Dalam perjalanan menuju ke kedai Kopi Para Mantan, hati Iwan masih galau. Pada satu sisi dia tidak mau kehilangan Dewi dan Tia, tapi disisi lain dia membayangkan lelaki lain, yaitu sang psikiater, yang bakal hadir kedalam hidup Dewi dan Tia. Apalagi dari pembicaraan dr Finka tadi, mereka satu sekolah di SMA, masa muda yang penuh nostalgia.
Ditambah lagi ingatannya pada Dini yang masih tak sadarkan diri di rumahsakit. Apakah dia bisa setega itu dengan membiarkan nasib Dini yang harus menghadapi kenyataan hidupnya sendirian?. Iwan tahu persis masa lalu Dini di kampungnya. Dini diperlakukan semena-mena oleh kedua orangtuanya, bahkan telah beberapa kali diperkosa oleh ayahnya sendiri. Itu sebabnya Dini kabur dari rumah, berusaha hidup mandiri; sampai akhirnya nasib membawanya ke kota Jakarta."Woiii.. lu mau belok kanan atau ke kiri, itu sen yang bener dong!" bentak seseorang dari sebuah motor yang tiba-tiba muncul di samping kirinya.Iwan tersentak dari lamunannya, dia lalu minta maaf kepada orang itu, dengan menangkup kedua telapak tangan didadanya."Maaf pak.."Pengendara motor tersebut tidak peduli, dia meneruskan perjalanannya. Sedangkan Iwan membelokkan motornya ke kiri.**Sore harinya di rumah Dewi.Dr Permana menatap Dewi dengan sorot mata yang tajam, Dewi jadi salah tingkah; tapi ia juga membalas tatapan tersebut. Sebenarnya, Dr Permana ingin membaca tingkat stress wanita itu, dengan menatap kedalam respon jiwanya. Karena tatapan mata bisa juga merupakan cermin bagi ekspresi jiwa. "Kamu dapat no hapeku dari dr Finka ya Wi?" kata Dr Permana memecah sepi."Iya. Waktu itu Tia baru saja aku bawa ke rumah ini, tengah malam teriak-teriak trus muntah-muntah. Aku ke rumahsakit, eh.. ketemu dr Finka. Ternyata dunia ini sempit ya dok,""Iya karena kamu masih tinggal di satu kota,"Dr Permana kembali diam, dia masih menatap Dewi lekat."Jangan lama-lama lihatnya, ntar jatuh cinta lho?"kata Dewi."Lho lho.. kamu ga tau ya..? sejak dulu itu aku sudah jatuh cinta sama kamu, hahaha.. jadi buka kartu deh.." Dr Permana terkekeh-kekeh.Dewi tidak menggubris ucapan Dr Permana, dihatinya masih menyimpan luka akibat goresan duka dari perilaku Iwan dan Dini. Ia bahkan menganggap pengakuan Dr Permana yang keceplosan itu hanya sebagai lawakannya saja. Duka dan luka yang dalam tersebut terungkap dari ekspresi Dewi, dan amat terasa dihati Dr Permana, Dia pun lalu mengalihkan pembicaraan pada topik inti."Oke, aku serius sekarang ya.. coba tolong kamu ceritakan kronologi peristiwa yang menimpa puteri kamu?"Dewi lalu menceritakan seluruhnya kepada Dr Permana, ia tidak mau menutupi masalah tentang hubungan Iwan dengan Dini, karena itu merupakan suatu penyebab atau informasi penting yang harus disampaikan. Memperhatikan gejolak kondisi emosional dari cerita yang disampaikan Dewi, Dr Permana mendapatkan satu kesimpulan bahwa keduanya, Dewi dan Tia, adalah korban dari konflik kejiwaan yang berbeda."Gimana kalau besok kita jalan-jalan ke pantai.. aku mau lihat reaksi Tia?""Maaf dok, besok aku banyak kerjaan, bagaimana kalau hari libur saja. Tiga hari lagi kan?""Oke, itu ide bagus.. karena hari libur di pantai pasti banyak pengunjung,"Mereka berdua terdiam sesaat hanya saling tatap."Kamu ga kenalin aku sama Tia ?""Oh iya, sebentar ya.." Dewi lalu bangkit dari kursi, jalan ke kamarnya.Tak lama kemudian, Dewi keluar dari kamar bersama Tia yang masih menggunakan kursi roda. Dewi lalu duduk kembali ke kursi di sebelah kursi roda Tia."Hallo Tia.." sapa Dr Permana.Tia tak menjawab, ia seakan tidak peduli. Tatapan matanya kadang-kadang masih kosong. Seperti ada jeda, diantara melihat kenyataan, dan ketidaksadaran pada kenyataan yang ada dihadapannya."Ini Dr Permana teman ibu. Tia nanti diobati sama dokter supaya lekas sembuh ya,"Tia menoleh ke Dewi. "Boleh aku periksa Wi?""Silahkan dok.."Dr Permana memeriksa otot kaki Tia, tangannya, sorot matanya, untuk memastikan respon saraf motorik pada tubuhnya."Oke, cukup. Tia sekarang mau minum apa?"Dewi tersentak, ia menyadari sudah sekian lama Dr Permana duduk, tapi belum menyediakan minuman. Sedangkan mbak Surti tidak ada, tadi dia ijin membantu kakaknya yang mau hajatan."Oh iya, maaf dok.. aku lupa, pembantu sedang ijin pulang. Dokter mau minum apa?""Teh hangat tawar saja Wi, dan teh hangat manis buat Tia ya.. mau kan?"Tia hanya menatap wajah Dr Permana tanpa berkedip. Dewi melangkah ke dapur meninggalkan mereka berdua."Coba Tia lihat jari om dokter ya. Ini berapa?"Dr Permana menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Tia tak menjawab, tapi dahinya mengernyit seolah-olah berusaha mengingat sesuatu."Oke, kalau Tia belum ingat ga apa-apa ya.." Tia mencoba menggerakkan jarinya mengikuti jari yang ditunjukkan Dr Permana tadi, tanpa ekspresi sedikitpun diwajahnya. Dr Permana menatapnya. Tia mengangkat jari telunjuk dan jari tengah, lalu melipat kedua jarinya, dan mulai membuka lagi dari ibu jari sampai kelingking. Dr Permana serius memperhatikan tingkah Tia itu."Anak yang cerdas, ia berusaha mengingatnya kembali, itu artinya sel-sel saraf didalam otaknya masih aktif.." kata hati Dr Permana.Sore itu sampai menjelang maghrib, Dr Permana berusaha menjalin komunikasi yang baik dengan Dewi dan juga Tia. Hingga tiba-tiba handphone dalam tas kecil yang menggantung ditubuhnya bunyi,"Hallo, disini Dr Permana? ada yang bisa saya bantu?""Ini dok ada pasien ngamuk,""Sudah kamu kasih obat penenang?""Sudah dok, aku beri suntikan, sekarang dia tertidur,""Oke, kalau begitu saya kesitu sekarang,"Dr Permana memasukkan kembali hapenya, lalu menatap ke wajah Dewi dan Tia, dia merasa iba, tidak tega meninggalkan ibu dan anak yang kondisi mentalnya mendekati labil. Akan tetapi panggilan tugas dari rumahsakit, tidak dapat ditolaknya, dan itu adalah merupakan suatu kewajiban yang mutlak."Wi, aku pamit ya, Tia, om pulang dulu... Nanti kalau Tia kangen sama om, minta ibu telpon om ya,""oya, saya harus bayar berapa biaya konsultasinya dok ?""Nanti aja Wi,""Gak bisa begitu dok.. kamu sudah meluangkan waktu untuk datang kesini,""Oke, kalau begitu terserah kamu aja.. pemeriksaan dan pengobatan Tia masih akan berlanjut Wi..""Iya aku tahu dok.. tentu akan butuh waktu yang lama ya..""Iya Wi.. kamu sabar aja... aku pasti bantu kamu, sampai Tia sembuh. Tia mau sembuh kan?" katanya sambil mengeluarkan dua plastik obat dari dalam tas kecilnya,"Ini aku bawakan obat penenang dan vitamin buat Tia,"Dr Permana memberikan dua bungkus plastik yang berisi beberapa pil kepada Dewi, begitu pula sebaliknya Dewi mengambil amplop dari saku bajunya, ia berikan pada Dr Permana.Dr Permana menerima amplop dari tangan Dewi, meski hatinya merasa kurang enak. Entah dorongan apa yang membuat perasaannya seperti itu. Apakah karena dulu semasa SMA, Dewi adalah idolanya?. Dia sering berusaha mendekati Dewi, tapi ternyata wanita itu sulit ditaklukkan hatinya. Dewi orang yang serius, fokus pada pendidikan, sehingga tak ada waktu untuk pacar-pacaran. ***Setelah slang infus dipasang oleh Perawat di tangan Dewi, Perawat itu mendekati Dr Permana. "Bagaimana kondisi istri saya suster?" "Tekanan darahnya agak rendah, tapi gak apa-apa.. bu Dewi butuh istirahat saja. Dokter Herman sedang dalam perjalanan kesini dok," ucap Perawat jaga itu. "Baik suster, terimakasih," Perawat itu menuju ke meja, lalu memberi catatan pada selembar kertas diatas papan jalan, dan keluar dari ruangan. "Kalau ada apa-apa, saya di ruang jaga dok," "Baik Suster, terimakasih.." sahut Dr Permana. Dr Permana duduk disamping ranjang pasien. Dia menatap wajah istrinya, merasa kuatir melihat kondisi Dewi, tubuhnya sangat lemah serta wajahnya pucat. Dr Permana tampak mengelus tangan Dewi dengan penuh kasih. "Kamu sabar ya sayang... ini reaksi kandungan dengan tubuhmu. Gak apa-apa, gak lama kok.. aku yakin kamu pasti kuat.." seru Dr Permana sambil menciumi punggung tangan istrinya. Dewi mengangguk pelan, "Terimakasih ya.. Aku jadi ngantuk pap.. " "Iya istirahat a
Motor Iwan keluar dari halaman samping warung Wahyu. Dia merasa lega karena sudah membawa Tia ke rumah miliknya. Dia percaya, disitu banyak yang akan menjaga serta membimbingnya. Didalam benak Iwan ada target bahwa tahun depan Tia sudah harus masuk sekolah Taman Kanak-kanak, mungkin bisa juga bersama dengan Nana, kalau dia mau. Iwan memparkir motornya di pinggir jalan untuk menelpon pak Hasan, "Assalamu'alaikum pak Hasan, saya minta alamat rumah sakitnya pak haji," "Oh iya boleh..." Pak Hasan pun menjelaskan alamatnya, lalu Iwan mencari alamat tersebut, dengan bertanya-tanya kepada warga yang duduk di depan sebuah warung kopi di pinggir jalan raya itu. Sampai akhirnya dia menemukan letak rumah sakit tersebut. Iwan memparkir motornya, lalu masuk ke area lobby rumah sakit. di depan meja costumer service, dia bertanya pada petugas wanita disitu. "Ada yang bisa saya bantu pak?" tanya petugas wanita tersebut. "Kalau pasien pak haji Mahmud dirawat di lantai berapa kak?" tanya Iwan
Mobil pajero hitam milik pak haji Mahmud melaju meninggalkan pinggir jalan depan warung Wahyu. Iwan mengenalkan Dini dan Tia pada keluarga Wahyu. Mereka pun saling bersalaman, mengenalkan diri masing-masing, "Wahyu... ini Nuning istri saya, itu nek Warni ibunya Nuning. Nah yang ini Nana kak.." "Nanti Tia main sama Nana disini ya?" sela Iwan. "Iya ayah.." Tia bersalaman dengan Nana. "Yuuk kita main di sana, ada ayunan lho.." Nana mengajak Tia. Iwan terperangah mendengar ucapan Nana. "Dimana ayunannya Na?" "Di samping rumah om.. kemarin Bapak dan Aki yang buatin.. ayoo" Nana dan Tia tampak langsung akrab. Mereka berlari menuju ke arah halaman samping rumah Iwan. Iwan, Dini, pak Sidik, Wahyu dan Nuning, saling bersitatap, dan tersenyum lebar. "Alhamdulillah... makasih Yu.." "Iya bang.. saya tahu mereka butuh tempat bermain, jadi kemarin saya cari ban bekas dan trus diikat ke pohon di samping belakang rumah abang.." "Tapi kuat ya Yu..?" "Kuat bang.."Iwan menoleh ke arah Dini
Mereka tampak menikmati makan siang di satu warung makan di pinggir jalan raya itu. Setelah perutnya terisi makanan, wajah Dini terlihat segar. Iwan lalu menyuruhnya menelan pil anti mabuk. "Obat anti mabuknya diminum Din, kita bakal naik kapal feri.. nanti kalau mabuk lagi gimana?" "Iya bu diminum," celetuk Tia. "Iya Tia," jawab Dini sambil mengambil obat tersebut dari dalam tasnya. Dini pun lalu menelan pil anti mabuk tersebut. Tak lama kemudian, setelah Iwan merasa sudah cukup waktu istirahat bagi mereka, dia membayar makanan dan mengajak istri dan anaknya menuju ke mobil. Pak Hasan menyalakan mesin mobil, dan mobil melaju kembali. ** Pelabuhan Merak sudah terlihat. Matahari mulai bergeser ke tengah. Diantara teriknya panas matahari, tampak kesibukan kendaraan yang hendak menyeberang menuju Pelabuhan Bakauhuni. Suasana kesibukan di Pelabuhan Merak, tidak begitu padat, mungkin karena hari ini bukan hari liburan anak-anak sekolah dan bukan hari besar juga. Setelah menga
Pagi itu ditengah perjalanan, tiba-tiba Dini merasa mual pingin muntah. Ia menduga, mungkin karena dirinya tak terbiasa perjalanan jauh dengan mobil pribadi, bukan kendaraan umum. Jendela mobil yang tertutup rapat, air conditioning yang menebar hingga tercium harum lemon dari pewangi ruangan, itulah yang memicu rasa mualnya. "Okh, owegh.." "Astaghfirullah.." ucap Iwan spontan menengok ke arah Dini yang duduk di jok belakang bersama Tia. "Kamu mabuk Din?" Dini mengangguk pelan. Tia yang baru saja hampir tertidur karena asyik menatap pemandangan di luar mobil, langsung terbangun. Tia menatap ke arah wajah Dini, kemudian memeluk tangan ibunya, "Ibu kenapa... ibu sakit ya?... ibu jangan sakit..." "Ibu gak sakit Tia, ini namanya mabuk darat.. ibu gak kuat dalam mobil dengan jendela tertutup dan ac nya terlalu dingin." Iwan meminta pak Hasan untuk parkir ke pinggir jalan. "Pak Hasan, kita berhenti dulu sebentar," "Baik pak Iwan. Itu ada warung kecil.. dekat situ saj
Tiba-tiba Iwan teringat pada oleh-oleh yang dibelinya untuk ki Jupri."Oh iya, saya bawakan oleh-oleh untuk ki Jupri dan juga kang Badrun,""Waduh.. kok repot-repot kang Iwan,""Ayok kita ambil dulu di mobil,"Tia mau ikut ke mobil tapi dicegah oleh Iwan,"Tia gak usah ikut ya.. ayah sebentar kok.."Iwan lalu jalan keluar diikuti oleh ki Jupri dan Badrun.Setelah menjauh dari rumah ki Jupri, dia mengambil dua buah amplop dari saku jaketnya, yang sudah disiapkan tadi sewaktu Iwan mengambil uang dari atm. Satu untuk Badrun dan satunya lagi untuk ki Jupri,"Maaf ya kang Badrun, anak dan istri saya pasti sudah merepotkan akang. Ini ada rezeki buat kang Badrun, dan ini untuk ki Jupri,""Eh kang Iwan apa-apaan inih, saya kan bantunya ikhlas,""Iya aki juga ikhlas," celetuk ki Jupri."Gak apa-apa kang Badrun, ki Jupri, saya juga ikhlas.. diterima ya. Supaya rezeki kita ke depan sama-sama lancar nantinya,"Akhirnya Badrun dan ki Jupri menerima amplop tersebut."Alhamdulillah.." sahut Badrun.
Di ruang makan, seperti biasanya pak haji Mahmud menyantap sarapan pagi yang disediakan oleh putrinya. Bedanya dengan hari-hari kemarin, adanya kehadiran sosok menantunya, yaitu Iwan Suganda. Lelaki yang baru dikenalnya seumur jagung, tapi ada keterkaitan kepentingan emosional yang bertemu keinginannya, bagai gayung bersambut, nyambung, hingga jadi bagian dari keluarganya. Sambil mengunyah makanan, pak haji menyampaikan jadwal pekerjaan hari ini kepada Iwan. "Selesai sarapan, kita ke toko material, nanti bang Iwan bisa langsung kerja disitu." "Baik pak haji..., tapi minggu depan saya minta waktu untuk jemput istri dan putri saya, sekaligus harus mengundurkan diri dulu dari bengkel yang di Jakarta," "Iya saya tahu.. itu bisa diatur nanti," "Terimakasih pak haji..." Wardah Fatimah bertanya kepada ayahnya, apakah masakannya cocok buat selera lidah suaminya..? Pak haji Mahmud pun bertanya pada Iwan, "Bang Iwan, Wardah tanya.. katanya apa cocok masakan Wardah buat bang Iwan..?" Iwan
Dini melangkah dengan pikiran yang berkecamuk, campur aduk.Ada rasa segan ketika diberikan uang oleh Badrun, tapi ia terpaksa harus menerimanya. Apakah laki-laki seperti kang Badrun ini tidak mengharapkan imbalan? apakah kang Bardun benar-benar setulus hati membantu dirinya?. Dini berusaha menepis pikiran negatif yang muncul, namun semakin ia berusaha melupakan kenyataan yang ada dihadapannya, justru ia bertambah galau.Dalam perjalanan menuju ke rumah ki Jupri, ia banyak melamun. Dini tidak mau kembali ke dunia hitam yang dulu pernah ia jalani. Betapa pahitnya... betapa lama rasanya waktu bergulir, sampai ia dengan berani memutuskan untuk putar haluan. Meninggalkan keluarganya yang hanya membawa mudharat bagi perjalanan hidupnya. Apakah semua perempuan di dunia ini nasibnya sama? Hanya dijadikan boneka pemuas kebutuhan biologis bagi kaum laki-laki saja?. Bagaimana kalau Iwan meninggalkan dirinya bersama Tia disitu?. Apakah ia akan terdampar kembali pada dunia malam pesisir pantai y
Matahari mulai merangkak perlahan menyapa selimut jingga sang senja. Sinarnya memerah condong ke barat. Alangkah indah semburat jingga berlapis kemerahan. Demikian pula rasa yang sedang berbunga-bunga didasar hati Iwan Suganda. Dia merasakan seolah-olah bagaikan mimpi yang hadir sepintas namun nyata dalam perjalanan hidupnya. Menikah dengan Wardah Fatimah. Gadis cantik nan rupawan, perawan asli, tingting pastinya, hmm..... Tatapan mata coklat yang melankolis, bibir mungil yang memerah tanpa polesan lipstik, menggoda hasrat Iwan sejak pertemuan pertamanya. Iwan tampak masih mengemudikan jeep pajero milik pak haji Mahmud. Seperti biasanya, jalan raya ini untuk sementara mulai sepi, dan akan kembali ramai oleh lalu lalang kendaraan setelah senja sembunyi kedalam pelukan malam. Mobil yang dikemudikan oleh Iwan, terlihat tiba di pinggir jalan raya depan warung, Iwan langsung parkir disitu. Para Tukang Ojek pangkalan sepi, tak terlihat seorangpun yang duduk di tempat kumpulnya. Barangk