Share

bab 2. Mantan suami

“Dini, keluar kamu,” bentak Dewi kasar.

“Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan.

”Bohong kamu!” Dewi menerobos gordein yang menutup pintu kamar. Dilihatnya kamar itu kosong. 

”Kamu sembunyikan dimana iblis laknat ?!” Dewi semakin menggila, mencari ke balik pintu kamar, dalam lemari, sampai kolong tempat tidur.

”Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan sambil mengajaknya keluar dari kamar.

”Jangan sentuh aku!" Dewi menepis tangan Iwan dengan kasar.

"Baguslah kalau udah meninggal, biar dia langsung masuk ke neraka," ucap Dewi lantang. Hati wanita sesabar apa lagi yang tak akan marah saat diuji perselingkuhan didalam rumah tangganya.

Dewi membalikkan tubuhnya kembali mendekati Tia sambil menggerutu.

”Perempuan tidak tau diri, tidak tau berterimakasih." 

Pak Sidik dan Iwan hanya bisa terdiam di situ.

"Kami sudah berusaha membawa Tia berobat kemana-mana neng Dewi, tapi Tia masih tetap seperti itu," ucap pak Sidik.

 

Di sela-sela itu, Iwan masuk ke kamar lagi. Ia kembali setelah beberapa menit kemudian. Iwan memperlihatkan beberapa keping emas milik Dewi.

"Ini sisa harta kamu yang aku ambil dulu," kata Iwan.

"Aku tahu, kamu tidak akan memaafkan kesalahanku, ini kunci mobil kamu,"

tambahnya sambil menghampiri Dewi dan menyerahkan semua benda tersebut.

Dewi menyambarnya dengan kasar.

"Gak perlu bertele-tele, Tia ikut aku sekarang," ucap Dewi tegas.

Iwan tahu persis sikap Dewi akan seperti itu, dia sadar betul atas kesalahannya dulu.

"Ini baju-baju Tia." Iwan bicara lagi.

"Aku antar kamu Wi," tambahnya.

"Gak perlu," sahut Dewi singkat.

Dewi mengajak Tia,

"Ayoo Tia, ikut ibu ya, ayo."

Tia hanya menatap Dewi dengan pandangan mata yang kosong. Tia tidak mengenali siapa Dewi. Ia hanya bingung sekaligus bengong; sejak tadi jadi penonton dari kemarahan serta kesedihan Dewi di depan matanya.

Dewi mengajak Tia berdiri dari kursi. Namun, tiba-tiba ia terjatuh. Kakinya tak kuat, Tya meringis kesakitan.

”Tia ... kamu tidak bisa berdiri? Ya Allah. Anakku.” Dewi terbata-bata, memeluk tubuh Tia.

Sulit menerima kenyataan jika sekarang puterinya lumpuh. Padahal, Tia adalah anak yang aktif dan juga cerdas.

Hancur hati Dewi berkeping-keping melihat kondisi Tia. 

Ia merasa bersalah, dan kepalanya terasa seperti mau pecah.

Tangisnya pun tak dapat ia bendung lagi.

”Maafkan ibu ya Tia. Ibu tidak mencarimu waktu itu, maafkan ibu nak, maafkan."

Dewi menangis sesegukan, airmata mengalir deras membasahi pipinya. Sesekali ia menyeka airmatanya dengan kaos tangan panjangnya.

"Aku sudah membawa Tia ke dokter untuk fisioterapi, tapi belum ada hasilnya," kata Iwan.

Pak Sidik lalu mengambil kursi roda kecil di kamar belakang. Tempat Tia tidur.

”Sabar ya Tia, ibu sayang kamu. Ibu akan jaga kamu,” ucap Dewi sambil mencium pipi Tia dan tak mampu menahan kepedihan hatinya yang menyesakkan dadanya.

Mengapa anaknya yang harus menanggung penderitaan ini?

Dewi lalu menggendong tubuh Tia dan menaruh di atas kursi roda. Tanpa basa basi lagi kepada Pak Sidik, ia mendorong kursi roda keluar dari rumah.

"Kamu yang setir mobil," kata Dewi sambil melempar kunci mobil ke arah Iwan.

Tapi Iwan tidak siap, sehingga kunci itu jatuh, dan dia langsung mengambilnya.

"Cepat!" Dewi tidak sabar.

Iwan membuka pintu mobil, Dewi menggendong Tia masuk ke dalam mobil, dan Iwan mengambil kursi rodanya, dilipat lalu ditaruh di jok kursi depan.

"Taro di bagasi, bukan disitu,"

Iwan menuruti perintah Dewi, lalu mengambil kursi roda yang sudah dilipat dari jok depan dan memasukkannya kedalam bagasi di belakang mobil.

Mobil pun meluncur menjauh dari situ, diikuti tatapan pak Sidik yang masih mematung didepan pintu.

**

Dewi mengamati perubahan fisik puteri kecilnya. Anak yang dulu usianya masih tiga tahun, kini sudah terlihat dewasa. Tia sudah tumbuh besar. Namun, Dewi meragukan hidup Tia sekarang, dia yakin banyak tekanan mental yang dihadapi puterinya. Apalagi selama ini Tia diasuh oleh orang yang tidak benar menyayanginya, Dewi sudah membayangkan kasih sayang apa yang didapat Tiara.

"Kamu gak apa-apa 'kan Nak? Ibu khawatir," kata Dewi. Dia membisikkan di telinga Tia, berharap Iwan tak mendengar.

"Gak apa-apa." Tia menjawab datar. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika Dewi adalah ibu kandungnya.

Perhatian Dewi langsung teralihkan. Dia langsung teringat, cara mengembalikan keaktifan Tia adalah dengan menyewa seseorang. Membawa Tia ke salah satu orang ini akan membuatnya sembuh.

"Aku punya kenalan dari teman. Moga dia bisa berjodoh bagi kesembuhan puteriku. Ya Allah. Ridhoi jalanku," ucapnya dalam hati.

Di kontak ponselnya, terlihat nama-nama psikiater yang diberikan oleh kenalan Dewi untuk dihubungi. Ya, Dewi punya pemikiran untuk membawa anaknya ke ahli kejiwaan.

**

Setiba di rumah, Dewi langsung menyuapi Tia di ruang tamu. Sedangkan Iwan makan sendirian di kursi dapur. Mbak Surti membawakan minuman hangat dua gelas untuk Tia dan Dewi.

"Mbak Surti nanti tidur di sofa saja, biar dia yang tidur di kamar mbak ya,” kata Dewi pada mbak Surti.

Iwan mendengar ucapan Dewi.

"Gak usah Wi, aku langsung pulang," sahut Iwan dari dapur.

"Kalau dia sudah pergi, mbak Surti kunci garasi dan pagar depan,” pinta Dewi.

"Baik non."

Rumah Dewi ini tidak besar, hanya ada 2 kamar tidur. Ia membeli rumah ini setelah ibunya meninggal dunia. Dewi menjual rumahnya, lalu memilih tinggal di rumah kecil pada pemukiman penduduk yang agak padat. Di Jl. Empang 3 Jakarta Selatan. Dewi memilih rumah itu, karena tidak jauh dari kantornya.

Selang beberapa saat, motor Iwan pergi meninggalkan rumah Dewi. Ia hanya diam. Padahal hatinya masih ingin melihat Iwan ada di rumahnya dan mengenang masa lalu yang pernah dirasa indah oleh Dewi.

Perhatian Dewi teralihkan pada gadis belia di depannya. Saat itu Tia celingukan, dia menatap sekeliling sambil terpelongo. Wajar saja Tia asing, ia benar-benar tidak paham wajah Dewi, sekalipun status wanita itu adalah orang tua kandungnya.

"Kamu mulai sekarang tinggal di sini ya? Kamu anak Ibu."

Tia terdiam. Dia menarik napas dalam, kemudian mencari Iwan. "Ke mana ayah?"

Dewi mengatakan jika Iwan akan kembali, tetapi Tia tidak percaya. Dia mendesak untuk pulang kembali ke rumah kakek dan neneknya.

Melihat kondisi Tia, Dewi tidak tega. Namun, dia punya satu cara untuk bisa memperbaiki semua ini. Dewi berjalan ke arah lemari, dia mencari sesuatu, kembali ke hadapan Tia dengan membawa sebuah album foto. Di sana ada gambar bayi perempuan yang menggemaskan.

"Coba tebak ini siapa?"

Tia mengerutkan dahi. Ia merasa memiliki foto yang sama di rumahnya. Ia paham jika gambar bayi itu adalah foto dirinya sewaktu masih kecil.

"Ini Tiarawaty, anak saya. Sedangkan ini foto saya. Kami adalah Ibu dan anak."

Tia kebingungan. Ia tidak pernah merasa jika Dewi adalah ibu kandungnya. Setelah berpikir keras, Tia memegangi kepala. Ia menggelengkan kepala dan mengeluh sakit. Hal itu tentu membuat Dewi ikut kelabakan. Satu hal yang dilakukan Dewi, yaitu menghubungi kontak psikiater atas nama dokter Permana dan siap membawa puterinya ke sana.

Namun, saat hendak melakukan apa yang sudah ada di ujung pikiran, tiba-tiba Tia berbicara. "Ibu ... kepalaku sakit Ibu. Tolong...."

  

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status