Home / Romansa / Pelabuhan Terakhir / 3. Sayap yang Terentang

Share

3. Sayap yang Terentang

Author: Bai_Nara
last update Last Updated: 2021-09-20 11:26:36

Kami disambut tangis haru oleh keluarga dan tetangga. Bahkan beberapa sanak keluarga ada yang menangis histeris bahkan pingsan.

Kata-kata penghibur menyertai kami, namun aku kurang begitu antusias dan hanya menanggapi dengan anggukan atau senyum lemah.

Selanjutnya Eyang langsung di sholati dan dimakamkan. Eyang sudah dimandikan ketika di rumah sakit. Aku, Hasan dan Lik Marwan bahkan ikut memandikan jenazah Eyang saat masih di rumah sakit.

"Kamu yang sabar ya Ca," ucap salah satu kerabat, entah siapa aku tak tahu.

"Nggih."

Hasan dan Lik Marwan ikut masuk ke liang lahat untuk membantu memakamkan Eyang. Terakhir Hasan mengazani Eyang untuk terakhir kalinya.

********

"Tempat ini nyaman ya Ca, adem." 

Aku menoleh ke arah Hasan dan tersenyum membenarkan perkataannya.

"Iya."

Aku dan Hasan tengah duduk menikmati hamparan sawah di depan rumah Eyang. Hari ini adalah hari ketiga kematian Eyang. 

"Ca."

"Iya."

"Eyang udah gak ada."

"Aku tahu."

"Kita mau gimana?"

"Ya tetap tegar dan terus menata hidup."

"Kamu ...." Hasan menghentikan kalimatnya.

"Gak usah khawatir. Aku bisa jaga diri kok. Sepertinya kali ini kita harus berpisah untuk menggapai impian masing-masing."

Hasan mengangguk. Aku mencoba mengalihkan percakapan ke hal lain.

*******

Hari ini malam ketujuh setelah kematian Eyang Putri. Kami masih di Kebumen. Meski rumah sudah tampak reot tapi kami bersyukur masih bisa ditinggali untuk sekedar berlindung dari panas dan hujan.

Dan untuk selamatan Eyang Putri, kami benar-benar tak mengeluarkan biaya sedikitpun. Semua dilakukan atas kebaikan warga sekitar dan keluarga kami. Bahkan teman Bapak selama hidup benar-benar ringan tangan dan mau membantu kami.

Setelah acara tahlilan selesai, aku masuk ke kamar yang dahulu ditempati kedua orang tuaku. Aku sengaja membuka lemari, laci, foto-foto serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kedua orang tuaku. Hingga kutemukan tumpukan surat yang setelah dilihat adalah surat antara ibuku dengan sahabatnya. 

Rupanya sahabat Ibu bernama Aisyah dan mereka sempat mondok bersama dulu. Dulu ibuku pernah mondok. Bahkan dulu memintaku untuk mondok saat aku akan masuk ke SMP namun sayang beliau meninggal jadi keinginannya belum kesampaian.

Hampir satu jam aku berada di kamar ini. Kubaca lembar demi lembar surat mereka berdua. Entah mengapa sedikit mengobati kerinduanku pada Ibu. Hingga ada sebuah surat yang membuatku termenung cukup lama.

Fatimah, aku sudah menerima suratmu. Kalau kamu memang mau mondokin anakmu, sini aja ketempatku. Biar persahabatan kita tetap langgeng dan terjaga dan sering bisa ketemu. Jadi kita bisa cerita-cerita dan mengenang masa mondok kita dulu. Aku akan selalu menunggu kamu dan putrimu.

Salam sayang Aisyah.

Kulihat foto dua orang remaja usia SMA yang sama-sama cantik. Salah satunya adalah ibuku. Aku seperti melihat diriku sendiri. Ya, aku sangat mirip ibuku semasa mudanya.

*****

"Kamu kenapa? kok murung? Masih inget sama Eyang Putri?"

"Aku masih sedih Ca, tapi sebenarnya lebih ke arah lega. Setidaknya Eyang sudah tak akan merasakan sakit lagi. Dan melihat wajah bahagianya sebelum meninggal, aku tahu memang sudah waktunya Eyang meninggalkan kita. Jadi ya sudah kita harus ikhlas kan?"

"Iya."

Hening. Baik aku dan Hasan sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Ca."

"Hem."

"Aku diterima."

Mataku membulat, "Benarkah? Yeee ... Selamat ya adikku, sahabatku, temen gelutku. Akhirnya kamu bisa S2 juga."

Kulihat Hasan tersenyum tipis dan lalu tampak sedih. Aku menepuk bahunya, "Kamu gak usah mikirin aku. Kamu pikir aku siapa? Bawang Putih? Sorry ya. Jadi kamu gak usah khawatir sama aku. Aku sekarang mau mondok. Mau mewujudkan keinginan Ibu sebelum beliau meninggal."

"Kamu itu Nenek Lampir."

"Kalau aku Nenek Lampir, kamu itu Gerandong."

Hahaha. Kami tergelak bersama.

"Oh iya minggu depan kita jadi wisuda. Aku sudah mendaftar dan kamu juga sudah aku daftarkan. Kita bakalan ikutan. Oke."

"Sip." 

Kami berdua lulus 3,5 tahun dengan IPK cumlaude. Aslinya aku juga bisa ikut beasiswa S2 hanya saja aku memutuskan menjalankan amanah ibuku untuk mondok. 

Akhirnya, kami akan ikut wisuda bareng teman seangkatan kami. Aku dan Hasan memang sudah berjanji dengan teman kami masing-masing bahwa walaupun kami lulus gasik tapi kami akan ikut wisuda bareng dengan teman seangkatan.

********

Aku dan Hasan menemui Lik Marwan. Kami memutuskan berbicara serius dengan beliau demi masa depan kami. Lilik menyetujui dan memberikan restunya. Saat wisuda, kami sengaja mengajak Lik Marwan tanpa istri dan kedua anaknya yang lain. Lik Marwan nampak bahagia, tangis haru tak bisa berhenti dari kedua matanya.

"Maafin Bapak ya Le, maafin Lilik Nduk. Bapak lemah. Lilik khilaf. Maaf," ucapnya saat memeluk kami yang memakai toga dan menggenggam piala penghargaan sebagai wisudawan terbaik untuk prodinya.

Lik Marwan kembali ke Jepara seminggu kemudian. Ia berulang kali masih meminta maaf pada kami. Mungkin kejadian saat Bu Laras menghina putranya dan diriku ini begitu membekas di hatinya. Sehingga ia mengijinkan kami untuk berjuang menjadi orang. Orang yang tidak akan dianggap hina lagi.

*****

Aku membantu Hasan menyiapkan keperluan untuk S2-nya. Seminggu lagi dia berangkat. Untungnya kami orang yang hemat. Uang beasiswa kami, benar-benar kami gunakan sehemat mungkin sehingga kami masih punya sedikit simpanan untuk menunjang hidup beberapa bulan kedepan. Apalagi selama kuliah, aku dan Hasan juga bekerja di resto milik sahabat kami, Jamal. Ditambah lagi sedikit 'warisan' dari Eyang Putri yang masih bisa beliau selamatkan terutama dari tangan Lik Mirna. Bahkan Lik Marwan saja tidak tahu.

"Ingat ya, selalu hubungi aku. Misal aku ganti nomer tapi email, instragam, dan f******k aku gak pernah ganti," ucapnya saat kami berada di bandara Adi Sucipto Jogja.

"Tenang. Akun somedku juga gak pernah ganti kok. Paling gak tahu kapan bukanya hehehe." Hasan mengusap ujung kerudungku dan kami berpelukan. 

"Aku bakalan kangen sama cerewetmu. Kangen debat dan gelut sama kamu."

"Sama. Aku juga bakalan kangen sama kekonyolan kamu. Hati-hati ya. Kalau kepincut perawan Malaysia jangan lupa aku di beliin tiket buat kesana."

"Oke."

Akhirnya kami berpisah. Selamat tinggal saudaraku. Mari kita songsong masa depan kita. Mari kita rentangkan sayap kita yang sudah lama terikat.

Ketika pesawat yang ditumpangi Hasan sudah lepas landas, aku memilih menuju ke area foodcourt dan memesan fried chicken karena satu jam lagi aku juga harus naik kereta menuju Purwokerto.

Aku memutuskan akan merentangkan sayapku dan terbang kesana. Ke tempat sahabat ibuku. Di pondok Al-Hikam. Ada rasa gamang dalam hatiku. Namum, aku segera menepisnya dan membulatkan tekad bahwa ini pilihanku dan demi baktiku pada kedua orang tuaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Bunda Amanda
aku orang purwokerto jadi ikut senang mondok dipwt, hehe
goodnovel comment avatar
Tuti Alawiyah
cerita nya sedikit sedikit jadi ikut ...
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
perjalanan mulai tertata dalam sanubari
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pelabuhan Terakhir    Ekstrapart 3 (Nida - Hilman)

    Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,

  • Pelabuhan Terakhir    Ekstra Part 2 (Nida-Hilman)

    Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena

  • Pelabuhan Terakhir    EkstraPart 1 (Nida-Hilman)

    Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang

  • Pelabuhan Terakhir    34. Menua Bersama (Tamat)

    POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany

  • Pelabuhan Terakhir    33. Memaknai Perjuangan

    POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger

  • Pelabuhan Terakhir    32. Sah Sah Sah

    POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status