Seperti halnya saat aku menikah dengan Mas Nata karena tak punya pilihan, begitupun dengan perpisahan ini, aku tak punya pilihan. Tepatnya Mas Nata tak memberiku pilihan.Semalaman aku dan Mas Nata sama-sama menangis. Menangis dalam diam. Sebab, setelah keputusan perpisahan sudah diambil, Mas Nata tak lagi bicara denganku.Aku meringkuk di atas ranjang, menangis sepanjang malam. Sedangkan Mas Nata di sofa sama menangisnya.Sempat bertanya-tanya, apa yang membuat pria itu menangis. Perpisahan inikah? Atau apa? Ingin bertanya tapi keadaan sudah tak sama lagi.Pagi sekitar jam 5, Mas Nata mengantarku untuk kembali ke rumah orang tuaku. Si kembar dititipkan ke Anita—adiknya yang masih kuliah. Diantar sekolah dan dijemput olehnya lalu dipulangkan ke rumah Mama Sarah—orang tua Mas Nata.Iya, aku pergi dari rumah saat si kembar belum terbangun. Sengaja aku memintanya, sebab tak tahan untuk berpisah dari mereka dan menampakkan air mata kesedihan ini. Lalu menciptakan tanda tanya di pikiran k
"Kenapa kau harus kehilangan suami sebaik Nata, Nye?"Saat aku kembali masuk, Bapak dan Ibu menyidangku. Sedangkan Paman sudah pulang.Aku hanya menunduk dalam-dalam. Tak tahu mau jawab apa. Aku saja terpukul atas kehilangan Mas Nata."Katakan, Nye. Tidak mungkin suami sesempurna Nata akan menceraikanmu tanpa sebab. Dia pria cerdas dan sopan. Aku tahu pasti kamu yang berbuat kesalahan tidak mungkin dia. Katakan sekarang! Kesalahan apa yang kau perbuat hingga pria baik itu membuangmu?" Kali ini Ibu berdiri. Menatapku dengan deraian air mata.Sedangkan Bapak hanya diam saja. Namun aku tahu, diamnya Bapak bukan berarti ia tak marah. Oleh karena ia marah makanya diam."Anye, katakan!" bentak Ibu. Masih menanyaka kesalahanku.Keluargaku memang tak ada yang tahu, alasan kenapa aku bisa dinikahi pria yang banyak memiliki kelebihan seperti Mas Nata.Aku memang tak memberi tahu bahwa aku merebutnya dari Anes. Lalu dengan apa aku harus menjawab pertanyaan Ibu?Bilang kalau Mas Nata punya orang
"Kenapa Mas Nata peduli dengan luka ini?" tanyaku, sontak Mas Nata tercengang. Seolah menyadari sesuatu.Kenapa, Mas? Kenapa kau seolah peduli dengan luka di wajahku, namun tak peduli dengan luka yang di hatiku?"Mas khawatir?" tanyaku lagi."T-tidak. Maksudku iya.""Kenapa?" tanyaku lagi.Mas Nata tak segera menjawab, lalu selanjutnya menghela nafas. "Karena aku saja tak pernah menyentuhmu untuk menyakiti apalagi melukai. Makanya, meskipun aku sudah tak lagi bersamamu, aku tak terima," ucapnya sambil membuang pandangan ke arah lain.Aku tersenyum seraya menunduk. Ada rasa kecewa dengan jawabannya. Tadi sempat berpikir ia tak terima sebab sayang, tak tahunya hanya sebatas peduli tak lebih. Itu pun karena ia sendiri memang tak pernah menyakitiku. Secara fisik, tidak dengan batin.Ya, Mas Nata sudah menyakitiku dengan membuangku setelah bertemu kembali dengan Anes. Sekalipun aku salah, tetap saja aku merasa tersakiti di sini. Dibuang begitu saja.Aku segera menguasai keadaan. Tak ingin
Dua minggu dari perpisahanku dengan Mas Nata, akta cerai keluar. Air mataku menetes saat membacanya. Ternyata aku dan Mas Nata sudah benar-benar berpisah. Pilu hatiku menerima kenyataan ini."Semoga kau bahagia dengan cintamu, Mas …." Aku mengusap air mata tak ingin berlarut dalam kesedihan ini. Sebenarnya aku tak yakin, akan bisa hidup tenang setelah perpisahan ini. Sudah terbiasa hidup dengan Mas Nata dan keseharian juga kebiasaannya, kini aku seolah memulai hidup baru. Kulalui hari-hariku dengan penuh kepiluan, entah berapa lama aku akan menanggung duka nestapa ini. Kapan aku akan terbebas dari rasa kehilangan. Kehilangan Mas Nata, rasa kenyamanan yang kadang tak aku syukurin, sebab selalu merasa kekurangan. Menuntut agar pria itu seperti apa yang aku inginkan.Satu bulan terlewati, dua bahkan empat bulan sudah berlalu, namun duka yang kurasakan masih enggan enyah dari hati dan pikiran, Mas Nata beserta kenangannya masih lekat dalam ingatan.Bahkan cintaku pada pria penuh kelem
"Share Loc, Mas," kataku lirih dan dalam, menahan gejolak hati. "Baik." Setelah mengucapkan salam, panggilan pun terputus. Dan lokasih sudah Mas Nata kirim.Sebenarnya ragu juga tak yakin aku bisa kuat setelah bertemu dan melihat keberadaan Mas Nata dengan Anes. Tak dapat kujamin aku bisa menahan air mataku karena kecemburuanku nanti.Andai ini tak menyangkut tentang Wulan apalagi sakit, tentu aku tak akan datang. Anggap aku berkorban perasaan demi anakku.Aku pun menyuruh supir taksi memutar arah, menuju lokasi yang dikirim Mas Nata.Setelah hampir satu jam dalam perjalanan, aku tiba di hotel 'Merpati'. Hotel dekat bandara.Saat tiba di lobby hotel, aku menelpon Mas Nata, memintanya jemput untuk ke kamar di mana ada Wulan di sana.Aku meremas tanganku yang terasa dingin. Siap-siap bertemu Mas Nata dan istrinya. Dalam hati aku berdoa semoga nanti bisa kuat. Aku yakin aku bisa.Tinggal fokus saja ke Wulan, tanpa mempedulikan Mas Nata dan istrinya.Tak berapa lama kemudian, aku meliha
"Maaf, Nye!" kata Mas Nata yang mungkin menyadari ada yang salah saat memuji tadi. Dia berdiri dari ranjang dan melangkah keluar.Terlambat, Mas. Aku sudah terlanjur baper. Dan kau tahu, ini yang aku rindukan sedari dulu darimu.Seperginya Mas Nata dari kamar, aku segera berdiri dan berkaca di cermin besar yang ada di samping ranjang.Kutatap pantulan wajah di cermin. Dulu sebelum menikah, aku memang berhijab dan aku lepas setelah menikah dengan Mas Nata.Tujuanku melepas jilbab sebab ingin mempercantik diri untuk Mas Nata. "Suami kamu itu bukan pria biasa, Nye. Selain tajir, dia tampan dan dermawan. Tak akan lepas dari lirikan jelalatan para wanita yang jauh lebih cantik dari kamu. Makanya, jika suamimu tak ingin direbut pelakor, jerat dia, puasin dan manjakan matanya dengan kecantikan kamu hingga ia tak punya gairah untuk melirik apalagi tertarik dengan pesona wanita lain."Itulah nasehat Ibu kala itu agar aku mempercantik diri, memanjakan diri agar tampil menarik di mata Mas Nat
Selama dalam perjalanan pulang, aku terus kepikiran dengan alasan Mas Nata yang diberikan ke Mama. Kenapa Mas Nata harus berbohong mengatakan kalau aku tidak mencintainya, tapi aku mencintai orang lain. Dan selama ini Mas Nata hanya punya ragaku tidak dengan hatiku.Aku lebih suka Mas Nata mengatakan alasan yang sebenarnya daripada bilang ke Mama aku mencintai pria lain. Padahal tak ada satupun pria di hati ini selain dirinya.Kuambil ponsel dalam tas, beberapa kali mengetik pesan untuk Mas Nata, namun beberapa kali juga aku menghapusnya.Tadinya ingin mengirim pesan, menanyakan alasannya kenapa ia harus berbohong pada Mama. Kenapa tidak menjawab sejujurnya saja.Dialah yang sebenarnya tak mencintaiku, dia pula yang mencinta wanita lain. Selama ini aku hanya punya raganya, tidak dengan hatinya. Lalu kenapa ia membalikkan fakta? Apa mungkin ada hal lain yang tak kuketahui?Ah, begitu banyak hal yang harus dan terus membuatku untuk berpikir.Biarlah … apapun alasan yang Mas Nata beri
"Kak, ini apa maksudnya?" tanyaku tak mengerti. Kak Bian berdiri mensejajariku."Kamu menelpon dan memaksaku untuk datang ke sini hanya untuk—""Melamarmu." Dia memotong kata-kataku. Tatapannya begitu lekat."Ini tidak lucu!" Aku segera membalikkan badan hendak pergi."Nye, tunggu dulu!" Kak Bian menahan lenganku namun segera aku tepis. "Kenapa, sih, Nye?" tanyanya dengan mimik wajah yang sudah berubah."Apa?""Seharusnya aku yang bertanya apa? Apa yang menghalangimu untuk menerima perasaanku. Apa? Kau sekarang sudah bukan milik siapapun. Kau dan Nata sudah berpisah.""Justru itu, Kak!" sahutku cepat. Kak Bian mengernyitkan keningnya."Lihat statusku. Aku sudah bukan bandingmu lagi. Carilah wanita lain, yang belum pernah menikah.""Apa bedanya wanita yang belum menikah dengan yang sudah menikah?""Ibarat barang aku sudah bekas," Kataku cepat. Sejenak Kak Bian tercengang, namun selanjutnya malah tertawa kecil."Kamu pikir dengan aku menikahi wanita yang belum menikah sudah pasti bukan