Share

bab 3. Kontradiksi

Dewi senang mendengar kata-kata Tia yang menyebut ibu padanya, karena selama ini, belum pernah terdengar kata “ibu” keluar dari mulutnya.

Tia lalu dijaga oleh mbak Surti, sementara Dewi bisa sedikit lebih tenang.

Dewi beruntung, karena selama pandemi ini dia bisa kerja dari rumah, meski kadang dua minggu satu kali ia harus meeting ke kantor, tetapi hal itu tidak merepotkan dirinya. Ia mulai dengan kegiatan baru, di samping kewajiban rutin atas tanggungjawab kerja dari kantornya, ia merawat Tia bersama mbak Surti di rumah.

Tia bertanya kepada Dewi. Tidak sekali dua kali, berkali-kali.

”Iwan kemana Bu?"

”Iwan itu siapa? Ibu siapa?"

Dewi kembali sedih, ternyata Tia belum mengenalnya sebagai ibu kandungnya. Sejauh ini dia hanya tahu sebutan ibu, seolah hanya sebuah nama panggilan saja. Ia ingin konsultasi pada psikiater, dan sekaligus pada dokter ortopedi, tapi suasana rumah sakit masih dipenuhi oleh pasien covid19. Ada perasaan takut yang hadir dan mencengkeram hatinya. Takut tertular virus flu yang berbahaya tersebut.

Namun, pada akhirnya ia memberanikan diri menelpon nomor handphone dokter Permana, sang psikiater. Beberapa hari masih belum ada jawaban sama sekali, karena tidak diangkat. Akhirnya Dewi kirim sms dan malam harinya baru dapat jawaban, bahwa dokter Permana baru saja kembali dari tugas di luar kota.

Dokter Finka waktu itu sempat bilang, bahwa dokter Permana adalah kakak kelas mereka sewaktu di SMA dulu. Akan tetapi, Dewi sudah lupa.

”Masa kamu lupa Wi? Inget gak waktu tas kamu digantung di tiang bendera, terus kamu sibuk mencari tas kamu sebelum pulang sekolah, gak ketemu sampai kamu pulang," kata dokter Finka.

”Oh waktu kejadian itu. Iya inget, Maman panggilannya kan? Malamnya dia datang ke rumahku mengembalikan tas dan minta maaf. Tapi aku kerjain dia Fin. Aku suruh dia ajari pelajaran biologi yang paling aku gak suka, hehehe.” Dewi tertawa kecil saat ingat masa itu.

Dewi tidak bisa membayangkan, bagaimana pertemuannya dengan dokter Permana nanti.

Maman Permana itu orangnya culun tapi cerdas dan selalu juara kelas, kurus pendek kecil, dan terkenal jahil. 

Waktu itu, Dewi sebal atas ulahnya, meski terobati oleh kedatangannya ke rumah dan minta maaf. Terkadang, Dewi sering senyum-senyum sendiri. Masa lalu dengan dokter Permana bisa membuat Dewi melupakan Iwan.

"Apa aku harus bisa melupakan Iwan dan serius mencari calon suami? Aku udah bertemu anakku, ini saatnya dia punya ayah pengganti. Aku harus membuat Tia merasa lebih beruntung punya orangtua lengkap." Dewi sampai berpikir seperti itu.

 

Besar harapan Dewi, ke depannya dokter Permana mau datang ke rumahnya. Konseling langsung pada pasien. Berapa pun yang mesti Dewi bayar, ia siap pada konsekuensi tersebut. Sedikitnya, ia merasa sudah ada bayangan jalan keluar; dari masalah trauma mental yang dialami oleh Tia, puterinya.

Disamping itu, Dewi ingin mendekatkan Tia dengan si dokter; layaknya hubungan ayah dengan anak. Setelah itu, Dewi punya senjata untuk bisa menikah dengan Permana atas dasar anak. Ia ingin melihat anaknya bahagia.

Namun, hati Dewi tidak mudah berpaling dari Iwan. Apalagi mereka sudah menjalin kisah lama. Rasanya Dewi ingin rujuk kembali dengan Iwan dan hidup bersama Tia. Sekarang semuanya sudah berubah, dipastikan Dini tidak akan hadir lagi sebagai perusak rumah tangga.

Akan tetapi, Dewi sama sekali tidak tahu bahwa Dini masih hidup; di tempat lain. Waktu peristiwa tsunami itu, Dini hanyut terbawa arus dan terdampar ditepi pantai pesisir daerah Karawang. Ia tidak sadarkan diri, hingga ada beberapa nelayan yang melihat  dirinya terkapar disitu.

"Eh, lihat itu sepertinya ada orang yang terdampar, kita lihat apa dia masih hidup?" kata seorang Nelayan yang terlihat penasaran.

Salah seorang kawannya yang mendengar hal itu agak khawatir tapi juga merasa iba terhadap Dini. Hingga akhirnya mereka pun memutuskan untuk menghampiri Dini dan melihat kondisi dari wanita itu. Disekujur tubuh Dini terlihat banyak luka. Setelah mengetahui bahwa Dini masih bernafas, para nelayan itu hendak membawanya ke pos kesehatan di  TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Disitu adalah tempat berkumpulnya, para nelayan serta saudagar atau boss-boss yang sengaja hendak membeli ikan fresh langsung dari penampungan hasil tangkapan nelayan.

Tetapi langkah mereka dihalangi oleh aki Jupri, seorang kakek berusia 85 tahun, yang hidup sendiri di rumahnya.

”Jangan dibawa kesana, biar aki saja yang mengobati anak ini,”

Mereka tidak berani menolak niat baik aki Jupri, karena mereka tahu siapa kakek tua itu sebenarnya.

"Kalau begitu, saya akan bantu menggotongnya ke rumah aki," kata kedua orang nelayan yang tinggal tak jauh dari rumah aki Jupri.

Sederetan perumahan kumuh tempat para Nelayan bermukim untuk sementara. Sedangkan, Aki Jupri penduduk asli di daerah ini. Rumahnya hanya sebuah gubuk kecil terbuat dari bilik bambu disanggah oleh kayu, dan juga batang-batang bambu. Kedua nelayan itu menggotong tubuh Dini masuk ke rumah aki Jupri, lalu meletakkannya diatas bale bambu beralaskan tikar dan sebuah bantal kumal.

Gubuk ini hanya satu ruangan terbuka, di pojok tampak tungku kayu untuk memasak serta peralatan masak seadanya. Aki Jupri dengan tulus menolong Dini, memperhatikan luka-luka ditangan dan kakinya, yang membiru dan mulai mengeluarkan bau nanah. Dia lalu mengganti pakaian Dini dengan sebuah sarung bersih. Memasak air, untuk melap seluruh tubuh Dini dengan air hangat. Kemudian membalurkan ramuan rempah-rempah yang dibuatnya.

Dengan kesabaran, aki Jupri merawat luka-luka di tubuh Dini tanpa mengenal lelah. Terutama luka pada wajah Dini, sebuah sobekan dipipinya, yang mungkin tersentuh benda tajam sewaktu ia terbawa gelombang tsunami; beberapa hari yang lalu.

Tak lama kemudian, ramuan rempah-rempah mulai bereaksi, rasa perih yang menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsum dikakinya, membuat Dini tersadar dari pingsannya. Matanya langsung melihat aki Jupri yang sedang mengipasi ramuan rempah dikakinya, supaya tidak terasa perihnya oleh Dini.

"Aki siapa? saya ini ada dimana? kata Dini pelan.

"Jangan bergerak dulu neng.. ada sobekan dipipi neng, baru saja aki tempel ramuan obatnya,"

Dini hendak memegang pipinya, tapi tangannya tak kuat. Dini sedih, tak mampu menahan airmatanya yang  menetes tak tertahankan.

"Eneng ditemukan nelayan di ujung pesisir pantai, trus aki suruh bawa kesini,"

  

Dini merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup. Ia tidak tahu bagaimana nasibnya jika tidak ditemukan oleh para Nelayan dan diurus oleh aki Jupri. 

"Ya Allah, padahal aku banyak salah dan dosa, tapi Engkau masih mau menyelamatkan aku, aku jadi malu aki," ucapnya.

”Tidak mengapa neng.. Allah Maha Pengampun dosa. Bertaubatlah, dengan niat yang kuat, dan jangan mengulanginya lagi,”

”Insyaa Allah Ki..”

Satu tahun lebih, Dini masih belum kuat bangun dan berdiri, ia hanya menyaksikan, disetiap waktunya shalat, melihat aki Jupri pergi ke Mushola. Dan disetiap selesai shalat maghrib dari Mushola, aki Jupri membawa santri-santrinya, yaitu anak-anak yatim piatu yang masih kecil-kecil, untuk belajar mengaji dirumah itu.

"Anak-anak, baca al Fatihah untuk teteh eneng ya, supaya lekas sembuh sakitnya,"

"Iya ki.." sahut mereka bersamaan. 

Rutinitas hal tersebut telah mengetuk pintu hati Dini, membuat perasaannya jadi semakin sedih dan muncul perasaan rindu untuk kembali dan mengadu kepada Tuhannya. 

Mulanya Dini merasa sangat tidak yakin dengan apa yang dia lakukan, karena khawatir Allah tidak mau menerima taubatnya atas banyaknya kesalahan yang telah ia buat. 

"Ya allah, apakah aku masih layak berhadapan denganMu?" dalam benak Dini yang sering memperhatikan Aki Jupri shalat pada tengah malam.

Sejak saat itu, Dini mau mengenakan hijab atau jilbab; yang diberikan aki Jupri, dari peninggalan almarhum isterinya. Aki Jupri juga mengajarkan Dini shalat walau tubuhnya masih terbaring lemah.

Bulan berganti bulan, tahun pun berganti tahun. Tak terasa, sudah dua tahun lebih Dini dirawat oleh aki Jupri. Kondisi badan Dini sudah pulih seperti sedia kala, ia sudah bisa membantu aki Jupri memasak air, kadang menggoreng ikan yang dibawa oleh aki Jupri dari pantai.

 Hingga suatu hari, setelah melihat kondisi Dini sehat kembali; aki Jupri bertanya,

“Apa kamu tidak punya keluarga nak?” 

”Ada aki.. tapi jauh, di pulau Nias.”

”Apa kamu rindu pada keluargamu?”

”Iya ki.. tapi aku tak punya uang untuk kembali kesana,”

Aki Jupri melangkah, lalu mengambil sebuah kotak yang disembunyikannya di pojok dapur. Dia membuka kotak tersebut di depan Dini, didalam kotak itu tampak berisi beberapa gulungan uang kertas yang terikat karet gelang dengan lembaran yang bernilai limapuluh ribuan.

”Ini uang simpanan aki.. kamu pakailah untuk kembali pada keluargamu,”

”Tapi Ki, nanti bagaimana kalau aki butuh uang..”

”Sudah, tidak apa-apa. Kamu pergilah.. temui keluarga yang kamu rindukan,”

Keesokan harinya, dengan berat hati Dini meninggalkan aki Jupri, setelah mencium punggung telapak tangannya dengan penuh rasa  khikmat. Dia merasa berhutang budi pada kakek tua yang baik hati itu.

Perubahan Dini sangat terlihat. Ia menjadi lebih baik. Dipastikan dia tidak akan melakukan kesalahan masa lalu, dengan menjadi penggoda di tengah hubungan orang lain. Dini berusaha membersihkan diri dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat.

Kakinya melangkah ke arah terminal bis, tujuannya ingin menemui Iwan, meski hatinya tidak yakin; apakah Iwan dan Tia masih hidup.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status