh orang lain. Suasana malam yang sepi biasanya selalu menjadi kesempatan untuk penjahat melakukan aksinya.

Gadis itu hampir memasuki gang, dari jarak kejauhan ia melihat tiga orang pemuda sedang melakukan pesta miras. Dara sadar diri, ia hanya perempuan yang tenaganya lebih lemah dibandingkan lelaki. Meskipun ia sedikit menguasai ilmu bela diri, tapi itu tak menjadikannya naif dan berpikir bisa mengalahkan mereka.

Dara sadar, ini bukan film aksi, di mana semua pemeran utama akan berhasil melawan musuh. Satu lawan sepuluh, dan berhasil tumbang para musuh. Tidak! Dara tak senaif itu.

Sebab itu, yang gadis itu lakukan adalah menghindar. Dara berbalik arah, ingin pulang lewat jalan lain meskipun sedikit jauh.

Namun, sepertinya Dara ketahuan. Ia mendengar salah satu dari pemuda itu memanggilnya.

“Hei, gadis!”

Dara terus mempercepat langkah. Ia tak ingin berurusan dengan preman jalanan. Karena yang ada di pikirannya hanyalah cara untuk membawa pulang obat di saku celananya untuk nenek. Juga cara untuk menyelamatkan diri, mempertahankan apa yang ia miliki dari seluruh tubuhnya.

Dara berlari saat mendengar langkah kaki pemuda itu mengejarnya. Gadis itu terus mengayunkan langkah larinya dari kejaran tiga pemuda itu.

Si al!

Dara kalah cepat. Kini tiga pemuda itu berdiri mengelilingi tubuh Dara. Sejenak gadis itu menarik napas dalam, mencoba bersiap dari serangan yang akan mereka lakukan.

Gadis yang mengenakan jaket dan celana kain itu mengamati semua pemuda itu. Mengamati bagaimana raut wajah dekil itu menatapnya buas, seolah Dara kini adalah seorang mainan yang siap dimainkan.

Pelan salah satu dari pemuda itu membuka tudung jaket yang menutup kepala Dara, hingga menampakkan wajah cantiknya yang mengenakan hijab polos.

“Wah, hijaban nih. Pe la cur solehah,” ejek salah satu pemuda yang membuka penutup kepala Dara. Lalu, diikuti gelak tawa meremehkan dari dua teman lainnya.

“Jangan takut, kami gak akan macam-macam. Hanya sedikit ingin main-main, nikmati saja.”

Telinga Dara semakin panas mendengar ucapan itu. Ia masih menahan, menunggu salah satu dari mereka mendekat.

“Aku dulu,” ucap salah satu dari mereka sambil mendekat ingin menyentuh dagu Dara.

Dengan cepat Dara menepis tangan itu, hinga tersisa gerakan tangan terulur di udara. Dara tersenyum sinis, ia tak menyia-nyiakan kesempatan. Kembali ia melayangkan satu tangannya untuk menampar lelaki kurang aj ar yang hampir mencolek dagunya.

Plak!

Dalam kondisi yang tak seimbang, Dara menendang dengan keras bagian belakang lutut pemuda itu. Tangan Dara masih memegang tangan pemuda itu yang dipuntir ke belakang, lalu dengan sebelah tangannya ia mengambil pisau lipat yang selalu ia bawa dari saku jaketnya. Gadis itu memberi sedikit goresan di lengan pemuda itu, hingga terdengar erangan kesakitan dari mulutnya.

Sekali lagi Dara menendang lutut bagian belakang pemuda itu, lalu melempar tubuhnya hingga mengenai dua temannya yang terlihat bingung dengan aksi cepat Dara. Tubuh yang sedikit besar itu terjerambab tertimpa di atas dua tubuh temannya.

Mereka masih tetimpa di aspal jalanan, Dara tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berlari. Gadis itu secepatnya pergi dari situ, pulang melewati jalan lain.

Melawan para preman jalanan sama saja membuang waktu, meski dari apa yang Dara lihat mereka sebenarnya hanya menakuti orang dengan tampang buasnya. Namun, Dara tak pernah meremehkan suatu kejahatan hanya karena ia bisa ilmu bela diri.

Sejak Dara tahu cerita tentang ibunya, gadis itu meminta sang kakek untuk melatih ilmu bela diri. Ia tak ingin bernasib sama dnegan ibunya, minimal Dara harus bisa melawan jika ada orang-orang yang ingin berbuat jahat padanya. Dara tak ingin menjadi lemah.

Setahun Dara belajar ilmu bela diri dari dari sang kakek. Lalu, ia melanjutkan pelajarannya di sekolah atau di les mana pun yang sanggup dibayarkan kakek waktu itu. Kakeknya sendiri sangat setuju dengan kemauan dan antusias Dara dalam mempelajari ilmu bela diri.

Dara terus berlari melewati jalan raya yang sunyi. Sesekali ia melihat ke belakang, berjaga-jaga dari kejaran tiga pemuda tadi. Hanya cahaya lampu kekuningan yang menemaninya berlari, sementara rumah-rumah megah di pinggir jalan hanya berdiri kokoh dan diam, tanpa bisa mengerti bahwa di larut malam itu ada seorang gadis yang berjuang mempertahankan dirinya.

Mempertahankan harga diri dan apa yang dimiliki dari tubuhnya.

Dara menghela napas lega saat dari beberapa langkah ia melihat cahaya lampu bohlam di depan sebuah rumah. Rumah yang berpondasi setengah bata, sementara setengahnya hanya berdinding kayu yang bahkan di malam hari juga terlihat lapuk.

Rumah tempat Dara pulang, dan menghangatkan diri dengan kasih sayang. Bukan dari ibunya, tapi dari kakek dan neneknya.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status