Share

Memangnya Salah Mencintai Suami Orang?

"Janice?" panggil Clara—sahabat wanita seksi itu—dari teras rumah. Pemilik rumah yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu segera membukakan pintu.

Clara masuk, mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah karena kehujanan. Gadis 23 tahun itu langsung menarik sang sahabat untuk kembali duduk dan menatapnya dengan lekat.

"Kamu beneran pacaran sama Pak Satriyo?"

Janice mengerutkan kening. "Apa, sih?"

"Pak Satriyo dosen Bahasa Indonesia kita itu, lho. Kamu pacaran sama dia?" tanya Clara antusias. Janice hanya tertawa kecil. "Jawab, Nice!"

"Kamu tahu darimana?" Janice balik bertanya. Dia bangkit dan menuju dapur, mengambil minum. Tak sabar dan tak puas hanya mendengar, Clara membuntutinya.

"Jadi ... beneran?"

Janice mengerling dan tersenyum. "Kasih tahu nggak, ya?"

"JANICE!" bentak Clara mulai emosi. Tanpa menunggu segelas air dari Janice, Clara sudah meneguk air dari teko di sampingnya.

"Kok bisa, sih?"

"Apanya?" Janice mengulurkam segelas air pada Clara yang langsung diletakkan di sampingnya.

"Dia itu tua, Nice!"

"Emang!"

"Udah punya bini!"

"Emang!"

"Anaknya udah gede-gede!"

"Emang!"

"Anak pertamanya aja sebaya kamu!"

"Emang!"

"JANICE!"

"Hahaha ...."

Janice lantas menarik Clara dan mengajaknya duduk. Wanita 23 tahun itu mengikat rambut sepinggangnya asal-asalan. Meski tanpa make-up wanita blasteran Rusia-Indo itu terlihat cantik.

"Gini, ya, cinta itu kan nggak mandang apa pun. Kalau udah cinta, ya cinta. Gitu!"

"Ya tapi liat-liat dong, Nice. Nggak laki orang juga kamu embat!"

"Eh, dia juga mau, kok!"

"Ya maulah! Mana ada cowok nolak kamu!"

Janice tersipu.

Ya, siapa yang tidak tertarik dengan wanita pemilik sejuta pesona—begitu julukannya—seperti Janice. Cantik alami, tinggi, langsing bak model, dan ramah. Selalu berpakaian seksi dan sedikit terbuka menjadi daya tarik lebih mahasisiwi semester akhir di sebuah Universitas ternama itu. Belum lagi profesinya sebagai desainer muda dan memiliki butik membuat lelaki manapun akan memikirkam segala cara untuk mendekatinya.

"Kalau kelaurganya tahu gimana coba?"

"Ya bagus, dong!"

Clara mendelik. "Aku cuma nggak mau sahabat aku ini kena masalah serius. Dicap pelakor itu nggak enak!"

"Yeee, siapa yang pelakor?"

"Lha kamu, mencintai suami orang!"

"Emang salah mencintai suami orang?"

Clara terdiam.

"Nggak, kan? Yang salah itu kalau kita merebutnya!"

"Ya kamu—"

"Sstt! Aku nggak merebut Mas Satriyo, ya. Kami saling cinta. Kalaupum kami bersatu, menikah ... itu karena keinginan kami berdua!"

"Au ah!"

Janice terkekeh. Dipeluknya sang sahabat sejak kuliahnya itu. Semenjak menjalin hubungan dengan Satriyo, Janice memang jarang bertemu Clara. Clara yang memilih bekerja di kafe sang ayah tidak punya cukup waktu untuk menemuinya.

"Kamu udah kenal bininya?" tanya Clara yang merasa masih penasaran. Janice menggeleng.

"Tapi aku tahu semua tentang keluarganya."

"Oh, ya?"

Janice mengangguk. "Bininya sakit-sakitan. Komplikasi gitu lah. Makanya Mas Satriyo bosen dan ...."

"Gila! Lelaki macam apa dia? Istri sakit malah diselingkuhin!" rutuk Clara geregetan. Janice tertawa.

"Yee, bukan salah Mas Satriyo juga kali! Bininya itu ... gimana, ya? Ehm ... dia itu sakit tapi nggak parah-parah amat. Dia cuma nggak bisa—"

"Nggak bisa ngelayani di ranjang? Gila kuadrat itu namanya!"

Janice hanya tertawa.

"Sebagai sahabat aku nggak mau kamu kenapa-napa, Nice. Apa yang kamu lakukan ini salah!"

"Oh, ya?"

"Suatu saat kamu pasti dapet karmanya! Kamu liat aja, dia ninggalin bininya demi kamu dan ... bisa aja suatu saat kamu yang ditinggalin!"

Janice terdiam. Dia menatap sang sahabat dengan lekat. "Peduli banget kamu sama kesalahanku?"

Clara mengerutkan kening.

"Kenapa kamu cuma peduli sama kesalahanku?"

"Nice, bukan gitu, maksudku—"

"Kamu mau cap aku pelakor? Kamu malu punya sahabat pelakor? Kamu nggak mau temenan sama aku lagi?"

"Nice ...."

"Kamu tahu? AKU TIDAK PEDULI!"

Janice lantas bangkit dan berdiri di samping jendela dapur yang menghadap perumahan di sekitar.

"Dulu, saat aku terpuruk, kenapa kamu tidak sepeduli ini?"

Clara terdiam.

"Kenapa? Kamu sibuk kerja?"

Masih jelas dalma ingatan Clara, setahun lalu, Janice datang ke kafenya dan menangis.

"Apa yang kamu lakukan ketika aku bilang Dean selingkuh dan mencuri uangku?"

Janice kembali duduk di depan Clara. Mereka saling tatap. "Kamu tidak peduli, kan?" Mata bening Janice mulai berkaca-kaca.

"Nice, waktu itu aku—"

"Sibuk kerja? Nggak enak sama bokap? Mau profesional? Iya, aku tahu, kok!"

Janice berpaling. Dia membiarkan air matanya mengalir pelan menelusuri pipi sehalus porselennya.

"Nice?" panggil Clara pelan. Dia mencoba meraih jemari Janice, tapi Janice dengan cepat menepisnya.

"Keluar!" ucap Janice pelan, tapi terdengar jelas di telinganya.

"Nice, aku—"

"KELUAR!"

Clara tersentak. Janice berteriak dan menujuk pintu kamarnya. Air matanya semakin deras.

Perlahan Clara berjalan menuju pintu dan keluar. Saat di teras, langkahnya terhenti ketika seorang lelaki yang dia kenal turun dari mobil.

"Pak Satriyo?" gumamnya.

Lelaki yang dikenalnya sebagai Pak Satriyo Singgih itu terlihat salah tingkah ketika melihatnya. Dia menggaruk kepala yang tidak gatal dan ragu untuk menegur.

"Mas?"

Clara menoleh. Janice keluar dan langsung menghambur ke dalam pelukan Satriyo. Clara hanya terdiam menyaksikan sang sahabat yang menangis terisak di pelukan lelaki 50 tahun itu.

Merasa tidak enak, tanpa pamit, Clara akhinya dengan cepat menuju sepeda motornya dan langsung meninggalkan rumah Janice.

"Dia tahu tentang kita?" tanya Satriyo ketika keduanya sudah ada di rumah. Janice yang masih ada dalam pelukannya, mengangguk. "Aduh!"

Janice mendongak. "Kenap? Mas takut? Mas malu?"

"Eh, bukan gitu, Sayang."

Janice melepas pelukannya. "Kita harus segera menikah!" ucapnya pelan. Satriyo mengerutkan kening. "Aku nggak mau kita cuma begini, Mas!"

Satriyo terdiam. Lagi, tatapan matanya tertuju pada benda yang sudah hampir 25 tahun ini melingkar di jari manisnya. Benda yang juga melingkar di jari Manda. Wanita yang akhir-akhir ini kesehatannya semakin memburuk. Anemia parah, kadar gula tinggi, dan magh kronis membuat wanita berhati lembut itu sering mengunjungi Rumah Sakit.

"Kenapa? Mas masih sayang sama Mbak Manda?"

Satriyo menatap Janice yang kembali terisak. Dia meraih jemari lentiknya dan mengecupnya perlahan. "Semua ini nggak semudah yang kita kira, Sayang."

"Kenapa lagi? Inget anak-anak?" Janice menepis tangan hangat Satriyo yang menggenggamnya.

Satriyo menghela napas panjang. Seolah diingatkan, kini pikirannya tertuju pada si sulung yang juga semester akhir, sama seperti Janice dan juga si bungsu yang tengah menghadapi ujian kelulusan SMA-nya. Pikiran lelaki bertubuh atletis itu mendadak penuh.

"Mas nggak kasihan sama aku? Semuanya udah kukasih ke kamu, Mas," ucap Janice dengan suara bergetar. "Aku bahkan nggak peduli disebut pelakor atau orang jahat! Itu karena aku sayang kamu, Mas ...."

Satriyo merengkuh tubuh Janice dalam pelukannya. Wanita itu terisak.

"Akan Mas pikirkan, kamu sabar, ya!"

Hanya itu. Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Satriyo untuk membuat Janice tenang. Tenang? Tidak! Nyatanya itu justru semakin membuat Janice resah. Membuatnya semakin sadar jika yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan.

....

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status