Anna turun dengan kepala ditekuk, aku tahu pasti sudah terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Aku menghampiri Mas Hanif yang tengah tersenyum lebar ke araku, sungguh bagai ia tengah menantangku.
“kamu gila? Ngapain ngajak dia?” tanyaku.
“Bukankah kamu sendiri yang menantangku? Sekarang aku bawa dia, kenapa kamu protes?” tanyanya.
“Mas, tapi nggak harus sama Anna juga. Kamu nggak mikirin perasaan dia? Jangan mengada-ada deh, Mas.”
Mas Hanif hanya mengedikkan bahunya, lalu berjalan melewatiku. Sama sekali tak memikirkan bagaimana perasaan anaknya sendiri.
“Anna butuh penjelasan dari Mama,” ucap Anna sambil berjalan masuk ke dalam rumah, lalu aku meminta Aldi untuk menjelaskan alakadarnya dulu pada Anna.
Aku pun berjalan ke rumah Ibu, tepat ketika aku hendak memanggil nama suamiku itu, Ibu membukakan pintu. Aku bisa melihat raut terkejut di wajah Ibu, namun hanya sebentar saja karena setelahnya beliau tersenyum.
“Duh, menantuku satu-satunya, kebetulan sekali, Mbok Nah masak cumi. Kamu suka itu, kan? Ayo kita makan bareng.”
Tanpa memedulikan keberadaan Mas Hanif dan juga tamunya itu, Ibu membawaku masuk. Begitu hendak sampai di meja makan, terdengar suara Mas Hanif.
“Bu, ada tamu loh ini.”
“Ya terus?”
“Nggak diajak makan sekalian?” tanya Mas Hanif.
“Ya sudah ayo.”
Aku sampai menoleh ke arah Ibu ketika beliau akirnya menyetujui permintaan Mas Hanif untuk makan bersama. Meski dongkol, akhirnya kami makan juga. Ibu mengambilkan lauk untukku, berulang kali beliau menyebutku sebagai menantunya. Ya emang benar, sih, tapi Ibu tak pernah sseperti ini. Apa karena ada Lia?
“Mbok Nah, tolong bereskan, ya, menantu saya sudah selesai makan.”
Padahal terlihat jelas jika ia belum selesai dengan makanannya. Bagus, Ibu berasa di pihak yang sama denganku. Setidaknya aku tak merasa hanya bertiga dengan nak-anak saja, tapi ada Ibu yang siap siaga untukku.
“Bu, Lia masih makan, loh.”
“Nggak papa, Mas. Aku sudah selesai, kok. Sudah kenyang juga.”
Ibu hanya meliriknya, lalu membawaku menuju ruang tamu. Jujur saja, aku terus kepikiran pada Anna. Apakah Aldi bisa menjelaskan pada adiknya itu?
“Tenang, Van. Ibu sudah dengar Lia mau ke sini, dan Ibu takkan membiarkan dia seenaknya masuk ke rumah tanggamu. Lagian si Hanif kok bodoh banget, mau-maunya kembali sama Lia. Apa dia nggak mikirin kamu?”“Boro-boro mikirin Vania, Bu, anak-anak aja nggak dipikirin. Tadi Mas Hanif datang sama Anna juga.”
“Apa? Jadi tadi mereka bertiga datangnya?”
Aku mengangguk.
“Gendeng emang si Hanif. Sudah hilang kewarasannya itu.”
Tak lama kemudian, Mas Hanif datang menghampiri kami bersama gundiknya itu.
“Bu, kedatangan kami ke sini, mau meminta restu Ibu.”
“Restu? Restu apa? Wong kamu sudah menikah. Seharusnya Fajri yang datang minta restu, bukan kamu.”
Untuk sesaat Mas Hanif kehilangan kata-katanya. Aku tersenyum miring, sekarang mau apa kamu, Mas? Aku pun pamit karena merasa sudah taka da gunanya lagi aku ada d sini. Sampai rumah, kucari Anna. Benar saja, ia mengurung dirinya di kamar bahkan tanpa mendengarkan penjelasan dari kakaknya.
“Sayang, ini Mama, tolong buka, Nak.”
“Nggak mau. Mama, Papa, dan Kakak semuanya jahat.”
Namun setelah beberapa kali aku bujuk, akhirnya ia mau membukakan pintu. Tampak matanya memerah, mungkin karena tengah menangis.
“Sayang, maafkan Mama ya, Nak. Maafkan papamu.”
“Kenapa, Ma? Kenapa Papa tega melakukan hal itu kepada kita?”
“Sayang, tetap hormati papamu. Ini masalah kami, anak-anak tak boleh ikut campur, ya? Do’akan saja semoga Papa bisa kembali ke jalan yang benar bersama kita.”
“Aamiin.”
_Aku tak tahu kapan Lia pulang dan ada kejadian apa aja di rumah Ibu, tapi yang pasti Mas Hanif pulang ke rumah dengan wajah ditekuk. Sudah pasti usahanya untuk memina restu dari Ibu tak kecapaian. Aku mendekatinya yang sedang duduk di teras sambil melamun, persis seperti remaja yang patah hati karena tak mendapat restu untuk melanjutkan hubungannya dengan sang pacar.
Apakah aku tak cemburu? Tentu, cemburu. Aku hanya sedang mencoba berusaha terlihat kuat di depannya. Agar ia tak bisa semena-mena padaku karena menganggap aku terlalu bucin padanya. Salahku, kenapa tak cari dulu dengan akar permasalahan perjodohan ini waktu itu?
“Kenapa? Nggak disetujui sama Ibu, ya?”
“Senang kan, kamu?” tanyanya dengan wajah jutek.
“Tentu. Istri mana yang tak senang di saat ada orang yang berpihak padanya ketika sang suami hendak mendua. Andai hukum di negeri ini sudah memperbolehkan wanita menikah lagi pun, akan kulakukan saat ini juga demi membalasmu. Ingat, Mas, aku sudah memiliki andil dalam kehidupanmu. Andai aku menolak perjodohan kita wakrtu itu, sudah pasti kamu akan kehilangan warisan, kan?”
Mas Hanif hanya diam saja, membuatku makin geregetan padanya. Kuambil napas dan mengeluarkannya secara perlahan.
“Kikan itu anakku, Van.”
Aku terdiam mendengar ucapan Mas Hanif. Kikan? Siapa itu?
“Aku menikahi Lia karena Kikan ingin mempunyai keluarga yang utuh.”
“Maksud kamu, dulu kamu dan Lia pernah .…”
Mas Hanif menundukkan kepalanya, sementara jantungku hampir saja berhenti berdetak. Allahu Rabbi … Apa ini? Aku berdiri, membuat Mas Hanif mendongak. Ada penyesalan di sana. Apakah ia keceplosan? Apakah ia tak sadar aku memang ada di sini? Apa dia pikir, aku ini hanya halusinasnya saja?
“Nggak, Van. Dengarkan penjelasanku dulu.”
Aku berjalan menuju kamar dan mengunci pintu. Kubiarkan Mas Hanif berada di luar. Sakit yang kurasa saat ini begitu pedih. Lebih pedih dari mendengar Mas Hanif ingin menikah lagi. Anak dari Lia? Pantas saja Mas Hanif bilang kalau anak-anak nantinya butuh teman. Tapi, aku tak pernah kepikiran sampai sana. Selain ini, adakah rahasia lainnya ynag membuatku lebih terkejut dari ini?
_Belum usai rasa terkejutku mendengar pernyataan Mas Hanif kemarin, siang ini lelaki itu datang membawa gundiknya. Bahkan gundiknya membawa dua buah koper dan juga beberapa barang. "Ngapain kamu bawa dia ke sini?" sengitku, seraya melipat tangan di depan dada. Melihat wajah Lia benar-benar membuatku muak, ia tampak jumawa karena berhasil membuat Mas Hanif jatuh kepelukannya lagi. "Lia akan tinggal di sini, anggap saja sebelum kami benar-benar menikah kita training hidup satu atap bersama," ucap Mas Hanif dengan entengnya. Entah di mana lelaki itu meletakkan otaknya, sehingga begitu bodoh demi menuruti keinginan gundiknya.Lia mengibaskan rambut gulalinya, cih, apa dia merasa cantik dengan warna rambut seperti itu? "Aku tak mengizinkan wanita itu tinggal di sini!" Lia mencebik, "sebagai istri seharusnya kamu menuruti perintah suami!" Aku memutar bola mata jengah. "Benar apa kata Lia, Van. Kamu harus nurut apapun perintah Mas, di sini yang jadi kepala rumah tangga itu Mas, jadi k
Esok pagi. "Anna!" Mas Hanif tampak berusaha mengajak bicara putrinya, tapi tampaknya Anna masih enggan berbicara dengan sang Ayah. Wajar saja, gadisku itu pasti sangat terluka mengetahui cinta pertamanya tersebut membagi raga dan hati pada wanita lain. Anna mencium punggung tanganku, lalu berangkat ke sekolah tanpa berpamitan pada Mas Hanif. Anak keduaku itu memang sedikit keras kepala dan egois, jika ia sudah benci maka jangan harap bisa melihat senyum manis tercetak diwajahnya. "Tunggu emosinya reda dulu, Mas. Anna itu sedang patah hati, mengetahui pengkhianatanmu!" ucapku seraya merapikan meja makan. Sementara Lia, masih bergulung di dalam selimut. Sepertinya Mas Hanif belum menyadari jika selingkuhannya itu tak sarapan bersama. Lelaki itu, sejak tadi berusaha menarik perhatian anak-anaknya. "Apa kamu enggak bisa memberi pengertian pada anak-anak, Van?" ucapnya seraya menatapku tajam. Aku mengangkat sebelah alisku. Apa maksudnya? Apa ia ingin meminta anak-anak memaklumi pers
"Ini pasti karena kamu enggak bisa mendidik anak!" hardik Mas Hanif.Jemariku mengepal, "Tahu apa kamu soal mendidik anak? Bukankah yang kamu tahu hanya kebahagiaan Kikan?""Kikan juga anakku, wajar aku ingin membahagiakan dia!" ketus Mas Hanif.Cih, lihat saja nanti Mas. Kamu akan menelan pil pahit, tentang siapa sebenarnya Lia dan anaknya itu?! Aku menatap punggung Mas Hanif yang menjauh, ia pergi ke belakang sepertinya menenangkan diri di teras belakang.Syukur-syukur jika ia menyadari kesalahannya sendiri.Sekilas aku mendengar perdebatan Lia dengan orang yang sedang ia telpon. Entah apa yang sedang dibahas wanita itu, aku yakin sesuatu yang sangat penting.Aku mengendikkan bahu, seraya melangkah ke kamar Ibu mengantarkan makanan untuk beliau. Sengaja malam ini aku tak masak malam ini, biar saja suamiku beserta gundiknya itu kelaparan.__"Lusa aniversarry kamu sama Hanif, 'kan Van?" tanya Ibu saat aku tengah menemani beliau makan di kamar.Aku menatap kalender, benar saja, lusa
“Btw, selamat ulang tahun pernikahan, ya, semoga djauhkan dari ular berbisa,” ucap Raisa yang membuatku mengerutan kening.“Maksudnya?” tanyaku.“Ah, adalah. Ntar gue cerita,” ucapnya lagi sambil menatap tajam Mas Hanif yang tengah berdiri di sampingku. Aku hanya mengangguk saja. Apakah Raisa tahu soal Lia? Mengingat dia adalah teman masa kecil Mas Hanif. Yah, bisa saja, kan? “Vania, sini!” panggil Ibu.Aku dan Mas Hanif berpamitan pada Raisa dan pacarnya, lalu menghampiri Ibu. Terlihat saudara Mas Hanif tengah berkumpul sembari menikmati kue dan minuman.“Selamat ya, Vania. Kamu makin hari, makin cantik saja. Beruntung Hanif punya istri seperti kamu. Kalau dia macam-macam, berarti dia bodoh!” ucap Tante Ria, adik almarhum ayah mertua. “Iya, bener. Mbak Yani ini, sering banget membanggakan kamu di hadapan kami. Bikin cemburu aja. Nemu di mana sih, Nif, istri kaya gini? mau lah, buat adikmu,” ucap Tante Sari, adik bungsu Ibu. Kami semua terkekeh. Tanpa aku bersusah payah, keluarga
Dua pengkhianat itu terdiam mendengar ucapan Wiyani -ibu Hanif-. Terlebih Hanif, ia tak mungkin membantah ucapan sang ibu, meskipun dirinya yakin bahwa Kikan adalah putri kandungnya bersama Lia. "Sudah, enggak usah kebanyakan mikir! Cepat antar Anna ke sekolah, ingat Hanif prioritas utamamu itu Vania dan anak-anak, bukan Lia dan anaknya!" ketus Wiyani seraya menatap sinis gundik putranya. Wiyani tak pernah menyangka, jika perempuan yang sangat ia benci itu kembali hadir dalam kehidupan putranya. Dan, parahnya Hanif tergoda dengan rayuan jalang itu. Lia menghentakkan kakinya dan berlalu meninggalkan ruang keluarga. Tentu saja, janda beranak satu itu kecewa karena Hanif tak mengeluarkan pembelaan sepatah katapun. Hanif menyentak napas kasar, lalu akhirnya menuruti permintaan Anna untuk mengantar gadis itu ke sekolah. Ketiga wanita beda generasi itu tersenyum penuh kemenangan, berhasil membuat Hanif dan Lia tak berkutik. Setelah mengantar suami dan putrinya sampai depan pintu, Vania
POV 3 (Untuk ke depannya pakai POV 3 sampai tamat)Dua pengkhianat itu terdiam mendengar ucapan Wiyani -ibu Hanif-, terlebih Hanif ia tak mungkin membantah ucapan sang ibu, meskipun ia yakin bahwa Kikan adalah putri kandungnya bersama Lia. "Sudah, enggak usah kebanyakan mikir! Cepat antar Anna ke sekolah, ingat Hanif prioritas utamamu itu Vania dan anak-anak, bukan Lia dan anaknya!" ketus Wiyani seraya menatap sinis gundik putranya. Wiyani tak pernah menyangka, jika perempuan yang sangat ia benci itu kembali hadir dalam kehidupan putranya. Dan, parahnya Hanif tergoda dengan rayuan jalang itu. Lia menghentakkan kakinya dan berlalu meninggalkan ruang keluarga. Tentu saja, janda beranak satu itu kecewa karena Hanif tak mengeluarkan pembelaan sepatah katapun. Hanif menyentak napas kasar, lalu akhirnya menuruti permintaan Anna untuk mengantar gadis itu ke sekolah. Ketiga wanita beda generasi itu tersenyum penuh kemenangan, berhasil membuat Hanif dan Lia tak berkutik. Setelah menganta
Hanif begitu panik, hingga malam anak istrinya tak kunjung pulang. Bahkan saat ini nomor istrinya berada di luar jangkauan. "Kamu kenapa sih, Mas?" ketus Lia saat melihat Hanif gelisah dan sibuk dengan ponselnya. "Vania dan anak-anak enggak bisa dihubungi, Sayang. Mas khawatir terjadi sesuatu sama mereka," ucapnya. Lia mendengkus, ia tak suka jika Hanif terlalu peduli dan khawatir pada anak istrinya. Sejak tadi ia merasa gembira, karena Vania dan anak-anaknya tak ada di rumah, semakin dekat langkahnya untuk mendapatkan Hanif. Sementara sejak sore, Wiyani lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. "Nanti juga pulang, Mas. Mereka bukan anak kecil yang harus kamu khawatirkan lagi!" sungut Lia. Hanif tak menggubris ucapan gundiknya, ia memutuskan ke teras berharap mobil yang dikendarai Vania sebentar lagi akan datang."Apa Vania mulai berontak ya? Tak terima aku menikah lagi." Pikiran Hanif mulai kalut, terlebih mengingat perjanjian yang dulu ia dan ibunya tanda tangani. Jika
Vania memainkan ponselnya, sudah beberapa hari ini ia tinggal di rumah hasil usahanya sendiri. Hanif tak pernah tahu, jika ia memiliki usaha yang sekarang bisa dibilang maju. Sebenarnya ia bisa saja menghempaskan suaminya begitu saja, tapi ia tak ingin hak anak-anaknya jatuh ke tangan yang salah. Selama bersembunyi dari Hanif, kedua anaknya memutuskan untuk izin tak masuk sekolah beberapa hari. Mereka hanya mengerjakan tugas yang dikirimkan oleh para guru yang dikirim lewat grup whatsapp. "Jadi Mas Hanif pergi ke rumah Ayah?" tanya Vania, pada ibu mertuanya diseberang telepon. Terdengar tawa ibu mertuanya, "iya dia kelimpungan cari kamu." Vania tersenyum tipis. Ia tahu suaminya mencarinya bukan karena peduli apalagi mencintainya, tapi karena takut hak waris jatuh pada anak-anak jika mereka sampai berpisah. "Terus, gundiknya itu bagaimana?" tanyanya lagi. Wiyani mendengkus."Semakin tak tahu diri, kamu segera pulang kalau urusanmu sudah selesai. Ibu tak sanggup jika menghadapi ul