Accueil / Romansa / Pelakor Pilihan Mertua / BAB 1: KANCING MANSET BERINISIAL ‘R’

Share

Pelakor Pilihan Mertua
Pelakor Pilihan Mertua
Auteur: Murufu

BAB 1: KANCING MANSET BERINISIAL ‘R’

Auteur: Murufu
last update Dernière mise à jour: 2025-10-11 13:43:00

Lima lilin kecil menari di atas kue beludru merah. Api mereka memantulkan kilau lelah di mata suamiku, Bramantyo Haryadi. Di restoran paling mewah di puncak gedung tertinggi Jakarta ini, seharusnya kami merayakan surga. Lima tahun pernikahan yang kubangun dengan air mata dan kesabaran, berharap semua itu cukup untuk membeli kebahagiaan abadi.

"Selamat ulang tahun pernikahan, Mas," bisikku, menyunggingkan senyum yang terasa seperti topeng porselen, indah namun rapuh.

Bram tersenyum balik, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. Matanya lebih sering melirik layar ponsel yang berbaring telungkup di samping piringnya daripada menatapku. "Selamat ulang tahun juga, Arini. Maaf, beberapa hari ini pekerjaan sedang kacau."

Alasan yang sama. Jawaban generik yang menjadi lagu pengantar tidurku selama enam bulan terakhir. Dulu, matanya tak pernah lepas dariku, seolah aku adalah pusat semestanya. Kini, aku hanyalah satelit yang berputar di orbit jauh, nyaris tak terlihat.

"Aku punya sesuatu untukmu," kataku, mencoba menarik kembali atensinya. Kusodorkan sebuah kotak beludru biru tua. Di dalamnya, sebuah jam tangan klasik dengan ukiran tanggal pernikahan kami di bagian belakang. Hadiah yang kupilih dengan sepenuh hati, menyisihkan sebagian penghasilanku sebagai arsitek.

Bram membukanya. "Bagus," komentarnya singkat, lalu meletakkannya kembali di meja. "Terima kasih, Sayang."

Tidak ada binar kekaguman. Tidak ada kecupan hangat di kening. Hanya formalitas dingin yang membuat ruangan berpendingin ini terasa seperti kutub.

"Aku juga punya hadiah untukmu," katanya, memberi isyarat pada pelayan.

Sebuah kotak pipih panjang dari merek perhiasan ternama diletakkan di hadapanku. Jantungku berdebar sesaat. Mungkin aku salah. Mungkin di balik sikap dinginnya, ia masih Bram-ku yang dulu.

Kubuka kotak itu. Seuntai kalung berlian berkilauan di dalamnya. Indah, mahal, dan… asing. Modelnya bukan seleraku. Terlalu gemerlap, terlalu mencolok. Rasanya seperti hadiah yang dipilih oleh asistennya, dibeli karena kewajiban, bukan karena cinta.

"Kamu suka?" tanyanya, lebih seperti sebuah konfirmasi daripada pertanyaan.

Aku memaksakan senyum. "Sangat indah, Mas. Terima kasih." Aku memakainya, merasakan dinginnya logam menyentuh kulitku, sedingin suasana di antara kami.

Makan malam berlanjut dalam keheningan yang canggung. Aku bercerita tentang proyek baru yang kutangani, tentang klien yang menyulitkan, tentang mimpi-mimpiku merancang sebuah galeri seni. Bram hanya menanggapinya dengan gumaman, jemarinya sesekali mengetuk-ngetuk layar ponselnya di bawah meja.

Aku tahu ada yang salah. Naluri seorang istri tidak pernah berbohong. Rumah tangga kami yang tampak sempurna dari luar ini—seorang CEO tampan dan seorang arsitek sukses—hanyalah fasad. Di baliknya, fondasinya telah retak, digerogoti oleh rahasia yang tidak kuketahui.

"Mas, apa ada masalah?" tanyaku akhirnya, tak tahan lagi dengan dinding es di antara kami.

Bram mengangkat wajah, tampak sedikit terkejut. "Masalah apa? Nggak ada apa-apa, Rin. Aku cuma capek."

"Bukan capek karena pekerjaan," desisku pelan, memastikan hanya kami yang mendengar. "Ini berbeda. Kamu… jauh. Kamu di sini, tapi pikiranmu di tempat lain. Apa aku melakukan kesalahan?"

Keraguan diri itu selalu menjadi hantuku. Sejak awal, ibunya, Lidya Haryadi, sudah menegaskan bahwa aku adalah sebuah kesalahan. Wanita dari keluarga biasa yang tak pantas menyandang nama Haryadi. Selama lima tahun, aku berusaha menjadi menantu sempurna, istri sempurna, berharap bisa memenangkan hatinya. Usaha yang sia-sia.

"Jangan mulai, Arini," kata Bram tajam, nadanya berubah defensif. "Ini malam perayaan kita. Jangan dirusak dengan pikiran negatifmu."

Pikiran negatifku? Jadi, ini salahku? Belati tak kasat mata itu menusuk tepat di ulu hatiku. Aku menunduk, menatap pantulan diriku di sendok perak. Wanita dengan mata lelah dan senyum yang dipaksakan.

Sisa makan malam itu terasa seperti penyiksaan. Aku hanya ingin pulang, meringkuk di tempat tidur, dan berharap saat aku bangun esok hari, semua ini hanyalah mimpi buruk.

***

Perjalanan pulang terasa lebih hening dari pemakaman. Bram fokus menyetir, rahangnya mengeras. Aku memalingkan wajah ke jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang berkelip seperti harapan yang satu per satu padam. Rumah megah kami di kawasan elite menyambut dengan keheningan yang sama. Istana ini tak pernah terasa seperti rumah. Hanya bangunan besar, dingin, dan kosong, persis seperti pernikahan kami sekarang.

"Aku mandi dulu," kata Bram, langsung melonggarkan dasi dan berjalan menuju kamar mandi utama.

Aku mengangguk tanpa suara. Kulepaskan kalung berlian yang terasa mencekik leherku dan meletakkannya di meja rias. Pandanganku jatuh pada jas mahal yang Bram sampirkan di kursi. Tugas rutin seorang istri: menyiapkan pakaian kotor untuk dibawa ke penatu besok.

Tanganku bergerak mekanis, memeriksa saku-sakunya untuk mengeluarkan isinya. Dompet, kunci mobil, ponsel kantor. Semua seperti biasa. Lalu, di saku bagian dalam, jemariku merasakan sebuah benda kecil, keras, dan dingin.

Bukan kancing cadangan.

Dengan jantung yang mulai berpacu, aku menariknya keluar. Di bawah cahaya temaram lampu kamar, benda itu berkilau. Sebuah kancing manset. Terbuat dari perak murni, dengan desain modern yang belum pernah kulihat sebelumnya. Bukan model yang biasa Bram pakai.

Dan yang membuat napasku tercekat, di permukaannya terukir sebuah huruf tunggal yang elegan.

*R*.

Bukan ‘A’ untuk Arini. Bukan ‘B’ untuk Bramantyo.

*R*.

Darahku seolah berhenti mengalir. Udara di paru-paruku terasa habis. Aku memutar-mutar benda kecil itu di antara jari-jariku yang gemetar. Dinginnya logam itu menjalar ke seluruh tubuhku, membekukan hatiku.

Ini bukan milik Bram. Aku yang selalu memilihkan aksesorisnya. Aku tahu setiap pasang kancing manset yang ia miliki. Dan tidak ada satupun yang seperti ini.

Lalu, mataku menangkap sesuatu yang lain. Sesuatu yang nyaris tak terlihat, melilit di dasar ukiran huruf itu. Sehelai rambut. Panjang, hitam legam, dan berkilau. Jelas bukan rambutku yang berwarna cokelat gelap sebahu.

Suara gemericik air dari kamar mandi tiba-tiba berhenti. Pintu akan segera terbuka. Bram akan segera keluar.

Panik, aku menggenggam erat kancing manset itu di telapak tanganku. Logamnya yang tajam menusuk kulitku, rasa sakit fisik yang tak seberapa dibanding rasa sakit yang merobek jiwaku. Dengan cepat, aku memasukkan kembali dompet dan kunci ke dalam saku jas, lalu melemparkan jas itu ke keranjang pakaian.

Aku duduk di tepi tempat tidur, membelakangi pintu kamar mandi. Tanganku yang terkepal kusimpan di pangkuan, menyembunyikan bukti pengkhianatan yang baru saja kutemukan.

Pintu berderit terbuka. Aroma sabun maskulin yang familier menguar di udara, aroma yang dulu selalu memberiku rasa aman. Malam ini, aroma itu membuatku mual.

"Kok belum ganti baju?" suara Bram terdengar dari belakangku.

Aku tidak bisa menjawab. Tenggorokanku tercekat. Jika aku membuka mulut, yang akan keluar mungkin bukan kata-kata, melainkan isak tangis yang tak akan bisa kuhentikan.

Langkah kakinya mendekat. Kasur di belakangku sedikit menurun saat ia duduk di sampingku. Tangannya yang hangat menyentuh bahuku. Sentuhan yang dulu kurindukan, kini terasa membakar.

"Kamu marah soal tadi?" tanyanya lembut. Sebuah upaya rekonsiliasi yang terlambat dan sia-sia.

Aku menggeleng pelan, masih tak berani menatapnya. Aku takut ia akan melihat kehancuran di mataku. Aku takut aku akan melihat kebohongan di matanya.

"Arini, lihat aku."

Perlahan, aku memutar kepalaku. Kulihat wajahnya, wajah yang telah kuhafal setiap lekuknya. Wajah yang kucintai lebih dari apa pun. Tapi malam ini, wajah itu terlihat seperti milik orang asing.

"Ada apa?" tanyanya lagi, keningnya berkerut cemas.

Di dalam genggamanku, kancing manset itu terasa semakin tajam. Inisial ‘R’ itu seolah membara, mencap sebuah nama tak dikenal di dalam benakku.

Rumah yang kubangun dengan cinta selama lima tahun, ternyata memiliki pintu rahasia. Dan malam ini, aku baru saja menemukan kuncinya. Kunci menuju neraka yang tak pernah kubayangkan ada.

Aku menatap matanya dalam-dalam, mencari setitik kejujuran, setitik penyesalan. Tapi yang kutemukan hanyalah kekosongan.

"Mas," suaraku akhirnya keluar, serak dan bergetar. "Siapa 'R'?"

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 20: DURI DI BALIK BERITA

    Kemarahanku sedingin baja.Aku berhasil mempertahankan ketenanganku di depan Reza. Kami menghabiskan satu jam berikutnya—yang terasa seperti selamanya—membahas detail teknis renovasi kafe. Aku memaksakan otakku untuk fokus pada denah, material, dan struktur baja ringan. Setiap kali bayangan foto pertunangan itu melintas di benakku—Bram yang tersenyum palsu, Renata yang menang, Lidya yang angkuh—aku menariknya kembali dengan paksa. Aku tidak akan memberi Lidya kepuasan dengan hancur di saat aku baru memulai langkah pertamaku.Aku tidak ingat bagaimana aku mengucapkan selamat tinggal pada Reza. Aku hanya ingat berjalan kaku menuju mobilku, buku sketsa dan pensil di tanganku terasa seperti timah yang berat. Begitu pintu mobil tertutup, aku tidak langsung menyalakan mesin. Aku duduk diam di dalam keheningan yang memekakkan, menatap setir.Ini bukan lagi perzinaan. Ini adalah eksekusi publik.Tanganku mulai gemetar, getaran kecil yang merambat dari jemariku ke lengan, lalu ke seluruh tubuh

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 19: PROYEK KOPI SKENA

    Sesuai janjiku pada Reza, dua hari kemudian aku berada di Senopati. Bukan di restoran mewah, tapi di depan sebuah ruko tua berlantai dua yang tampak kumuh. Catnya mengelupas, jendelanya kotor, dan terasnya dipenuhi gulma. Ini adalah lokasi kafe "ikonik" yang dimaksud Reza. Mimpi buruk sekaligus kanvas yang sempurna.Aku menarik napas dalam-dalam, mencium aroma debu, cat lama, dan tanah basah. Anehnya, aku merasa hidup. Aku mengeluarkan meteran dari tasku, buku sketsaku, dan sebuah pensil. Selama lima tahun, tanganku hanya menyentuh layar tablet untuk mendesain paviliun atau merenovasi kamar tamu di istana Lidya. Ini adalah pekerjaan lapangan pertamaku yang sesungguhnya.Aku sedang mengukur lebar fasad depan, mencatat struktur bata ekspos yang tersembunyi di balik plester yang hancur, ketika sebuah suara familier terdengar dari belakangku."Kukira Nyonya Haryadi sudah lupa cara memegang meteran."Aku berbalik tanpa tersenyum. Reza Adhitama bersandar di mobil Jeep Rubicon-nya yang gagah

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 18: REAKSI SANG RATU DAN PIONNYA

    Di puncak Haryadi Tower, di dalam kantor CEO yang dilapisi panel kayu mahoni dan kaca, Bramantyo Haryadi menatap amplop cokelat besar di mejanya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Stempel dari firma hukum Dian terpampang jelas di sudut kiri atas.Ia membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.Beberapa lembar kertas ia keluarkan. Matanya memindai baris demi baris kalimat hukum yang kaku. Semakin ia membaca, semakin pucat wajahnya.*Perzinaan...**...dengan pihak ketiga bernama Renata Sastranegara...**...upaya penggelapan aset pernikahan...**...griya tawang di SCBD atas nama Lidya Haryadi...*"Sialan!" teriaknya, menyapu kertas-kertas itu dari mejanya. Gelas kristal di sudut meja ikut tersenggol dan jatuh ke lantai karpet tebal, isinya yang tersisa tumpah tanpa suara.Dia pikir Arini hanya pergi untuk "menenangkan diri". Dia pikir ini adalah pertengkaran suami-istri biasa yang akan selesai dengan permintaan maaf dan hadiah mahal. Dia tidak pernah menyangka Arini akan *berani* m

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 17: LANGKAH PERTAMA SANG ARSITEK

    Dua minggu berlalu dalam pusaran aktivitas yang hening dan terfokus. Rahasia yang kami simpan bersama Pak Herman terasa seperti inti reaktor yang dingin di dalam diriku, sebuah sumber kekuatan yang tersembunyi. Sesuai rencana Dian, kami tidak melakukan apa pun dengan bom itu.Sebaliknya, aku fokus pada perang yang terlihat: membangun kembali hidupku.Apartemen Dian terasa sesak dengan dua wanita profesional yang bekerja dari rumah. Kami memutuskan untuk mengambil langkah berisiko: kami menyewa sebuah ruang kantor kecil di gedung *co-working space* yang trendi. "Firma Hukum & Desain Dian-Arini," begitu canda kami, meskipun untuk saat ini, papan nama kami hanya berupa stiker kecil di pintu kaca buram.Aku menghabiskan hari-hariku dengan menyusun ulang portofolioku, menghubungi kontak-kontak lama dari universitas, dan memberi tahu dunia bahwa aku "tersedia untuk proyek *freelance*". Responnya dingin. Nama "Haryadi" yang dulu kubenci, kini ketiadaannya terbukti menjadi sebuah hambatan. Ta

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 16: BOBOT SEBUAH RAHASIA

    Perjalanan pulang dari rumah Pak Herman terasa sangat berbeda dari perjalanan pergi. Keheningan di dalam mobil terasa berat, sarat dengan apa yang baru saja kami dengar. Alat perekam kecil itu kusimpan di dalam tas, terasa lebih berat dari sebongkah emas. Dian menyetir dengan fokus yang tajam, rahangnya mengeras."Kecelakaan mobil... kantor notaris terbakar," gumamku pelan, memecah keheningan. "Di, wanita itu bukan sekadar licik. Dia berbahaya. Sangat berbahaya."Dian mengangguk, matanya tak lepas dari jalanan malam yang basah oleh gerimis. "Ya. Ini bukan lagi drama rumah tangga atau sengketa perceraian, Rin. Ini sudah masuk level *crime story*. Lidya tidak akan segan-segan melakukan apa pun untuk melindungi rahasianya. Termasuk... menyingkirkan notaris itu."Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan AC mobil menjalar di kulitku. Apa yang tadinya kuanggap sebagai pembalasan dendam pribadi, kini telah berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih menakutkan. Aku tidak

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 15: DI BALIK SURAT WASIAT PALSU

    Keheningan yang mengikuti pengakuan Pak Herman terasa begitu pekat, seolah seluruh udara di ruangan kecil itu tersedot habis. Palsu. Kata itu menggema di benakku, membuka kotak pandora baru yang jauh lebih gelap dari sekadar perselingkuhan."Palsu?" ulang Dian, suaranya tajam sebagai seorang pengacara. "Seberapa yakin Anda, Pak?"Pak Herman tertawa getir, tawa yang terdengar seperti debu kering. "Seberapa yakin? Nyonya Dian, saya yang mendampingi almarhum Pak Haryadi ke notaris kepercayaannya di Bandung, enam bulan sebelum beliau wafat. Jauh sebelum beliau sakit-sakitan."Ia berdiri dan berjalan ke sebuah lemari kayu tua, membukanya dengan kunci kecil. "Pak Haryadi adalah pria yang baik, tapi beliau tidak naif. Beliau tahu persis seperti apa watak istrinya. Beliau tahu obsesi Nyonya Lidya pada kekuasaan dan status."Dari dalam lemari, ia mengeluarkan sebuah map cokelat tipis yang sudah menguning."Wasiat yang asli," lanjutnya, meletakkan map itu di meja, "sangat adil. Beliau membagi s

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status