Share

Bab 6

Chiara tertegun di ranjangnya. Nalurinya menyadari bahwa ucapannya telah menyinggung perasaan sang dokter, meskipun dokter tidak  menceritakan secara langsung kepadanya. Ia menatap sendu kepada Irishena.  Irishena masih dengan lamunannya, sehingga tanpa ia sadari setumpuk air mata hampir membanjiri pipinya. 

Waktu seakan berjalan sangat lambat dari pada biasanya. Dua orang perawat yang membantu Irishena tampak kebingungan dengan keadaan yang terjadi sekarang. Mereka saling menatap satu sama lain, memainkan alis, mempertanyakan arti semua ini. Yah jelas ini bukan drama. 

Akhirnya Chiara memberanikan diri untuk bertanya.

“Dok,” ucap Chiara dengan suara yang masih serak, mungkin karena ia sehabis menangis dan teriak.

Irishena tidak menggubris. Mungkin ia tidak mendengar karena konsentrasinya buyar.

Sekali lagi Chiara mengulanginya untuk memanggil dokter.

“Dok, dokter enggak apa-apa kan?” lanjut Chiara santun.

Wajahnya sengaja ia majukan mendekati wajah dokter. Irishena tersadar dari lamunannya, refleks ia menghapus air matanya dengan beberapa ujung jari tangannya. Chiara menaikkan kedua alisnya. Menatap Irishena penuh tanya.

“Ehmm, saya baik-baik saja” balas Irishena pelan.

“Dok yakin?” balas Chiara.

“Iya, serius.” Sambung Irishena.

“Dok, saya tahu dokter sedang tidak baik-baik saja. Cerita sama saya. Dok tahu kan efek samping kalau kita mendam semuanya sendiri?” ujar Chiara pelan.

Irishena menatapnya dalam. Ini serasa aib bagi dirinya sendiri jika harus diceritakan kepada orang lain. 

“Mungkin dokter akan sama  seperti saya, teriak-teriak enggak jelas, menangis enggak jelas.” Sambung Chiara.

Irishena terdiam beberapa menit mendengar ucapan pasiennya. 

“Bukan apa sih, dok cuma ngebayangin gimana rasanya diposisi kamu.” Jawabnya serius.

Chiara merasa terharu, karena ada yang mau mendengarkannya, dan bersimpatik dengannya. Ia memeluk Irishena sekali lagi. Memeluknya dengan erat. Irishena pun membalasnya, ia membelai rambut Chiara. Ia merasakan seakan-akan yang dipeluknya itu bukanlah Chiara melainkan Binar anak semata wayangnya. Kini kedua orang perawat itu makin   heran. Beberapa saat kemudian keduanya melepaskan pelukan hangat itu.

“Oh ya, gimana keadaan kamu sekarang?” tanya Irishena.

“Aku udah baikkan, udah sangat lega dok,” balas Chiara tersenyum.

“Syukurlah jika begitu,” sambung Irishena. 

“Oh iya ini resep obatnya, jangan lupa diminum sesuai aturan yang tertera ya, sayang.” Lanjut Irishena.

“Siap dok.” Balas Chiara sembari mengacung jempol.  

Mereka semua tersenyum bahagia. 

“Oh ya, yang tadi mengantar kamu siapa?” tanya Irishena.

“Oh itu kawan aku dok,” jawab Chiara.

“Ah masa sih?” goda Irishena.

“Ih kok dokter enggak percaya?” Chiara balik bertanya. 

“Iya deh.” Balas Irishena.

Seorang laki-laki  menghampiri mereka.

“Eh yang suruh loh masuk siapa?” bisik Chiara ke lelaki itu, tetapi seisi ruangan  itu mendengarnya.

“Tadi ngomong ke dokter saya kamu, sekarang malah gue loh” goda Irishena.

“ Chiara biasa gitu dok, kalau moodnya lagi baik ngomongnya sopan, coba kalau tidak bisa dimakan orang-orang sekitarnya.” Jelas lelaki itu.

Mereka semua tertawa mendengarnya. 

“Iya sih, sepertinya kayak gitu, tadi juga sama saya begitu,” ucap Irishena mangut-mangut. 

Chiara terlihat kesal. “Awas aja loh,” bentaknya. Lelaki itu malah tidak peduli dengan ancaman Chiara.

“Oh ya dok, ini kawan saya namanya Arial” ujar Chiara.

Arial mengulurkan tangan kanannya untuk menyalami dokter. Irishena membalasnya. 

“Saya dokter Irishena,” jawab Irishena.

“Oh ya, kamu harus temanin Chiara, dia butuh orang yang mau mendengarnya, hibur dia ya?” titah Irishena, yang disambut baik oleh Arial, “siap dok.”

“Yah sudah, saya pamit dulu, masih ada pasien lain yang membutuhkan saya.” Lanjut Irishena.

“Makasi ya dok” ujar Chiara.

“Iya sama-sama,” jawab Irishena sambil melangkah pergi.

Irishena kembali ke ruangannya. Ia memandangi foto keluarganya yang sengaja ia pajang di atas mejanya. Di sana terlihat sebuah keluarga kecil yang tersenyum riang, foto itu diambil ketika Binar berusia tujuh tahun. Irishena memajangnya dengan sebuah bingkai foto berbentuk ikan.

Setelah diam beberapa saat ia memergoh ponsel yang ia simpan di saku bajunya. Setelah sedikit mengutak-atik ponsel itu terdengar sebuah suara dari dalam ponsel.

“Halo mah.” 

“ Kamu apa kabar sayang?” balas Irishena. 

“Sangat bak mama, mama sendiri gimana kabarnya?” balas Binar.

“Iya sayang, mama juga,” jawab Irishena matanya mulai berkaca-kaca.

“Mah, video call yuk?” ajak Binar. 

“Baik sayang,” bakas Irishena.

Beberapa saat kemudian di layar ponsel Irishena ada wajah Binar yang sedang tersenyum bahagia. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mengamati wajah ibunya dengan teliti. Begitu pula Irishena.  Setelah beberapa saat saling diam akhirnya Irishena angkat bicara.

“Putri mama udah makin cantik aja,” puji Irishena 

“ Siapa dulu dong mamanya” balas Binar memuji ibunya.

Keduanya tertawa lepas. 

“Oh ya sayang, tambah panggilan dengan papa yah?” usul Irishena.

Binar terdiam. Mengingat apa yang telah pembantunya ceritakan rasanya sangat berat untuk bisa bertemu lagi dengan ayahnya. 

“Loh kok diam?” tanya Irishena, sembari menggerakkan ponselnya, kawatir kalau sinyal ponselnya lemah.

“Ah boleh mah.” Balas Binar.

“Siapa yang nelpon nih?” tanya Irishena.

“Mama aja ya?” usul Binar

“Oke deh, tunggu bentar yah,” ucap Irishena.

Irishena menelepon suaminya. Beberapa detik kemudian panggilan itu terhubung. 

“Wah, pertemuan virtual ya?” sapa Azerus.

Mereka tertawa. 

“Papa garing,” balas Binar.

“Iya papa kamu tuh lebih mirip psikolog,” balas Irishena. 

“Kenapa Psikolog?” tanya Azerus.

“Terlalu serius orangnya,” teriak Binar.

Mereka pun kembali tertawa, sebelum akhirnya seorang perawat menghampiri Irishena.

“Dok ada jadwal kunjungan pasien,” 

Binar dan ayahnya menyaksikan itu. Irishena mengangkat bahu, wajahnya memelas. 

“Maaf sekali ya sayang,” pinta Irishena.

Binar dan Azerus tampak kecewa. Itu terlihat jelas dari bagaimana ekspresi mereka saat ini.

Mereka bertiga pun sepakat untuk mengakhiri panggilan. Setelah itu mereka kembali dengan kesibukan masing-masing.

Malam kembali mendekap. Hidup sendiri di sebuah rumah yang besar membuat Binar menjadi benar-benar sepih. Ia sengaja tidak menyewa pembantu rumah tangga. Di sini ia hanya di temani oleh seekor anjing dan dua ekor kucing. 

Ia kembali melukis setelah melupakan sedikit rasa kecewanya terhadap ibunya.. Lukis adalah hobinya sejak kecil. Dengan berimajinasi ia bisa melupakan kesepiannya. Ketika pikirannya berkelana di alam imajinasi bebannya seakan tenggelam di lautan dalam. Kini ia tengah melukis induk ayah yang tengah mendekap anaknya. Setelah memberikan sentuhan terakhir pada lukisannya ia diam memperhatikan hasil karyanya. Iseng ia memotretnya lalu mengirimnya di grup sastra mereka. Anggotanya merespon dengan sangat baik, bahkan editor mereka mengusulkan agar lukisan itu dijadikan tema majalah kampus edisi yang akan datang. Semua tampak setuju dengan ide itu, hanya saja perlu sedikit dipoles lagi lukisannya. Mereka pun menyepakatinya.

“Guys temanya apa?” tanya  seorang anggota.

“Merengkuh kasih” usul Binar.

“Gue setuju,” balas salah seorang anggota.

Anggota lain juga menyetujuinya. 

“Oke guys,  besok kita meeting,” usul Binar. 

Binar pun keluar dari laman grup. Ia mulai belajar. Ketika sedang belajar ia dikejutkan oleh sebuah suara keras. Kaca rumahnya dilempari batu oleh seseorang.

Binar membuka jendela, ia melihat sebuah motor  melaju meninggalkan gerbang rumahnya. Dengan gesit Binar menarik jaket yang sengaja ia simpan di atas meja belajarnya. Ia mengambil kunci yang menggantung si samping pintu kamar dan bergegas turun ke garasi. Dengan terburu-buru ia mengendarai motornya.  Gerbang otomatis di rumahnya terbuka otomatis saat ia menekan tombol pada remot . Setelah ia keluar dengan sendirinya gerbang itu tertutup. Binar melaju dengan kecepatan tinggi. Jarum spidometernya menyentuh angka 100 walaupun sudah memakai jaket  namun angin malam masih menembus di dadanya. Kali ini ia sangat penasaran dengan sosok asing yang berani melempari rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status