Share

Perasaan Tidak Enak

"Kami telah memenuhi keinginanmu. Sekarang tepatilah janjimu!" ucap Rendy mengingatkan Levin akan janjinya yang diucapkan beberapa menit lalu.

Sentak Levin menepuk kening. Hampir saja ia melupakan janjinya. "Beruntung Ayah mertuaku mengingatkan. Aku nyaris lupa."

Levin mengambil ponsel di saku celana. "Silakan tulis sendiri nomor rekeningmu!" perintah Levin menyerahkan ponselnya kepada Rendy.

Rendy terkekeh masam. "Aku tidak punya kartu kredit lagi. Semua milikku telah disita bank. Ya kamu taukan masalah perusahaanku yang bangkrut karena ulah dari asistenku sendiri," jelas Rendy raut wajah muram.

"Uang kas saja!" perintah Fatiya.

"Aku sedang tidak pegang uang kas. Setiap kali belanja aku selalu menggunakan kartu kredit," ujar Levin berlagak sombong.

Terdengar hembusan nafas kasar yang Levin hembuskan. Levin kembali mengambil dompetnya yang begitu tebal dilihat dari luar. Satu kartu kredit dari barisan puluhan kartu kredit lain ditarik keluar dari tempat sesak itu.

"Ini, ambillah! Isinya lebih dari satu miliar. Pakaian saja semuanya untuk biaya hidup kalian. Aku sudah terlalu banyak punya kartu kredit. Ya setidaknya mengurangi isi dompetku" ujar Levin acuh tak acuh.

Dengan tangan bergetar, Rendy mengambilnya. "Terima kasih!" ucap Rendy senyum manis terpapar di bibir pucatnya.

"Cepat sembuh!" Levin menepuk pundak Rendy pelan.

"Masalah pernikahan kami, biar aku yang mengurusnya. Kalian hanya fokus pada kesehatan!" perintah Levin kembali meletakkan dompetnya di saku jas.

Obrolan mereka terhenti saat ponsel Levin berdering, panggilan masuk dari asisten di kantor. Sebentar ia menepi, menerima panggilan di tempat yang tenang.

"Ada apa menghubungiku?" tanya Levin.

"Pak, sebentar lagi rekan bisnismu akan tiba di sini. Sebaiknya Pak Levin segera kembali ke kantor!" ujar Rafael asisten terpercaya Levin.

"30 menit lagi aku akan tiba di sana. Bila kedatanganku terlambat, katakan pada mereka untuk menungguku sebentar. Ada suatu hal yang sedang aku urus. Ini masalah pribadiku," perintah Levin berbisik.

"Baik Pak," sahut Rafael.

Karena sudah tidak ada lagi yang ingin Rafael sampaikan, Levin mengakhiri panggilan dan kembali ke samping brankar mantan dari sahabat ayahnya.

"Om, Tante, asistenku telah menghubungiku. Sekarang aku harus kembali ke kantor. Jangan lupa terus kabari aku tentang keadaanmu!" perintah Levin melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Terima kasih banyak telah membantuku. Aku tidak menjamin hidupku akan bertahan lama bila kamu tidak ada di sini," ujar Rendy sangat bersyukur.

"Om tidak perlu berterima kasih. Kita sama-sama saling menguntungkan satu sama lain ," sahut Levin menepuk pundak Rendy pelan. Levin kemudian melenggang keluar dari ruang rawat itu.

Berlalu Levin, Fatiya berlari keluar ruang rawat pergi keruangan dokter khusus bedah. Ia langsung mengurus administrasi biaya berobat Rendy. Agar suaminya cepat ditangani. Keadaannya sudah semakin memburuk sekian hari demi hari dibiarkan tanpa pengobatan.

Beberapa saat kemudian dokter bersama empat orang perawat datang ke kamar Rendy. Mereka mendorong brankar Rendy dan membawanya ke ruang operasi.

Sedangkan Fatiya dan putrinya membuntuti di belakang. Tiba di depan ruang operasi, langkah kedua wanita itu terhenti, mereka tidak dibolehkan masuk ke dalam.

"Semoga Papa bisa sembuh. Aku ingin lebih lama bersamanya. Aku tidak ingin kehilangan pria hebat seperti dia," batin Anna sambil mengintip ke dalam di kaca pintu ruangan.

Tiga jam berlalu ….

Dokter beserta beberapa orang perawat keluar dari ruang operasi. Saat itu, Fatiya dengan Anna tertidur pulas di kursi depan ruangan. Mereka saling menyandarkan kepala ke pundak satu sama lain.

"Permisi, Ibu!" ucap dokter membangunkan Fatiya dengan menggerakkan pelan tubuhnya.

Seketika Fatiya membuka kedua matanya. Pandangan langsung tertuju ke seorang pria muda mengenakan pakaian serba putih.

"Bagaimana, Dok? Apakah operasinya berhasil?" tanya Fatiya sesekali melirik ke dalam ruangan. Terlihat Rendy belum sadarkan diri.

Dokter itu tersenyum yang menandakan bahwa operasinya berhasil. "Operasinya berhasil. Tumor yang bersarang di perut Pak Rendy telah berhasil kami cabut. Untuk saat ini, Pak Rendy sedang tidur di bawah pengaruh obat. Sebentar lagi dia juga akan bangun," jelas dokter.

Mendengarkan penjelasan dokter, Fatiya beserta Anna baru bisa bernafas dengan lega. Akhirnya penyakit Rendy telah hilang setelah sekian lama harus menahan rasa sakit.

"Dok, apakah kami boleh masuk?" tanya Anna mengintip-ngintip ke dalam.

Dokter itu menganggukkan kepala lalu membuka lebar pintu. "Silakan masuk!" ujar dokter.

"Saya permisi dulu! Kalau kalian butuh apa-apa, panggil saja saya!" Dokter beranjak dari depan ruang operasi meninggalkan Fatiya dan Anna.

Berlalu dokter, Fatiya bersama Anna langsung masuk ke dalam ruang rawat. Pada waktu itu bertepatan Rendy terbangun dari tidurnya.

"Papa," panggil Anna berhamburan ke dalam pelukan sang ayah.

Rendy mendekap tubuh putrinya. "Setelah ini kita akan kembali pulang ke rumah. Papa sangat merindukan rumah. Walaupun rumah kita sekarang berbeda dari rumah kita yang dulu," ujar Rendy tidak sabar ingin pulang.

"Iya Pah," tambah Fatiya turut memeluk Rendy dan Anna.

"Tolong berhenti memelukku! Tubuh kalian sangat berat. Bisa mati tertindih kalian aku," pinta Rendy merasa sesak dipeluk kedua wanita itu.

"Maaf Pah!" ucap Anna menghapus air mata. ia benar-benar bahagia dengan kesembuhan Rendy.

Anna melihat penampakan wajah Rendy pada malam hari ini, agak berbeda dari biasanya. Lebih segar dan terpancar keceriaan yang telah lama menghilang.

Sekian lama terbaring lemas di atas brankar tidak diperhatikan dokter karena menggunakan kartu berobat orang miskin, akhirnya penyakit Rendy telah terobati. Semua berkat bantuan Levin.

"Semua berkat Levin. Dialah penyelamat hidup Papa," ujar Rendy memuja-muji kebaikan Levin yang telah membantu biaya berobatnya.

"Benar, Pah. Selain pahlawan, Levin juga akan menjadi menantu kita." Fatiya mengatakan dengan sumringah.

Sementara Anna yang akan menjadi istri dari Levin, diam membisu. Entah mengapa, hati Anna sakit apabila mengingat bahwa dia akan segera menikah dengan Levin, pria yang baru saja ia kenal.

"Biarlah aku berkorban demi kesembuhan Papa. Karena selain Kak Levin, tidak akan ada orang lain yang mungkin bersedia membantu." Anna berujar di dalam hati.

"Anna, kenapa kamu diam?" tanya Fatiya menyadarkan Anna yang sedang melamun.

"Tidak apa-apa, Pah. Aku senang setelah sekian lama Papa diabaikan akhirnya mendapatkan penanganan. Aku sangat berterima kasih kepada Kak Levin," jawab Anna tersimpan perasaan bingung di dalam hati.

"Mulai hari ini kamu harus menyiapkan diri. Belajarlah membersihkan wajah biar nanti kamu terlihat cantik saat waktunya pernikahan," ujar Rendy mengelus kepala putrinya.

Tiba-tiba Fatiya menangkup wajah Anna. Sontak Anna menatapnya. Raut wajah wanita paruh baya terlihat sedih. "Nikmatilah waktumu bersama kami. Karena setelah menikah dengan Levin, kamu pasti ikut dengannya. Kita akan jarang bertemu, Sayang." Mereka saling berpelukan.

"Apapun yang akan terjadi kepadaku, aku siap menanggungnya. Terpenting Papa dan Mama bahagia," batin Anna menghela nafas panjang.

Entah mengapa, Anna merasa ulu hatinya berdenyut sakit di kala perjanjian, satu bulan lagi ia akan menikah dengan Levin. Seakan tahu apa yang akan terjadi setelah pernikahannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status