LOGINPertanyaanku menggantung di udara kamar yang dingin, terasa lebih berat dari keheningan itu sendiri. "Siapa 'R'?"
Aku melihatnya. Hanya sepersekian detik, tapi aku melihatnya dengan jelas. Kepanikan yang melintas di mata Bram seperti kilat di langit malam. Pupil matanya melebar, tubuhnya sedikit menegang, dan senyum lembut yang tadi ia pasang membeku menjadi topeng yang kaku. Ia menarik tangannya dari bahuku seolah tanganku adalah bara api. "R?" ulangnya, suaranya terdengar serak. Ia tertawa kecil, sebuah tawa sumbang yang sama sekali tidak lucu. "Kamu ini ada-ada saja. 'R' siapa?" "Jangan pura-pura tidak tahu, Mas," kataku, suaraku stabil meski jantungku berdebar kencang memukuli tulang rusuk. Aku membuka kepalan tanganku, memperlihatkan kancing manset perak itu di telapak tanganku yang pucat. "Aku menemukannya di saku jasmu. Dengan sehelai rambut wanita." Mata Bram terpaku pada benda kecil yang berkilau itu. Untuk sesaat, aku melihatnya menelan ludah dengan susah payah. Ia sedang berpikir keras, merangkai kebohongan secepat yang ia bisa. Aku mengenalnya lebih baik dari siapa pun. Aku tahu setiap gerak-geriknya saat ia terpojok. "Oh, ini," katanya, nadanya dibuat seringan mungkin, seolah baru saja mengingat sesuatu yang tidak penting. Ia mengambil kancing manset itu dariku. "Ini… ini punya Pak Rahmat. Ya, Rahmat. Klien baru dari Surabaya. Tadi sore kami bertemu. Mungkin kancingnya jatuh waktu kami bersalaman atau… entahlah. Aku tidak sadar memasukkannya ke saku." Rahmat. Nama yang begitu umum, begitu mudah diucapkan, dan begitu jelas sebuah kebohongan. "Pak Rahmat?" balasku, menatap lurus ke matanya, menantangnya untuk mempertahankan ceritanya. "Klienmu seorang pria, tapi rambut yang melilit di kancing ini rambut panjang. Hitam dan halus. Apa Pak Rahmat punya rambut seperti itu?" Wajah Bram memerah. Ia kalah telak. Tapi alih-alih menyerah, ia memilih jalur lain yang selalu ia ambil saat terdesak: serangan balik. "Jadi sekarang kamu menuduhku?" desisnya, suaranya meninggi. "Setelah seharian aku bekerja keras untuk keluarga kita, pulang-pulang aku disambut dengan tuduhan konyol seperti ini? Cuma karena sebuah kancing manset, kamu pikir aku selingkuh, begitu?" Gaslighting. Taktik andalannya. Memutarbalikkan fakta hingga aku yang merasa bersalah karena telah bertanya. Dulu, aku selalu termakan taktik ini. Aku akan meminta maaf karena sudah berpikiran buruk, lalu melupakan semuanya. Tapi tidak malam ini. Sesuatu di dalam diriku telah retak. "Aku tidak menuduh, Mas. Aku bertanya," jawabku dingin. "Dan jawabanmu tidak masuk akal." "Terserah kamu mau percaya atau tidak!" sentaknya. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di kamar seperti singa yang terkurung. "Aku lelah, Arini. Aku tidak punya tenaga untuk meladeni imajinasi liarmu." Tanpa berkata apa-apa lagi, ia merebahkan diri di sisi tempat tidurnya, menarik selimut hingga sebatas dada, dan memunggungiku. Sebuah pernyataan yang jelas: percakapan ini selesai. Aku tetap duduk membeku di tepi ranjang. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya menggenang di pelupuk mata, panas dan perih. Bukan hanya karena kebohongannya, tapi karena betapa mudahnya ia melakukannya. Betapa mudahnya ia meremehkan perasaanku, merendahkan intuisiku, dan memilih melindungi rahasianya daripada menenangkan hatiku. Malam itu, kami tidur di ranjang yang sama, namun terpisahkan oleh jurang yang tak terlihat. Punggungnya adalah dinding kokoh yang tak bisa kutembus. Aku bisa merasakan napasnya yang teratur—pura-pura terlelap—sementara napasku sendiri sesak di dada. Setiap detik terasa seperti satu jam. Suara detak jam di dinding terdengar seperti hitungan mundur menuju kehancuran rumah tangga kami. Aku memejamkan mata, tapi bayangan kancing manset itu terus berputar di benakku. Huruf ‘R’. Siapa dia? Bagaimana ia bisa masuk ke dalam kehidupan kami? Sejak kapan neraka ini dimulai tanpa aku sadari? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuiku, merayap seperti racun di aliran darahku. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Aku tidak akan membiarkan Bram mengubahku menjadi istri bodoh yang paranoid. Aku butuh kepastian, meski kepastian itu akan menghancurkanku. Satu jam berlalu. Dua jam. Aku mendengar dengkuran halus dari sisi Bram. Ia benar-benar sudah tidur, atau setidaknya cukup lelah untuk berhenti berpura-pura. Dengan gerakan sepelan mungkin, aku bangkit dari tempat tidur. Kakiku yang telanjang menapaki lantai marmer yang dingin, setiap langkah terasa begitu berat. Tujuanku satu: meja nakas di sisi tempat tidurnya. Di sana, tergeletak benda yang menjadi pusat kecurigaanku selama ini. Ponselnya. Benda yang tak pernah lepas dari genggamannya, yang selalu ia letakkan dengan layar menghadap ke bawah, yang notifikasinya selalu dalam mode senyap. Tanganku gemetar hebat saat meraih benda persegi yang dingin itu. Jantungku berdebar begitu kencang hingga aku takut Bram akan mendengarnya dan terbangun. Aku kembali ke sisiku, duduk di lantai, menyembunyikan cahaya ponsel dengan tubuhku. Aku menatap layar yang gelap itu sejenak. Ada sedikit keraguan. Jika aku membukanya, tidak akan ada jalan untuk kembali. Apa pun yang kutemukan di dalamnya akan mengubah segalanya. Tapi rasa sakit karena ketidakpastian jauh lebih menyiksa. Aku menarik napas dalam-dalam, menguatkan hati. Jariku menekan tombol samping, dan layarnya pun menyala, menampilkan foto pernikahan kami sebagai *wallpaper*. Sebuah ironi yang begitu kejam. Dan di sana, di bagian atas layar, sebuah notifikasi pesan baru saja masuk beberapa menit yang lalu, senyap tanpa suara. Dari kontak yang hanya disimpan dengan satu huruf. Sebuah huruf yang kini paling kubenci di seluruh dunia. **R:** *Makasih buat malam ini, Sayang. Cepat selesaikan urusanmu. Aku tunggu.*Kemarahanku sedingin baja.Aku berhasil mempertahankan ketenanganku di depan Reza. Kami menghabiskan satu jam berikutnya—yang terasa seperti selamanya—membahas detail teknis renovasi kafe. Aku memaksakan otakku untuk fokus pada denah, material, dan struktur baja ringan. Setiap kali bayangan foto pertunangan itu melintas di benakku—Bram yang tersenyum palsu, Renata yang menang, Lidya yang angkuh—aku menariknya kembali dengan paksa. Aku tidak akan memberi Lidya kepuasan dengan hancur di saat aku baru memulai langkah pertamaku.Aku tidak ingat bagaimana aku mengucapkan selamat tinggal pada Reza. Aku hanya ingat berjalan kaku menuju mobilku, buku sketsa dan pensil di tanganku terasa seperti timah yang berat. Begitu pintu mobil tertutup, aku tidak langsung menyalakan mesin. Aku duduk diam di dalam keheningan yang memekakkan, menatap setir.Ini bukan lagi perzinaan. Ini adalah eksekusi publik.Tanganku mulai gemetar, getaran kecil yang merambat dari jemariku ke lengan, lalu ke seluruh tubuh
Sesuai janjiku pada Reza, dua hari kemudian aku berada di Senopati. Bukan di restoran mewah, tapi di depan sebuah ruko tua berlantai dua yang tampak kumuh. Catnya mengelupas, jendelanya kotor, dan terasnya dipenuhi gulma. Ini adalah lokasi kafe "ikonik" yang dimaksud Reza. Mimpi buruk sekaligus kanvas yang sempurna.Aku menarik napas dalam-dalam, mencium aroma debu, cat lama, dan tanah basah. Anehnya, aku merasa hidup. Aku mengeluarkan meteran dari tasku, buku sketsaku, dan sebuah pensil. Selama lima tahun, tanganku hanya menyentuh layar tablet untuk mendesain paviliun atau merenovasi kamar tamu di istana Lidya. Ini adalah pekerjaan lapangan pertamaku yang sesungguhnya.Aku sedang mengukur lebar fasad depan, mencatat struktur bata ekspos yang tersembunyi di balik plester yang hancur, ketika sebuah suara familier terdengar dari belakangku."Kukira Nyonya Haryadi sudah lupa cara memegang meteran."Aku berbalik tanpa tersenyum. Reza Adhitama bersandar di mobil Jeep Rubicon-nya yang gagah
Di puncak Haryadi Tower, di dalam kantor CEO yang dilapisi panel kayu mahoni dan kaca, Bramantyo Haryadi menatap amplop cokelat besar di mejanya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Stempel dari firma hukum Dian terpampang jelas di sudut kiri atas.Ia membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.Beberapa lembar kertas ia keluarkan. Matanya memindai baris demi baris kalimat hukum yang kaku. Semakin ia membaca, semakin pucat wajahnya.*Perzinaan...**...dengan pihak ketiga bernama Renata Sastranegara...**...upaya penggelapan aset pernikahan...**...griya tawang di SCBD atas nama Lidya Haryadi...*"Sialan!" teriaknya, menyapu kertas-kertas itu dari mejanya. Gelas kristal di sudut meja ikut tersenggol dan jatuh ke lantai karpet tebal, isinya yang tersisa tumpah tanpa suara.Dia pikir Arini hanya pergi untuk "menenangkan diri". Dia pikir ini adalah pertengkaran suami-istri biasa yang akan selesai dengan permintaan maaf dan hadiah mahal. Dia tidak pernah menyangka Arini akan *berani* m
Dua minggu berlalu dalam pusaran aktivitas yang hening dan terfokus. Rahasia yang kami simpan bersama Pak Herman terasa seperti inti reaktor yang dingin di dalam diriku, sebuah sumber kekuatan yang tersembunyi. Sesuai rencana Dian, kami tidak melakukan apa pun dengan bom itu.Sebaliknya, aku fokus pada perang yang terlihat: membangun kembali hidupku.Apartemen Dian terasa sesak dengan dua wanita profesional yang bekerja dari rumah. Kami memutuskan untuk mengambil langkah berisiko: kami menyewa sebuah ruang kantor kecil di gedung *co-working space* yang trendi. "Firma Hukum & Desain Dian-Arini," begitu canda kami, meskipun untuk saat ini, papan nama kami hanya berupa stiker kecil di pintu kaca buram.Aku menghabiskan hari-hariku dengan menyusun ulang portofolioku, menghubungi kontak-kontak lama dari universitas, dan memberi tahu dunia bahwa aku "tersedia untuk proyek *freelance*". Responnya dingin. Nama "Haryadi" yang dulu kubenci, kini ketiadaannya terbukti menjadi sebuah hambatan. Ta
Perjalanan pulang dari rumah Pak Herman terasa sangat berbeda dari perjalanan pergi. Keheningan di dalam mobil terasa berat, sarat dengan apa yang baru saja kami dengar. Alat perekam kecil itu kusimpan di dalam tas, terasa lebih berat dari sebongkah emas. Dian menyetir dengan fokus yang tajam, rahangnya mengeras."Kecelakaan mobil... kantor notaris terbakar," gumamku pelan, memecah keheningan. "Di, wanita itu bukan sekadar licik. Dia berbahaya. Sangat berbahaya."Dian mengangguk, matanya tak lepas dari jalanan malam yang basah oleh gerimis. "Ya. Ini bukan lagi drama rumah tangga atau sengketa perceraian, Rin. Ini sudah masuk level *crime story*. Lidya tidak akan segan-segan melakukan apa pun untuk melindungi rahasianya. Termasuk... menyingkirkan notaris itu."Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan AC mobil menjalar di kulitku. Apa yang tadinya kuanggap sebagai pembalasan dendam pribadi, kini telah berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih menakutkan. Aku tidak
Keheningan yang mengikuti pengakuan Pak Herman terasa begitu pekat, seolah seluruh udara di ruangan kecil itu tersedot habis. Palsu. Kata itu menggema di benakku, membuka kotak pandora baru yang jauh lebih gelap dari sekadar perselingkuhan."Palsu?" ulang Dian, suaranya tajam sebagai seorang pengacara. "Seberapa yakin Anda, Pak?"Pak Herman tertawa getir, tawa yang terdengar seperti debu kering. "Seberapa yakin? Nyonya Dian, saya yang mendampingi almarhum Pak Haryadi ke notaris kepercayaannya di Bandung, enam bulan sebelum beliau wafat. Jauh sebelum beliau sakit-sakitan."Ia berdiri dan berjalan ke sebuah lemari kayu tua, membukanya dengan kunci kecil. "Pak Haryadi adalah pria yang baik, tapi beliau tidak naif. Beliau tahu persis seperti apa watak istrinya. Beliau tahu obsesi Nyonya Lidya pada kekuasaan dan status."Dari dalam lemari, ia mengeluarkan sebuah map cokelat tipis yang sudah menguning."Wasiat yang asli," lanjutnya, meletakkan map itu di meja, "sangat adil. Beliau membagi s







