Home / Romansa / Pelakor Pilihan Mertua / BAB 2: KEBOHONGAN DI UJUNG MALAM

Share

BAB 2: KEBOHONGAN DI UJUNG MALAM

Author: Murufu
last update Last Updated: 2025-10-11 13:44:24

Pertanyaanku menggantung di udara kamar yang dingin, terasa lebih berat dari keheningan itu sendiri. "Siapa 'R'?"

Aku melihatnya. Hanya sepersekian detik, tapi aku melihatnya dengan jelas. Kepanikan yang melintas di mata Bram seperti kilat di langit malam. Pupil matanya melebar, tubuhnya sedikit menegang, dan senyum lembut yang tadi ia pasang membeku menjadi topeng yang kaku.

Ia menarik tangannya dari bahuku seolah tanganku adalah bara api. "R?" ulangnya, suaranya terdengar serak. Ia tertawa kecil, sebuah tawa sumbang yang sama sekali tidak lucu. "Kamu ini ada-ada saja. 'R' siapa?"

"Jangan pura-pura tidak tahu, Mas," kataku, suaraku stabil meski jantungku berdebar kencang memukuli tulang rusuk. Aku membuka kepalan tanganku, memperlihatkan kancing manset perak itu di telapak tanganku yang pucat. "Aku menemukannya di saku jasmu. Dengan sehelai rambut wanita."

Mata Bram terpaku pada benda kecil yang berkilau itu. Untuk sesaat, aku melihatnya menelan ludah dengan susah payah. Ia sedang berpikir keras, merangkai kebohongan secepat yang ia bisa. Aku mengenalnya lebih baik dari siapa pun. Aku tahu setiap gerak-geriknya saat ia terpojok.

"Oh, ini," katanya, nadanya dibuat seringan mungkin, seolah baru saja mengingat sesuatu yang tidak penting. Ia mengambil kancing manset itu dariku. "Ini… ini punya Pak Rahmat. Ya, Rahmat. Klien baru dari Surabaya. Tadi sore kami bertemu. Mungkin kancingnya jatuh waktu kami bersalaman atau… entahlah. Aku tidak sadar memasukkannya ke saku."

Rahmat. Nama yang begitu umum, begitu mudah diucapkan, dan begitu jelas sebuah kebohongan.

"Pak Rahmat?" balasku, menatap lurus ke matanya, menantangnya untuk mempertahankan ceritanya. "Klienmu seorang pria, tapi rambut yang melilit di kancing ini rambut panjang. Hitam dan halus. Apa Pak Rahmat punya rambut seperti itu?"

Wajah Bram memerah. Ia kalah telak. Tapi alih-alih menyerah, ia memilih jalur lain yang selalu ia ambil saat terdesak: serangan balik.

"Jadi sekarang kamu menuduhku?" desisnya, suaranya meninggi. "Setelah seharian aku bekerja keras untuk keluarga kita, pulang-pulang aku disambut dengan tuduhan konyol seperti ini? Cuma karena sebuah kancing manset, kamu pikir aku selingkuh, begitu?"

Gaslighting. Taktik andalannya. Memutarbalikkan fakta hingga aku yang merasa bersalah karena telah bertanya. Dulu, aku selalu termakan taktik ini. Aku akan meminta maaf karena sudah berpikiran buruk, lalu melupakan semuanya.

Tapi tidak malam ini. Sesuatu di dalam diriku telah retak.

"Aku tidak menuduh, Mas. Aku bertanya," jawabku dingin. "Dan jawabanmu tidak masuk akal."

"Terserah kamu mau percaya atau tidak!" sentaknya. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di kamar seperti singa yang terkurung. "Aku lelah, Arini. Aku tidak punya tenaga untuk meladeni imajinasi liarmu."

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia merebahkan diri di sisi tempat tidurnya, menarik selimut hingga sebatas dada, dan memunggungiku. Sebuah pernyataan yang jelas: percakapan ini selesai.

Aku tetap duduk membeku di tepi ranjang. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya menggenang di pelupuk mata, panas dan perih. Bukan hanya karena kebohongannya, tapi karena betapa mudahnya ia melakukannya. Betapa mudahnya ia meremehkan perasaanku, merendahkan intuisiku, dan memilih melindungi rahasianya daripada menenangkan hatiku.

Malam itu, kami tidur di ranjang yang sama, namun terpisahkan oleh jurang yang tak terlihat. Punggungnya adalah dinding kokoh yang tak bisa kutembus. Aku bisa merasakan napasnya yang teratur—pura-pura terlelap—sementara napasku sendiri sesak di dada. Setiap detik terasa seperti satu jam. Suara detak jam di dinding terdengar seperti hitungan mundur menuju kehancuran rumah tangga kami.

Aku memejamkan mata, tapi bayangan kancing manset itu terus berputar di benakku. Huruf ‘R’. Siapa dia? Bagaimana ia bisa masuk ke dalam kehidupan kami? Sejak kapan neraka ini dimulai tanpa aku sadari?

Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuiku, merayap seperti racun di aliran darahku. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Aku tidak akan membiarkan Bram mengubahku menjadi istri bodoh yang paranoid. Aku butuh kepastian, meski kepastian itu akan menghancurkanku.

Satu jam berlalu. Dua jam. Aku mendengar dengkuran halus dari sisi Bram. Ia benar-benar sudah tidur, atau setidaknya cukup lelah untuk berhenti berpura-pura.

Dengan gerakan sepelan mungkin, aku bangkit dari tempat tidur. Kakiku yang telanjang menapaki lantai marmer yang dingin, setiap langkah terasa begitu berat. Tujuanku satu: meja nakas di sisi tempat tidurnya.

Di sana, tergeletak benda yang menjadi pusat kecurigaanku selama ini. Ponselnya. Benda yang tak pernah lepas dari genggamannya, yang selalu ia letakkan dengan layar menghadap ke bawah, yang notifikasinya selalu dalam mode senyap.

Tanganku gemetar hebat saat meraih benda persegi yang dingin itu. Jantungku berdebar begitu kencang hingga aku takut Bram akan mendengarnya dan terbangun. Aku kembali ke sisiku, duduk di lantai, menyembunyikan cahaya ponsel dengan tubuhku.

Aku menatap layar yang gelap itu sejenak. Ada sedikit keraguan. Jika aku membukanya, tidak akan ada jalan untuk kembali. Apa pun yang kutemukan di dalamnya akan mengubah segalanya.

Tapi rasa sakit karena ketidakpastian jauh lebih menyiksa.

Aku menarik napas dalam-dalam, menguatkan hati. Jariku menekan tombol samping, dan layarnya pun menyala, menampilkan foto pernikahan kami sebagai *wallpaper*. Sebuah ironi yang begitu kejam.

Dan di sana, di bagian atas layar, sebuah notifikasi pesan baru saja masuk beberapa menit yang lalu, senyap tanpa suara. Dari kontak yang hanya disimpan dengan satu huruf.

Sebuah huruf yang kini paling kubenci di seluruh dunia.

**R:** *Makasih buat malam ini, Sayang. Cepat selesaikan urusanmu. Aku tunggu.*

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 23: EPILOG — ARSITEK TAKDIRNYA SENDIRI

    enam Bulan Kemudian.Aroma kopi yang baru digiling dan suara dengung percakapan yang hidup memenuhi udara di Kafe Skena. Tempat ini bukan lagi sekadar ruko tua yang direnovasi; ini telah menjadi jantung baru bagi komunitas kreatif Jakarta Selatan. Dan di sudut favoritku, di bawah skylight yang terbuka, aku duduk menyesap latte pagiku.Bukan sebagai Nyonya Haryadi yang menunggu suami pulang. Tapi sebagai Arini Widjaja, Pemilik dan Arsitek Utama dari AW Studio.Di layar televisi yang menggantung di dinding kafe, berita pagi sedang menayangkan liputan langsung dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Headline-nya mencolok dengan warna merah: VONIS DIJATUHKAN: LIDYA HARYADI DIVONIS 8 TAHUN PENJARA.Aku melihat wajah Lidya di layar itu. Rambutnya yang dulu disanggul sempurna kini tampak kusam, uban mulai terlihat di pelipisnya. Wajahnya yang angkuh telah runtuh, digantikan oleh kerutan kelelahan dan kekalahan. Ia berjalan menunduk menghindari kamera, dikawal ketat oleh polisi. Tidak ada lag

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 22: RUNTUHNYA SEBUAH DINASTI

    Grand Ballroom Hotel Mulia berkilauan di bawah cahaya ribuan kristal chandelier. Ini adalah panggung yang dirancang Lidya Haryadi dengan sempurna: karpet merah tebal, rangkaian bunga lili putih yang megah, dan barisan kursi yang diduduki oleh para pemegang saham, direksi, keluarga Sastranegara, serta puluhan awak media.Di podium, Lidya berdiri tegak dalam balutan gaun sutra emas, tampak seperti ratu yang tak tersentuh. Di sampingnya, Bramantyo duduk dengan senyum kaku, sementara Renata duduk di barisan depan, tersenyum bangga sebagai calon nyonya besar.Dari balik pintu ganda di belakang ballroom, aku mengamati mereka melalui celah kecil. Jantungku berdetak tenang, setenang detak jam yang menghitung mundur kehancuran mereka."Siap?" tanya Dian di sampingku. Di belakang kami berdiri Pak Herman yang merapikan jas barunya dengan gugup, dan Pak Handoko—pria paruh baya dengan rahang tegas yang mirip sekali dengan almarhum ayah mertuaku."Ayo kita akhiri ini," jawabku.Di dalam, suara Lidy

  • Pelakor Pilihan Mertua   Bab 21 keheningan

    satu bulan berlalu. Strategi "Keheningan" kami bekerja lebih efektif daripada yang kami bayangkan.Sementara pengacara Lidya sibuk menunda-nunda sidang perceraian dengan berbagai alasan prosedural—berharap aku kehabisan uang dan mental—aku justru sibuk di tempat lain. Aku tidak muncul di TV untuk menangis. Aku tidak membalas komentar nyinyir di media sosial. Aku menghilang dari radar gosip dan muncul kembali di radar yang sama sekali berbeda: radar arsitektur.Malam ini adalah soft opening Kafe Skena.Bangunan ruko tua yang dulu kumuh di Senopati itu kini telah bertransformasi. Fasad bata eksposnya dipertahankan, dipadukan dengan kaca frameless setinggi dua lantai yang memamerkan interior industrial yang hangat. Atap skylight yang bisa dibuka kini terbuka lebar, membiarkan udara malam Jakarta masuk, menyatu dengan aroma kopi arabika yang baru digiling.Dan di tengah ruangan, mezzanine baja ringan yang kurancang benar-benar tampak melayang, dipenuhi pengunjung yang terkagum-kagum."Jen

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 20: DURI DI BALIK BERITA

    Kemarahanku sedingin baja.Aku berhasil mempertahankan ketenanganku di depan Reza. Kami menghabiskan satu jam berikutnya—yang terasa seperti selamanya—membahas detail teknis renovasi kafe. Aku memaksakan otakku untuk fokus pada denah, material, dan struktur baja ringan. Setiap kali bayangan foto pertunangan itu melintas di benakku—Bram yang tersenyum palsu, Renata yang menang, Lidya yang angkuh—aku menariknya kembali dengan paksa. Aku tidak akan memberi Lidya kepuasan dengan hancur di saat aku baru memulai langkah pertamaku.Aku tidak ingat bagaimana aku mengucapkan selamat tinggal pada Reza. Aku hanya ingat berjalan kaku menuju mobilku, buku sketsa dan pensil di tanganku terasa seperti timah yang berat. Begitu pintu mobil tertutup, aku tidak langsung menyalakan mesin. Aku duduk diam di dalam keheningan yang memekakkan, menatap setir.Ini bukan lagi perzinaan. Ini adalah eksekusi publik.Tanganku mulai gemetar, getaran kecil yang merambat dari jemariku ke lengan, lalu ke seluruh tubuh

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 19: PROYEK KOPI SKENA

    Sesuai janjiku pada Reza, dua hari kemudian aku berada di Senopati. Bukan di restoran mewah, tapi di depan sebuah ruko tua berlantai dua yang tampak kumuh. Catnya mengelupas, jendelanya kotor, dan terasnya dipenuhi gulma. Ini adalah lokasi kafe "ikonik" yang dimaksud Reza. Mimpi buruk sekaligus kanvas yang sempurna.Aku menarik napas dalam-dalam, mencium aroma debu, cat lama, dan tanah basah. Anehnya, aku merasa hidup. Aku mengeluarkan meteran dari tasku, buku sketsaku, dan sebuah pensil. Selama lima tahun, tanganku hanya menyentuh layar tablet untuk mendesain paviliun atau merenovasi kamar tamu di istana Lidya. Ini adalah pekerjaan lapangan pertamaku yang sesungguhnya.Aku sedang mengukur lebar fasad depan, mencatat struktur bata ekspos yang tersembunyi di balik plester yang hancur, ketika sebuah suara familier terdengar dari belakangku."Kukira Nyonya Haryadi sudah lupa cara memegang meteran."Aku berbalik tanpa tersenyum. Reza Adhitama bersandar di mobil Jeep Rubicon-nya yang gagah

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 18: REAKSI SANG RATU DAN PIONNYA

    Di puncak Haryadi Tower, di dalam kantor CEO yang dilapisi panel kayu mahoni dan kaca, Bramantyo Haryadi menatap amplop cokelat besar di mejanya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Stempel dari firma hukum Dian terpampang jelas di sudut kiri atas.Ia membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.Beberapa lembar kertas ia keluarkan. Matanya memindai baris demi baris kalimat hukum yang kaku. Semakin ia membaca, semakin pucat wajahnya.*Perzinaan...**...dengan pihak ketiga bernama Renata Sastranegara...**...upaya penggelapan aset pernikahan...**...griya tawang di SCBD atas nama Lidya Haryadi...*"Sialan!" teriaknya, menyapu kertas-kertas itu dari mejanya. Gelas kristal di sudut meja ikut tersenggol dan jatuh ke lantai karpet tebal, isinya yang tersisa tumpah tanpa suara.Dia pikir Arini hanya pergi untuk "menenangkan diri". Dia pikir ini adalah pertengkaran suami-istri biasa yang akan selesai dengan permintaan maaf dan hadiah mahal. Dia tidak pernah menyangka Arini akan *berani* m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status