Share

bab 2. Mantan suami

Auteur: Ambu Abbas
last update Dernière mise à jour: 2023-06-17 08:02:38

“Dini, keluar kamu,” bentak Dewi kasar.

“Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan.

”Bohong kamu!” Dewi menerobos gordein yang menutup pintu kamar. Dilihatnya kamar itu kosong. 

”Kamu sembunyikan dimana iblis laknat ?!” Dewi semakin menggila, mencari ke balik pintu kamar, dalam lemari, sampai kolong tempat tidur.

”Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan sambil mengajaknya keluar dari kamar.

”Jangan sentuh aku!" Dewi menepis tangan Iwan dengan kasar.

"Baguslah kalau udah meninggal, biar dia langsung masuk ke neraka," ucap Dewi lantang. Hati wanita sesabar apa lagi yang tak akan marah saat diuji perselingkuhan didalam rumah tangganya.

Dewi membalikkan tubuhnya kembali mendekati Tia sambil menggerutu.

”Perempuan tidak tau diri, tidak tau berterimakasih." 

Pak Sidik dan Iwan hanya bisa terdiam di situ.

"Kami sudah berusaha membawa Tia berobat kemana-mana neng Dewi, tapi Tia masih tetap seperti itu," ucap pak Sidik.

 

Di sela-sela itu, Iwan masuk ke kamar lagi. Ia kembali setelah beberapa menit kemudian. Iwan memperlihatkan beberapa keping emas milik Dewi.

"Ini sisa harta kamu yang aku ambil dulu," kata Iwan.

"Aku tahu, kamu tidak akan memaafkan kesalahanku, ini kunci mobil kamu,"

tambahnya sambil menghampiri Dewi dan menyerahkan semua benda tersebut.

Dewi menyambarnya dengan kasar.

"Gak perlu bertele-tele, Tia ikut aku sekarang," ucap Dewi tegas.

Iwan tahu persis sikap Dewi akan seperti itu, dia sadar betul atas kesalahannya dulu.

"Ini baju-baju Tia." Iwan bicara lagi.

"Aku antar kamu Wi," tambahnya.

"Gak perlu," sahut Dewi singkat.

Dewi mengajak Tia,

"Ayoo Tia, ikut ibu ya, ayo."

Tia hanya menatap Dewi dengan pandangan mata yang kosong. Tia tidak mengenali siapa Dewi. Ia hanya bingung sekaligus bengong; sejak tadi jadi penonton dari kemarahan serta kesedihan Dewi di depan matanya.

Dewi mengajak Tia berdiri dari kursi. Namun, tiba-tiba ia terjatuh. Kakinya tak kuat, Tya meringis kesakitan.

”Tia ... kamu tidak bisa berdiri? Ya Allah. Anakku.” Dewi terbata-bata, memeluk tubuh Tia.

Sulit menerima kenyataan jika sekarang puterinya lumpuh. Padahal, Tia adalah anak yang aktif dan juga cerdas.

Hancur hati Dewi berkeping-keping melihat kondisi Tia. 

Ia merasa bersalah, dan kepalanya terasa seperti mau pecah.

Tangisnya pun tak dapat ia bendung lagi.

”Maafkan ibu ya Tia. Ibu tidak mencarimu waktu itu, maafkan ibu nak, maafkan."

Dewi menangis sesegukan, airmata mengalir deras membasahi pipinya. Sesekali ia menyeka airmatanya dengan kaos tangan panjangnya.

"Aku sudah membawa Tia ke dokter untuk fisioterapi, tapi belum ada hasilnya," kata Iwan.

Pak Sidik lalu mengambil kursi roda kecil di kamar belakang. Tempat Tia tidur.

”Sabar ya Tia, ibu sayang kamu. Ibu akan jaga kamu,” ucap Dewi sambil mencium pipi Tia dan tak mampu menahan kepedihan hatinya yang menyesakkan dadanya.

Mengapa anaknya yang harus menanggung penderitaan ini?

Dewi lalu menggendong tubuh Tia dan menaruh di atas kursi roda. Tanpa basa basi lagi kepada Pak Sidik, ia mendorong kursi roda keluar dari rumah.

"Kamu yang setir mobil," kata Dewi sambil melempar kunci mobil ke arah Iwan.

Tapi Iwan tidak siap, sehingga kunci itu jatuh, dan dia langsung mengambilnya.

"Cepat!" Dewi tidak sabar.

Iwan membuka pintu mobil, Dewi menggendong Tia masuk ke dalam mobil, dan Iwan mengambil kursi rodanya, dilipat lalu ditaruh di jok kursi depan.

"Taro di bagasi, bukan disitu,"

Iwan menuruti perintah Dewi, lalu mengambil kursi roda yang sudah dilipat dari jok depan dan memasukkannya kedalam bagasi di belakang mobil.

Mobil pun meluncur menjauh dari situ, diikuti tatapan pak Sidik yang masih mematung didepan pintu.

**

Dewi mengamati perubahan fisik puteri kecilnya. Anak yang dulu usianya masih tiga tahun, kini sudah terlihat dewasa. Tia sudah tumbuh besar. Namun, Dewi meragukan hidup Tia sekarang, dia yakin banyak tekanan mental yang dihadapi puterinya. Apalagi selama ini Tia diasuh oleh orang yang tidak benar menyayanginya, Dewi sudah membayangkan kasih sayang apa yang didapat Tiara.

"Kamu gak apa-apa 'kan Nak? Ibu khawatir," kata Dewi. Dia membisikkan di telinga Tia, berharap Iwan tak mendengar.

"Gak apa-apa." Tia menjawab datar. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika Dewi adalah ibu kandungnya.

Perhatian Dewi langsung teralihkan. Dia langsung teringat, cara mengembalikan keaktifan Tia adalah dengan menyewa seseorang. Membawa Tia ke salah satu orang ini akan membuatnya sembuh.

"Aku punya kenalan dari teman. Moga dia bisa berjodoh bagi kesembuhan puteriku. Ya Allah. Ridhoi jalanku," ucapnya dalam hati.

Di kontak ponselnya, terlihat nama-nama psikiater yang diberikan oleh kenalan Dewi untuk dihubungi. Ya, Dewi punya pemikiran untuk membawa anaknya ke ahli kejiwaan.

**

Setiba di rumah, Dewi langsung menyuapi Tia di ruang tamu. Sedangkan Iwan makan sendirian di kursi dapur. Mbak Surti membawakan minuman hangat dua gelas untuk Tia dan Dewi.

"Mbak Surti nanti tidur di sofa saja, biar dia yang tidur di kamar mbak ya,” kata Dewi pada mbak Surti.

Iwan mendengar ucapan Dewi.

"Gak usah Wi, aku langsung pulang," sahut Iwan dari dapur.

"Kalau dia sudah pergi, mbak Surti kunci garasi dan pagar depan,” pinta Dewi.

"Baik non."

Rumah Dewi ini tidak besar, hanya ada 2 kamar tidur. Ia membeli rumah ini setelah ibunya meninggal dunia. Dewi menjual rumahnya, lalu memilih tinggal di rumah kecil pada pemukiman penduduk yang agak padat. Di Jl. Empang 3 Jakarta Selatan. Dewi memilih rumah itu, karena tidak jauh dari kantornya.

Selang beberapa saat, motor Iwan pergi meninggalkan rumah Dewi. Ia hanya diam. Padahal hatinya masih ingin melihat Iwan ada di rumahnya dan mengenang masa lalu yang pernah dirasa indah oleh Dewi.

Perhatian Dewi teralihkan pada gadis belia di depannya. Saat itu Tia celingukan, dia menatap sekeliling sambil terpelongo. Wajar saja Tia asing, ia benar-benar tidak paham wajah Dewi, sekalipun status wanita itu adalah orang tua kandungnya.

"Kamu mulai sekarang tinggal di sini ya? Kamu anak Ibu."

Tia terdiam. Dia menarik napas dalam, kemudian mencari Iwan. "Ke mana ayah?"

Dewi mengatakan jika Iwan akan kembali, tetapi Tia tidak percaya. Dia mendesak untuk pulang kembali ke rumah kakek dan neneknya.

Melihat kondisi Tia, Dewi tidak tega. Namun, dia punya satu cara untuk bisa memperbaiki semua ini. Dewi berjalan ke arah lemari, dia mencari sesuatu, kembali ke hadapan Tia dengan membawa sebuah album foto. Di sana ada gambar bayi perempuan yang menggemaskan.

"Coba tebak ini siapa?"

Tia mengerutkan dahi. Ia merasa memiliki foto yang sama di rumahnya. Ia paham jika gambar bayi itu adalah foto dirinya sewaktu masih kecil.

"Ini Tiarawaty, anak saya. Sedangkan ini foto saya. Kami adalah Ibu dan anak."

Tia kebingungan. Ia tidak pernah merasa jika Dewi adalah ibu kandungnya. Setelah berpikir keras, Tia memegangi kepala. Ia menggelengkan kepala dan mengeluh sakit. Hal itu tentu membuat Dewi ikut kelabakan. Satu hal yang dilakukan Dewi, yaitu menghubungi kontak psikiater atas nama dokter Permana dan siap membawa puterinya ke sana.

Namun, saat hendak melakukan apa yang sudah ada di ujung pikiran, tiba-tiba Tia berbicara. "Ibu ... kepalaku sakit Ibu. Tolong...."

  

 

 

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Pelakor dan mantan suami   55. Sita yang bebal.

    Manusia memang tak ada yang sempurna. Demikian pula dengan Sita. Gadis yang berusia 18 tahun ini baru saja tamat dari Sekolah Menengah Atas. Masa pubertas yang dipengaruhi gejolak emosional, lebih sering dikuasai oleh tuntutan pemenuhan hasrat dari dalam tubuhnya saja.Wardah jalan disamping bi Risna, ia menuju ke sebuah pintu kamar, lalu membukakannya. Kamar itu kosong. Ia memberitahu dengan bahasa tangannya supaya bi Risna bersihkan dulu. Bi Risna meresponnya dengan mengangguk-angguk. Wardah lalu pergi meninggalkan bi Risna disitu. Bi Risna dan Sita di yang jalan belakangnya, lalu masuk ke dalam kamar tersebut.Ruangan kosong itu berukuran cukup besar, empat kali tiga setengah meter. Dulu, sewaktu masih ada almahum ibunya Wardah, ruang tersebut digunakan untuk segala kegiatan. Tempat bermain Wardah dimasa kanak-kanak, tempat belajar bahasa isyarat, menulis dan membaca; hingga dijadikan tempat Wardah Fatimah belajar membuat kue. Benda-benda sisa kegiatan dari masa lalu tersebut sudah

  • Pelakor dan mantan suami   55. Sita yang bebal.

    Manusia memang tak ada yang sempurna. Demikian pula dengan Sita. Gadis yang berusia 18 tahun ini baru saja tamat dari Sekolah Menengah Atas. Masa pubertas yang dipengaruhi gejolak emosional, lebih sering dikuasai oleh tuntutan pemenuhan hasrat dari dalam tubuhnya saja. Wardah jalan disamping bi Risna, ia menuju ke sebuah pintu kamar, lalu membukakannya. Kamar itu kosong. Ia memberitahu dengan bahasa tangannya supaya bi Risna bersihkan dulu. Bi Risna meresponnya dengan mengangguk-angguk. Wardah lalu pergi meninggalkan bi Risna disitu. Bi Risna dan Sita di yang jalan belakangnya, lalu masuk ke dalam kamar tersebut. Ruangan kosong itu berukuran cukup besar, empat kali tiga setengah meter. Dulu, sewaktu masih ada almahum ibunya Wardah, ruang tersebut digunakan untuk segala kegiatan. Tempat bermain Wardah dimasa kanak-kanak, tempat belajar bahasa isyarat, menulis dan membaca; hingga dijadikan tempat Wardah Fatimah belajar membuat kue. Benda-benda sisa kegiatan dari masa lalu tersebut su

  • Pelakor dan mantan suami   54. Dua rumah sakit berbeda.

    Setelah slang infus dipasang oleh Perawat di tangan Dewi, Perawat itu mendekati Dr Permana. "Bagaimana kondisi istri saya suster?" "Tekanan darahnya agak rendah, tapi gak apa-apa.. bu Dewi butuh istirahat saja. Dokter Herman sedang dalam perjalanan kesini dok," ucap Perawat jaga itu. "Baik suster, terimakasih," Perawat itu menuju ke meja, lalu memberi catatan pada selembar kertas diatas papan jalan, dan keluar dari ruangan. "Kalau ada apa-apa, saya di ruang jaga dok," "Baik Suster, terimakasih.." sahut Dr Permana. Dr Permana duduk disamping ranjang pasien. Dia menatap wajah istrinya, merasa kuatir melihat kondisi Dewi, tubuhnya sangat lemah serta wajahnya pucat. Dr Permana tampak mengelus tangan Dewi dengan penuh kasih. "Kamu sabar ya sayang... ini reaksi kandungan dengan tubuhmu. Gak apa-apa, gak lama kok.. aku yakin kamu pasti kuat.." seru Dr Permana sambil menciumi punggung tangan istrinya. Dewi mengangguk pelan, "Terimakasih ya.. Aku jadi ngantuk pap.. " "Iya

  • Pelakor dan mantan suami   53. Wardah mengidam.

    Motor Iwan keluar dari halaman samping warung Wahyu. Dia merasa lega karena sudah membawa Tia ke rumah miliknya. Dia percaya, disitu banyak yang akan menjaga serta membimbingnya. Didalam benak Iwan ada target bahwa tahun depan Tia sudah harus masuk sekolah Taman Kanak-kanak, mungkin bisa juga bersama dengan Nana, kalau dia mau. Iwan memparkir motornya di pinggir jalan untuk menelpon pak Hasan, "Assalamu'alaikum pak Hasan, saya minta alamat rumah sakitnya pak haji," "Oh iya boleh..." Pak Hasan pun menjelaskan alamatnya, lalu Iwan mencari alamat tersebut, dengan bertanya-tanya kepada warga yang duduk di depan sebuah warung kopi di pinggir jalan raya itu. Sampai akhirnya dia menemukan letak rumah sakit tersebut. Iwan memparkir motornya, lalu masuk ke area lobby rumah sakit. di depan meja costumer service, dia bertanya pada petugas wanita disitu. "Ada yang bisa saya bantu pak?" tanya petugas wanita tersebut. "Kalau pasien pak haji Mahmud dirawat di lantai berapa kak?" tanya Iwan

  • Pelakor dan mantan suami   52. Kembali ke rumah.

    Mobil pajero hitam milik pak haji Mahmud melaju meninggalkan pinggir jalan depan warung Wahyu. Iwan mengenalkan Dini dan Tia pada keluarga Wahyu. Mereka pun saling bersalaman, mengenalkan diri masing-masing, "Wahyu... ini Nuning istri saya, itu nek Warni ibunya Nuning. Nah yang ini Nana kak.." "Nanti Tia main sama Nana disini ya?" sela Iwan. "Iya ayah.." Tia bersalaman dengan Nana. "Yuuk kita main di sana, ada ayunan lho.." Nana mengajak Tia. Iwan terperangah mendengar ucapan Nana. "Dimana ayunannya Na?" "Di samping rumah om.. kemarin Bapak dan Aki yang buatin.. ayoo" Nana dan Tia tampak langsung akrab. Mereka berlari menuju ke arah halaman samping rumah Iwan. Iwan, Dini, pak Sidik, Wahyu dan Nuning, saling bersitatap, dan tersenyum lebar. "Alhamdulillah... makasih Yu.." "Iya bang.. saya tahu mereka butuh tempat bermain, jadi kemarin saya cari ban bekas dan trus diikat ke pohon di samping belakang rumah abang.." "Tapi kuat ya Yu..?" "Kuat bang.."Iwan menoleh ke arah Dini

  • Pelakor dan mantan suami   51. Perjalanan

    Mereka tampak menikmati makan siang di satu warung makan di pinggir jalan raya itu. Setelah perutnya terisi makanan, wajah Dini terlihat segar. Iwan lalu menyuruhnya menelan pil anti mabuk. "Obat anti mabuknya diminum Din, kita bakal naik kapal feri.. nanti kalau mabuk lagi gimana?" "Iya bu diminum," celetuk Tia. "Iya Tia," jawab Dini sambil mengambil obat tersebut dari dalam tasnya. Dini pun lalu menelan pil anti mabuk tersebut. Tak lama kemudian, setelah Iwan merasa sudah cukup waktu istirahat bagi mereka, dia membayar makanan dan mengajak istri dan anaknya menuju ke mobil. Pak Hasan menyalakan mesin mobil, dan mobil melaju kembali. ** Pelabuhan Merak sudah terlihat. Matahari mulai bergeser ke tengah. Diantara teriknya panas matahari, tampak kesibukan kendaraan yang hendak menyeberang menuju Pelabuhan Bakauhuni. Suasana kesibukan di Pelabuhan Merak, tidak begitu padat, mungkin karena hari ini bukan hari liburan anak-anak sekolah dan bukan hari besar juga. Setelah menga

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status