"Tetap di tempatmu! Atau aku tidak akan ikut ke kantor!" ancam Aleena.Arfa menghentikan langkahnya. Niatnya ingin kembali menyentuh tubuh Aleena jadi urung, apalagi melihat wanita itu melotot ke arahnya dengan bibir mengerucut."Aku hanya ingin membantumu memakai baju, sayang," kilah Arfa, sedang kedua matanya menatap tidak berkedip ke arah Aleena yang hanya menggunakan handuk di tubuhnya."No! Aku bisa memakainya sendiri!" sahut Aleena dengan cepat.Membantu memakai baju? Tentu saja itu hanya akal-akalan Arfa. Ujung-ujungnya pria itu pasti tidak akan melepaskannya lagi.Tidak boleh lengah pokonya. Soalnya pria itu sedang dalam mode siap tempur.Arfa terkekeh pelan. Pria itu memilih duduk di sebuah sofa bulat yang ada di ruang ganti tersebut. Melipat satu kakinya sambil bersedekap. "Baiklah, kalau begitu aku hanya akan menemanimu memakai pakaian."Aleena memutar bola mata ke atas. Arfa nya kali ini benar-benar seperti singa liar yang sedang kelaparan.Menemani? Atau menikmati pemanda
Arfa hanya terkekeh mendengar Aleena yang terus mengoceh sejak tadi. Sudah seperti burung betet yang tidak berhenti berkicau.Semakin digoda, wanita itu semakin bertambah galak saja.Dan bagaimana Aleena tidak akan kesal, Arfa benar-benar mengerjainya habis-habisan di atas meja. Memasuki tubuhnya hingga berulang kali sampai wanita itu benar-benar lemas tidak bertenaga.Namun begitu tetap saja Aleena menyelesaikan tugasnya sebagai seorang istri, membantu Arfa berpakaian memakaikan dasi, dan menyisir rambutnya."Sudah selesai! Sana kerja lagi!" Usir Aleena. Buru-buru mendorong tubuh Arfa, agar keluar dari kamar setelah selesai membantu pria itu bersiap."Kau mengusirku sayang," protes Arfa.Pria itu menahan tubuhnya tepat di tengah-tengah pintu, membuat Aleena kesusahan untuk menyuruhnya segera keluar."Jika tidak aku usir, Mas Arfa tidak akan tahu diri!" ketus Aleena.Arfa tergelak. "Bukankah aku harus membantumu berpakaian?" kilahnya.Aleena langsung melotot. Sedangkan pria itu justru
Tidak lama setelah kepergian Aleena, Alex muncul dari balik pintu dengan senyum lebar. Membuat Arfa mengerutkan dahi melihatnya. Heran."Jangan membuatku takut melihatmu. Kau terlihat menakutkan dengan senyum seperti itu," celoteh Arfa.Alex terkekeh. Pria itu kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kursi di depan Arfa."Ada apa dengan lehermu?" tanya Alex, menunjuk ke arah leher Arfa, dengan senyum menggoda."Sialan!" umpat Arfa. Melemparkan beberapa lembar kertas ke arah Alex yang sudah tertawa terbahak-bahak."Ternyata wanitamu sangat ganas. Lehermu nyaris tak bersisa dengan bekas gigitannya," goda Alex."Dia tidak hanya ganas, tapi juga memabukkan," beber Arfa dengan bangga."Pantas saja kau sampai tergila-gila padanya," ledek Alex.Arfa hanya tersenyum menanggapinya. Pria itu kemudian meraih foto Aleena di hadapannya. Mengusap lembut foto itu dengan binar bahagia."Dia adalah sumber kebahagiaanku," ungkap Arfa."Aku tau. Maka dari itu kau harus benar-benar menjaganya kali in
"Hentikan!"Suara menggelegar milik Arfa, langsung mengheningkan suasana gaduh yang tadi tercipta. Begitupun dengan lengkingan ejek dan nista. Seolah sirna bersama datangnya sang tuan yang berkuasa.Wajah dingin dengan semburat murka di rupa, membuat ciut nyali para penista yang telah melukai harga diri sang belahan jiwa.Aleena segera menempati perannya semula. Bermuram durja dengan bongkahan kristal di pelupuk mata.Tak akan ada yang bisa menandingi perannya. Laura hanya ibarat seekor lalat di matanya. Sekali tepuk— lewat."Sayang ...." lirih Arfa, begitu terlihat sayang dan cintanya.Wajah tampan penuh kasih sayang, begitu saja terukir di wajahnya ketika berada di samping Aleena.Membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Mencium puncak kepala wanita yang mulai terisak dalam sandiwaranya."Jangan menangis, sayang. Aku akan pastikan mereka juga akan menangis hari ini," bisik Arfa, memunculkan semburat rasa suka cita di wajah Aleena.Pria itu mengangkat wajahnya. Dingin dan tidak tersen
Sejak kejadian hari itu, tidak ada lagi yang berani merendahkan Aleena. Semua menaruh hormat padanya.Binar bahagia terukir di wajah Aleena. Seolah semesta selalu mendengarkan harapannya, jiwa dan raga Arfa sepenuhnya telah kembali kepadanya. Meski belum sepenuhnya."Kau lihat, sayang. Sekarang kaulah satu-satunya Nyonya Arfa." Pria itu berkata dengan lembut, seiring dengan melingkarnya dua lengan besar di perut Aleena.Bukankah dari dulu akulah Nyonya Arfa itu?"Apa kau bahagia, sayang?" tanya Arfa, meletakkan dagu di atas bahu wanitanya."Tentu saja aku sangat bahagia, Mas Arfa," jawab Aleena, membelai rahang suaminya dengan lembut."Dan aku akan sangat bahagia, jika sudah mendapatkan semuanya! Termasuk membalaskan derita yang selama ini mereka torehkan hingga membekas di dalam jiwa dan ragaku." Tentu saja Aleena mengatakan semua itu di dalam hatinya.Nyaris kehilangan nyawa, kehilangan calon anak di dalam perutnya, dan berpisah dari suami yang sangat dicintainya dengan cara tragis
"Bagaimana keadaanya?""Dia masih tidak sadarkan diri di ruang ICU, Tuan."Pria yang duduk di kursi kebesarannya itu terlihat menghela nafas panjang. Wajah itu terlihat kuatir. Tapi kepada siapa rasa kuatir itu tertuju, hanya dia dan orang-orang terdekatnya yang tau."Dan dia?""Masih setia menunggu di depan pintu. Nona Berlian begitu sangat terpukul dan merasa bersalah. Ia terus menangisi pria itu."Sang tuan terlihat tersenyum. Tidak ada yang tau ada apa di balik senyum itu."Pastikan semuanya aman. Jangan sampai ada yang tau jika pria itu sedang terbaring di rumah sakit. Biarkan orang tau jika mereka sedang berlibur bersama.""Baik, Tuan. Saya akan mengurusnya.""Pastikan Karina selalu berada di sampingnya.""Baik, Tuan. Nanti akan saya sampaikan.""Aku akan mengunjunginya nanti malam. Siapkan segala sesuatunya.""Baik, Tuan. Yang lain apalagi, Tuan?""Cukup itu dulu. Kau boleh pergi sekarang.""Baik, Tuan. Kalau begitu saya undur diri."Pria di kursi kebesaran itu mengangguk. Memb
"Mas Byan! Tunggu!"Dengan perasaan tidak menentu, Aleena berlari mengejar bayangan siluet seseorang yang seperti sangat di kenalnya.Dengan jantung berdebar. Perasaan tak menentu, wanita itu terus berlari dengan sebuah harapan yang tiba-tiba hadir di benaknya."Hati-hati Nyonya Arfa!"Eh"A--Alex?"Wajah Aleena langsung merah padam. Ternyata bayangan siluet itu adalah milik Alex. Bukan seeorang yang sangat di kenalnya."A-apa kau tadi berada di depan ruang ICU? Apa kau juga yang memakaikan jas ini kepadaku?" Menunjukkan jas di tangannya dengan perasaan berkecamuk.Alex menghela nafas serayak menggeleng samar."Aku sudah sejak lama berdiri di belakangmu tadi. Bahkan aku menanyakan bagaimana keadaan Arfa, tapi kau justru diam saja," jelas Alex.Dahi Aleena sedikit berkerut. Mencoba mengingat saat dirinya nyaris terkantuk di depan pintu ICU tadi.Tapi nihil.Hanya sebuah suara lirih yang nyaris tidak terdengar, yang memanggil namanya. Hanya itu yang di ingatnya."La-lalu apa ini jas mi
Aleena berlari keluar dari kamar hotel dengan perasaan yang sudah tidak karu-karuan.Mengabaikan teriakan Karina yang memintanya untuk menunggu.Tidak lagi memperhatikan langkah kakinya, begitu keluar dari lift Aleena terus saja berlari kecil menuju lobi.Dalam benaknya hanya ada Arfa dan Arfa. Tidak ada yang lain.Aahkk!Bruk!Aleena terjatuh, tersandung kakinya sendiri. Salah satu flat shoes yang di pakainya terlepas begitu saja.Wanita itu meringis, memegangi kaki kanannya yang terasa sedikit sakit.Mengabaikan tatapan beberapa orang yang melihatnya, Aleena coba meraih flat shoes miliknya yang tergeletak tidak jauh dari hadapannya.Baru saja tangannya terulur hendak meraih flat shoes tersebut, seseorang sudah terlebih dulu meraihnya.Seorang pria, dengan memakai masker medis duduk bersimpuh di samping Aleena dengan bertumpu pada salah satu lututnya.Aleean langsung memejamkan kedua matanya, begitu hidungnya mencium wangi tubuh pria di sampingnya.Aleena begitu mengenal wangi itu. L