“Hotel?” tanyaku dengan mata membeliak.
“Iya, Mbak. Sebenarnya aku ingin membicarakan hal ini dari kemarin tapi mau kirim pesan takut Mas Hanif yang membacanya. Bisa-bisa kami perang nantinya.”
“Sebenarnya Mbak sudah tahu semuanya, Jri. Tadi siang pun Lia datang ke rumah.”
“Apa? Berani banget. Dia datang sendiri atau sama Mas Hanif?”
“Sama Mas Hanif. Mbak juga kaget banget. Untung Ibu dan anak-anak nggak tahu. Coba kalau lihat, pasti kemarin ribut. Apalagi Ibu, bukankah dulu Ibu nggak suka sama Lia?”
“Iya. Mbak nggak tahu aja, dulu sewaktu Mas Hanif pernah bikin Ibu drop karena memperhatikan Mas Hanif pasca putus dari Mbak Lia.”
Aku diam saja, lagi pula itu bukan urusanku. Kenapa pula Fajri menceritakannya? Hendak membuatku cemburu? Maaf saja, sekarang bukan lagi urusan hati, aku hanya mempertahankan rumah tangga ini demi masa depan anakku. Aku tak ingin mereka hidup terpisah dari papanya dan hidup kekurangan. Apalagi aku bisa melihat bagaimana sifat asli Lia. Ia pasti ingin menguasai harta Mas Hanif beserta pemiliknya. Sudah seperti di sinetron saja sifat antagonisnya itu.
“Mah, Papa nelepon katanya lagi di mana? Nggak bisa masuk rumah karena nggak bawa kunci,” ucap Anna dari kejauhan.
Aku mengangguk, setidaknya sudah tahu bagaimana kelakuan Mas Hanif di belakangku. Kupikir, melihatnya sedang bergandengan tangan waktu itu sudah keterlaluan, nyatanya ada hal yang lebih menyakitkan lagi. Saat hendak berbalik, Fajri mencekal tanganku. Hal yang tak pernah ia lakukan. Aku memang menjaga diri dari siapapun itu. Begitu pula dengan Fajri. Kami akan bersentuhan kulit jika lebaran saja.
“Tolong, jangan kasih tahu Mas Hanif tentang pertemuan kita kali ini, Mbak. Aku juga sudah kasih tahu anak-anak supaya diam.”
“Iya, tenang saja.”
-Dua puluh menit kemudian, kami sampai di rumah. Mas Hanif terlihat sedang menunggu di depan rumah sambil memainkan ponsel. Saat kami keluar dari mobil, senyum mengembang dari bibirnya. Ia lalu menghampiriku dan mengulurkan tangannya. Sungguh, ingin rasanya aku melengos dan meninggalkannya masuk ke dalam rumah andai tak ingat anak-anak tengah melihat kami.“Aldi masuk dulu, Ma.”
Anak laki-lakiku itu masuk ke dalam rumah setelah kuberi kunci. Tampak keanehan lagi, ia sama sekali tak menyapa papanya. Mungkin nanti aku harus mengajaknya berbicara. Siapa tahu ia memiliki masalah hingga kehilangan rasa hormatnya pada orang tua. Meskipun aku dan Mas Hanif tengah ‘perang dingin’, namun aku tak pernah mengajarkan ataupun membiarkan anakku semena-mena, apalagi pada salah satu orang tuanya.
“Kalian habis dari mana tadi?” terdengar Mas Hanif bertanya pada Anna saat aku masuk ke dalam rumah lebih dulu.
“Habis makan, Pa. Mama katanya malas masak, jadi kami makan di luar.”
Cerdas, Anna sudah bisa kuandalkan. Yah, wajar! Dia adalah anak berusia tujuh belas tahun. Paling setelah ini mungkin ia akan menodongku dengan sejumlah pertanyaan. Apalagi, jiwa keingin tahuannya begitu tinggi. Dulu, saat kejadian ini berulang untuk kedua kali, ia bahkan memaksaku menjawab pertanyaannya. Saat itu, usianya baru sepuluh tahun.
“Terus, Papa makan apa?” tanyanya.
“Banyak resto ataupun tukang jualan makanan di depan sana. Tinggal keluar atau pesan online. Nggak ada yang perlu diributkan.” Ucapku sambil masuk ke dalam kamar.
Kuletakkan tas di atas meja rias, lalu memandangi wajahku di cermin. Memang sudah ada keriput di bawah mata. Selain cinta, mungkin ini juga alasannya ingin menikahi Lia. Karena wanita itu pandai merawat diri. Sementara aku? Boro-boro merawat wajah, sekedar beli skincare aja aku harus memikirkannya lagi. Kehidupanku dulu di panti, membuatku lebih bisa menghargai uang.
“Kenapa kamu kaya gitu di depan anak-anak? Mau membuat mereka tahu kalau kita gak lagi baik-baik aja?” tanya Mas Hanif saat masuk ke dalam kamar.
“Bukankah kamu yang minta supaya anak-anak tahu? Maksud kamu bawa Lia ke rumah ini apa? Mau menantangku? Bukankah aku sudah bilang tak akan menerimanya menjadi madu? Kalau kamu kekeuh menikahinya, maka ceraikan aku, Mas!”
“Aku takkan menceraikanmu, Van.”
“Kenapa? Kamu takut nggak kebagian harta? Yah, sepertinya aku lebih memilih bercerai denganmu dan mendapatkan uang.”
“Kamu jangan gila, Van. Siapa yang mau bercerai? Sampai kapanpun aku takkan menceraikanmu.”
Aku melengos, lalu masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan badan. Rasanya hari ini begitu penat. Mulai dari Mas Hanif yang membawa wanita itu ke sini, dan juga kenyataan yang diberitahu oleh Fajri.”
“Maafkan aku, Van. Aku melakukan ini juga demi anak-anak. Mereka butuh teman, sementara kamu tak bisa hamil lagi,” ucap Mas Hanif saat aku keluar dari kamar mandi.
Aku mendecih. Kini dia menggunakan kondisiku sebagai alibinya untuk menikah dengan Lia? Benar-benar sudah hilang akal sehatnya.
“Kalau kamu memang benar ingin menikahi Lia, silakan aja, Mas. Yang pertama, kamu harus minta izin dulu sama Ibu. Bagaimana?” tantangku.
“Baik.”
Mataku membeliak. Kupikir jika sudah menyangkut dengan Ibu, ia akan berpikir ulang. Mengingat kata Fajri tadi, Ibu pernah nge-drop saat Mas Hanif putus dengan Lia. Bukan berarti beliau menyetujui pada awalnya, namun karena Mas Hanif mencoba melakukan percobaan bunuh diri beberapa kali.
-Hari minggu pagi.Mas Hanif pergi bersama dengan Anna dari pagi. Katanya mau ke toko buku untuk mencari beberapa buku yang baru saja terbit. Kujadikan kesempatan ini untuk mengobrol dengan Aldi. Aku tak bisa membiarkannya berlarut-larut. Sebelum hal buru terjadi, aku harus mengetahui permasalahan anak sulungku itu.
“Di, sini. Mama mau ngomong,” ucapku saat ia hendak masuk ke dalam kamar usai dari kamar mandi.
“Kenapa, Ma?”
“Kamu ada masalah?”
“Nggak, Ma.”
“Jangan bohong, Nak. mama tahu benar bagaimana anak-anak Mama. Ayok, cerita.”
“Mama yakin, mau tahu?” tanyanya.
“Loh, yay akin. Masa iya Mama mau becanda?”
“Sebenarnya, beberapa waktu yang lalu, Aldi melihat dengan mata kepala Aldi sendiri, Papa sedang merangkul mesra seorang perempuan di restoran, Ma.”
“Dari mana kamu tahu kalau itu Papa? Kamu bisa aja salah lihat, Nak.”
“Nggak, Ma. Aldi lihat dengan mata kepala Aldi sendiri. Soalnya Aldi pas lagi beli minum sebelum les. Tadinya mau Aldi samperin, tapi keburu Anna nyamperin. Daripada dia lihat, sebaiknya Aldi urungkan niat. Maafkan Aldi, sudah merahasiakan semua ini dari Mama.”
Deg!
Ya Allah, anak sulungku. Begitu dewasanya kamu.
“Nggak apa-apa. Mama minta maaf atas kelakuan papamu ya, Nak. mama mau minta tolong juga, biarkan hanya kita yang tahu. Jangan biarkan Anna tahu juga ya, Nak,” pintaku pada Aldi.
“Iya, Ma.”
Hatiku bagai terkena badai, hancur lebur saat mengetahui anakku ternyata tahu aib papanya. Tak lama kemudian, terdengar bunyi klakson di depan rumah. Sepertinya itu Mas Hanif yang baru saja pulang.
“Nak, meski Papa begitu, tolong tetap hormati dia, ya? Mama minta tolong sekali.”
“Tapi, Papa sudah menyakiti Mama. Aldi nggak bisa diam saja, Ma.”
“Mama minta tolong, Nak.”
“Baiklah, Ma.”
Aku pun tersenyun dan mengelus kepalanya, lalu segera berlalu keluar untuk membukakan pintu. Senyumku mengembang setelah melihat Anna, namun begitu melihat siapa yang turun dari pintu penumpang, seketika panas menjalari setiap inti sel tubuhku.
Lia!
Mas Hanif benar tak main-main dengan ucapannya. =BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun