LOGIN*Makasih buat malam ini, Sayang. Cepat selesaikan urusanmu. Aku tunggu.*
Dua puluh empat kata. Dua puluh empat paku yang menancap lurus ke jantungku. Napas yang kutahan sejak tadi keluar dalam satu embusan gemetar yang nyaris tanpa suara. Ruangan yang tadinya dingin kini terasa panas membakar, seolah oksigen di sekitarku lenyap seketika. Aku menatap layar ponsel itu, membaca ulang kalimat demi kalimat, berharap mataku salah, berharap otakku salah mengartikan. Tapi tidak ada yang salah. Kalimat itu begitu lugas, begitu intim, begitu menghancurkan. *Sayang.* Panggilan itu. Panggilan yang dulu menjadi miliku seorang, kini dengan mudahnya ia berikan pada wanita lain. *Selesaikan urusanmu*. Aku urusannya. Perayaan ulang tahun pernikahan kami adalah "urusan" yang harus ia selesaikan sebelum kembali padanya. Rasa mual naik dari perutku ke kerongkongan. Rasanya aku ingin berteriak, melempar ponsel ini ke dinding, lalu membangunkan pria yang tidur dengan pulasnya itu dan menuntut penjelasan sampai subuh. Tapi, apa gunanya? Ia akan menyangkalnya lagi. Ia akan mengatakan ponselnya diretas, atau itu hanya pesan iseng dari teman, atau seribu kebohongan lain yang akan ia ciptakan dalam sekejap. Ia akan menyebutku gila, posesif, dan paranoid. Ia akan membalikkan keadaan sampai aku yang merasa bersalah karena telah melanggar privasinya. Tidak. Aku tidak akan memberinya kepuasan itu. Sesuatu yang dingin dan tajam mulai menggantikan rasa sakit yang membakar di dalam dadaku. Sesuatu yang terasa seperti baja. Jika pernikahan ini adalah permainan, aku sudah terlalu lama bermain dengan mata tertutup. Malam ini, mataku terbuka. Dengan tangan yang masih gemetar, aku menekan tombol samping untuk mematikan layar. Aku mencondongkan tubuh ke depan, mengembalikan ponsel itu ke tempatnya semula di atas nakas. Posisi yang sama persis, telungkup, seolah tak pernah tersentuh. Aku merangkak kembali ke tempat tidur. Setiap gerakan terasa kaku, seperti robot. Aku berbaring di pinggir ranjang, sejauh mungkin darinya, memunggunginya sama seperti ia memunggungiku. Selimut yang tadinya terasa nyaman kini menyesakkan. Aku menatap kegelapan kamar, tapi yang kulihat adalah barisan kata-kata di layar ponsel itu, tercetak dengan tinta api di benakku. Aku tidak tidur satu detik pun. Aku mendengarkan napasnya yang teratur, napas seorang pria yang tidur tanpa beban setelah menghabiskan malam bersama kekasihnya lalu pulang ke pelukan istrinya. Kemunafikan itu membuatku jijik. Untuk siapa air mataku selama ini? Untuk siapa kesabaranku menghadapi ibunya? Untuk siapa semua pengorbanan yang kuberi nama cinta itu? Semuanya terasa seperti lelucon yang pahit. *** Pagi datang tanpa kuminta. Sinar matahari menerobos masuk melalui celah gorden tebal, mengiris kegelapan kamarku. Aku mendengar Bram menggeliat di belakangku, lalu suara beratnya yang khas saat baru bangun tidur. "Pagi, Sayang," sapanya, seolah pertengkaran dan tuduhan semalam tidak pernah terjadi. Aku merasakan tangannya melingkari pinggangku, menarikku mendekat. Tubuhku menegang seketika. Pelukannya yang dulu adalah surga, kini terasa seperti kurungan ular berbisa. Sentuhannya membuat kulitku meremang jijik. Aku harus bersandiwara. Demi diriku sendiri. "Pagi, Mas," jawabku, berusaha membuat suaraku senormal mungkin. Aku membalikkan badan menghadapnya, memaksakan seulas senyum tipis. "Maaf soal semalam. Mungkin aku cuma terlalu capek dan sensitif." Wajah Bram langsung terlihat lega. Ia tersenyum, senyum tulus yang membuatku semakin muak. "Aku juga minta maaf. Seharusnya aku lebih perhatian." Ia mengecup keningku. Sebuah kecupan dari bibir yang mungkin beberapa jam lalu mencium wanita lain. Aku harus menahan diri untuk tidak menghapus jejak bibirnya dari keningku. "Aku siapkan air hangat untukmu," kataku, segera bangkit dari tempat tidur, butuh alasan untuk menjauh darinya. "Nggak usah, Rin. Aku bisa sendiri," katanya sambil beranjak menuju kamar mandi. "Hari ini aku ada rapat penting pagi-pagi sekali." Saat suara pancuran air terdengar, itulah kesempatanku. Aku bergerak cepat. Ponselnya masih tergeletak di nakas. Aku mengambilnya, jantungku kembali berdebar. Aku harus tahu lebih banyak. Aku mencoba membuka kunci layarnya. Pola. Aku mencoba pola yang biasa ia gunakan. Gagal. Ia sudah menggantinya. Tentu saja. Seorang penipu selalu punya seribu cara untuk melindungi rahasianya. Aku tidak menyerah. Aku membuka notifikasi di layar kunci. Pesan dari 'R' semalam masih ada di sana. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil ponselku sendiri, membuka kamera, dan memotret layar ponsel Bram. Bukti. Aku punya bukti pertamaku. Aku baru saja akan meletakkan kembali ponselnya ketika sebuah notifikasi baru muncul di bagian atas layar. Kali ini bukan dari 'R'. Ini dari sebuah aplikasi kalender. **Pengingat: *Lunch Meeting - Renata (Le Ciel Restaurant, 12.30 PM)*** *Renata.* Nama itu. Nama yang selalu disebut-sebut oleh ibu mertuaku. Renata Sastranegara. Putri konglomerat, teman kuliah Bram, wanita yang menurut Lidya adalah pasangan paling sepadan untuk putranya. Jadi, 'R' adalah Renata. Dunia di sekelilingku seakan berputar. Ini bukan sekadar perselingkuhan biasa. Ini jauh lebih dalam, lebih terencana. Ini adalah pengkhianatan yang melibatkan restu ibunya. Suara pancuran air berhenti. Cepat-cepat aku meletakkan ponsel Bram kembali ke tempatnya. Aku berdiri mematung di tengah kamar, berusaha mengatur napasku yang memburu. Namanya, restorannya, jamnya. Semua informasi itu kini terpatri di otakku. Pintu kamar mandi terbuka. Bram keluar dengan handuk melilit pinggangnya, rambutnya basah meneteskan air. Ia tersenyum padaku. Senyum seorang pembohong. Senyum seorang pengkhianat. "Nanti siang nggak usah tunggu aku makan siang, ya," katanya dengan santai sambil berjalan menuju lemari pakaian. "Ada jamuan penting dengan klien." Aku hanya mengangguk, bibirku terasa kaku. Ya, klien penting. Klien bernama Renata. Di pagi yang cerah itu, di dalam istana pernikahan kami yang megah, aku berdiri diam. Topeng istri yang patuh masih terpasang di wajahku, tapi di baliknya, sesuatu yang lain telah lahir. Bukan lagi kesedihan. Bukan lagi kekecewaan. Itu adalah api. Api kemarahan yang dingin dan membara, siap membakar semua kebohongan mereka hingga menjadi abu.enam Bulan Kemudian.Aroma kopi yang baru digiling dan suara dengung percakapan yang hidup memenuhi udara di Kafe Skena. Tempat ini bukan lagi sekadar ruko tua yang direnovasi; ini telah menjadi jantung baru bagi komunitas kreatif Jakarta Selatan. Dan di sudut favoritku, di bawah skylight yang terbuka, aku duduk menyesap latte pagiku.Bukan sebagai Nyonya Haryadi yang menunggu suami pulang. Tapi sebagai Arini Widjaja, Pemilik dan Arsitek Utama dari AW Studio.Di layar televisi yang menggantung di dinding kafe, berita pagi sedang menayangkan liputan langsung dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Headline-nya mencolok dengan warna merah: VONIS DIJATUHKAN: LIDYA HARYADI DIVONIS 8 TAHUN PENJARA.Aku melihat wajah Lidya di layar itu. Rambutnya yang dulu disanggul sempurna kini tampak kusam, uban mulai terlihat di pelipisnya. Wajahnya yang angkuh telah runtuh, digantikan oleh kerutan kelelahan dan kekalahan. Ia berjalan menunduk menghindari kamera, dikawal ketat oleh polisi. Tidak ada lag
Grand Ballroom Hotel Mulia berkilauan di bawah cahaya ribuan kristal chandelier. Ini adalah panggung yang dirancang Lidya Haryadi dengan sempurna: karpet merah tebal, rangkaian bunga lili putih yang megah, dan barisan kursi yang diduduki oleh para pemegang saham, direksi, keluarga Sastranegara, serta puluhan awak media.Di podium, Lidya berdiri tegak dalam balutan gaun sutra emas, tampak seperti ratu yang tak tersentuh. Di sampingnya, Bramantyo duduk dengan senyum kaku, sementara Renata duduk di barisan depan, tersenyum bangga sebagai calon nyonya besar.Dari balik pintu ganda di belakang ballroom, aku mengamati mereka melalui celah kecil. Jantungku berdetak tenang, setenang detak jam yang menghitung mundur kehancuran mereka."Siap?" tanya Dian di sampingku. Di belakang kami berdiri Pak Herman yang merapikan jas barunya dengan gugup, dan Pak Handoko—pria paruh baya dengan rahang tegas yang mirip sekali dengan almarhum ayah mertuaku."Ayo kita akhiri ini," jawabku.Di dalam, suara Lidy
satu bulan berlalu. Strategi "Keheningan" kami bekerja lebih efektif daripada yang kami bayangkan.Sementara pengacara Lidya sibuk menunda-nunda sidang perceraian dengan berbagai alasan prosedural—berharap aku kehabisan uang dan mental—aku justru sibuk di tempat lain. Aku tidak muncul di TV untuk menangis. Aku tidak membalas komentar nyinyir di media sosial. Aku menghilang dari radar gosip dan muncul kembali di radar yang sama sekali berbeda: radar arsitektur.Malam ini adalah soft opening Kafe Skena.Bangunan ruko tua yang dulu kumuh di Senopati itu kini telah bertransformasi. Fasad bata eksposnya dipertahankan, dipadukan dengan kaca frameless setinggi dua lantai yang memamerkan interior industrial yang hangat. Atap skylight yang bisa dibuka kini terbuka lebar, membiarkan udara malam Jakarta masuk, menyatu dengan aroma kopi arabika yang baru digiling.Dan di tengah ruangan, mezzanine baja ringan yang kurancang benar-benar tampak melayang, dipenuhi pengunjung yang terkagum-kagum."Jen
Kemarahanku sedingin baja.Aku berhasil mempertahankan ketenanganku di depan Reza. Kami menghabiskan satu jam berikutnya—yang terasa seperti selamanya—membahas detail teknis renovasi kafe. Aku memaksakan otakku untuk fokus pada denah, material, dan struktur baja ringan. Setiap kali bayangan foto pertunangan itu melintas di benakku—Bram yang tersenyum palsu, Renata yang menang, Lidya yang angkuh—aku menariknya kembali dengan paksa. Aku tidak akan memberi Lidya kepuasan dengan hancur di saat aku baru memulai langkah pertamaku.Aku tidak ingat bagaimana aku mengucapkan selamat tinggal pada Reza. Aku hanya ingat berjalan kaku menuju mobilku, buku sketsa dan pensil di tanganku terasa seperti timah yang berat. Begitu pintu mobil tertutup, aku tidak langsung menyalakan mesin. Aku duduk diam di dalam keheningan yang memekakkan, menatap setir.Ini bukan lagi perzinaan. Ini adalah eksekusi publik.Tanganku mulai gemetar, getaran kecil yang merambat dari jemariku ke lengan, lalu ke seluruh tubuh
Sesuai janjiku pada Reza, dua hari kemudian aku berada di Senopati. Bukan di restoran mewah, tapi di depan sebuah ruko tua berlantai dua yang tampak kumuh. Catnya mengelupas, jendelanya kotor, dan terasnya dipenuhi gulma. Ini adalah lokasi kafe "ikonik" yang dimaksud Reza. Mimpi buruk sekaligus kanvas yang sempurna.Aku menarik napas dalam-dalam, mencium aroma debu, cat lama, dan tanah basah. Anehnya, aku merasa hidup. Aku mengeluarkan meteran dari tasku, buku sketsaku, dan sebuah pensil. Selama lima tahun, tanganku hanya menyentuh layar tablet untuk mendesain paviliun atau merenovasi kamar tamu di istana Lidya. Ini adalah pekerjaan lapangan pertamaku yang sesungguhnya.Aku sedang mengukur lebar fasad depan, mencatat struktur bata ekspos yang tersembunyi di balik plester yang hancur, ketika sebuah suara familier terdengar dari belakangku."Kukira Nyonya Haryadi sudah lupa cara memegang meteran."Aku berbalik tanpa tersenyum. Reza Adhitama bersandar di mobil Jeep Rubicon-nya yang gagah
Di puncak Haryadi Tower, di dalam kantor CEO yang dilapisi panel kayu mahoni dan kaca, Bramantyo Haryadi menatap amplop cokelat besar di mejanya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Stempel dari firma hukum Dian terpampang jelas di sudut kiri atas.Ia membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.Beberapa lembar kertas ia keluarkan. Matanya memindai baris demi baris kalimat hukum yang kaku. Semakin ia membaca, semakin pucat wajahnya.*Perzinaan...**...dengan pihak ketiga bernama Renata Sastranegara...**...upaya penggelapan aset pernikahan...**...griya tawang di SCBD atas nama Lidya Haryadi...*"Sialan!" teriaknya, menyapu kertas-kertas itu dari mejanya. Gelas kristal di sudut meja ikut tersenggol dan jatuh ke lantai karpet tebal, isinya yang tersisa tumpah tanpa suara.Dia pikir Arini hanya pergi untuk "menenangkan diri". Dia pikir ini adalah pertengkaran suami-istri biasa yang akan selesai dengan permintaan maaf dan hadiah mahal. Dia tidak pernah menyangka Arini akan *berani* m







