Bab 7. Talak Aku Atau Kubongkar Aibmu
*****
Segera aku meloloskan diri dari gendongan Mas Gilang. Aku berdiri kuat, kupaksa hati dan pikiran untuk fokus. Aku tidak boleh terlihat lemah.
“Lho, Mel? Kamu enggak apa-apa?” tanya mama mertuaku heran.
“Tidak, Ma. Saya baik-baik saja. Tadi, pusing dikit,” sergahku melangkah perlahan menuju kamar Chika.
“Chika baik-baik saja. Sebaiknya kamu membersihkan diri dulu, makan, lalu istirahat. Kamu belum pulih benar, Mel. Masih sebulan pasca melahirkan, itu masih rentan.”
“Iya, Ma. Saya cuma mau melihat sebentar saja. Saya kangen,” sahutku melanjutkan langkah.
Mas Gilang langsung menuju kamar, sama sekali tidak ada niatnya untuk melihat keadaan putrinya. Betul-betul hatinya sudah dibutakan napsu dan cinta Harum.
“Kucium kening dan pipi putriku dengan lembut. Air bening hampir saja tumpah di sana. Tapi, sekali lagi aku harus kuat. Tak akan ada air mata. Tidak akan pernah ada.
Setelah puas melepaskan rindu dan berbincang dalam hati dengan bayi merahku, aku bergegas ke dalam kamar. Kudapati lelaki itu berbaring di atas ranjang. Jemarinya sibuk memainkan ponsel. Entah apa yang dilakukannya. Bisa saja dia sedang chatingan dengan Harum.
Pelan kukunci pintu kamar. Aku tidak mau perdebatan kami terdengar oleh mertua.
“Mas!” panggilku setelah mengumpulkan kekuatan.
“Hem,” sahutnya tanpa menoleh.
“Pengakuanmu di teras tadi, aku salut padamu. Kau mengakui tanpa aku minta.”
“Ya, aku mengatakan yang sejujurnya. Aku bosan bersandiwara terus menerus di depanmu,” ungkapnya tanpa merasa bersalah.
“Aku tidak akan memintamu untuk menghentikannya. Aku juga tidak akan melarangmu mencintainya. Aku bahkan tidak akan pernah menghalangimu berselingkuh dengannya. Tapi, ada yang mau aku tanyakan.”
“Silahkan! Akan kujawab, kalau memang aku bisa,” jawabnya acuh.
“Sejak kapan kau berhenti mencintaiku?” Pertanyaan itu kuajukan setelah mengumpulkan segenap kekuatan di hati. Aku bertanya bukan untuk dikasihani, bukan pula untuk meminta dicintai lagi. Tidak. Aku hanya ingin tahu kebenarannya.
“Em, aku lupa. Tapi sepertinya sejak aku sadar ada perempuan lain yang jauh lebih cantik darimu, yang bisa kudapat dan kunikmati semauku.”
“Siapa maksudmu? Harum?” tanyaku bergetar. Pengakuannya kian mengiris hati. Tapi, aku tak merasa pedih lagi.
“Ya, dia begitu sempurna. Wajahnya cantik, tubuhnya menggairahkan, dan yang lebih penting, dia tidak sok jual mahal sepertimu. Dia tidak pernah menolak setiap aku meminta. Jangankan di tempat tidur, di dapur, di kamar mandi, di meja makan, di ruang kerjaku saat dia mengantarkan kopi, pokoknya asal aku minta dia pasti bersedia. Bahkan bisa dibilang lebih sering dia yang meminta malah. Coba kau bayangin! Lelaki mana yang tidak akan bahagia bila punya pasangan seperti itu.
Sedang dirimu? Coba kau ingat! Setiap aku minta, pasti penuh perjuangan dulu. Yang lagi enggak enak badanlah, lagi datang bulanlah, lagi capek lah. Aku kau perlakukan seperti pengemis. Beda dengan Harum. Dia siap dua puluh empat jam sehari untukku. Pelayannya juga seratus kali lipat lebih nikmat dari pada kamu. Kalau kau jadi aku, kira-kira bagaimana sikapmu?” terangnya panjang lebar.
“Cukup jelas, Mas. Apa yang kau ungkapkan ini sangat jelas bagiku,” ucapku lemah. Peluru-peluru tajam yang dilontarkannya tak kuhiraukan lagi. Tak akan kubiarkan menyakiti hati dan perasaanku lagi. Apa pun yang diungkapkannya tidak akan mempengaruhi keputusan yang akan kuambil nanti.
“Oh, iya, satu lagi. Setelah kamu melahirkan, aku pikir kau bisa kembali cantik seperti dulu. Seperti saat kau masih gadis dulu. Tapi, aku kecewa, Mel. Sudah sebulan kutunggu, ternyata wajah dan tubuhmu tidak berubah juga. Jelek dan melar kayak balon. Maaf, aku tidak selera lagi, Mel. Makanya aku nekat membawa Harum ke hotel. Aku punya kebutuhan. Kebutuhan yang harus kusalurkan. Denganmu, aku tidak napsu. Maaf, kalau aku terlalu berterus terang.”
“Ok, tidak perlu minta maaf. Aku sudah sangat paham. Sekarang yang perlu kita pikirkan adalah, bagaimana cara kita mengatakan semua ini kepada orang tuamu? Kalau masalah orang tuaku, biar aku yang mengurusnya. Tapi orang tuamu?” tanyaku sinis.
“Nah, itu. Karena itulah aku belum mentalak kamu.”
“Bagaimana kalau kau talak aku sekarang?” tawarku menatapnya lekat.
Mas Gilang membelalak. Dia menatapku tak percaya.
“Kau minta ditalak?” tanyanya dengan mulut menganga.
“Ya, aku minta kau talak aku sekarang.”
“Kau akan ngadu ke orang tuaku, lalu papaku pingsan, mamaku stroke begitu?” tuduhnya mulai emosi.
“Tidak, kita bisa bekerja sama. Asal kau mau, pasti semuanya akan berjalan lancar.” Aku menatapnya tajam.
“Apa maksudmu?”
“Kau talak aku. Kita daftarkan perpisahan ke pengadilan agama secara diam-diam. Di depan orang tuamu, kita tetap suami istri yang romantis. Di depan Chika, kau tetap ayah yang baik. Kau mau?” Aku menawarkan itu setelah berfikir keras sejak tadi. Pembalasan akan segera dimulai.
“Tapi, aku boleh tetap berhubungan dengan Harum?” tanyanya seperti orang linglung.
“Boleh, aku bahkan akan membantu kalian agar bisa menikah secara siri. Tapi, diam-diam. Biar tidak ketahuan oleh seluruh keluarga besar kita, dia akan tetap berprofesi sebagai pembantu di rumah ini.”
“Gila! Kau mau istriku jadi pembantu?” teriaknya melotot.
“Lho, dari dulu, dia ‘kan memang pembantu?” tegasku.
“Tapi, aku akan menikahinya!”
“Iya, dia istrimu. Tapi kau enggak mau keluarga besar kita tahu, kan? Itu adalah jalan satu-satunya.”
“Tidak, aku tidak tega. Aku akan talak kamu dan aku akan tetap menikahi Harum,” pungkasnya.
“Ok, aku akan bongkar semuanya kepada keluargamu,” ancamku serius.
Lama dia tercenung, beberapa kali dia menghela nafas panajang. Sampai akhirnya dia mulai mengambil keputusan.
“Baik, aku akan membujuk Harum agar mengikuti saranmu.”
“Itu syarat pertama,” ucapku tersenyum sinis.
Hebat bukan, demi bisa esek-esek, lelaki durjana ini rela pasangannya kujadikan pembantu. Dan sepertinya si perempuan pun akan menurutinya.
“Syarat apa lagi?” teriaknya mulai tidak sabar.
“Aku akan mengelola toko. “
“Apa?” Mas Gilang melompat dari duduknya. Ditatapnya wajahku seolah tak percaya.
“Aku yang mengatur semua pemasukan dan pengeluaran. Kau bebas melakukan apa saja dalam sehari-harimu. Toko utama dan seluruh toko cabang aku yang menghandel.”
“Hey! Itu toko papaku! Kau tidak berhak menguasainya!” teriaknya lagi.
“Ya, itu toko milik keluargamu. Kita harus buat perjanjian, aku adalah pengelola seratus persen. Jangan takut, aku akan memberi bulanan padamu. Kau setuju? Atau aku akan laporkan ke orang tuamu segalanya?”
“Mel, kau tidak bisa mengurus toko! Kau tahu apa?” sergahnya hampir putus asa.
“Aku bisa. Sangat bisa. Aku janji, jika bulan pertama nanti aku sudah gagal, tidak mendapat keuntungan, atau toko pailit, aku akan segera kembalikan padamu,” tantangku.
“Pikirkan sekali lagi, Mel!” lirihnya semakin putus asa.
“Oh, iya. Satu lagi. Kita tidak perlu hadiri sidang dan semacamnya dalam kasus pisah kita nanti. Hak asuh anak, harus atas namaku. Kau setuju?” pungkasku semakin menekan.
*****
Bab 8. Kesepakatan Di Atas Materai*****“Kau serius melakukan ini semua, Mel?”“Ya, Sebetulnya aku mau pisah denganmu tanpa persyaratan ini semua. Tapi, orang tua dan keluarga besarmu, bagaimana?”“OK, akan aku pikirkan. Semoga Harum bisa menerimanya. Dia sangat ingin kunikahi secara sah,” sergahnya bingung dan putus asa.“TIdak bisa dong, dia harus menjaga rahasia ini. Jangan sampai orang kampung tau kalau dia adalah istri sirimu. Orang tahunya, bahwa dia itu pembantuku. Bisa tidak?”“Ini pilihan yang sulit, sangat sulit,” sergahnya. Wajahnya terlihat begitu muram.“Terserah. Lima menit lagi, harus sudah ada keputusanmu!” ancamku lagi.Dia terdiam. Rupanya besar juga untungnya mertua menyayangiku. Hal ini bisa kujadikan senjata untuk mengalahkan k
Bab 9. Kamar Maksiat Untuk Pembantuku Sayang*****“Kamar untuk Harum yang mana, Mel?” tanya Mas Gilang kemudian.“Yang biasa, kenapa memang? Kamar itu selama ini enggak pernah dipakai, kan? Bik Ina enggak kuijinin tidur di kamar maksiat itu. Bik Ina selama ini tidur di kamar belakang,” terangku tetap sinis.Harum mendengus kasar, kutahu dia sangat tersinggung. Sedang Mas Gilang tak bisa berbuat apa-apa.“Mel! Siapa ini? Mama dengar kamu nyebut kamar maksiat?”Tiba-tiba Mama mertua menghampiri kami. Papa sudah pergi ke kamar Chika cucu tersayangnya. Mereka berdua sehari-hari tiada henti mengawasi Chika secara bergantian. Tentu saja sangat meringankan tugas Bik Ina. Biarlah, sampai mereka puas.Mertuaku memang belum pernah memiliki anak perempuan maupun cucu perempuan. Mereka memiliki anak dua, tapi duanya laki-laki. Mas Faja
Bab 10. Ikuti Permainanku, Harum!*****“Kenapa Gilang tampak kurang bergairah, ada masalah di antara kalian?” tanya Papa menatapku penuh selidik.“Ma, Mama belum jelasin ke Papa?” tanyaku mengedipkan mata.“Iya, nanti Mama jelasin. Udahlah Pa! Gilang baik-baik saja. Makanya Menantu kita ke salon tadi siang, berusaha merubah penampilan secantik mungkin, itu semua demi suaminya. Maklum, istri habis melahirkan. Papa kayak enggak ngerti aja!” cerocos Mama mertua.Mas Gilang melotot, menatapku dan ibunya bergantian.“Mas Gilang malu, Ma,” bisikku di telinga ibunya.“Iya, tapi dia sudah klepek-klepek melihat perubahanmu,” sahut Mama balas berbisik di telingaku.Kami berdua pun tertawa lepas. Saat itu Harum muncul dengan segelas air hangat di tangannya.
Bab 11. Ternyata Suamiku Sudah Melamar Harum****“Mas … kau tidak membelaku? Kau diam saja melihat perempuan ini semakin menekanku?” Harum mengguncang tubuh Mas Gilang.“Masuk ke kamarmu!” suara Mas Gilang terdengar pelan, tapi penuh tekanan.Aku dan Harum terperanjat. Gadis itu menatap Mas Gilang tak percaya.“Kalau kau masih mau jadi istriku, kau harus patuhi perintahku!” tegas Mas Gilang lagi.“Kau berubah, Mas! Kenapa?” tanya Harum lunglai.“Aku tidak berubah, aku akan tetap menikahimu, tapi tidak bisa sekarang. Ikuti perintahku, Harum! Jangan nambah masalah! Sakit kepalaku!” sergah Mas Gilang melemah.“Lalu janjimu pada Ibuku? Bagaimana janjimu pada ibuku? Kau sudah janji padanya, Mas!” lirihnya mengagetkanku.“Jaga mulutu,
Bab 12. Kau Sentuh Aku, Kau Kuterjang*****“Berarti orang kampung semua sudah tahu kalau kau telah melamar dia?” tanyaku. Seluruh tubuh dan persendian rasanya lemas.“Tidak, Kak. Lamaran itu masih kami rahasiakan. Asal Mas Gilang segera memenuhi janjinya.” Harum mengangkat dagu. Perempuan ini benar-benar sudah merasa di atas angin.“Janji apa?” tanyaku melangkah ke arah pintu. Kuhampiri dia dengan gemetar. Kurasakan darahku mulai mendidih.“Mas Gilang janji, dia akan segera menikahi saya secara sah. Sebulan setelah Kakak melahirkan, dia akan talak Kakak. Ini sudah sebulan, tapi Mas Gilang belum talak Kakak. Justru Kakak semakin semena-mena menekan saya, memperlakukan saya seperti pembantu di rumah ini. Makanya saya nelpon ibu, besok dia datang sama Mas Yanto. Mas Yanto pasti ngamuk besok, liat aja!” Harum berkata berapi-api, ancamannya membuat Mas
Bab 13. Suami Pecundang Menyesal Bohongan*****“Aku rela kau tendang seperti tadi, seribu kalipun kau menendangku seperti tadi aku pasrah. Kalau memang hal itu bisa menebus kesalahanku.”Astaga! Apa yang kudengar ini? Mas Gilang berkata seperti itu setelah aku menendangnya? Apa yang terjadi dengannya? Jangan-jangan dia geger otak gara-gara tendanganku tadi? Gawat, apakah benturan di kepalanya begitu parah?“Mas, apakah kepalamu sakit? Kau masih waras, bukan?” tanyaku menatapnya lekat. Tapi, aku tetap bersiap siaga menjaga segala kemungkinan, termasuk bila tiba-tiba dia mencelakaiku.“Aku sehat, Mel. Aku enggak apa-apa. Tapi, jujur, setelah kesulitan yang ditimbulkan oleh Harum, aku semakin sadar kalau langkah yang kutempuh selama ini salah.”“Kau … kau sehat? Setelah tadi pagi kau bilang bisa gila bila t
Bab 14. Kedipan Mata dari Abang Sang PelakorJujur, aku sangat tegang dengan kedatangan sekutu musuhku. Ibu dan abangnya datang pasti untuk menyerang. Menyerang suamiku tentu saja. Pasti mereka menuntut pertangung-jawaban dari Mas Gilang karena telah mengganggu Harum. Mengganggu? Hah, kata Mas Gilang sih, Harum yang memulai. Merayu dan menjebak Mas Gilang di saat aku kesulitan memenuhi kebutuhan biologisnya. Tapi, tentu saja tetap suamiku yang salah. Mas Gilang yang durjana.Aku juga salah, kenapa aku memperkerjakan seorang gadis cantik, belia, murahan lagi di rumahku. Duh, kalau ingat awalnya, rasanya ingin kuulang kembali. Bagaimana ibunya memelas bahkan menghiba-hiba agar aku mau menerima anak gadisnya bekerja di rumahku. Andai waktu itu aku menolak, pasti semua ini tidak akan terjadi.Tapi, tunggu dulu. Sebenarnya, kalaupun aku tidak menerima Harum bekerja di rumahku, mereka sudah sering memancing di air
Bab 15. Permainan Dimulai****“Mas. Kamu tahu enggak toko kami yang di kecamatan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku mulai menggiringnya masuk perangkap.“Kecamatan mana? Toko kalian kan hampir di setiap kecamatan ada cabangnya?”“Yang kecamatan kita, Mas. Yang dekat dengan desa kita?”“Oh, iya. Kenapa?”“Sekarang semua toko mau aku awasi, Mas. Aku yang akan turun langsung sekarang. Mas Gilang sedang fokus mau nikahin Harum,” paparku sambil senyum di kulum.Pemuda itu kaget, matanya terbelalak menatapku. Tentu dia kaget. Mereka pasti mengira aku belum tahu rancana suamiku menikahi adiknya. Atau jangan-jangan dia pikir aku tidak tahu tentang perselingkuhan Mas Gilang dengan Harum.“Kenapa, Mas?” tanyaku pura-pura tidak mengert