Senja mendongak menatap pria itu. Tapi detik kemudian ia menunduk saat mata mereka saling bertabrakan. Merasa tidak sopan.
Perlahan Senja bangkit di bantu oleh Riki. Ada kekuatan entah dari mana yang membuat ia kuat menghadapi kenyataan hidupnya. "Terima kasih tuan sudah membantu saya mendapatkan kunci itu," lirih Senja seraya tetap menunduk. Hanya kalimat itu yang bisa ia katakan untuk membalas kebaikan pria di depannya saat ini. Malu jika harus menangis di depan pria yang sudah menolongnya. Jangan sampai pertolongan pria itu terasa sia-sia saat ia terlihat lemah melawan suaminya "Hemm.. Jadilah wanita kuat. Pria brengsek seperti dia tidak pantas mendapatkan air mata tulus dari wanita sepertimu. Lepaskan. Penghianat seperti mereka pantas untuk bersama. Sama-sama sampah dan tidak berguna." Kalimat Langit menjadi tamparan bagi Senja. Ya. Han memang tidak pantas untuk di tangisi. Penghianat seperti mereka harusnya di kasih pelajaran agar lebih tau diri. Sampah memang harus dibuang di tempat sampah. Bukan di pungut lalu di bawa pulang. Itu menjijikkan. Setelah kepergian pria misterius yang bernama Langit itu, Senja berniat pergi dari sana. Tapi sebuah pelukan tiba-tiba mendarat ia rasakan. Dengan hati yang bingung, Senja melihat seorang wanita parubaya yang tengah memeluknya saat ini. "Perjuangkan hakmu, Sayang. Jika memang tidak bisa dilanjutkan, lepaskan. Biar tidak menjadi beban untuk kedepannya. Percayalah, rencana Tuhan akan lebih indah untukmu dan Anakmu. Jangan kamu sesali apa yang terjadi saat ini. Anggaplah ini menjadi pemacu semangat untukmu lebih baik dan maju untuk masa depanmu. Aku yakin kamu dan anakmu akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik setelah ini." Ungkapan wanita itu sungguh membuat hatinya kembali kuat. Tanpa terasa air matanya kembali menetes mendapat menguatan seperti itu. Di saat seperti ini, pelukan hangat dan kalimat seperti itulah yang dia butuhkan sebagai kekuatan. Ia yang tadinya merasa rapuh dan tidak berguna, seolah mempunyai kekuatan baru untuk menghadapinya. Muncul keikhlasan dalam hatinya untuk melepaskan jika Han enggan memilih dirinya. Senja memeluk wanita itu erat sebagai ungkapan terima kasih dan perpisahan. Semoga kelak mereka akan bertemu kembali di lain kesempatan dengan nasib yang berbeda. Setelah itu Senja dan Riki bergegas menuju kamar Han yang berada di lantai 7. Selama menuju ke sana, Senja berusaha untuk menahan dirinya, juga menahan air matanya agar tidak tumpah ketika berhadapan dengan Sherly dan Han nantinya. Rasa geram di hatinya membuat tangannya gatal ingin menerkam Sherly untuk meluapkan segala kekecewaannya karena tega menghina persahabatan mereka yang sudah terjalin lumayan lama. Ternyata Sherly tak ubahnya pagar makan tanaman yang tega menghancurkan pagar ayu sahabatnya sendiri. Apapun keputusannya nanti, ia akan menerimanya walau hatinya terluka. Ia akan mengalah demi kebahagiaan suaminya. Karena bukan rahasia umum lagi jika yang kedua adalah yang utama. Senja juga enggan jika harus di duakan. Karena Senja mempunyai prinsip tidak akan pernah mau di madu. "Senja, kamu harus bisa mengontrol emosimu nanti. Jangan sampai emosimu kembali membuat orang-orang gaduh melihatmu marah-marah seperti tadi," harap Riki mewanti-wanti adiknya agar tidak bersikap anarkis. Karena wanita kalem seperti Senja, jika sedang merasakan kecewa bisa saja menghancurkan dunia. Karena marahnya orang pendiam itu lebih mengerikan. Senja diam. Ia berusaha untuk itu tapi biar waktu yang akan menjawabnya. Ia hanya manusia biasa yang tidak luput dari dosa. Apalagi melihat suaminya mendua. Apakah dia harus diam saja saat harga dirinya di injak-injak oleh manusia seperti mereka? "Senja." Riki mulai kehilangan kesabaran saat melihat Senja hanya diam saja. "Iya. Senja akan berusaha mengontrol emosi Senja. Sudah puas?" Riki tersenyum seraya mengusap puncak kepala adiknya dengan sayang. Ia berjanji akan membalas sakit hati adiknya pada pria laknat itu. Tidak akan ia lepaskan begitu saja sebelum wajah tampannya itu tidak berbentuk lagi. Tangannya terkepal erat dengan urat-urat wajah yang menonjol. Seolah bersiap menghajar Han saat ini. Ting.. Lift terbuka. Riki menarik lengan Senja agar tak mendahului jalannya. Itu juga untuk meredam emosinya yang akan membakar dirinya sendiri. "Lepas, Mas!!!" Senja berontak, berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Bobby. "Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja, Nja." Riki mengeratkan cengkeramannya. "Biar aku yang menghajar Han. Akan aku jadikan samsak hidup untuk meluapkan segala rasa kecewamu." Lagi-lagi Senja hanya diam. Ada dorongan dalam dirinya ingin langsung berlari dan mendobrak pintunya dengan kuat. Kemudian menerjang Han dengan brutal dan penuh amarah. Ketika telah sampai di depan pintu kamar Han, Senja mematung untuk sesaat. Gerakan tangannya tertahan ketika tangannya terangkat untuk mengetuk pintu itu. Deburan ombak kekecewaan sudah menghadangnya. "Kenapa? Apa kamu ragu?" tanya Riki, "Biar aku yang membukanya. Toh kita sudah mendapatkan kuncinya bukan? Lalu buat apa harus mengetuk pintunya segala? Buang-buang waktu saja." sambungnya lagi. Senja menahan gerakan tangan Riki seraya menggeleng cepat dan segera menarik tangan Riki yang akan mengetuk pintu itu. "Jangan, Mas. Biar aku saja. Aku ingin tahu bagaimana reaksi mereka berdua ketika mereka melihatku berdiri tepat di depan pintu." "Makanya cepat. Tanganku sudah gatal ingin memberi pelajaran pada pria kurang ajar itu. Enak-enak mereka di dalam. Sama sekali tidak memikirkan perasaamu dan Bina yang terluka akibat kelakuan bejat mereka. Tunggu saja kamu, Han. Habis wajah tampan lo gue hajar!!" Riki menggeram seolah tidak sabar. Tangannya terkepal erat menahan emosi yang tertahan di dada. Setelah mengumpulkan segenap tenaga dan menyiapkan hatinya untuk melihat semuanya, akhirnya Senja mengetuk pintu itu dengan keras. Cukup lama mereka menunggu, hingga membuat Senja harus berulangkali mengetuk pintunya. Dan ketika Senja akan mengetuk pintunya untuk yang kesekian kalinya, tiba-tiba terdengar bunyi kunci terbuka. Dada Senja bergemuruh dengan hebat. Seolah ia ingin pingsan dan pergi saja karena dia belum sanggup menerima kenyataan. Tapi jika di biarkan berlarut, akan ada banyak hati yang tersakiti. Karena dia yakin, Han dan Sherly akan semakin menggila jika dia diam saja. Ketika pintunya terbuka, Senja melangkah mundur saat melihat sosok Sherly yang hanya memakai handuk di tubuhnya. Apalagi jejak-jejak merah yang menempel pada bagian leher serta pundaknya membuatnya langsung mendapatkan jawabannya. Karena dia bukan anak kecil yang akan dengan polos bertanya itu kenapa? Ia yakin jika itu adalah perbuatan suaminya di dalam sana. Seketika pertahanannya runtuh, air mata sialan luruh juga tanpa bisa menunggu. Kedua wanita itu saling berhadapan, saling menatap dengan pandangan yang sulit diartikan. Apalagi Senja menatap Sherly penuh dengan rasa kekecewaan yang mendalam. "Se_Senja!!!"Sherly tergagap mendapati Senja yang sudah berada di depannya saat ini. Sesungguhnya dia terkejut, tapi dengan cepat dia berusaha menguasai rasa terkejutnya dan memasang wajah pura-pura berdosa. Ketika Sherly melangkahkan kakinya untuk mendekati Senja, seketika Senja mengangkat tangannya. "Stopp!! Jangan mendekat. Aku tidak sudi di sentuh wanita pelakor sepertimu, Sherly!" sentak Senja dengan suara tercekat. Hatinya masih berusaha kuat untuk melihat cobaan yang mungkin akan lebih dahsyat. Tangan Riki terkepal kuat. Rahangnya mengeras mendapati kenyataan pahit tentang rumah tangga adiknya. Yang ia lakukan saat ini hanya menunggu kemunculan pria yang mengaku mencintai adiknya itu. Rasanya ia ingin melibas habis pria itu sampai babak belur. "Senja, i_ini," Bahkan Sherly pun tak bisa menyangkal apa yang dilakukannya sekarang. Sekuat tenaga dia mengeluarkan suara, yang ada suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Mereka hanya saling menatap, mematung di depan pintu denga
"Jawab, Mas!!" "Karena aku tidak mencintai kamu lagi, Nja," jawab Han langsung tanpa memikirkan perasaannya. "Tapi kenapa kamu tidak mencintaiku lagi, Mas? Apa salahku?" Han menggelengkan kepalanya. "Kamu terlalu kekanak-kanakan. Kamu terlalu manja, dan kamu sangat lempeng, Nja. Tidak ada tantangan baru dalam hubungan kita. Membuat aku bosan hidup bersamamu." Jeder.. Bagai tersambar petir rasanya saat mendengar kalimat yang terlontar dari mulut suaminya. Selama ini suaminya selalu mengagungkan rasa cinta kepadanya. Selalu memuji akan kebaikan dan kelembutannya. Tapi kenapa sekarang sikap lembut dan kebaikannya malah dibalas dengan air tuba? Kembali, Riki langsung menindih tubuh Han dan memukulnya dengan brutal. Sungguh, ia ingin membunuh Han saat ini juga dengan tangannya sendiri. Hatinya mendidih mendengar hinaan yang Han lontarkan pada adiknya. Padahal ia tahu betul perjuangan adiknya untuk membahagiakan Han sangat tidak bisa di lupakan begitu saja. "Brengsek kamu, Han!! Ji
"Apakah bapak sakit?" Pertanyaan Benji menyentak lamunannya. Langit menoleh dan menatap Benji yang sudah berdiri di sampingnya. Ia membenarkan duduknya seraya menggeleng kepalanya. "Tidak. Aku tidak apa-apa." "Saya lihat, sejak tadi bapak diam saja. Apakah ada yang bapak pikirkan." Benji, asisten pribadi merangkap sepupu Langit yang sudah bekerja padanya sepuluh tahun terakhir, tentu pria itu tau jika bosnya sedang galau. Langit mengusap wajahnya kasar. "Entah kenapa aku masih kepikiran wanita tadi," jawabnya tidak bisa berbohong. "Wanita di hotel tadi siang?" Langit mengangguk. Benji diam sejenak. "Kata security, mereka sempat membuat keributan dan mengganggu pengunjung lainnya." Langit menatap Benji penasaran. "Lalu bagaimana dengan wanita tadi? Apakah ia baik-baik saja?" Benji tersenyum tipis melihat raut kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Langit. "Wanita itu pergi dengan saudara laki-lakinya, meninggalkan suaminya bersama selingkuhannya."
Seketika Senja merasa terbakar hatinya saat tangan Sherly bergelayut manja di lengan suaminya. "Lepaskan tangan terkutukmu itu dari lengan suamiku, Sherly," tegas Senja penuh penekanan di setiap kalimatnya. Bukannya takut, Sherly semakin mengeratkan pelukannya seraya tersenyum jumawah memprovokasi Senja. Ini kesempatan baginya untuk membuat Han langsung menceraikan Senja saat ini juga. "Kenapa, Nja? Kamu tidak suka?" Sherly tersenyum meremehkan. "Kamu tau 'kan kita sudah bertukar keringat bersama di atas ranjang, jadi apa salahnya jika aku hanya merangkul lengan suamimu." "Tutup mulutmu, Jalang!!" sentaknya penuh emosi. Bahkan ia sudah tidak perduli jika Han mencap-nya sebagai istri yang kasar. "SENJA, JAGA MULUTMU!!!! SHERLY BUKAN JALANG!!" bentak Han penuh emosi. Senja tersenyum penuh ironi. Hanya karena Sherly, Han berani membentak setelah apa yang ia lakukan untuk pria itu. "Kamu membela jalang ini, Mas?" Senja bertanya dengan nada l
Semalaman Senja hanya menangis dalam doanya. Ia menggelar sajadah dan menumpahkan segalanya di dalam sujudnya. Meminta pertolongan dan keikhlasan dalam menjalani takdirnya. Setelah sholat subuh, Senja melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Di dapur, sudah ada mbok Asih yang tengah menyiapkan sayuran. "Bu Senja," mbok Asih menunduk sungkan saat melihat mata sang majikan yang bengkak dan memerah. Bukan ia tidak tau. Bahkan dia melihat sendiri jika majikan pria yang selama ini ia kenal baik dan lembut, berubah menjadi pria kasar dan pemain wanita. "Selamat pagi, Mbok," sapa Senja ramah dengan senyuman manisnya. Saat ia akan mengupas wortel, dengan cepat mbok Asih melarangnya. "Biar mbok saja yang mengerjakan, Bu. Lebih baik ibu istirahat saja di kamar." "Kenapa, Mbok? Aku hanya ingin membantu." "Jangan, Bu. Lebih baik ibu istirahat saja di kamar. Kasihan semalam ibu tidak tidur." Senja baru tersadar dengan kalimat mbok Asih. "Mbok Asih melihatny
"Ini laporan yang bapak inginkan kemarin." Benji menyerahkan berkas itu di atas meja Langit, yang langsung diraih pria itu. Langit menghela nafas. Matanya sekilas melirik Benji yang berada di sampingnya. Perlahan ia membaca dengan seksama. Keningnya berkerut, tak lama kemudian air mukanya berubah seperti hendak marah dengan gigi yang menggertak geram. "Wanita baik-baik memang tidak pantas bersama pria brengsek seperti dia." Benji mengangguk, mengerti apa yang dimaksud oleh Langit. "Seharusnya pria seperti itu berakhir di tempat sampah. Sama seperti yang pria itu lakukan dengan wanita selingkuhannya. Sampah memang harusnya bersama sampah juga." "Lalu apa yang harus kita lakukan, Pak? Bukankah bapak sudah tidak sabar ingin meminangnya menjadi istri bapak?" goda Benji dengan senyum tertahan. Benji ikut bahagia saat rasa ketertarikan Langit pada wanita akhirnya muncul kembali setelah lama hilang. Langit menoleh sebentar. Kemudian menatap ke depan dengan senyum tip
"Senja!! Senja!!" Han mencoba untuk menghentikan Senja yang hendak masuk ke mobil. Dia menyeret tangan Senja hingga Senja hampir saja jatuh tersungkur. "Apalagi sih, Mas? Kenapa kamu melarangku pergi?" hardik Senja. Habis sudah kesabaran Senja selama ini. Bahkan, ia sudah tidak peduli saat ada beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja membawa Bina. Dia juga anakku." Han hendak meraih tangan Bina, tapi dengan cepat Senja menepisnya. Ia membawa Bina ke belakang tubuhnya, melindungi dari papanya yang hendak meraihnya. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyerahkan Bina padamu, Mas. Aku tidak rela jika dia hidup bersama jalang itu. Aku tidak rela, Mas!!" Semakin banyak orang yang menatap ke arah mereka. Bahkan ada beberapa orang yang berani mendekat, seolah ingin melerai. Tapi lebih dominan rasa keingintahuan yang tinggi dengan masalah mereka. Mendengar itu, tentu saja Sherly tidak bisa menerimanya. Ia mengambil kesempatan emas ini untuk me
"Bercerai, Bu?" Fatimah mengangguk. "Iya, Nja. Buat apa mempertahankan pria yang dengan mudahnya menduakan istri yang sudah menemaninya dari Nol hanya untuk wanita yang baru ia kenal?" Fatimah menghela nafas berat. Nampak ia juga memikirkan nasib putrinya. "Jangan kira ibu tidak tau bagaimana kata-kata kasar yang diucapkan Han padamu, Nja. Ibu tau semuanya." "Mas Riki yang bilang sama ibu?" Fatimah hanya diam. Tapi Senja tau jawaban keterdiaman ibunya. Memang Han sangat keterlaluan saat mengatakan alasan ia selingkuh. Sebagai wanita dan seorang istri, tentu ia sangat sakit hati. Dan mungkin benar apa yang dikatakan ibunya, lebih baik ia berpisah. "Jangan ragu. Ibu akan mendukungmu. Masalah Bina, biar kita yang jaga. In Shaa Allah dia akan baik-baik saja walau tanpa papanya. Jika Bina tau papanya seperti itu, ia akan lebih tersakiti." Senja mengangguk mantap. Ia sudah tidak ragu lagi untuk berpisah dari Han karena restu ibunya bersamanya. Memang Ibu mana ya