“Aku baik-baik aja, Kak.”
“BERHENTI BILANG BAIK-BAIK AJA, BIANCA!” bentak Indra kesal. Ia menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi kemudi, lalu menyisir kasar legam rambutnya dengan jemari. “F*CK!” makinya kepada dirinya sendiri.
Indra begitu marah. Harusnya ia tidak pernah meninggalkan Bianca sendirian. Berani-beraninya perempuan gila itu melukai Bianca di depan matanya sendiri.
Tadi, setelah polisi menggiring Nindi yang masih memberontak histeris ke dalam mobil polisi, Bianca harus berusaha keras untuk menahan Indra agar tidak mengoyak Nindi dengan tangannya sendiri.
Dan sekarang, setelah ia bersikeras untuk membawa Bianca kembali ke rumah sakit hanya karena luka yang kembali terbuka, Bianca kembali menghentikannya, dan bersikeras hanya memerlukan beberapa plester luka yang baru.
Indra menepikan mobilnya di jalanan yang sepi, lalu mengambil kotak P3K yang selalu ada di mobilnya, dan mulai mengoba
We all feel pain beneath the surfaceIf we're not the same, then why are we all hurting?I don't know what it's like to be fighting for my lifeBut if you do, I'll be fighting tooWhen you're feeling weak I'll be the words if you can't speakAnd if you lose, I'll be losing tooAnd I can't lose youI Can’t Lose You – Isac Danielson***“Siapkan jalur evakuasi, ledakan dari lantai 19.”Suara alarm kebakaran berbunyi nyaring, diikuti oleh derap langkah kaki panik orang-orang yang mendengar suara ledakan itu. Beberapa petugas keamanan apartment langsung bersiaga membuka jalur evakuasi melalui tangga darurat saat lift dimatikan secara otomatis.Bianca berdiri di depan jalur evakuasi di lantai 3. Ia melirik jam yang melingkari tangannya, lalu memeriksa pistol yang diam-diam ia ambil dari dalam mobil pria itu, dan kini tersimpan
Malam itu, rintik gerimis turun perlahan. Tidak deras, tapi tetap membuat udara malam yang dingin semakin menggigit. Dua orang wanita duduk berhadapan di sebuah meja restoran yang cukup ramai. Ketika orang-orang memilih area dalam restoran yang hangat, keduanya justru duduk di bagian luar restoran, membuat tangin yang membawa tetesan air hujan sesekali menyentuh wajah mereka. Beberapa orang yang melihat keduanya berdecak kagum. Bagaimana tidak jika malam ini mereka sangat beruntung karena bisa melihat model yang tengah naik daun dan seorang pebisnis yang juga tengah berada di puncak kejayaannya. Claire dan Clara, dua putri dengan wajah serupa yang cantik. “Aku minta maaf,” bisik Clara, memecah keheningan malam itu. Claire tidak menjawab. Matanya menatap cangkir kopi yang kehilangan kepulan uapnya sejak beberapa saat yang lalu. Lagi-lagi hembusan dingin angin malam menerpa
Apakah waktu bisa menyembuhkan luka? Jika pertanyaan itu diberikan kepada seorang Bianca Peruka, maka jawabannya hanya satu. Tidak. Tidak peduli sebanyak apa pun waktu yang berlalu, rasa sakit saat melihat tubuh ibunya melayang di udara, lalu terjatuh dalam keadaan tak bernyawa, rasa sakit itu, tak pernah sedikit pun berkurang. Untuk beberapa saat tubuh Bianca hanya mampu membeku di balkon kamarnya. Padahal suara teriakan para pelayan yang berlari menghampiri tubuh ibunya yang bersimbah darah, begitu memekakkan telinga. Lalu orang-orang mulai meneriaki nama ibunya berkali-kali, meminta wanita itu bertahan dan membuka mata. Tapi permintaan mereka tidak pernah terdengar. Setelah melewati masa terkejut, Bianca mulai tersadar. Tubuh mungilnya bergetar, lalu jatuh terduduk di balkon begitu saja. Ia ingin berlari menghampiri tubuh ibunya seperti yang orang-orang lakukan, tapi tubuhnya begitu lemah, hingga ia hanya bisa menangis di lantai kamarnya ya
“Dia tantemu?” tanya seorang gadis berambut panjang kepada Bianca. Kedua mata abu-abunya menatap kagum sosok cantik Clara. Bianca menoleh ke arah yang ditunjuk teman sekelasnya. “Ya.” “Wah, cantiknya,” puji Annete sungguh-sungguh sambil sesekali melirik ke belakang. Tempat wali murid berkumpul untuk melihat sistem ajar di kelas mereka. Hal rutin yang dilakukan beberapa bulan sekali. “Dan dia baikkkk banget,” bisik Maria yang duduk di meja depan. Ia pernah beberapa kali bertemu dengan Clara yang datang mengantar Bianca ke sekolah, dan wanita itu selalu menyapa teman-teman Bianca dengan ramah. Padahal kebanyakan orang tua teman-temannya yang lain tidak pernah melakukan hal itu. “Kamu beruntung banget, Bian,” ujar Annete sungguh-sungguh. Bianca hanya tersenyum simpul sebagai jawaban. Beruntung? Haruskah ia merasa beruntung? Ketika anak-anak lain didampi
“SHEILA!” Deg. Kedua mata Bianca terbelalak seketika saat mendengar teriakan Clara dari balik pintu di belakang punggung Layla. Ia ternganga tidak percaya. Seringai Layla merekah sempurna. “Ini… ini… tujuan anda?” Bianca tergagap dalam keterkejutannya. Wanita itu jelas dengan sengaja membongkar semua kejadian di masa lalu agar Sheila mendengarnya. Wajah Bianca memanas seketika saat membayangkan tatapan terluka Sheila, adik yang paling disayanginya. “Bingo! Akhirnya sudah dimulai. Kalian benar-benar serupa, sangat mudah dibodohi.” Bianca membeku seketika. “Ini ulah anda. Anda yang sudah membunuh Mama!” Bianca kembali mengangkat pistolnya, menghadapi Layla dengan mata bergetar. Foto itu, foto Ibunya yang terjatuh dan tangan Clara yang terulur, itu bukan karena Clara yang mendorongnya. Namun, Clara lah yang berusaha menangkap tubuh kakaknya sebelum ia terjatuh. Susah payah Bianca menahan nyeri di dadanya dan menghala
“Biiiii, kamu serius mau nikah?” “Yep.” Bianca tersenyum simpul. Ia tengah berada di butik designer kenamaan, mencoba beberapa gaun pengantin pilihannya. “Dan ini sudah ke-500 kalinya kamu nanya hal yang sama.” Sheila mengerucutkan bibirnya. Kedua tangannya terlipat di dada. Wajah gadis itu masih terlihat sangat keberatan dengan berita yang diberikan Bianca secara tiba-tiba. Terlebih, sosok Dandy terlihat sedikit aneh di matanya. Satu-satunya hal yang menghibur adalah dukungan ayah mereka yang menyambut bahagia kabar pernikahan Bianca dan Dandy Hartono. “Kamu cantik banget, Bi!” ujar Tini saat melihat sosok cantik sahabatnya berbalut gaun pengantin yang begitu mempesona. “Ah, aku jadi bingung, semua gaunnya jadi bagus di badanmu!” ujarnya setengah mengeluh. Sandra tersenyum setuju. “Tapi, kamu beneran mau nikah sama orang itu?” Hanya Sheila yang sama sekali tidak terbawa s
18 tahun yang lalu. “Ini dari Layla?” tanya Claire saat melihat map cokelat yang ada di atas meja Clara. Clara langsung menyambar map itu, tidak ingin Kakaknya sampai melihat isi di dalamnya. Claire maju selangkah, lalu mengeluarkan map yang sama dari dalam tasnya sendiri. “Dia mengancamku duluan, Cla,” ujar Claire dingin. “Dan aku nggak akan memberikan apa yang dia mau. Aku nggak akan menyerah begitu aja.” “Tapi dia mau hancurin semuanya, Kak! Gimana kalau semuanya terbongkar?! Gimana kalau semua orang tau Damian selingkuh sama aku?!” “Nggak ada bukti kalau kamu berselingkuh sama suamiku.” Clara menggeram frustasi. Ia mengeluarkan isi map yang dikirimkan Layla beberapa waktu yang lalu. Salah satu isinya adalah potongan gambar yang diambil dari rekaman CCTV di vila. Susah payah Claire menahan sengatan rasa nyeri setiap kali ia melihat
“Yang tewas beberapa tahun yang lalu adalah Bu Clara, dan dia bukan bunuh diri, melainkan dibunuh oleh Layla. Sedangkan Bu Claire masih hidup.”Damian mendengus tidak percaya. “Anda pasti bercanda, Anthoni,” ujar Damian. Namun kedua tangannya mulai sedikit bergetar. “Itu sama sekali tidak masuk akal.” Kini napas pria itu mulai terasa sedikit berat. Bayangan saat Clara meminta izin untuk membawa kedua putrinya ke Amerika kembali terlintas.Saat itu, semenjak kematian Claire, Damian tidak bisa melihat mata adik iparnya secara langsung. Karena sosok Clara yang berdiri di hadapannya selalu mengingatkan Damian kepada mendiang istrinya.Damian tidak pernah mengakuinya di hadapan siapa pun, tapi meski ia adalah suami yang buruk, kehilangan seorang istri adalah sebuah pukulan telak yang menyakitkan. Bahkan kedua putrinya hanya memberikan rasa nyeri yang sama setiap kali Damian melihat mereka, hingga ia mengizinkan Clara membawa keduan