BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
“Aku akan menikah lagi, Van,” ucap Mas Hanif saat kami tengah duduk di ruang keluarga sore ini. Aku terkejut bukan main saat mendengarnya. Tak ada hujan dan badai, tiba-tiba suamiku ngelantur begini?“Kenapa, Mas?” tanyaku.Sebenarnya, aku sudah merasakan keanehan yang terjadi pada diri Mas Hanif. Entah sejak kapan, tapi belum lama ini ia jadi sering membawa ponselnya ikut serta ke kamar mandi. Awalnya aku hanya diam, mungkin ia ingin bermain game saat di dalam sana. Namun semakin kuperhatikan, rasanya semakin aneh.“Mas, kenapa? Apa karena aku sudah tak cantik lagi? Apa karena aku sudah tua, atau karena cinta pertamamu datang?” tanyaku.“Maksudmu apa, Van?” “Sebenarnya aku pernah melihatmu bersama Lia, Mas. Jangan menyangkal, karena aku melihat kalian bergandeng tangan mesra sambil tertawa lebar saat masuk ke dalam mobil,” ucapku tenang.Mas Hanif terdiam. Entah, mungkin dia tak menyangka jika aku akan begini. Apakah ia mengharapkan aku yang menangis tersedu-sedu? Oh tidak, Mas! Kha
“Apa maksud ucapanmu itu, Lia?” tanyaku sambil keluar dari persembunyianku.“Vania.” Mas Hanif dan Lia terperangah. Yah, sudah pasti mereka tak menyangka jika aku berada di sini. Mas Hanif langsung menghampiriku dan mencoba meraih tangan. Tadinya, aku ingin membicarakan hal ini pada mereka, namun mendengar omong kosong ini membuatku naik darah juga. Kuampiri Lia yang seakan gugup.“Jelaskan padaku, apa maksudmu?” “Emm … Anu ….”“Nggak usah anu-anu. Jelaskan!"“Sudah lah, Van, Lia hanya salah bicara,” bela Mas Hanif yang membuatku semakin panas.“Kamu membela pelakor ini, Mas?”“Pelakor? Siapa yang pelakor? Bukankah orang ketiga di sini adalah kamu?” sentak Lia.“Heh, punya otak masih terpasang rapi itu dipake! Jelas yang istri sah-nya di sini adalah aku!” ucapku.“Tapi Mas Hanif hanya mencintaiku,” ucap Lia penuh percaya diri.“Lia, sebaiknya kamu pulang dulu. Ini bukan waktunya kalian bertengkar. Bagaimana kalau Ibu nanti dengar dan malah ke sini?”Lia membeliakkan matanya. Mungkin
“Hotel?” tanyaku dengan mata membeliak. “Iya, Mbak. Sebenarnya aku ingin membicarakan hal ini dari kemarin tapi mau kirim pesan takut Mas Hanif yang membacanya. Bisa-bisa kami perang nantinya.”“Sebenarnya Mbak sudah tahu semuanya, Jri. Tadi siang pun Lia datang ke rumah.”“Apa? Berani banget. Dia datang sendiri atau sama Mas Hanif?”“Sama Mas Hanif. Mbak juga kaget banget. Untung Ibu dan anak-anak nggak tahu. Coba kalau lihat, pasti kemarin ribut. Apalagi Ibu, bukankah dulu Ibu nggak suka sama Lia?”“Iya. Mbak nggak tahu aja, dulu sewaktu Mas Hanif pernah bikin Ibu drop karena memperhatikan Mas Hanif pasca putus dari Mbak Lia.” Aku diam saja, lagi pula itu bukan urusanku. Kenapa pula Fajri menceritakannya? Hendak membuatku cemburu? Maaf saja, sekarang bukan lagi urusan hati, aku hanya mempertahankan rumah tangga ini demi masa depan anakku. Aku tak ingin mereka hidup terpisah dari papanya dan hidup kekurangan. Apalagi aku bisa melihat bagaimana sifat asli Lia. Ia pasti ingin menguas
Anna turun dengan kepala ditekuk, aku tahu pasti sudah terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Aku menghampiri Mas Hanif yang tengah tersenyum lebar ke araku, sungguh bagai ia tengah menantangku.“kamu gila? Ngapain ngajak dia?” tanyaku.“Bukankah kamu sendiri yang menantangku? Sekarang aku bawa dia, kenapa kamu protes?” tanyanya.“Mas, tapi nggak harus sama Anna juga. Kamu nggak mikirin perasaan dia? Jangan mengada-ada deh, Mas.”Mas Hanif hanya mengedikkan bahunya, lalu berjalan melewatiku. Sama sekali tak memikirkan bagaimana perasaan anaknya sendiri. “Anna butuh penjelasan dari Mama,” ucap Anna sambil berjalan masuk ke dalam rumah, lalu aku meminta Aldi untuk menjelaskan alakadarnya dulu pada Anna.Aku pun berjalan ke rumah Ibu, tepat ketika aku hendak memanggil nama suamiku itu, Ibu membukakan pintu. Aku bisa melihat raut terkejut di wajah Ibu, namun hanya sebentar saja karena setelahnya beliau tersenyum. “Duh, menantuku satu-satunya, kebetulan sekali, Mbok Nah masak cumi. Kamu su
Belum usai rasa terkejutku mendengar pernyataan Mas Hanif kemarin, siang ini lelaki itu datang membawa gundiknya. Bahkan gundiknya membawa dua buah koper dan juga beberapa barang. "Ngapain kamu bawa dia ke sini?" sengitku, seraya melipat tangan di depan dada. Melihat wajah Lia benar-benar membuatku muak, ia tampak jumawa karena berhasil membuat Mas Hanif jatuh kepelukannya lagi. "Lia akan tinggal di sini, anggap saja sebelum kami benar-benar menikah kita training hidup satu atap bersama," ucap Mas Hanif dengan entengnya. Entah di mana lelaki itu meletakkan otaknya, sehingga begitu bodoh demi menuruti keinginan gundiknya.Lia mengibaskan rambut gulalinya, cih, apa dia merasa cantik dengan warna rambut seperti itu? "Aku tak mengizinkan wanita itu tinggal di sini!" Lia mencebik, "sebagai istri seharusnya kamu menuruti perintah suami!" Aku memutar bola mata jengah. "Benar apa kata Lia, Van. Kamu harus nurut apapun perintah Mas, di sini yang jadi kepala rumah tangga itu Mas, jadi k
Esok pagi. "Anna!" Mas Hanif tampak berusaha mengajak bicara putrinya, tapi tampaknya Anna masih enggan berbicara dengan sang Ayah. Wajar saja, gadisku itu pasti sangat terluka mengetahui cinta pertamanya tersebut membagi raga dan hati pada wanita lain. Anna mencium punggung tanganku, lalu berangkat ke sekolah tanpa berpamitan pada Mas Hanif. Anak keduaku itu memang sedikit keras kepala dan egois, jika ia sudah benci maka jangan harap bisa melihat senyum manis tercetak diwajahnya. "Tunggu emosinya reda dulu, Mas. Anna itu sedang patah hati, mengetahui pengkhianatanmu!" ucapku seraya merapikan meja makan. Sementara Lia, masih bergulung di dalam selimut. Sepertinya Mas Hanif belum menyadari jika selingkuhannya itu tak sarapan bersama. Lelaki itu, sejak tadi berusaha menarik perhatian anak-anaknya. "Apa kamu enggak bisa memberi pengertian pada anak-anak, Van?" ucapnya seraya menatapku tajam. Aku mengangkat sebelah alisku. Apa maksudnya? Apa ia ingin meminta anak-anak memaklumi pers