Share

Bab 4

Anna turun dengan kepala ditekuk, aku tahu pasti sudah terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Aku menghampiri Mas Hanif yang tengah tersenyum lebar ke araku, sungguh bagai ia tengah menantangku.

“kamu gila? Ngapain ngajak dia?” tanyaku.

“Bukankah kamu sendiri yang menantangku? Sekarang aku bawa dia, kenapa kamu protes?” tanyanya.

“Mas, tapi nggak harus sama Anna juga. Kamu nggak mikirin perasaan dia? Jangan mengada-ada deh, Mas.”

Mas Hanif hanya mengedikkan bahunya, lalu berjalan melewatiku. Sama sekali tak memikirkan bagaimana perasaan anaknya sendiri. 

“Anna butuh penjelasan dari Mama,” ucap Anna sambil berjalan masuk ke dalam rumah, lalu aku meminta Aldi untuk menjelaskan alakadarnya dulu pada Anna.

Aku pun berjalan ke rumah Ibu, tepat ketika aku hendak memanggil nama suamiku itu, Ibu membukakan pintu. Aku bisa melihat raut terkejut di wajah Ibu, namun hanya sebentar saja karena setelahnya beliau tersenyum. 

“Duh, menantuku satu-satunya, kebetulan sekali, Mbok Nah masak cumi. Kamu suka itu, kan? Ayo kita makan bareng.”

Tanpa memedulikan keberadaan Mas Hanif dan juga tamunya itu, Ibu membawaku masuk.  Begitu hendak sampai di meja makan, terdengar suara Mas Hanif.

“Bu, ada tamu loh ini.”

“Ya terus?”

“Nggak diajak makan sekalian?” tanya Mas Hanif.

“Ya sudah ayo.” 

Aku sampai menoleh ke arah Ibu ketika beliau akirnya menyetujui permintaan Mas Hanif untuk makan bersama. Meski dongkol, akhirnya kami makan juga. Ibu mengambilkan lauk untukku, berulang kali beliau menyebutku sebagai menantunya. Ya emang benar, sih, tapi Ibu tak pernah sseperti ini. Apa karena ada Lia?

“Mbok Nah, tolong bereskan, ya, menantu saya sudah selesai makan.” 

Padahal terlihat jelas jika ia belum selesai dengan makanannya. Bagus, Ibu berasa di pihak yang sama denganku. Setidaknya aku tak merasa hanya bertiga dengan nak-anak saja, tapi ada Ibu yang siap siaga untukku. 

“Bu, Lia masih makan, loh.”

“Nggak papa, Mas. Aku sudah selesai, kok. Sudah kenyang juga.”

Ibu hanya meliriknya, lalu membawaku menuju ruang tamu. Jujur saja, aku terus kepikiran pada Anna. Apakah Aldi bisa menjelaskan pada adiknya itu?

 

“Tenang, Van. Ibu sudah dengar Lia mau ke sini, dan Ibu takkan membiarkan dia seenaknya masuk ke rumah tanggamu. Lagian si Hanif kok bodoh banget, mau-maunya kembali sama Lia. Apa dia nggak mikirin kamu?”

“Boro-boro mikirin Vania, Bu, anak-anak aja nggak dipikirin. Tadi Mas Hanif datang sama Anna juga.” 

“Apa? Jadi tadi mereka bertiga datangnya?”

Aku mengangguk.

“Gendeng emang si Hanif. Sudah hilang kewarasannya itu.” 

Tak lama kemudian, Mas Hanif datang menghampiri kami bersama gundiknya itu. 

“Bu, kedatangan kami ke sini, mau meminta restu Ibu.”

“Restu? Restu apa? Wong kamu sudah menikah. Seharusnya Fajri yang datang minta restu, bukan kamu.” 

Untuk sesaat Mas Hanif kehilangan kata-katanya. Aku tersenyum miring, sekarang mau apa kamu, Mas? Aku pun pamit karena merasa sudah taka da gunanya lagi aku ada d sini. Sampai rumah, kucari Anna. Benar saja, ia mengurung dirinya di kamar bahkan tanpa mendengarkan penjelasan dari kakaknya.

“Sayang, ini Mama, tolong buka, Nak.”

“Nggak mau. Mama, Papa, dan Kakak semuanya jahat.” 

Namun setelah beberapa kali aku bujuk, akhirnya ia mau membukakan pintu. Tampak matanya memerah, mungkin karena tengah menangis. 

“Sayang, maafkan Mama ya, Nak. Maafkan papamu.” 

“Kenapa, Ma? Kenapa Papa tega melakukan hal itu kepada kita?” 

“Sayang, tetap hormati papamu. Ini masalah kami, anak-anak tak boleh ikut campur, ya? Do’akan saja semoga Papa bisa kembali ke jalan yang benar bersama kita.” 

“Aamiin.”

 

_

Aku tak tahu kapan Lia pulang dan ada kejadian apa aja di rumah Ibu, tapi yang pasti Mas Hanif pulang ke rumah dengan wajah ditekuk. Sudah pasti usahanya untuk memina restu dari Ibu tak kecapaian. Aku mendekatinya yang sedang duduk di teras sambil melamun, persis seperti remaja yang patah hati karena tak mendapat restu untuk melanjutkan hubungannya dengan sang pacar. 

Apakah aku tak cemburu? Tentu, cemburu. Aku hanya sedang mencoba berusaha terlihat kuat di depannya. Agar ia tak bisa semena-mena padaku karena menganggap aku terlalu bucin padanya. Salahku, kenapa tak cari dulu dengan akar permasalahan perjodohan ini waktu itu?

“Kenapa? Nggak disetujui sama Ibu, ya?”

“Senang kan, kamu?” tanyanya dengan wajah jutek.

“Tentu. Istri mana yang tak senang di saat ada orang yang berpihak padanya ketika sang suami hendak mendua. Andai hukum di negeri ini sudah memperbolehkan wanita menikah lagi pun, akan kulakukan saat ini juga demi membalasmu. Ingat, Mas, aku sudah memiliki andil dalam kehidupanmu. Andai aku menolak perjodohan kita wakrtu itu, sudah pasti kamu akan kehilangan warisan, kan?” 

Mas Hanif hanya diam saja, membuatku makin geregetan padanya. Kuambil napas dan mengeluarkannya secara perlahan.

“Kikan itu anakku, Van.” 

Aku terdiam mendengar ucapan Mas Hanif. Kikan? Siapa itu?

“Aku menikahi Lia karena Kikan ingin mempunyai keluarga yang utuh.”

“Maksud kamu, dulu kamu dan Lia pernah .…” 

Mas Hanif menundukkan kepalanya, sementara jantungku hampir saja berhenti berdetak. Allahu Rabbi … Apa ini? Aku berdiri, membuat Mas Hanif mendongak. Ada penyesalan di sana. Apakah ia keceplosan? Apakah ia tak sadar aku memang ada di sini? Apa dia pikir, aku ini hanya halusinasnya saja?

“Nggak, Van. Dengarkan penjelasanku dulu.” 

Aku berjalan menuju kamar dan mengunci pintu. Kubiarkan Mas Hanif berada di luar. Sakit yang kurasa saat ini begitu pedih. Lebih pedih dari mendengar Mas Hanif ingin menikah lagi. Anak dari Lia? Pantas saja Mas Hanif bilang kalau anak-anak nantinya butuh teman. Tapi, aku tak pernah kepikiran sampai sana. Selain ini, adakah rahasia lainnya ynag membuatku lebih terkejut dari ini?

_

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri sah kebanyakan drama dlm masalahnya. g ada usaha buat mempertahankan suami dan harga dirinya. kau miskin kan aja suami mu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status