MasukTerima kasih buat kalian yang masih setia dan antusias sama kisah Arvendra dan Anindya. Sehat terus ya guys :)
“Kalau urusan keluarga besar,” ucap Dian jujur, “Bunda tidak bisa ikut campur terlalu jauh, Anin.”Anindya terdiam. Tidak menyela, tidak bertanya. Dia menunggu.“Bunda ini hanya menantu,” lanjut Dian, suaranya tetap tenang. “Sejak ayah Mas Arven meninggal, dalam keluarga Pradipta, garis keputusan berpindah. Sekarang semuanya berada di tangan Om Batara. Dialah yang memegang arah, menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak.”Dian berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis. Bukan senyum pahit, melainkan senyum seseorang yang sudah lama berdamai dengan posisinya sendiri.“Bunda bisa bertahan sejauh ini karena satu hal, karena Bunda punya anak-anak dengan nama belakang Pradipta. Itu yang memberi Bunda tempat. Bukan suara,” kata Dian pelan.Kalimat itu meluncur tanpa keluhan. Tanpa upaya mencari simpati.“Secara adat, secara kuasa,” Dian melanjutkan, “pendapat Bunda bukan yang utama. Dan Bunda tidak mau berpura-pura menjanjikan sesuatu yang memang bukan wewenang Bunda.”Dian menatap Anindya
“Mas Arven?” panggil Anindya lirih ketika matanya terbuka dan sisi ranjang di sebelahnya kosong. Padahal dia ingat betul, Arvendra memeluknya sepanjang malam, seperti tidak berniat pergi ke mana pun.Anindya meraba seprai di sampingnya. “Masih hangat kok. Pasti lagi bikin sarapan,” gumamnya pelan.Bukan bermaksud sok tahu, tapi memang begitu kebiasaannya. Setiap Arvendra menginap, dapur selalu lebih dulu hidup sebelum apartemen ini benar-benar bangun.Anindya menggeser tubuh, lalu tanpa sadar melirik ponselnya di atas nakas. Benda yang sengaja dia matikan sejak kemarin. Anindya tahu, sekali layar itu menyala, dunia akan kembali menghantamnya dengan opini, tudingan, dan komentar yang belum tentu sanggup dia baca hari ini. Mia menyuruhnya tidak melihat media sosial dulu. Jadi dia menuruti.Dengan langkah masih berat, Anindya menuju kamar mandi. Menggosok gigi sambil menatap pantulan wajahnya sendiri. Mata sedikit sembap, tapi jauh lebih tenang dibanding kemarin. Dia membasuh muka, merap
“Serius Wira bicara begitu sama kamu?” tanya Arvendra pelan, sambil menggosok handuk di rambut panjang Anindya. Kini mereka sudah berada di apartemen. Anindya duduk di tepi ranjang, sudah berganti pakaian mengenakan piyama, bahunya sedikit merosot oleh kelelahan yang akhirnya terasa.“Iya, Mas. Tapi aku belum kasih keputusan apa-apa,” jawab Anindya lemah.Gerakan tangan Arvendra berhenti sesaat. Bukan kaget. Lebih ke menahan sesuatu.“Kamu harusnya langsung tegas. Kamu tahu itu artinya apa, ‘kan? Dia bukan lagi bicara soal kontrak. Dia mau kendali,” kata Arvendra kemudian, nadanya tetap terkendali, tapi jelas lebih dalam.Anindya menunduk. “Aku tahu.”“Dia memanfaatkan posisi kamu yang lagi terpojok. Itu bukan bantuan. Itu pemerasan yang dibungkus profesionalisme,” lanjut Arvendra, kali ini jujur tidak menahan nada kesalnya.Anindya mengangkat wajahnya, matanya kembali basah. “Kalau aku langsung nolak, dendanya besar. Kontraknya belum selesai. Karier aku gimana? Aku capek mulai dari
“Kenapa hujan-hujanan?”Suara itu datang rendah, dekat, dan terlalu familiar.Anindya menegang. Bahunya berhenti bergerak sepersekian detik, seolah tubuhnya tidak siap mendengar suara itu sekarang, tidak saat pertahanannya sudah tipis, tidak saat dadanya sudah terlalu penuh.“Saya sudah bilang,” lanjut Arvendra, suaranya rendah tapi jelas, “kalau ada apa-apa, pulangnya ke saya aja, Anindya.”Anindya menelan napas. Dadanya terasa penuh, seperti ada terlalu banyak hal yang ingin keluar bersamaan tapi tidak tahu harus mulai dari mana.“Kamu nggak perlu hadapi ini sendiri. Ada saya,” kata Arvendra lagi, kali ini lebih pelan.Hujan terasa makin dingin.Anindya menggeleng kecil, keras kepala yang sudah kelelahan. “Aku cuma capek. Aku cuma mau baik. Tapi semuanya jadi berantakan.” Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan sesuatu yang terus mendesak naik.Arvendra menghela napas pelan. “Beban kamu itu berat. Jangan kamu angkat sendirian. Bagi sama saya.”“Jangan dibagi,” ralat Arv
Ruangan laboratorium itu terlalu terang untuk kabar seburuk ini.Arvendra berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, rahangnya mengeras sejak analis forensik meletakkan hasil uji di meja stainless. Sankara berdiri di samping Arvendra, kali ini tidak bercanda, tidak menyela, hanya menatap layar monitor dengan sorot mata waspada. Armand mengatur semuanya. Lab ini bukan sembarang lab. Ini mitra forensik yang biasa menangani kasus sensitif keluarga Pradipta.“Ini sampel dari kue yang Anda bawa. Kami temukan zat ini di lapisan krimnya. Kelihatannya seperti bahan tambahan makanan biasa. Tapi setelah diuji lebih dalam, ternyata bukan,” jelas analis itu, seorang pria paruh baya dengan jas lab putih dan suara datar, seolah yang dia hadapi hanyalah angka dan reaksi kimia, bukan nyawa manusia.Sankara menelan ludah. “Itu apa?”Analis itu menggeser layar monitor, menampilkan grafik dan data kimia. “Campuran non-pangan bersifat toksik dosis rendah. Tidak mematikan secara langsung, tapi cukup u
“Pak Wira, saya minta maaf atas semua skandal yang terjadi.”Anindya membuka pembicaraan dengan suara tertahan, kedua tangannya terlipat rapi di atas pangkuan. Sejak tadi dia sudah menyiapkan kalimat itu berulang kali di kepalanya, tapi mengucapkannya langsung di depan Wira tetap membuat dadanya terasa sesak.Usai berbincang dengan Mia dan Reno, mereka sepakat satu hal: persoalan ini tidak bisa diwakilkan. Anindya harus menghadap sendiri, sebelum masalah ini makin liar.Wira menyandarkan tubuhnya ke kursi, jari-jarinya saling bertaut di atas meja. Tatapannya tidak marah, lebih tepatnya dingin, terukur. “Kamu tahu berapa kerugian yang saya alami?” tanyanya pelan.Anindya menelan ludah. “Saya … belum tahu pasti, Pak.”“Dua kampanye harus ditahan,” jawab Wira datar. “Satu investor minta renegosiasi kontrak. Satu lagi mundur sementara karena takut sentimen publik. Total exposure yang tertunda nilainya sekitar satu koma dua miliar.”Dada Anindya terasa ditekan. Angka itu bukan sekadar nomi







