Home / Romansa / Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku / Bab 121: Suara Itu Datang

Share

Bab 121: Suara Itu Datang

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-12-22 00:22:26
“Kenapa hujan-hujanan?”

Suara itu datang rendah, dekat, dan terlalu familiar.

Anindya menegang. Bahunya berhenti bergerak sepersekian detik, seolah tubuhnya tidak siap mendengar suara itu sekarang, tidak saat pertahanannya sudah tipis, tidak saat dadanya sudah terlalu penuh.

“Saya sudah bilang,” lanjut Arvendra, suaranya rendah tapi jelas, “kalau ada apa-apa, pulangnya ke saya aja, Anindya.”

Anindya menelan napas. Dadanya terasa penuh, seperti ada terlalu banyak hal yang ingin keluar bersamaan tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

“Kamu nggak perlu hadapi ini sendiri. Ada saya,” kata Arvendra lagi, kali ini lebih pelan.

Hujan terasa makin dingin.

Anindya menggeleng kecil, keras kepala yang sudah kelelahan. “Aku cuma capek. Aku cuma mau baik. Tapi semuanya jadi berantakan.” Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan sesuatu yang terus mendesak naik.

Arvendra menghela napas pelan. “Beban kamu itu berat. Jangan kamu angkat sendirian. Bagi sama saya.”

“Jangan dibagi,” ralat Arv
Duvessa

Minimal satu rumah satu Mas Duda :)

| 5
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ognindi Wingky
buruan di halalkan biar lbh mantab kedpnnha
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 122: Jangan Pergi

    “Serius Wira bicara begitu sama kamu?” tanya Arvendra pelan, sambil menggosok handuk di rambut panjang Anindya. Kini mereka sudah berada di apartemen. Anindya duduk di tepi ranjang, sudah berganti pakaian mengenakan piyama, bahunya sedikit merosot oleh kelelahan yang akhirnya terasa.“Iya, Mas. Tapi aku belum kasih keputusan apa-apa,” jawab Anindya lemah.Gerakan tangan Arvendra berhenti sesaat. Bukan kaget. Lebih ke menahan sesuatu.“Kamu harusnya langsung tegas. Kamu tahu itu artinya apa, ‘kan? Dia bukan lagi bicara soal kontrak. Dia mau kendali,” kata Arvendra kemudian, nadanya tetap terkendali, tapi jelas lebih dalam.Anindya menunduk. “Aku tahu.”“Dia memanfaatkan posisi kamu yang lagi terpojok. Itu bukan bantuan. Itu pemerasan yang dibungkus profesionalisme,” lanjut Arvendra, kali ini jujur tidak menahan nada kesalnya.Anindya mengangkat wajahnya, matanya kembali basah. “Kalau aku langsung nolak, dendanya besar. Kontraknya belum selesai. Karier aku gimana? Aku capek mulai dari

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 121: Suara Itu Datang

    “Kenapa hujan-hujanan?”Suara itu datang rendah, dekat, dan terlalu familiar.Anindya menegang. Bahunya berhenti bergerak sepersekian detik, seolah tubuhnya tidak siap mendengar suara itu sekarang, tidak saat pertahanannya sudah tipis, tidak saat dadanya sudah terlalu penuh.“Saya sudah bilang,” lanjut Arvendra, suaranya rendah tapi jelas, “kalau ada apa-apa, pulangnya ke saya aja, Anindya.”Anindya menelan napas. Dadanya terasa penuh, seperti ada terlalu banyak hal yang ingin keluar bersamaan tapi tidak tahu harus mulai dari mana.“Kamu nggak perlu hadapi ini sendiri. Ada saya,” kata Arvendra lagi, kali ini lebih pelan.Hujan terasa makin dingin.Anindya menggeleng kecil, keras kepala yang sudah kelelahan. “Aku cuma capek. Aku cuma mau baik. Tapi semuanya jadi berantakan.” Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan sesuatu yang terus mendesak naik.Arvendra menghela napas pelan. “Beban kamu itu berat. Jangan kamu angkat sendirian. Bagi sama saya.”“Jangan dibagi,” ralat Arv

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 120: Racun

    Ruangan laboratorium itu terlalu terang untuk kabar seburuk ini.Arvendra berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, rahangnya mengeras sejak analis forensik meletakkan hasil uji di meja stainless. Sankara berdiri di samping Arvendra, kali ini tidak bercanda, tidak menyela, hanya menatap layar monitor dengan sorot mata waspada. Armand mengatur semuanya. Lab ini bukan sembarang lab. Ini mitra forensik yang biasa menangani kasus sensitif keluarga Pradipta.“Ini sampel dari kue yang Anda bawa. Kami temukan zat ini di lapisan krimnya. Kelihatannya seperti bahan tambahan makanan biasa. Tapi setelah diuji lebih dalam, ternyata bukan,” jelas analis itu, seorang pria paruh baya dengan jas lab putih dan suara datar, seolah yang dia hadapi hanyalah angka dan reaksi kimia, bukan nyawa manusia.Sankara menelan ludah. “Itu apa?”Analis itu menggeser layar monitor, menampilkan grafik dan data kimia. “Campuran non-pangan bersifat toksik dosis rendah. Tidak mematikan secara langsung, tapi cukup u

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 119: Harus Bagaimana?

    “Pak Wira, saya minta maaf atas semua skandal yang terjadi.”Anindya membuka pembicaraan dengan suara tertahan, kedua tangannya terlipat rapi di atas pangkuan. Sejak tadi dia sudah menyiapkan kalimat itu berulang kali di kepalanya, tapi mengucapkannya langsung di depan Wira tetap membuat dadanya terasa sesak.Usai berbincang dengan Mia dan Reno, mereka sepakat satu hal: persoalan ini tidak bisa diwakilkan. Anindya harus menghadap sendiri, sebelum masalah ini makin liar.Wira menyandarkan tubuhnya ke kursi, jari-jarinya saling bertaut di atas meja. Tatapannya tidak marah, lebih tepatnya dingin, terukur. “Kamu tahu berapa kerugian yang saya alami?” tanyanya pelan.Anindya menelan ludah. “Saya … belum tahu pasti, Pak.”“Dua kampanye harus ditahan,” jawab Wira datar. “Satu investor minta renegosiasi kontrak. Satu lagi mundur sementara karena takut sentimen publik. Total exposure yang tertunda nilainya sekitar satu koma dua miliar.”Dada Anindya terasa ditekan. Angka itu bukan sekadar nomi

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 118: Niat

    [Mas, maaf aku nggak nurut. Harusnya aku curiga sama Ryan dari awal.]Pesan itu masuk tepat ketika Arvendra baru menyalakan mesin mobil. Hanya satu baris. Namun, cukup untuk membuat rahangnya mengeras dan dadanya terasa sesak dalam waktu bersamaan.Arvendra menatap layar ponsel selama dua detik penuh. Lalu mematikannya.Bukan karena tidak peduli. Justru karena sejak satu jam terakhir, ponselnya tidak berhenti bergetar. Nama Batara, Dian, Asara, bahkan Sankara muncul silih berganti. Semua orang ingin bicara. Semua orang ingin penjelasan. Dan Arvendra tahu, satu-satunya suara yang seharusnya dia dengar saat ini justru belum sempat dia jawab.Dia memutar setir keluar dari garasi, berniat langsung menuju apartemen Anindya. Bukan untuk menemuinya–dia tahu Anindya masih di kantor agency–melainkan untuk memastikan satu hal: siapa sebenarnya pemuda bernama Ryan itu, dan sejauh apa dia sudah berani masuk ke hidup tunangannya.Belum sempat mobilnya melaju jauh, sebuah sosok berdiri tepat di dep

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 117: Gosip Murahan

    Anindya datang ke kantor agensi dengan langkah sedikit gontai. Matanya masih berat karena kurang tidur, tapi pikirannya jauh lebih berat. Sepanjang perjalanan, dia mencoba menebak-nebak apa yang membuat Mia memanggilnya sepagi itu dengan nada yang tidak memberi ruang untuk bercanda. Tidak ada jadwal pemotretan hari ini, tidak ada fitting, tidak ada meeting yang seharusnya melibatkan dirinya. Jadi apa?Begitu pintu ruang rapat terbuka, firasat buruknya langsung menguat.Tidak hanya Mia yang duduk di sana. Reno–pemilik agensi sekaligus paman Laura–juga ada, dengan raut wajah serius yang jarang sekali Anindya lihat di luar urusan kontrak besar. Tablet tergeletak di meja, layar menghadap ke bawah, seolah menyimpan sesuatu yang belum siap diperlihatkan.“Pagi, Mbak Mia. Pagi, Pak Reno,” sapa Anindya sambil duduk di kursi seberang. Tangannya otomatis meremas ujung tas, kebiasaan kecil yang selalu muncul tiap kali dia gugup.“Pagi, Laranya,” jawab Mia. Senyumnya tipis, terlalu formal untuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status