Share

Part 3 Daniel Terluka

Di dalam sebuah tenda tampak seorang dokter cantik bernama Jesika. Kini dia telah menyelesaikan laporan kegiatan hari ini dan sudah mengecek seluruh gambar yang Budi kirim.  Jesika menutup laptopnya dan beranjak pergi menuju tenda tidur.

Beberapa rekan kerjanya sudah tertidur pulas, sedangkan Jesika masih tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit tenda dan berpikir sejenak.

"Andai saja aku mengenalmu lebih dulu, Daniel. Mungkin sekarang kita sudah menikah dan hidup bahagia. Tapi, Dissa sudah menghancurkan impianku. Wanita itu tidak pantas menjadi pendamping hidupmu, Daniel. Akulah yang pantas hidup bersamamu.  Akan ku pastikan kalian tidak akan bisa bersatu karena aku sendiri yang akan memisahkan kalian." gumam Jesika.

Budi merasa haus. Dia terbangun dari tidurnya dan berjalan menuju tenda bagian konsumsi. Namun, sebelum menuju ke tempat tujuan, tanpa sengaja ia mendengar suara yang sangat familiar. Dia berjalan menuju sumber suara.

"Aku tidak menyangka, ternyata, kamu adalah wanita yang berhati iblis, Jesika. Kini kamu bisa melakukan apa pun sesuka hati, tetapi nanti aku yang akan menghalangimu. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hubungan Daniel dan Dissa," ucapnya dengan tatapan marah.

***

Dissa dan keluarganya baru saja selesai makan malam. Ia membereskan sisa makanan di meja makan.

"Nyonya, biar saya saja yang mengangkat piring kotor ini. Lebih baik Nyonya langsung istirahat saja." Bi Marni mengambil piring kotor dari tangan Dissa, tetapi wanita itu menolak.

"Biarlah, Bi. Tidak usah. Bibi cukup bantu bawa gelas itu saja." Mata Bi Marni mengikuti jari Dissa yang mengarah pada beberapa gelas berisi jus di atas meja makan.

"Baik, Nyonya." Bi Marni mengambil satu per satu gelas di atas meja dan membawanya ke dapur.

Setelah membantu Bi Marni membersihkan piring dan gelas yang kotor, kini Dissa kembali ke meja makan untuk mengambil beberapa buah untuk dimakan sebagai cemilan di dalam kamarnya.

Ponsel Dissa di meja makan bergetar, menandakan ada pesan masuk. Dissa melihat ada pemberitahuan pesan masuk, tetapi nomor itu tidak dikenalinya.

"Malam-malam begini siapa yang mengirim pesan?" Dissa membuka isi pesan tersebut. Matanya terbelalak. Isi pesan itu berupa foto Daniel yang sedang disuapi oleh Jesika. Buliran bening menetes di wajahnya.

Ia masuk ke kamarnya, lalu membanting pintu dengan kasar. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kasur dengan perasaan marah. Dilemparkannya ponsel itu ke sembarang arah. Dia menangis sejadi-jadinya.

“Sebenarnya, apa yang sedang kamu lakukan di sana?” gumam Dissa.

***

Matahari mulai tampak dari ufuk timur. Kicauan burung terdengar merdu. Tampak seorang lelaki sudah berpakaian rapi mengenakan seragam dokter sedang keluar dari tenda pengungsian.

Daniel memegangi perutnya yang berbunyi. "Sepertinya, aku perlu sarapan pagi." Ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 06.30.

"Jesika," panggil Daniel yang melihat Jesika berjalan ke arah luar.

"Iya, Daniel. Ada apa?" tanyanya.

"Kamu mau ke mana? Kamu sudah sarapan belum? Kalau belum, ayo, kita sarapan pagi bersama!"

Jesika melihat kedua bola mata cokelat itu dan memberikan senyum manisnya. "Aku mau bertemu dengan warga di sana. Ah, aku lupa belum sarapan! Baiklah, kita sarapan bersama."

"Eh, tunggu dulu! Kamu lihat Budi? Aku belum melihat dia sejak semalam." Daniel menatap Jesika dengan ekspresi penuh tanya.

"Iya, Budi sekarang sudah berkumpul bersama warga di sana. Hmm ... gimana kalau kita pergi ke sana juga untuk sarapan?" tanya Jesika yang hendak memposisikan dirinya berjalan di samping Daniel. Daniel mengacungkan jempol sebagai tanda setuju.

Mereka berjalan menuju tenda konsumsi. Budi yang merasa bosan berniat untuk jalan pagi. Pria itu melihat Jesika dan Daniel yang asik bersenda-gurau, kemudian menyapa keduanya. Mereka berdua terlihat seperti pasangan serasi. Seandainya ia tidak mengetahui bahwa mereka hanya berteman. Namun, itu membuat Budi semakin tidak menyukai Jesika.

"Hai, Daniel, Jesika!" sapa Budi. "Kalian mau pergi ke mana?"

"Budi? Aku kira kamu masih bersama warga pengungsian."

"Aku udah selesai sarapan di sana. Kalian mau sarapan juga?"

Jesika mengangguk, antusias. "Kamu hari ini ganteng, Bud," puji Jesika.

Pria yang dipuji hanya tertawa sumbang. "Tukang cari muka," gumamnya pelan.

"Ya, sudah. Aku duluan, ya." Budi pergi meninggalkan keduanya. Daniel dan Jesika melanjutkan langkah mereka menuju tenda.

"Ayo, kita langsung saja ke sana. Perutku sudah menyanyi dari tadi," canda Daniel sambil tersenyum manis.

***

Beberapa kali terdengar suara ledakan dan tembakan beruntun di sekitar pemukiman warga pengungsian. "Sepertinya, ada suara ribut yang tidak biasa." Daniel hendak melangkah keluar, tetapi tangannya ditahan oleh Jesika.

"Daniel, kamu mau ke mana? Tunggu kami selesai sarapan dulu."

"Baiklah, aku akan menunggu kalian." Daniel kembali duduk, tetapi hatinya sangat cemas.

"Sepertinya, sudah terjadi kekacauan di luar sana. Kita harus cepat bergerak."

Budi dan Jesika segera menghabiskan sarapan mereka. Setelah selesai, mereka bertiga bergegas ke luar tenda.

Tiba-tiba, suara tembakan dan ledakan kembali terdengar. "Ayo, kita harus cepat! Warga-warga di pengungsian sangat membutuhkan bantuan kita," ujar Daniel.

Setiba di sana, mereka melihat ada beberapa warga yang sudah meninggal karena luka tembak, beberapa tenda hancur, dan kepulan debu yang menghitam akibat ledakan beruntun. Bahkan, ada anak kecil yang menangis di samping jasad keluarganya.

"Sepertinya, di sini terjadi peperangan lagi," ucap Daniel.

"Daniel, sebaiknya kita bawa warga yang lain ke tenda UKS." Jesika memberikan saran karena dia tidak sanggup melihat situasi mengerikan ini.

"Baiklah, lebih baik kita berpencar saja supaya kita menemukan warga yang terluka dengan mudah," ucap Daniel.

Jesika dan Budi mengangguk setuju. Mereka mulai berpencar.

Tak jauh dari posisinya, Jesika melihat ada sepasang suami-istri yang terluka parah. Dia menghampiri mereka.

"Bapak dan Ibu, bertahanlah! Saya dan rekan kerja saya akan mengobati luka kalian," ucap Jesika sambil berusaha membopong tubuh salah satu dari mereka.

Budi yang kebetulan lewat, bergegas menghampiri Jesika. "Aku bantu, Jes!"

Jesika mengangguk, lalu membopong dua warga yang terluka itu ke tenda UKS.

"Kumohon, lepaskan aku! Aku belum mau mati." Seorang anak kecil berjongkok sambil menangis ketakutan ketika seorang teroris mengarahkan senjata ke arah kepalanya.

Daniel terkejut melihat anak itu. Dia mendorong teroris itu dan mendekati anak kecil itu. "Tenanglah, ada aku di sini yang akan menyelamatkanmu! Ayo, kita harus segera pergi dari sini!"

Saat Daniel dan anak kecil itu akan beranjak, ada seseorang yang mengarahkan senjatanya ke Daniel. Daniel tidak bisa mengelak. Peluru racun dari senjata itu menembus tubuhnya.

Jesika dan Budi yang sedang membantu warga yang terluka, terheran mendengar suara tembakan.

"Apa ada perang susulan lagi?" tanya Jesika sambil memegang dadanya. "Kenapa hati aku jadi cemas begini, ya?"

"Entahlah. Daniel juga belum kembali sejak tadi," balas Budi.

"Jangan-jangan ... sudah terjadi sesuatu pada Daniel. Kita harus mencarinya, Bud. Aku khawatir," ucap Jesika bernada lirih.

Budi dan Jesika pergi mencari keberadaan Daniel. Di antara sisa reruntuhan gedung, mereka melihat seorang anak kecil meraung-raung sambil berteriak minta tolong. Di sampingnya ada tubuh seseorang yang tidak berdaya.

Mereka bergegas menghampiri.

Sarah menutup mulutnya karena terkejut melihat tubuh Daniel sudah bersimbah darah.

"Da ... niel?" Budi berteriak memanggil rekan kerjanya yang lain untuk mengangkat tubuh Daniel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status