Главная / Rumah Tangga / Pelakormu vs Aku / Bab 2: Hari Raya yang Memanas

Share

Bab 2: Hari Raya yang Memanas

Aвтор: Vivits
last update Последнее обновление: 2024-12-31 20:03:47

Perayaan Idul Fitri kali ini terasa lebih berat bagi Kartini. Seperti biasa, keluarga besar suaminya berkumpul, penuh tawa dan canda. Namun, ada sesuatu yang membuat hatinya tidak tenang. Sambil mendengarkan Dini yang sedang memamerkan pencapaiannya, Kartini merasa setiap kata yang keluar dari mulut mertuanya seolah menusuknya.

Dini duduk di sebelah Ibu Sulastri, dengan senyum lebar, menunjukkan kunci mobil Mazda terbaru yang baru dibelinya. "Alhamdulillah, akhirnya aku bisa beli mobil baru! Hasil kerja keras selama ini," ujar Dini bangga.

Ibu Sulastri langsung menyambut dengan suara penuh kebanggaan. "Wah, Dini, luar biasa! Kamu benar-benar bisa memberikan kebanggaan untuk keluarga ini. Tidak seperti yang lain," katanya, sambil menatap Kartini yang duduk di sudut.

Kartini bisa merasakan sindiran halus itu. Ibu Sulastri jelas-jelas sedang membandingkan Dini dengan dirinya. Semua mata terarah pada Dini, sementara dirinya hanya bisa menunduk, mencoba menyembunyikan rasa kecewa yang mulai menggerogoti hatinya.

"Bastian, kapan kamu bisa punya mobil seperti Dini? Lihat saja, Dita sudah punya, Dini sudah punya, kamu kok enggak punya ya?" Ibu Sulastri bertanya, dan kali ini, matanya menatap Bastian, suami Kartini, dengan nada yang lebih tajam.

Bastian terlihat gelagapan. Kartini bisa melihat ekspresi canggung di wajah suaminya, yang mencoba menghindar dari tatapan mertuanya. "Ya, nanti kita usahakan, Bu," jawab Bastian, suaranya terdengar pelan, seolah mencoba menenangkan situasi.

Ibu Sulastri tidak berhenti begitu saja. "Makanya, Bastian, kalau Kartini itu juga kerja, pasti ekonomi kamu cepat maju. Wanita itu bukan cuma buat urus rumah tangga saja, lho. Kalau Kartini ikut bantu bekerja, kamu nggak akan begini terus, enggak akan melarat!"

Kartini merasa darahnya mendidih. Ia tahu, Ibu Sulastri sedang menyerangnya lagi, dengan cara yang lebih halus tapi tetap menusuk. Ia menahan napas, berusaha menahan diri agar tidak membalas dengan kata-kata pedas.

Bastian mengalihkan pandangannya, matanya terlihat lelah dan tertekan. "Ibu, cukup lah, jangan teruskan," ujarnya, suaranya lebih tinggi dari sebelumnya. "Kartini sudah cukup mendengar sindiran itu."

Tapi Ibu Sulastri tak peduli. "Kenapa? Ini kenyataan, Bastian. Kalau Kartini bekerja, kamu bisa lebih cepat punya apa yang kita butuhkan. Kamu harusnya bisa berpikir lebih jauh. Jangan terus membiarkan Kartini hanya di rumah saja."

Bastian tidak berkata apa-apa lagi, tapi ekspresinya semakin tegang. "Aku bilang, cukup, Bu!" katanya, nada suaranya mulai meninggi.

Suasana di ruang tamu semakin tegang, namun Ibu Sulastri tak berhenti. "Ya sudah, kalau kamu masih tidak mau dengar, jangan salahkan ibu kalau keadaan ekonomi kita begini. Kartini harus sadar, kalau dia cuma di rumah, kita akan begini terus!"

Di saat itu, Kartini tidak bisa menahan amarahnya lagi. Ia berdiri dengan tegas, langsung menatap wajah Ibu Sulastri dengan penuh rasa marah. "Kenapa ibu selalu menganggap saya ini pemalas, ya? Apa saya salah kalau memilih untuk mengurus rumah tangga? Apakah saya harus punya pekerjaan di luar rumah untuk dianggap berhasil?" suaranya sedikit meninggi, tak bisa lagi disembunyikan.

Ibu Sulastri terkejut, matanya menyipit. "Kartini, kamu tahu kan, zaman sekarang ini, semua orang harus punya pendapatan tambahan! Kalau cuma jadi ibu rumah tangga, enggak akan maju. Itu cuma alasan untuk malas!"

"Alasan malas?" Kartini tertawa getir. "Saya di rumah bukan berarti malas, Bu. Saya memilih ini karena saya ingin menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya. Dan jika ekonomi keluarga kami tidak sebagus yang ibu harapkan, itu bukan karena saya tidak bekerja, tapi karena kami memilih hidup dengan cara yang kami tentukan sendiri!"

Bastian menatap Kartini dengan cemas, seolah berusaha untuk meredakan suasana. "Kartini, jangan buat ini lebih buruk lagi," ujarnya pelan, mencoba menahan perdebatan yang semakin panas.

Namun Kartini tidak peduli. "Tidak, Bastian. Ibu terus-menerus menghinaku dan menganggap aku tidak berguna hanya karena aku memilih untuk mengurus keluarga. Kalau ibu mau menghina ku terus, aku akan katakan yang sebenarnya!"

Ibu Sulastri tak terima dan melangkah maju, mendekatkan wajahnya. "Jadi, kamu merasa lebih pintar dari ibu, ya? Kalau ibu bisa bekerja, mengapa kamu tidak? Apakah kamu merasa lebih baik dengan hanya duduk di rumah?"

"Saya merasa lebih baik dengan pilihan saya!" jawab Kartini dengan tegas, matanya penuh api. "Tidak semua orang harus bekerja di luar rumah untuk dianggap sukses, Bu! Keberhasilan itu bukan hanya soal uang dan karier!"

Bastian menggelengkan kepalanya, wajahnya memerah. "Cukup, Kartini!" katanya dengan suara keras. "Aku sudah bilang berhenti berdebat. Ibu tidak akan pernah mengerti, dan kamu juga tidak akan menang. Jadi, ayo kita keluar, biar semuanya selesai!"

Bastian langsung berbalik, pergi menuju pintu tanpa menunggu tanggapan dari Kartini. Kartini menatap suaminya yang berjalan keluar dengan perasaan campur aduk. Amarah, kecewa, dan frustasi bercampur menjadi satu. Ia merasa dihina, dipermalukan, dan tak ada seorang pun yang membela dirinya.

"Bastian!" teriak Kartini, suaranya gemetar. Ia berlari mengejar suaminya, berusaha menangkap langkahnya di luar rumah.

Bastian menoleh sekilas, wajahnya terikat ketegangan. "Jangan ikuti aku, Kartini!" katanya dengan suara berat.

"Tapi aku tidak bisa diam saja!" jawab Kartini, kini sudah hampir berada di depannya. "Aku ingin kamu mendengarkan aku! Kenapa kamu selalu memilih untuk diam dan membiarkan mereka menghina aku?"

Bastian menatap Kartini dengan ekspresi yang penuh kekecewaan. "Karena aku lelah, Kartini! Lelah dengan semua ini. Lelah dengan ibu, dengan semuanya!" suaranya mulai pecah.

Kartini merasa hatinya remuk. Ia hanya bisa berdiri di depan suaminya yang kini tampak begitu hancur, berusaha mencari kata-kata yang tepat, namun tak ada yang keluar.

Suasana menjadi sunyi. Bastian menunduk, mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Kartini sendirian di luar rumah, merasakan perasaan yang lebih berat daripada sebelumnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelakormu vs Aku   Bab 96 – Langkah yang Berwarna

    Kartini masih duduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh lembut gelang kaki yang baru saja dipasangkan Antonio. Pikirannya melayang. Dari sekian banyak jenis perhiasan yang ada di dunia ini, kenapa gelang kaki yang dipilih Antonio? Pria itu memang selalu penuh kejutan. Tapi ia juga sadar, di balik setiap tindakan Antonio, pasti ada alasan yang tak tertebak. Dengan sedikit ragu, Kartini akhirnya bertanya, “Pak Antonio…” suaranya hampir seperti bisikan, membuat pria yang sedang berdiri memandangi jendela berbalik perlahan. “Kenapa… memilih gelang kaki?? Maksud saya, Anda bisa memilih cincin, kalung, atau bahkan anting. Tapi kenapa ini?” Antonio menatapnya, senyum tipis yang khas itu kembali muncul di wajahnya. Sorot matanya seperti menembus jiwa, membuat Kartini merasa seperti satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Pria itu mendekat, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Ia berhenti di depannya, menunduk sedikit hingg

  • Pelakormu vs Aku   Bab 95: Hadiah Tak Terduga

    Kartini menatap lukisan yang baru saja ia selesaikan dengan hati berdebar. Kuas-kuas telah disisihkan, cat yang sedikit belepotan di tangannya menjadi saksi bagaimana ia mengerahkan seluruh perasaannya ke dalam karya itu. Dengan sedikit ragu, ia mendorong kanvas ke depan Antonio, memperlihatkan hasilnya. “Sudah selesai…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Saya harap… Pak Antonio nanti menyukainya.” Antonio, yang masih berbaring santai di ranjang, memiringkan kepala untuk melihat lukisan itu. Tatapannya tajam dan serius, tak ada ekspresi yang bisa Kartini tebak. Ia hanya diam, membuat suasana semakin menegangkan. Kartini mulai gelisah, jemarinya tanpa sadar meremas gaunnya. “Pak Antonio? Apa… apa ada yang salah dengan lukisannya?” tanyanya gugup. Beberapa detik berlalu sebelum pria itu akhirnya berbicara, suaranya rendah tetapi menggema penuh wibawa. “Kamu benar-benar… luar bias

  • Pelakormu vs Aku   Bab 94: Kanvasku, Kamu

    Ruangan kamar Antonio yang luas, dengan jendela besar yang menampilkan langit malam, kini terasa semakin intim. Di sudut, Kartini berdiri gugup sambil melirik ke arah lemari besar yang ditunjuk Antonio. Suara bariton pria itu menggema lembut namun tegas. “Di situ ada kanvas dan cat. Ambil semuanya. Mulailah melukis,” katanya, matanya yang tajam mengunci Kartini dalam kebimbangan. Kartini mengangguk pelan, tubuhnya bergerak menuju lemari. Setiap langkah terasa berat, bukan karena beban yang ia bawa, melainkan karena kehadiran Antonio yang begitu dominan. Ketika ia membuka lemari, pandangannya jatuh pada set lengkap peralatan melukis yang tersusun rapi. “Semua ini… untuk saya gunakan?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik. Antonio, yang kini sudah duduk di sisi ranjangnya, hanya mengangguk kecil sambil melepas arloji dari pergelangan tangan. Ia meletakkannya di meja samping dengan

  • Pelakormu vs Aku   Bab 93 : Lukisan di Kamar

    Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah

  • Pelakormu vs Aku   Bab 92 – Tepat Sasaran

    Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f

  • Pelakormu vs Aku   Bab 91 – Pertemuan yang Tak Pernah Tenang

    Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.

  • Pelakormu vs Aku   Bab 90 – Misteri di Balik Nama Kontak

    Di sebuah sore yang sibuk, Bastian berjalan menuju ruang kerja Antonio dengan setumpuk dokumen di tangannya. Laporan ini adalah hasil kerja keras timnya, dan walau hubungan mereka sering penuh tensi, ia tahu bahwa tugas adalah tugas. Antonio, sebagai atasan langsungnya, tetap harus menerima laporan tersebut. Setibanya di ruangan Antonio, pria itu duduk dengan sikap serius seperti biasa, membaca laporan yang baru saja diberikan oleh Bastian. Ia mengernyit sedikit, menunjuk beberapa bagian. “Ini tidak sinkron dengan data sebelumnya. Revisi, dan perbaiki sebelum sore ini,” kata Antonio, nada suaranya dingin namun profesional. Bastian mengangguk kecil, lalu menjawab, “Baik, saya akan perbaiki. Tapi bagian mana yang lebih detil harus dirapikan?” Sebelum Antonio sempat menjawab, tiba-tiba ponsel di mejanya berdering. Antonio dengan refleks melirik layar ponselnya dan terlihat agak tegang. Di layar ponsel itu, hanya ada

  • Pelakormu vs Aku   Bab 89 – Kemenangan Sang Juara

    Malam sudah semakin larut, tetapi suasana di lapangan golf masih terasa hangat dan penuh semangat. Pertandingan final dimulai kembali setelah jeda istirahat 20 menit. Antonio kembali ke lapangan dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya. Keringat yang mengucur deras membasahi kemejanya, membuatnya semakin tidak nyaman. Tanpa banyak basa-basi, ia meraih kerah bajunya, menariknya ke atas, dan melepaskannya begitu saja. Kartini, yang berdiri tak jauh, menahan napas. Di bawah sinar lampu lapangan yang terang, tubuh Antonio terlihat begitu memukau. Dadanya yang bidang dengan lebar sekitar 80 cm terlihat jelas, kulitnya kecokelatan sempurna, dengan garis otot yang terpahat rapi. Lengan yang kokoh, punggung lebar, dan perutnya yang berotot menciptakan perpaduan sempurna antara kekuatan dan estetika. Keringat yang masih menetes di kulitnya seperti menambah kilauan, membuatnya terlihat seperti sosok dari lukisan dewa-dewa Yunani. Terlebih tinggi badannya

  • Pelakormu vs Aku   Bab 88: Saat Hobi Bertemu Perasaan

    Setelah hampir dua jam bertanding, Antonio terlihat sangat santai, bahkan senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya. Pukulan demi pukulan dilontarkan dengan presisi tinggi, sementara rekan-rekannya sudah tampak kelelahan. Tatiana dan Kartini berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan dengan takjub. "Wow, Kak Antonio ini nggak ada capeknya, ya?" Tatiana tertawa, menonton kakaknya yang tampaknya begitu menikmati permainannya. Kartini, yang agak khawatir, menatap Antonio dengan tatapan bingung. "Apa selama ini Pak Antonio memang main golf terus tanpa henti seperti ini?" tanyanya, sedikit khawatir. Tatiana mengangguk, terlihat sudah terbiasa dengan kebiasaan kakaknya. "Kakakku itu bisa main sampai sore, bahkan malam. Golf itu hobinya. Makanya dia punya koleksi tongkat golf yang harganya nggak main-main," jawabnya sambil tersenyum lebar. Kartini mengangguk pelan, sedikit mengerti, meskipu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status