Share

Dia Siapa, Pi?

10. Dia siapa pi?

Satriyo melajukan mobilnya pelan meninggalkan area parkir Rumah Sakit. Dia memutuskan pulang saja menjelang makan siang. Lagipula dia tidak terlalu kenal dengan teman Janice yang tengah terbaring sakit di Rumah Sakit. Lelaki itu pulang dengan membawa kenangan manis bersama Janice sepagi tadi, serta mencoba membuang pikiran buruk yang terus dia bawa karena Manda. Ya, masih jelas dalam ingatannya bagaimana wajah pucat dan berkeringat Manda saat tubuh atletisnya menindih tubuh sang istri. Belum juga mendekati puncak kenikmatan, wanita itu sudah menyerah. Tidak, tapi Satriyo yang memilih menyudahinya.

Saat melintasi area parkir khusus sepeda motor, mata Satriyo terpaku pada sepeda motor yang terparkir paling tepi, dekat jalan. Dia mengernyit, merasa mengenali sepeda motor sport dengan gaya dan cat unik itu. Satriyo berniat berhenti untuk memastikan, tapi saat dilihatnya pengendara lain sudah menunggu, dia urungkan niat.

Sesampainya di rumah, Satriyo mengerutkan kening melihat rumah yang sepi dan sedikit berantakkan. Tidak seperti biasanya yang terlihat rapi.

"Mi?"

Satriyo melangkah masuk, memanggil sang istri. Mendadak hatinya tidak enak. Bukankah tadi pagi dia masih lemah? Mungkinkah dia tengah sakit? Pikiran Satriyo berkelana. Hingga dia bergegas menuju kamar tidurnya bersama Manda. Lelaki itu mematung di depan pintu ketika mendapati ranjang itu kosong dengan selimut yang masih berantakkan. Matanya juga terpaku pada pecahan gelas di bawah meja. Apa yang terjadi, pikirnya.

"Iya, Pi?"

Dengan dada berdebar akhirnya teleponnya diangkat oleh Langit.

"Mami ke mana?"

"Di Rumah Sakit!"

"Mami sakit? Kalian di sana juga?"

"Iya."

Tanpa bertanya Rumah Sakit mana yang ditempati Manda, Satriyo segera keluar dan menuju Rumah Sakit yang beberapa saat lalu dia tinggalkan. Pikiran tentang motor yang dia kenali sudah cukup menjawab pertanyaan di mana sang istri dirawat.

***

"Kok papi tahu kita di Rumah Sakit ini?"

Satriyo yang baru saja membuka pintu terdiam mendengar pertanyaan Langit. Mereka saling tatap.

"Ehm, nanya!"

Satriyo lantas segera mendekati ranjang dan duduk di kursi yang diulurkan Pelangi. Dia langsung menggenggam jemari lemah Manda yang tengah tertidur.

"Kata dokter mami kecapekan"

Satriyo diam.

"Oh, ya, tadi papi ke sini, ya?"

Jantung Satriyo mendadak berdebar kencang. Dia menelan ludah. Wajahnya mendadak pias. Apalagi saat Pelangi menatap lekat padanya, seolah meminta jawaban secepatnya.

"Ehm, nggak, kok. Emang kapan?"

Satriyo menoleh ke arah Langit yang berdiri bersandar dinding.

"Tadi aku kayak liat mobil papi, kupikir papi ke sini."

Satriyo menelan ludah dan menghindari tatapan Langit yang seolah menghakimi.

Ketiganya lantas sama-sama diam. Hingga kemudian Langit pamit pada Satriyo untuk mengantar Pelangi pulang. Remaja itu memutuskan pulang untuk membereskan rumah yang belum tersentuh sapu sejak pagi. Dia juga harus menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan sang mami nanti malam. Lagipula sudah ada sang papi yang menemani maminya.

"Memangnya Abang liat papi di mana?" tanya Pelangi yang ternyata juga penasaran. Langit mendesah pelan dan menujuk area parkir.

"Mobilnya sih kayak mobil papi. Tapi Abang lupa sih nomor platnya."

"Yaelah, namanya mobil ya siapa tahu emang sama bentuknya, Bang."

"Iya, sih. Hehe."

Mereka lantas menuju sepeda motor di parkiran. Saat itulah Langit melihat seseorang yang dia kenal.

"Dia ...."

Pelangi mengikuti arah telunjuk Langit yang menujuk ke arah teras Rumah Sakit.

"Tadi dia yang naik mobil yang mirip punya papi."

Pelangi mengerutkan kening.

"Abang kenal dia?"

Langit menggeleng sembari mengenakan helm adiknya.

"Ehm, sok kenal abang mah kalau sama cewek cantik."

"Yee!"

Pelangi terkekeh ketika jitakan kecil mendarat di helmnya.

***

Satriyo menatap lekat wajah Manda yang masih tertidur. Wajah pucat, lelah, dan sedikit keriput di bagian bawah mata dan pipi. Wajah yang dulu menggemaskan kini perlahan hilang ditelan usia. Satriyo mengusap wajah. Seolah hendak memeriksa keadaan wajahnya juga, yang pasti juga dalam keadaan sama.

"Maafin aku, Manda," gumamnya pelan. Sangat pelan.

Bayangan tentang masa muda hingga pernikahan mereka seolah berputar pelan. Semakin cepat hingga kemudian vonis mandul dari dokter nyaris meruntuhkan rumah tangga mereka. Manda divonis mandul dengan kanker rahim yang harus diangkat. Satriyo menyerah? Tidak, justru Manda yang menyerah.

Tidak ingin berlarut dalam kesedihan, Satriyo memilih mengadopsi dua orang anak sekaligus setelah Manda menjalani operasi. Gagah Langit Nawaskar Satriyo yang berusia tujuh tahun dan Kilau Pelangi Princhesa Satriyo yang berusia satu tahun resmi menjadi anak mereka sejak saat itu. Kedua kakak beradik kandung yang ditinggal orang tuanya begitu saja di panti asuhan itu langsung menjadi penyemangat hidup Manda yang sudah nyaris sekarat.

Kehidupan Rumah Tangga mereka tampak sempurna di tahun-tahun berikutnya. Satriyo dengan cepat naik jabatan di kampus dan disegani, sementara Manda semakin sehat dan mencintai bisnis kuliner kecil-kecilan. Mereka sangat bahagia dan sempurna. Hingga tiba-tiba Manda sakit dan divonis komplikasi. Diabetes melitus berat, magh kronis, lemah jantung, dan anemia parah membuat hidup mereka semrawut. Bisnis Manda mati, Langit dan Pelangi dipaksa mandiri sejak dini, dan tentu saja Satriyo yang tak terurus lagi. Entah kapan terakhir kali Satriyo merasa puas atas pelayanan sang istri.

Satriyo terkejut ketika ponselnya berdering. Dengan cepat dia menyingkir dari ranjang Manda dan menatap layar ponsel. Dia menoleh ke arah Manda sekilas saat membaca nama yang terpampang di layar.

"Iya."

"Manda sakit!"

"Pulang sendiri dulu, ya!"

"Jangan egois, dong. Kan sepagian aku udah sama kamu!"

"Iya."

Jantung Satriyo seakan berhenti ketika dia berbalik. Dilihatnya Manda yang sudah terbangun dan menatapnya. Wanita itu terdiam dan terus menatap Satriyo yang salah tingkah.

"Siapa, Mas?"

Satriyo panik. Entah apa yang akan dia katakan pada sang istri. Manda pasti mendengar semua pembicaraannya dengan Janice, begitu pikirnya.

"Ehm, anu ... temen, Mi. Temen kampus. Dia tadi ke ... anu ...."

Satriyo menggaruk kepala yang tidak gatal dan menatap sekitarnya. Entah mengapa dia merasa amat bersalah jika harus menatapa mata sang istri.

"Mau minum, Mi?"

Satriyo mendekati meja dan mengulurkan segelas air putih pada Manda yang langsung meminumnya.

***

Langit sampai di Rumah Sakit menjelang sore. Rencananya sehabis isya' dia dan papinya akan membawa sang mami pulang. Lelaki gondrong itu sampai di parkiran motor ketika area itu sepi. Matanya berkeliling memperhatikan sekitar. Lantas mencebik saat melihat mobil sang papi terparkir tak jauh dari motornya.

"Jangan egois, dong. Dia masih istriku!"

"Sampai kapan kita terus begini, hah?"

"Tolong, kamu ngertiin aku!"

Samar-samar suara keributan kecil itu terdengar di telinga Langit. Lelaki itu mengerutkan kening.

"Please, jangan be—"

Suara itu seolah terpotong ketika Langit dan pemilik suara itu bersitatap. Keduanya mematung dan terdiam. Sementara wanita yang berjalan di depan juga sedikit terkejut. Ketiganya saling tatap.

Sudut lorong Rumah Sakit arah parkiran menjelang maghrib seolah menjadi saksi pertemuan yang tidak disangka. Satriyo yang tengah berdebat dan ribut dengan Janice bertemu Langit di tempat itu. Ketiganya terdiam. Tidak tahu harus bertanya atau interogasi dari mana. Menatap penuh debar pada Langit yang kini menatap keduanya dengan tajam. Seolah menguliti aib dan kesalahan mereka.

....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status