Share

3. Sayap yang Terentang

Kami disambut tangis haru oleh keluarga dan tetangga. Bahkan beberapa sanak keluarga ada yang menangis histeris bahkan pingsan.

Kata-kata penghibur menyertai kami, namun aku kurang begitu antusias dan hanya menanggapi dengan anggukan atau senyum lemah.

Selanjutnya Eyang langsung di sholati dan dimakamkan. Eyang sudah dimandikan ketika di rumah sakit. Aku, Hasan dan Lik Marwan bahkan ikut memandikan jenazah Eyang saat masih di rumah sakit.

"Kamu yang sabar ya Ca," ucap salah satu kerabat, entah siapa aku tak tahu.

"Nggih."

Hasan dan Lik Marwan ikut masuk ke liang lahat untuk membantu memakamkan Eyang. Terakhir Hasan mengazani Eyang untuk terakhir kalinya.

********

"Tempat ini nyaman ya Ca, adem." 

Aku menoleh ke arah Hasan dan tersenyum membenarkan perkataannya.

"Iya."

Aku dan Hasan tengah duduk menikmati hamparan sawah di depan rumah Eyang. Hari ini adalah hari ketiga kematian Eyang. 

"Ca."

"Iya."

"Eyang udah gak ada."

"Aku tahu."

"Kita mau gimana?"

"Ya tetap tegar dan terus menata hidup."

"Kamu ...." Hasan menghentikan kalimatnya.

"Gak usah khawatir. Aku bisa jaga diri kok. Sepertinya kali ini kita harus berpisah untuk menggapai impian masing-masing."

Hasan mengangguk. Aku mencoba mengalihkan percakapan ke hal lain.

*******

Hari ini malam ketujuh setelah kematian Eyang Putri. Kami masih di Kebumen. Meski rumah sudah tampak reot tapi kami bersyukur masih bisa ditinggali untuk sekedar berlindung dari panas dan hujan.

Dan untuk selamatan Eyang Putri, kami benar-benar tak mengeluarkan biaya sedikitpun. Semua dilakukan atas kebaikan warga sekitar dan keluarga kami. Bahkan teman Bapak selama hidup benar-benar ringan tangan dan mau membantu kami.

Setelah acara tahlilan selesai, aku masuk ke kamar yang dahulu ditempati kedua orang tuaku. Aku sengaja membuka lemari, laci, foto-foto serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kedua orang tuaku. Hingga kutemukan tumpukan surat yang setelah dilihat adalah surat antara ibuku dengan sahabatnya. 

Rupanya sahabat Ibu bernama Aisyah dan mereka sempat mondok bersama dulu. Dulu ibuku pernah mondok. Bahkan dulu memintaku untuk mondok saat aku akan masuk ke SMP namun sayang beliau meninggal jadi keinginannya belum kesampaian.

Hampir satu jam aku berada di kamar ini. Kubaca lembar demi lembar surat mereka berdua. Entah mengapa sedikit mengobati kerinduanku pada Ibu. Hingga ada sebuah surat yang membuatku termenung cukup lama.

Fatimah, aku sudah menerima suratmu. Kalau kamu memang mau mondokin anakmu, sini aja ketempatku. Biar persahabatan kita tetap langgeng dan terjaga dan sering bisa ketemu. Jadi kita bisa cerita-cerita dan mengenang masa mondok kita dulu. Aku akan selalu menunggu kamu dan putrimu.

Salam sayang Aisyah.

Kulihat foto dua orang remaja usia SMA yang sama-sama cantik. Salah satunya adalah ibuku. Aku seperti melihat diriku sendiri. Ya, aku sangat mirip ibuku semasa mudanya.

*****

"Kamu kenapa? kok murung? Masih inget sama Eyang Putri?"

"Aku masih sedih Ca, tapi sebenarnya lebih ke arah lega. Setidaknya Eyang sudah tak akan merasakan sakit lagi. Dan melihat wajah bahagianya sebelum meninggal, aku tahu memang sudah waktunya Eyang meninggalkan kita. Jadi ya sudah kita harus ikhlas kan?"

"Iya."

Hening. Baik aku dan Hasan sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Ca."

"Hem."

"Aku diterima."

Mataku membulat, "Benarkah? Yeee ... Selamat ya adikku, sahabatku, temen gelutku. Akhirnya kamu bisa S2 juga."

Kulihat Hasan tersenyum tipis dan lalu tampak sedih. Aku menepuk bahunya, "Kamu gak usah mikirin aku. Kamu pikir aku siapa? Bawang Putih? Sorry ya. Jadi kamu gak usah khawatir sama aku. Aku sekarang mau mondok. Mau mewujudkan keinginan Ibu sebelum beliau meninggal."

"Kamu itu Nenek Lampir."

"Kalau aku Nenek Lampir, kamu itu Gerandong."

Hahaha. Kami tergelak bersama.

"Oh iya minggu depan kita jadi wisuda. Aku sudah mendaftar dan kamu juga sudah aku daftarkan. Kita bakalan ikutan. Oke."

"Sip." 

Kami berdua lulus 3,5 tahun dengan IPK cumlaude. Aslinya aku juga bisa ikut beasiswa S2 hanya saja aku memutuskan menjalankan amanah ibuku untuk mondok. 

Akhirnya, kami akan ikut wisuda bareng teman seangkatan kami. Aku dan Hasan memang sudah berjanji dengan teman kami masing-masing bahwa walaupun kami lulus gasik tapi kami akan ikut wisuda bareng dengan teman seangkatan.

********

Aku dan Hasan menemui Lik Marwan. Kami memutuskan berbicara serius dengan beliau demi masa depan kami. Lilik menyetujui dan memberikan restunya. Saat wisuda, kami sengaja mengajak Lik Marwan tanpa istri dan kedua anaknya yang lain. Lik Marwan nampak bahagia, tangis haru tak bisa berhenti dari kedua matanya.

"Maafin Bapak ya Le, maafin Lilik Nduk. Bapak lemah. Lilik khilaf. Maaf," ucapnya saat memeluk kami yang memakai toga dan menggenggam piala penghargaan sebagai wisudawan terbaik untuk prodinya.

Lik Marwan kembali ke Jepara seminggu kemudian. Ia berulang kali masih meminta maaf pada kami. Mungkin kejadian saat Bu Laras menghina putranya dan diriku ini begitu membekas di hatinya. Sehingga ia mengijinkan kami untuk berjuang menjadi orang. Orang yang tidak akan dianggap hina lagi.

*****

Aku membantu Hasan menyiapkan keperluan untuk S2-nya. Seminggu lagi dia berangkat. Untungnya kami orang yang hemat. Uang beasiswa kami, benar-benar kami gunakan sehemat mungkin sehingga kami masih punya sedikit simpanan untuk menunjang hidup beberapa bulan kedepan. Apalagi selama kuliah, aku dan Hasan juga bekerja di resto milik sahabat kami, Jamal. Ditambah lagi sedikit 'warisan' dari Eyang Putri yang masih bisa beliau selamatkan terutama dari tangan Lik Mirna. Bahkan Lik Marwan saja tidak tahu.

"Ingat ya, selalu hubungi aku. Misal aku ganti nomer tapi email, instragam, dan f******k aku gak pernah ganti," ucapnya saat kami berada di bandara Adi Sucipto Jogja.

"Tenang. Akun somedku juga gak pernah ganti kok. Paling gak tahu kapan bukanya hehehe." Hasan mengusap ujung kerudungku dan kami berpelukan. 

"Aku bakalan kangen sama cerewetmu. Kangen debat dan gelut sama kamu."

"Sama. Aku juga bakalan kangen sama kekonyolan kamu. Hati-hati ya. Kalau kepincut perawan Malaysia jangan lupa aku di beliin tiket buat kesana."

"Oke."

Akhirnya kami berpisah. Selamat tinggal saudaraku. Mari kita songsong masa depan kita. Mari kita rentangkan sayap kita yang sudah lama terikat.

Ketika pesawat yang ditumpangi Hasan sudah lepas landas, aku memilih menuju ke area foodcourt dan memesan fried chicken karena satu jam lagi aku juga harus naik kereta menuju Purwokerto.

Aku memutuskan akan merentangkan sayapku dan terbang kesana. Ke tempat sahabat ibuku. Di pondok Al-Hikam. Ada rasa gamang dalam hatiku. Namum, aku segera menepisnya dan membulatkan tekad bahwa ini pilihanku dan demi baktiku pada kedua orang tuaku.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tuti Alawiyah
cerita nya sedikit sedikit jadi ikut ...
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
perjalanan mulai tertata dalam sanubari
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status