Jalanan masih cukup ramai, banyak kendaraan roda empat yang masih lalu lalang. Binar masih jauh di belakang. Targetnya melaju dengan cepat. Binar tidak menyerah, meskipun samar-samar Binar melihat orang yang sudah melempari rumahnya, namun ia belum kehilangan jejak. Binar menambah laju kendaraannya. Ia melesat, menyalib banyak mobil yang memadat di jalan raya. Dalam sekitar lima menit posisi Binar sudah dekat dengan orang asing itu. Hingga sampailah mereka di jalanan yang sepih. Binar berusaha menyalib motor orang itu, ia menambah kecepatan hingga akhirnya ia berada di samping orang itu. Mereka terus mengadu nyali di jalanan, orang asing itu berusaha menghindar sedangkan Binar tidak menyerah untuk mendapatkannya. Binar sudah habis kesabaran. Orang itu mengendarai motornya dengan zig-zag di depan Binar. Hingga di tikungan Binar menendang orang itu dari samping. Orang asing itu terpental dari motornya, ia jatuh berguling-guling di aspal. Roda motor Binar mengikis aspal, karena ia menginjak rem dadakan. Tubuh langsingnya, tersontak ke depan, namun ia lincah, ia bisa menahan kendali dirinya saat berkendara. Setelah beberapa detik ia menoleh ke arah orang asing itu. Orang itu masih menjerit kesakitan. Ketika hendak turun untuk menghampiri orang itu sirene mobil polisi mendekati mereka. Dengan terpaksa Binar meninggalkan orang itu. Ia tidak ingin terlibat kasus dengan polisi. Sebelum meninggalkan orang asing yang masih mengaduh kesakitan itu Binar mengambil gambar pelaku itu dengan kamera ponselnya.
Amarah, kesal, dan kecewa meliputi Binar. Orang asing itu sama sekali tidak ia ketahui. Karena ia tidak pernah membuat ulah dengan orang lain selama ini. Binar terus bertanya-tanya, di sepanjang perjalanan pulang. Di depan sebuah restoran Binar berhenti untuk makan, karena ia belum makan malam. Sialnya restoran semewah itu tidak ada tempat untuk parkir kendaraan. Halamannya cukup sempit hanya pas untuk memarkir dua mobil. Terpaksa Binar memarkirkan motornya di delat trotoar, itu pun motornya sedikit menghalangi pengguna trotoar. Ia pun memutuskan untuk membawa pulang pesanannya.Binar mulai melangkah memasuki restoran. Setelah memesan makanan ia memutuskan untuk menunggu saja di depan kasir, bodo amat dengan kata orang, walaupun di dekatnya banyak yang berbisik-bisik sambil mata mereka meliriknya, ia tetap tidak peduli. Ia tahu banyak orang yang saat ini menertawainya. Tukang kasir pun ikut senyum tidak jelas. Setelah pesanannya muncul ia membayarnya.
“Totalnya Rp 58.500,00 ya kak.” Ujar sang kasir.
Binar mengeluarkan selembar uang seratus, “nih, kembaliannya ambil aja.”
“Makasi ya kak,” balas sang kasir.“Oh ya mbak tolong bilangin ke manager resto ini, buat parkiran yang gede dikit, jadi kasihan tuh pengguna trotoar jalannya terganggu karena kendaraan pengujung resto ini banyak yang parkir dekan situ.” Tukas Binar panjang lebar.Kasir itu hanya melongo menatap Binar. Binar pun melangkah keluar, ia melihat seorang cewek yang sedang menangis memeluk seorang cowok. Ketika cowok itu mengangkat mukanya, Binar baru ingat, itu Aras. Lelaki yang ditolongnya tadi sore. Aras menyadari kehadiran Binar di situ. Ia menyingkirkan tangan wanita yang memeluknya.
“Pokoknya aku enggak mau pisah dari kamu, titik!” tegas cewek di samping Aras.
“ Kamu udah gila, yah.” Balas Aras sambil berusaha menepis tangan cewek itu. “Iya aku memang gila, karena udah enggak bisa move on dari kamu.” Goda cewek itu. “Ihhhh” seru Binar seakan sangat jijik menonton drama itu.Aras terus melihat ke arah Binar. Binar pun melanjutkan langkahnya.
“Oiii tunggu loh!” tegas cewek itu.Binar terus melangkah, karena ia tidak merasa orang itu menghentikannya.“Eh loh tuh, tunggu!” seru cewek itu lagi.
Binar menengok, langkahnya terhenti.“Iya loh.” Sahut cewek itu lagi.Binar diam di tempatnya.“Loh kan, yang udah ngerayu cowok gue, pake pelet dari mana loh?” sindir cewek itu.
Binar terlihat cuek, ia kembali melangkah. Cewek itu tidak terima. Ia melempari Binar dengan irisan lemon yang ada di gelas jusnya. Untung saja Binar cekatan, tangannya tepat menangkap lemon itu ketika ia membalikkan badan. Aras yang melihat kejadian itu bangkit dari kursinya.Binar tidak terima, ia balik melempari cewek itu dan lemparan itu tidak melesat, tepat kena di perut cewek itu. Dressnya langsung jadi kotor.“Eh loh, urusin tuh cewek loh. Bukannya obatin tuh luka malah keluyuran, nyesal gue udah nolongin loh!” seru Binar.
Binar melangkah pergi meninggalkan mereka. Mungkin ia malas untuk berurusan dengan orang yang tidak jelas itu. Cewek tadi terlihat kesal, ia merengek manja, karena noda di bajunya. “Ih Baby, cewek tadi tuh kasar banget. Awas aja dia gue gampar kalau ketemu lagi.” Rengek cewek itu ke Aras. Aras tampak tidak menghiraukan cewek itu. Ia malah mengejar-ngejar Binar yang setahunya Alien. Meskipun dengan langkah terpincang-pincang Aras berhasil mendapati Binar yang hendak berangkat.“Alien, tunggu dulu!” teriak Aras.
Aras mendekati Binar, tangannya bersandar di setang motor Binar.“Mau apa lagi, mau nyuruh gue bayarin loundry gaun cewek loh, sory, gue enggak punya waktu, buat urusan sama orang aneh kek kalian.” Balas Binar panjang lebar.
“Enggak, bukan itu,” jawab Aras.
“Yah terus apa lagi” balas Binar.“ Enggak gue Cuma heran aja sama loh, udah di hina sama dia tapi loh enggak balas.” Balas Aras.“Kalau gue ladeni itu artinya gue sama aja gilanya kayak dia.” Balas Binar santai.Aras tersenyum bercampur heran mendengar jawaban itu.
“Usah minggir loh, gue mau cabut,” umpat Binar.“Pake motor?” tanya Aras.“Jalan kaki,” balas Binar kesal.“Yah udah kalau gitu ngapain di motor orang?” tanya Aras.“Numpang foto doang,” jawab Binar kesal.“ Heheheh kurang kerjaan loh,” ejek Aras.“kalau begitu nih, biar ada kerjaan,” ujar Binar sambil kakinya menendang tangan Aras yang bersandar di motornya.
“Arggghhh dasar loh, emang benar yah, loh itu Alien!” seru Aras mengadu kesakitan.
“Bleeee..” ejek Binar dengan ludahnya, lantas ia kembali mengendarai motornya.Aras menggeleng-geleng sebelum akhirnya sebuah taksi berhenti di depannya.
“Mas Aras kan?” tanya si sopir.
“Iya bang, ayo buruan,” ujar Aras langsung sosor masuk ke dalam mobil. “Ayo jalan pak,” perintah Aras.“ Buru-buru amat mas, kayak dikejar setan aja,” canda si sopir.“ Dikejar depkoleptor kali pak,” balas Aras. “Yah udah tunggu apa lagi, jalan,” lanjut Aras.“Aras tunggu, kamu jangan tinggalin aku” seru cewek itu.Aras tidak peduli, taksi yang ditumpanginya sudah melaju dengan cepat. Cewek itu terus berontak, tidak terima di lakukan begitu oleh Aras.Binar tiba di rumahnya. Ia kembali ke kamar. Di hadapan cermin besar terdapat sebuah lukisan pantai, ia menarik sesuatu di bagian bawah lukisan itu, dan keluar sebuah kunci, lalu ia membuka gembok di balik lukisan itu. Lantai tepat di depan kakinya berpijak, terbuka dengan sendirinya, membentuk sebuah lubang segi empat dengan ukuran satu kali satu meter. Binar berlutut tangannya menggerakkan sesuatu di bawah lubang itu. Beberapa saat kemudian terdengar sedikit suara desingan yang cukup keras, sebuah tangga besi terlihat di sana. Binar balik dan mengunci pintu kamarnya. Setelah itu ia mengambil makanannya dan lekas turun memasuki lubang yang mengantarnya ke ruang rahasia di bawah tanah.
Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini
Aras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan
Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah.Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar.“Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat.“Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“A
Satu jam sebelumnya…. POV: ARAS……Aku seakan asing lagi saat berada diantara sepasang kekasih itu. Aku pun memutuskan untuk pergi dari pada harus menjadi obat nyamuk untuk pasangan itu. Baru saja aku dalam perjalanan, tiba-tiba Rindi mengirimiku pesan, kalau ia mendapat petunjuk dari pesan Dexlicas yang diduplikatnya. Tak sabar aku pun langsung tancap gas, menuju lokasi yang dikirim oleh Rindi. Setelah beberapa menit kemudian, aku melihat Dexlicas dalam perjalanan, ia tidak jauh dari sebuah rumah makan yang sekilas aku melihat ada Amaz di sana. Entahlah kenapa tiba-tiba ia ada di sana, bukannya tadi ia sedang bersama Binar? Tapi terserah, tujuanku sekarang adalah Dexlicas.Dexlicas menuju tempat yang sampai kapanpun tidak bisa aku lupakan. Ini adalah tempat yang aku tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Rasanya aku ingin pulang saja karena ku pikir Dexlicas aka
Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan
Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle