Share

2. Duka Kematian

"Ca...."

"Hem," sahutku sambil menyetrika baju sedangkan Hasan tengah melipat baju yang tidak disetrika.

Inilah aku dan Hasan, yang satu mantan ketua BEM MIPA sedangkan yang satu aktivis Pramuka sejati. Tapi sekarang kami hanyalah babu cuci. Ngenes.

"Awan kayaknya beneran suka sama kamu. Dia sepertinya serius pengen ngelamar kamu. Kamu gimana?"

"Gimana apanya?"

"Terima apa enggak?"

"Menurut kamu, aku harus gimana?"

"Kamu suka gak?"

"Enggak."

"Cakep. Aku juga enggak."

"Kayaknya kalian akrab. Kok gak suka sama dia, kenapa?"

"Bukan aku yang mengakrabkan diri. Dia aja yang sok akrab. Cih ... Gayaknya sok politikus banget. Emangnya dia aja yang bisa orasi."

"Hahaha ... Kan dia gak tahu kalau yang dia ajak ngobrol mantan politikus walau kelas fakultas. Hahaha." 

Satu lagi, tak ada seorangpun di desa kami bahkan keluarga besar Lik Mirna yang tahu bahwa kami adalah sarjana. Karena Lik Mirna sengaja menyembunyikannya. 

Orang tahunya kami ini lama mondok dan pengangguran. Pokoknya kalau biasa nonton drama di TV, karakter Lik Mirna sama kedua anaknya tuh kebagian peran antagonis. Aku dan Hasan jadi protagonis.

"Hahaha. Bener kata kamu, kita kan cuma babu dan ...."

"Tukang angon sapi," cetusku.

Kami tertawa tergelak sedikit mengurangi penat hati.

*****

"Nak Awan tumben main kesini," tanya Lik Marwan saat Awan datang berkunjung pada malam Minggu.

"Saya ada perlu sama Pak Marwan."

"Ada apa ya?"

"Ehm ... Begini ...  Ehm ...  Saya suka sama Caca, Pak. Saya mau ngelamar dia."

"Apa?" teriak Ningrum dan Lik Mirna berbarengan.

"Iya begitu Bu. Saya suka sama Caca. Jadi saya mau melamar dia."

Lik Marwan nampak diam sibuk berpikir, kemudian berkata, "Kamu yakin? Apa kedua orang tuamu setuju?"

"Saya akan bilang pada mereka, Pak. Dan meyakinkan mereka. Tapi sebelumnya saya mau tahu bagaimana tanggapan Caca atas lamaran saya. Gimana Ca?"

Aku terdiam kemudian menarik nafas pelan, "Kamu tanyakan dulu kepada orang tuamu baru aku akan memberikan jawaban."

Setelah pembicaraan malam itu, Awan tak ada kabar. Aku sih cuek karena aku pun tak ada rasa sama dia. Aku cuma penasaran sama tanggapan kedua orangnya terhadapku si gadis yatim piatu. 

Sikap Ningrum dan Lik Mirna mirip Bawang Merah serta ibunya. Aku laksana Bawang Putih yang menderita. Weee ... Tapi bohong. Walau aku selalu menuruti setiap perintah mereka tapi dibelakang mereka aku dan Hasan kompak mencaci. Hihihi.

*****

Aku sedang memijat Eyang Putri di teras belakang. Hari ini Eyang Putri nampak sehat, wajahnya cerah dan senyumnya nampak sumringah.

"Ca ... Caca ... Keluar kamu!" teriak seseorang membahana.

Aku meminta Eyang menunggu dulu, aku akan mencari tahu siapa yang berteriak mencariku. Sebelum aku masuk ke dalam rumah. Bu Laras datang dan langsung berkacak pinggang.

"Heh ... Kamu. Gadis yatim piatu tukang nunut dan gak punya urat malu. Kamu pikir Awan siapa? Dia itu kerja jadi kaur keuangan desa, lulusan S1. Kamu sih apa? Jauhi Awan! Awan itu pantesnya dapat sarjana dan anak orang kaya bukan orang kayak kamu. Pengangguran lagi. Sudah nunut, pemalas, inget ya, jauhi Awan!" 

"Kamu sama Hasan bener-bener gak tahu malu. Pake pelet apa kalian hah? Kinan keponakanku saja sampe kesengsem, keblinger sama dia. Cuma tukang angon sapi. Cih ... Gak mutu. Awas kalian!" Bu Laras segera masuk kembali kedalam rumah. Walau aku tahu kalau reaksi keluarga Awan akan seperti ini. Tapi, tetap saja ada rasa sakit di dadaku. Mataku yang jarang menangis tampak berkaca-kaca. Aku segera mengusapnya dan berbalik untuk menemani Eyang lagi.

Deg.

Aku melihat lilikku. Dengan tangan gemetar dia memegang cangkul ditangannya. Bisa kulihat wajah terluka dari sorot matanya. Wajah yang sangat mirip dengan almarhum Bapak. Sayangnya hanya wajah yang mirip tapi sikap ketegasan dan mengayomi sama sekali tak dimiliki oleh adik bapakku ini.

Aku tahu dia mendengar semua omongan Bu Laras yang menghinaku dan ... Putranya.

Gedebuk ....

Kami tersentak kaget.

"Eyang!" 

"Mbok!" 

*******

Eyang Putri dibawa ke rumah sakit, kondisinya drop. Bersyukur aku dan Hasan dulu berinisiatif membuatkan BPJS walau hanya bisa kelas tiga. Aku dan Hasan menunggu dengan was-was. Lik Marwan tampak diam. Tak banyak bicara.

"Bagaimana keadaan Nenek saya, Dok?" tanya Hasan.

"Kondisi tubuhnya drop. Untuk saat ini kita hanya bisa pasrah. Kita serahkan pada Sang Pemberi Hidup."

Kami segera masuk ke ruang HCU. Disana kami melihat tubuh rentanya. Ya Allah, aku tahu aku harus ikhlas dengan segala kemungkinan hanya saja rasanya kami tak sanggup.

"Bapak pulang saja, lagi pula Bapak juga punya hipertensi. Gak boleh capek. Biar aku sama Caca yang nunggu Eyang," tutur Hasan.

"Iya."

Semalaman, aku dan Hasan menjaga Eyang Putri secara bergantian. Saat aku terbangun, Hasan tidur dan sebaliknya.

*****

"Sepi ya Ca." Hasan memulai obrolan.

Aku sendiri tengah menyandarkan kepalaku di bahu Hasan. Sudah dua hari dua malam Eyang dirawat. Kami selalu setia menunggu. Jangan tanyakan Lik Mirna dan kedua anaknya mereka sama sekali tak peduli.

"Iya. Mungkin karena masih pagi," kulirik jam di tanganku masih pukul enam pagi.

"Semalam aku mimpi ketemu Ibu. Ibuku cantik ya Ca. Aku biasanya cuma lihat di foto. Tapi tadi malam aku bener-bener lihat. Ibu tersenyum Ca."

"Kok sama. Aku semalem juga mimpi ketemu Bapak Ibuku. Mereka juga tersenyum ke arahku. Bapak malah membelai kepalaku."

"Ca ... Hasan." Sebuah suara memanggil nama kami. Awan.

*****

"Maafin Ibuku ya Ca, aku udah denger dari Husna katanya Ibu melabrak kamu. Gara-gara Ibu juga Eyang kamu sampai masuk rumah sakit."

"Gak papa memang sudah takdirnya Eyang masuk rumah sakit."

"Tapi aku merasa bersalah Ca, gara-gara Ibuku ...."

"Sudahlah Wan. Jangan dibahas."

Hening.

"Ca ... Aku akan berusaha meyakinkan kedua orangtuaku. Aku akan ...."

"Wan ... Bukankah aku pernah bilang bahwa jawabanku akan lamaranmu setelah aku tahu tanggapan Ibumu. Dan sekarang aku akan menjawabnya. Maaf mungkin lebih baik kamu cari wanita yang lain."

"Ca ...."

"Sudahlah Awan. Percuma. Kedua orangtuamu tidak akan pernah menerimaku."

"Tapi aku yakin, kalau kita berusaha mereka akan merestui kita."

"Hehehe. Yakin kamu? Bahkan Ibumu saja tanpa melihat adab kesopanan memakiku. Untung hanya di rumah lilikku. Kalau ditempat umum bagaimana?" aku menyerangnya telak, sengaja.

"Kita kawin lari."

Aku terkekeh, " Tapi sayangnya akalku ada pada kepalaku bukan dengkulku. Seperti apapun Ibumu dia surgamu berbeda denganku. Kalau kamu lakukan itu kamu akan menjerumuskan dirimu sendiri dan aku ke neraka. Maaf aku tak mau. Aku mungkin bukan siapa-siapa. Tapi aku punya perasaan, sakit jika dilukai, patah jika dipatahkan."

"Ca ...."

"Sudahlah ... hentikan. Percuma."

Aku memilih kembali ke ruang perawatan Eyang. Tak kupedulikan Awan yang memanggilku. Bagiku semua sudah jelas.

*****

Hari ketiga Eyang dirawat, Eyang siuman. Saat itu ada aku, Hasan dan Lik Marwan. Entah sesuatu firasat atau apa hatiku tak tenang. Walau kondisi Eyang terlihat bugar dan wajahnya tampak cerah sekali. Bahkan senyum tak pernah lepas dari bibirnya, tapi jujur aku merasa takut. Takut akan kehilangan lagi untuk kesekian kalinya.

"Marwan."

"Iya Mbok."

"Aku mau pulang, aku harus kamu anter ke Kebumen ya?" ucap Eyang Putri.

"Mbok masih sakit. Sudah disini saja," sahut Lik Marwan.

"Enggak. Pokoknya Simbok harus pulang ke Kebumen. Gak masalah rumahnya reot tapi itu rumahnya Simbok. Inget ya Wan, aku pokoknya harus balik ke Kebumen," tegas Eyang putri.

"Iya Mbok," akhirnya Lik Marwan menyerah.

"Putuku. Caca sama Hasan. Kalian putuku yang paling baik, paling sayang sama Eyang. Kalau Eyang sudah balik ke Kebumen, maka kalian berdua terbanglah. Kepakkan sayap kalian yang sudah lama terikat. Jadilah seperti merpati yang bisa terbang tapi tahu kapan, dimana serta pada siapa dia akan kembali," ucap Eyang Putri sambil tersenyum manis padaku dan Hasan.

Aku menangis, begitupun Hasan. Kami berdua sadar ini bukanlah sekedar ucapan tapi wasiat terakhir dari Eyang Putri untuk kami.

*****

Eyang Putri menghembuskan nafas terakhirnya pada malam keempat setelah dirawat. Kami sudah rembugan. Eyang Putri langsung dimandikan oleh pihak rumah sakit dan malam harinya kami akan membawanya ke Kebumen.

Hanya aku, Hasan dan Lik Marwan yang ikut. Kami ikut mobil ambulance dengan jasad Eyang Putri juga. Lik Mirna dan kedua anaknya tak mau ikut dengan alasan jauh dan menghemat biaya. Tak masalah bagiku dan Hasan karena tanpa mereka jauh lebih baik.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Josefin Jose
ceritanya baik
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
cerita ini bagus, tapi ntar ceritanya gantung ndak tau poin dari mana bukanya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status