Share

bab 3. Kontradiksi

Author: Ambu Abbas
last update Last Updated: 2023-06-17 20:37:42

Dewi senang mendengar kata-kata Tia yang menyebut ibu padanya, karena selama ini, belum pernah terdengar kata “ibu” keluar dari mulutnya.

Tia lalu dijaga oleh mbak Surti, sementara Dewi bisa sedikit lebih tenang.

Dewi beruntung, karena selama pandemi ini dia bisa kerja dari rumah, meski kadang dua minggu satu kali ia harus meeting ke kantor, tetapi hal itu tidak merepotkan dirinya. Ia mulai dengan kegiatan baru, di samping kewajiban rutin atas tanggungjawab kerja dari kantornya, ia merawat Tia bersama mbak Surti di rumah.

Tia bertanya kepada Dewi. Tidak sekali dua kali, berkali-kali.

”Iwan kemana Bu?"

”Iwan itu siapa? Ibu siapa?"

Dewi kembali sedih, ternyata Tia belum mengenalnya sebagai ibu kandungnya. Sejauh ini dia hanya tahu sebutan ibu, seolah hanya sebuah nama panggilan saja. Ia ingin konsultasi pada psikiater, dan sekaligus pada dokter ortopedi, tapi suasana rumah sakit masih dipenuhi oleh pasien covid19. Ada perasaan takut yang hadir dan mencengkeram hatinya. Takut tertular virus flu yang berbahaya tersebut.

Namun, pada akhirnya ia memberanikan diri menelpon nomor handphone dokter Permana, sang psikiater. Beberapa hari masih belum ada jawaban sama sekali, karena tidak diangkat. Akhirnya Dewi kirim sms dan malam harinya baru dapat jawaban, bahwa dokter Permana baru saja kembali dari tugas di luar kota.

Dokter Finka waktu itu sempat bilang, bahwa dokter Permana adalah kakak kelas mereka sewaktu di SMA dulu. Akan tetapi, Dewi sudah lupa.

”Masa kamu lupa Wi? Inget gak waktu tas kamu digantung di tiang bendera, terus kamu sibuk mencari tas kamu sebelum pulang sekolah, gak ketemu sampai kamu pulang," kata dokter Finka.

”Oh waktu kejadian itu. Iya inget, Maman panggilannya kan? Malamnya dia datang ke rumahku mengembalikan tas dan minta maaf. Tapi aku kerjain dia Fin. Aku suruh dia ajari pelajaran biologi yang paling aku gak suka, hehehe.” Dewi tertawa kecil saat ingat masa itu.

Dewi tidak bisa membayangkan, bagaimana pertemuannya dengan dokter Permana nanti.

Maman Permana itu orangnya culun tapi cerdas dan selalu juara kelas, kurus pendek kecil, dan terkenal jahil. 

Waktu itu, Dewi sebal atas ulahnya, meski terobati oleh kedatangannya ke rumah dan minta maaf. Terkadang, Dewi sering senyum-senyum sendiri. Masa lalu dengan dokter Permana bisa membuat Dewi melupakan Iwan.

"Apa aku harus bisa melupakan Iwan dan serius mencari calon suami? Aku udah bertemu anakku, ini saatnya dia punya ayah pengganti. Aku harus membuat Tia merasa lebih beruntung punya orangtua lengkap." Dewi sampai berpikir seperti itu.

 

Besar harapan Dewi, ke depannya dokter Permana mau datang ke rumahnya. Konseling langsung pada pasien. Berapa pun yang mesti Dewi bayar, ia siap pada konsekuensi tersebut. Sedikitnya, ia merasa sudah ada bayangan jalan keluar; dari masalah trauma mental yang dialami oleh Tia, puterinya.

Disamping itu, Dewi ingin mendekatkan Tia dengan si dokter; layaknya hubungan ayah dengan anak. Setelah itu, Dewi punya senjata untuk bisa menikah dengan Permana atas dasar anak. Ia ingin melihat anaknya bahagia.

Namun, hati Dewi tidak mudah berpaling dari Iwan. Apalagi mereka sudah menjalin kisah lama. Rasanya Dewi ingin rujuk kembali dengan Iwan dan hidup bersama Tia. Sekarang semuanya sudah berubah, dipastikan Dini tidak akan hadir lagi sebagai perusak rumah tangga.

Akan tetapi, Dewi sama sekali tidak tahu bahwa Dini masih hidup; di tempat lain. Waktu peristiwa tsunami itu, Dini hanyut terbawa arus dan terdampar ditepi pantai pesisir daerah Karawang. Ia tidak sadarkan diri, hingga ada beberapa nelayan yang melihat  dirinya terkapar disitu.

"Eh, lihat itu sepertinya ada orang yang terdampar, kita lihat apa dia masih hidup?" kata seorang Nelayan yang terlihat penasaran.

Salah seorang kawannya yang mendengar hal itu agak khawatir tapi juga merasa iba terhadap Dini. Hingga akhirnya mereka pun memutuskan untuk menghampiri Dini dan melihat kondisi dari wanita itu. Disekujur tubuh Dini terlihat banyak luka. Setelah mengetahui bahwa Dini masih bernafas, para nelayan itu hendak membawanya ke pos kesehatan di  TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Disitu adalah tempat berkumpulnya, para nelayan serta saudagar atau boss-boss yang sengaja hendak membeli ikan fresh langsung dari penampungan hasil tangkapan nelayan.

Tetapi langkah mereka dihalangi oleh aki Jupri, seorang kakek berusia 85 tahun, yang hidup sendiri di rumahnya.

”Jangan dibawa kesana, biar aki saja yang mengobati anak ini,”

Mereka tidak berani menolak niat baik aki Jupri, karena mereka tahu siapa kakek tua itu sebenarnya.

"Kalau begitu, saya akan bantu menggotongnya ke rumah aki," kata kedua orang nelayan yang tinggal tak jauh dari rumah aki Jupri.

Sederetan perumahan kumuh tempat para Nelayan bermukim untuk sementara. Sedangkan, Aki Jupri penduduk asli di daerah ini. Rumahnya hanya sebuah gubuk kecil terbuat dari bilik bambu disanggah oleh kayu, dan juga batang-batang bambu. Kedua nelayan itu menggotong tubuh Dini masuk ke rumah aki Jupri, lalu meletakkannya diatas bale bambu beralaskan tikar dan sebuah bantal kumal.

Gubuk ini hanya satu ruangan terbuka, di pojok tampak tungku kayu untuk memasak serta peralatan masak seadanya. Aki Jupri dengan tulus menolong Dini, memperhatikan luka-luka ditangan dan kakinya, yang membiru dan mulai mengeluarkan bau nanah. Dia lalu mengganti pakaian Dini dengan sebuah sarung bersih. Memasak air, untuk melap seluruh tubuh Dini dengan air hangat. Kemudian membalurkan ramuan rempah-rempah yang dibuatnya.

Dengan kesabaran, aki Jupri merawat luka-luka di tubuh Dini tanpa mengenal lelah. Terutama luka pada wajah Dini, sebuah sobekan dipipinya, yang mungkin tersentuh benda tajam sewaktu ia terbawa gelombang tsunami; beberapa hari yang lalu.

Tak lama kemudian, ramuan rempah-rempah mulai bereaksi, rasa perih yang menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsum dikakinya, membuat Dini tersadar dari pingsannya. Matanya langsung melihat aki Jupri yang sedang mengipasi ramuan rempah dikakinya, supaya tidak terasa perihnya oleh Dini.

"Aki siapa? saya ini ada dimana? kata Dini pelan.

"Jangan bergerak dulu neng.. ada sobekan dipipi neng, baru saja aki tempel ramuan obatnya,"

Dini hendak memegang pipinya, tapi tangannya tak kuat. Dini sedih, tak mampu menahan airmatanya yang  menetes tak tertahankan.

"Eneng ditemukan nelayan di ujung pesisir pantai, trus aki suruh bawa kesini,"

  

Dini merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup. Ia tidak tahu bagaimana nasibnya jika tidak ditemukan oleh para Nelayan dan diurus oleh aki Jupri. 

"Ya Allah, padahal aku banyak salah dan dosa, tapi Engkau masih mau menyelamatkan aku, aku jadi malu aki," ucapnya.

”Tidak mengapa neng.. Allah Maha Pengampun dosa. Bertaubatlah, dengan niat yang kuat, dan jangan mengulanginya lagi,”

”Insyaa Allah Ki..”

Satu tahun lebih, Dini masih belum kuat bangun dan berdiri, ia hanya menyaksikan, disetiap waktunya shalat, melihat aki Jupri pergi ke Mushola. Dan disetiap selesai shalat maghrib dari Mushola, aki Jupri membawa santri-santrinya, yaitu anak-anak yatim piatu yang masih kecil-kecil, untuk belajar mengaji dirumah itu.

"Anak-anak, baca al Fatihah untuk teteh eneng ya, supaya lekas sembuh sakitnya,"

"Iya ki.." sahut mereka bersamaan. 

Rutinitas hal tersebut telah mengetuk pintu hati Dini, membuat perasaannya jadi semakin sedih dan muncul perasaan rindu untuk kembali dan mengadu kepada Tuhannya. 

Mulanya Dini merasa sangat tidak yakin dengan apa yang dia lakukan, karena khawatir Allah tidak mau menerima taubatnya atas banyaknya kesalahan yang telah ia buat. 

"Ya allah, apakah aku masih layak berhadapan denganMu?" dalam benak Dini yang sering memperhatikan Aki Jupri shalat pada tengah malam.

Sejak saat itu, Dini mau mengenakan hijab atau jilbab; yang diberikan aki Jupri, dari peninggalan almarhum isterinya. Aki Jupri juga mengajarkan Dini shalat walau tubuhnya masih terbaring lemah.

Bulan berganti bulan, tahun pun berganti tahun. Tak terasa, sudah dua tahun lebih Dini dirawat oleh aki Jupri. Kondisi badan Dini sudah pulih seperti sedia kala, ia sudah bisa membantu aki Jupri memasak air, kadang menggoreng ikan yang dibawa oleh aki Jupri dari pantai.

 Hingga suatu hari, setelah melihat kondisi Dini sehat kembali; aki Jupri bertanya,

“Apa kamu tidak punya keluarga nak?” 

”Ada aki.. tapi jauh, di pulau Nias.”

”Apa kamu rindu pada keluargamu?”

”Iya ki.. tapi aku tak punya uang untuk kembali kesana,”

Aki Jupri melangkah, lalu mengambil sebuah kotak yang disembunyikannya di pojok dapur. Dia membuka kotak tersebut di depan Dini, didalam kotak itu tampak berisi beberapa gulungan uang kertas yang terikat karet gelang dengan lembaran yang bernilai limapuluh ribuan.

”Ini uang simpanan aki.. kamu pakailah untuk kembali pada keluargamu,”

”Tapi Ki, nanti bagaimana kalau aki butuh uang..”

”Sudah, tidak apa-apa. Kamu pergilah.. temui keluarga yang kamu rindukan,”

Keesokan harinya, dengan berat hati Dini meninggalkan aki Jupri, setelah mencium punggung telapak tangannya dengan penuh rasa  khikmat. Dia merasa berhutang budi pada kakek tua yang baik hati itu.

Perubahan Dini sangat terlihat. Ia menjadi lebih baik. Dipastikan dia tidak akan melakukan kesalahan masa lalu, dengan menjadi penggoda di tengah hubungan orang lain. Dini berusaha membersihkan diri dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat.

Kakinya melangkah ke arah terminal bis, tujuannya ingin menemui Iwan, meski hatinya tidak yakin; apakah Iwan dan Tia masih hidup.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelakor dan mantan suami   55. Sita yang bebal.

    Manusia memang tak ada yang sempurna. Demikian pula dengan Sita. Gadis yang berusia 18 tahun ini baru saja tamat dari Sekolah Menengah Atas. Masa pubertas yang dipengaruhi gejolak emosional, lebih sering dikuasai oleh tuntutan pemenuhan hasrat dari dalam tubuhnya saja.Wardah jalan disamping bi Risna, ia menuju ke sebuah pintu kamar, lalu membukakannya. Kamar itu kosong. Ia memberitahu dengan bahasa tangannya supaya bi Risna bersihkan dulu. Bi Risna meresponnya dengan mengangguk-angguk. Wardah lalu pergi meninggalkan bi Risna disitu. Bi Risna dan Sita di yang jalan belakangnya, lalu masuk ke dalam kamar tersebut.Ruangan kosong itu berukuran cukup besar, empat kali tiga setengah meter. Dulu, sewaktu masih ada almahum ibunya Wardah, ruang tersebut digunakan untuk segala kegiatan. Tempat bermain Wardah dimasa kanak-kanak, tempat belajar bahasa isyarat, menulis dan membaca; hingga dijadikan tempat Wardah Fatimah belajar membuat kue. Benda-benda sisa kegiatan dari masa lalu tersebut sudah

  • Pelakor dan mantan suami   55. Sita yang bebal.

    Manusia memang tak ada yang sempurna. Demikian pula dengan Sita. Gadis yang berusia 18 tahun ini baru saja tamat dari Sekolah Menengah Atas. Masa pubertas yang dipengaruhi gejolak emosional, lebih sering dikuasai oleh tuntutan pemenuhan hasrat dari dalam tubuhnya saja. Wardah jalan disamping bi Risna, ia menuju ke sebuah pintu kamar, lalu membukakannya. Kamar itu kosong. Ia memberitahu dengan bahasa tangannya supaya bi Risna bersihkan dulu. Bi Risna meresponnya dengan mengangguk-angguk. Wardah lalu pergi meninggalkan bi Risna disitu. Bi Risna dan Sita di yang jalan belakangnya, lalu masuk ke dalam kamar tersebut. Ruangan kosong itu berukuran cukup besar, empat kali tiga setengah meter. Dulu, sewaktu masih ada almahum ibunya Wardah, ruang tersebut digunakan untuk segala kegiatan. Tempat bermain Wardah dimasa kanak-kanak, tempat belajar bahasa isyarat, menulis dan membaca; hingga dijadikan tempat Wardah Fatimah belajar membuat kue. Benda-benda sisa kegiatan dari masa lalu tersebut su

  • Pelakor dan mantan suami   54. Dua rumah sakit berbeda.

    Setelah slang infus dipasang oleh Perawat di tangan Dewi, Perawat itu mendekati Dr Permana. "Bagaimana kondisi istri saya suster?" "Tekanan darahnya agak rendah, tapi gak apa-apa.. bu Dewi butuh istirahat saja. Dokter Herman sedang dalam perjalanan kesini dok," ucap Perawat jaga itu. "Baik suster, terimakasih," Perawat itu menuju ke meja, lalu memberi catatan pada selembar kertas diatas papan jalan, dan keluar dari ruangan. "Kalau ada apa-apa, saya di ruang jaga dok," "Baik Suster, terimakasih.." sahut Dr Permana. Dr Permana duduk disamping ranjang pasien. Dia menatap wajah istrinya, merasa kuatir melihat kondisi Dewi, tubuhnya sangat lemah serta wajahnya pucat. Dr Permana tampak mengelus tangan Dewi dengan penuh kasih. "Kamu sabar ya sayang... ini reaksi kandungan dengan tubuhmu. Gak apa-apa, gak lama kok.. aku yakin kamu pasti kuat.." seru Dr Permana sambil menciumi punggung tangan istrinya. Dewi mengangguk pelan, "Terimakasih ya.. Aku jadi ngantuk pap.. " "Iya

  • Pelakor dan mantan suami   53. Wardah mengidam.

    Motor Iwan keluar dari halaman samping warung Wahyu. Dia merasa lega karena sudah membawa Tia ke rumah miliknya. Dia percaya, disitu banyak yang akan menjaga serta membimbingnya. Didalam benak Iwan ada target bahwa tahun depan Tia sudah harus masuk sekolah Taman Kanak-kanak, mungkin bisa juga bersama dengan Nana, kalau dia mau. Iwan memparkir motornya di pinggir jalan untuk menelpon pak Hasan, "Assalamu'alaikum pak Hasan, saya minta alamat rumah sakitnya pak haji," "Oh iya boleh..." Pak Hasan pun menjelaskan alamatnya, lalu Iwan mencari alamat tersebut, dengan bertanya-tanya kepada warga yang duduk di depan sebuah warung kopi di pinggir jalan raya itu. Sampai akhirnya dia menemukan letak rumah sakit tersebut. Iwan memparkir motornya, lalu masuk ke area lobby rumah sakit. di depan meja costumer service, dia bertanya pada petugas wanita disitu. "Ada yang bisa saya bantu pak?" tanya petugas wanita tersebut. "Kalau pasien pak haji Mahmud dirawat di lantai berapa kak?" tanya Iwan

  • Pelakor dan mantan suami   52. Kembali ke rumah.

    Mobil pajero hitam milik pak haji Mahmud melaju meninggalkan pinggir jalan depan warung Wahyu. Iwan mengenalkan Dini dan Tia pada keluarga Wahyu. Mereka pun saling bersalaman, mengenalkan diri masing-masing, "Wahyu... ini Nuning istri saya, itu nek Warni ibunya Nuning. Nah yang ini Nana kak.." "Nanti Tia main sama Nana disini ya?" sela Iwan. "Iya ayah.." Tia bersalaman dengan Nana. "Yuuk kita main di sana, ada ayunan lho.." Nana mengajak Tia. Iwan terperangah mendengar ucapan Nana. "Dimana ayunannya Na?" "Di samping rumah om.. kemarin Bapak dan Aki yang buatin.. ayoo" Nana dan Tia tampak langsung akrab. Mereka berlari menuju ke arah halaman samping rumah Iwan. Iwan, Dini, pak Sidik, Wahyu dan Nuning, saling bersitatap, dan tersenyum lebar. "Alhamdulillah... makasih Yu.." "Iya bang.. saya tahu mereka butuh tempat bermain, jadi kemarin saya cari ban bekas dan trus diikat ke pohon di samping belakang rumah abang.." "Tapi kuat ya Yu..?" "Kuat bang.."Iwan menoleh ke arah Dini

  • Pelakor dan mantan suami   51. Perjalanan

    Mereka tampak menikmati makan siang di satu warung makan di pinggir jalan raya itu. Setelah perutnya terisi makanan, wajah Dini terlihat segar. Iwan lalu menyuruhnya menelan pil anti mabuk. "Obat anti mabuknya diminum Din, kita bakal naik kapal feri.. nanti kalau mabuk lagi gimana?" "Iya bu diminum," celetuk Tia. "Iya Tia," jawab Dini sambil mengambil obat tersebut dari dalam tasnya. Dini pun lalu menelan pil anti mabuk tersebut. Tak lama kemudian, setelah Iwan merasa sudah cukup waktu istirahat bagi mereka, dia membayar makanan dan mengajak istri dan anaknya menuju ke mobil. Pak Hasan menyalakan mesin mobil, dan mobil melaju kembali. ** Pelabuhan Merak sudah terlihat. Matahari mulai bergeser ke tengah. Diantara teriknya panas matahari, tampak kesibukan kendaraan yang hendak menyeberang menuju Pelabuhan Bakauhuni. Suasana kesibukan di Pelabuhan Merak, tidak begitu padat, mungkin karena hari ini bukan hari liburan anak-anak sekolah dan bukan hari besar juga. Setelah menga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status