Bab 6. Ternyata Suamiku Lebih Mencintai Harum
****
“Harusnya Kakak sadar, bukan malah ngata-ngatin aku. Aku perempuan sempurna di mata Mas Sigit. Kakak itu apa? Lihat wajah Kakak! Lihat tubuh Kakak! Kakak itu enggak ada cantik-cantiknya. Tubuh kakak juga gak ada seksi-seksinya. Laki-laki tampan dan tajir seperti Mas Gilang layak mendapatkan perempuan yang istimewa. Bukan perempuan macam Kakak! Sebelum Mas Gilang mentalak Kakak, seharusnya Kakak mundur! Akan lebih terhormat kalau Kakak yang minta pisah, dari pada di talak!”
“Terima kasih atas semua saranmu, adikku. Terima kasih banyak, ya!” ucapku lemah lembut. Pandanganku gelap. Kesadarnku telah hilang.
“Cukup, Mel! Sadar! Mel! Istiqfar, Mel!” teriak Rani dan Mala bersamaan.
Entah sejak kapan mereka berdua ada di dekat kami. Sepertinya suara teriakan Harum memancing perhatian mereka. Beberapa orang juga ikut mendekat. Security hotel bahkan berlari ke arah kami.
“Apa yang kau lakukan? Lihat, perempuan itu berdarah!” bisik Mala menyadarkanku. Tangannya mengguncang-guncang bahuku.
Aku rupanya baru saja kesetanan. Tanpa sadar kepala gadis itu kubenturkan ke bamper mobil yang terparkir di situ secara berulang-ulang. Darah merembes dari hidung dan mulut, dan pelipisnya seperti sobek.
Dia menangis menjerit-jerit. Rani berusaha menenangkannya. Orang-orang mulai ramai mengerumuni. Ada yang berusaha membersihkan darah di wajah pelakor itu. Ada juga yang mengomentari dengan berbagai persepsi.
“Sini kuncinya!” Mala meraih kunci mobil di tanganku.
“Tidak, biar aku saja yang menyetir mobil Mas Gilang,” bantahku menepis tangannya.
“Mas Gilang bisa mati kau kurung seperti itu! Dia minta dikeluarkan, Mel!” tegas Mala.
“Tidak. Kau antarkan perempuan itu ke terminal Bus. Suruh dia pulang ke kampungnya! Bilang sama dia, jangan pernah menunjukkan wajahnya lagi di depanku! Kalau tidak ingin nyawanya melayang.” Aku melangkah menuju mobil Mas Gilang.
“Mel! Kamu sedang emosi. Kamu sedang tidak tenang. Gak boleh nyetir!” teriak Rani mengikutiku.
“Kalau begitu, kau saja yang nyetir! Ayo!” tegasku menyerahkan kunci mobil padanya.
“Ini, gimana?” Mala terlihat bingung menatap Harum yang masih meraung memanggil nama suamiku.
Orang-orang yang tadi mengerubungi mulai pergi satu persatu. Rani telah berhasil menyakinkan mereka akan masalah yang sebenarnya. Tidak ada yang merasa kasihan apalagi bersimpati pada pelakor busuk yang kini berdarah itu.
Tinggal Mala yang tampak menghampirinya. Sahabatku itu menarik tangannya dengan paksa menuju mobilku yang terparkir di sebelah barat. Dengan terseok perempuan itu berjalan mengikuti langkah Mala.
“Langsung kunci lagi pintu mobilnya, Ran!” perintahku begitu aku masuk ke bangku belakang mobil Mas Gilang.
Rani menurutiku. Setelah mobil yang dikemudikan Mala keluar dari areal parkir, Rani mengikutinya dari belakang.
“Kenapa kau kejam sekali, Mel?” tanya Mas Gilang seperti bergumam. Tapi aku jelas mendengarnya.
“Menurutmu, labih kejam siapa, aku atau kalian berdua?” ketusku menatapnya tajam.
“Boleh aku pindah ke belakang? Aku mau duduk di sampingmu?” tanyanya memohon.
“Tidak! Kau di depan saja! Tapi jangan harap kau bisa merayu Rani. Dia temanku.”
“Mel! Kenapa kau jadi seperti ini?” Suaranya meninggi, menatapku tidak senang.
“Karena baru sekarang aku menyadari, ternyata kau itu buaya. Jangankan yang hidup, bangkai busuk saja bisa kau terkam. Apa lagi perempuan secantik Rani,” ketusku.
“Rani hanya diam. Dia tetap fokus menyetir mengikuti mobilku yang dikemudikan oleh Mala.
“Kita harus mengobati Harum dulu, Mel. Dia berdarah. Lukanya pasti parah,” pinta Mas Gilang memelas.
“Tidak! Biar dia pulang ke kampungnya dengan darah itu. Agar keluarganya tahu seperti apa kelakuannya di kota ini,” tegasku.
Mas Gilang mendengus kasar. Aku tidak peduli.
Mobil yang di kemudikan Mala berhenti di dekat terminal bus. Kulihat Harum turun dengan susah payah. Kulirik Mas Gilang menatapnya iba. Saat tubuh gadis itu hampir oleng dan terjerembab, dia bergerak cepat membuka pintu mobil. Tapi sia-sia. Pintu mobil dalam keadaan terkunci.
“Aku mau turun sebentar, Ran. Buka pintunya!” perintahnya kepada Rani.
Rani menatapku, memohon petunjuk.
“Tidak!” ucapku tegas.
Mas Gilang membalikkan badan, menatapku penuh permohonan.
“Harum tidak punya uang sedikitpun, Mel. Aku belum sempat memberi dia uang tadi, tolonglah!” pintanya memelas.
“Oh, ya? Kalau boleh tahu, berapa tarifnya? Kalian berapa ronde rupanya dari siang kemarin sampai pagi tadi?” tanyaku tersenyum sinis.
“Mel!” sergahnya salah tingkah.
“Aku nanya? Berapa tarifnya? Biar aku yang bayar. Dia sudah memuaskan suamiku, kan?”
Mas Gilang tercekat. Dia tidak berani protes lagi, saat Rani melajukan mobil, mengikuti Mala menuju rumah, setelah Harum menghilang ke tengah terminal.
***
Mala dan Rani segera kembali ke rumahnya masing-masing setelah mengantarkan kami pulang. Sebenarnya aku menawarkan mereka agar memakai mobilku saja. Tapi, mereka memilih naik taksi online.
Aku segera menyeret suamiku masuk ke dalam rumah. Mas Gilang tampak kian pucat.
“Mel, tolong jangan beritahu Mama dan Papa! Kumohon!” pintanya. Langkahnya terhenti. Aku kesulitan menarik bobot tubuhnya.
“Kenapa? Kau takut? Ketika berbuat kau tidak takut, iya?” tanyaku sinis.
“Kau tahu, kan, mereka sangat menyayangimu? Kau adalah menantu kesayangan mereka. Apa lagi setelah Chika lahir. Aku takut mereka murka padaku.”
“Lalu, murkaku tidak kau pikirkan? Kemarahanku enggak penting, begitu?”
“Aku suka sama Harum, Mel. Aku sangat mencintainya. Aku bisa gila kalau tidak bertemu dia.”
Runtuh kurasakan dunia ini seketika. Pengakuan suamiku mampu meledakkan bom dasyat yang selama ini telah disiapkannya. Pandanganku tiba-tiba gelap. Tubuhku limbung. Aku terduduk di lantai teras.
Istri mana yang sanggup mendengar pengakuan suaminya seperti ini. Perempuan mana yang sanggup mendengar suaminya mengungkapkan perasaannya terhadap perempuan lain? Dia bilang dia sangat menyukai Harum. Dia bahkan bilang kalau dia tak sanggup berpisah. Dia bilang dia akan gila bila tak bertemu.
“Mel, kau kenapa? Ayo bangun! Nanti Mama dan Papa panik melihat kau seperti ini. Nanti aku yang disalahkan lagi.”
Mas Gilang membangunkanku. Tapi dia tak hendak mengangkat tubuhku. Sepertinya dia memang enggan melakukannya. Kini kusadari, ternyata dia memang tidak mencintaiku lagi. Tidak ada lagi rasa sedikit pun yang tersisa untukku. Yang dia lakukan saat ini hanyalah karena takut pada orang tuanya, bukan memikirkan hati dan perasaanku.
“Bangun, Mel! Tuh, ada Mama dan Papa datang!” perintahnya kembali mengangkat tubuhku dengan kasar.
“Mel … kenapa? Ada apa ini?” teriak mama mertuaku panik. “Sudah mama bilang jangan keluar dulu kalau belum selapan! Kamu nekat juga, begini kan, hasilnya. Ya, ampuuun, menantuku! Tolong sehat-sehatkan menantuku, ya, Tuhan! Gilang, bantu istrimu, Nak!”
“Angkat! Gendong dia, cepat, Gilang!” perintah papa mertua ikut berteriak.
Dengan terpaksa Mas Gilang mengangkat tubuhku. Gerakannya kasar, gerakan itu membuat sakit di hatiku kian parah. Tapi, rasa sakit itu mampu memberi kekuatan baru bagiku.
******
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat