Share

Pelampiasan Dendam Sang CEO Kejam
Pelampiasan Dendam Sang CEO Kejam
Penulis: Lisa PLH

Perjanjian Nikah

Di salah satu kamar rawat di rumah sakit terbesar di Kalimantan Selatan. Seorang pria berusia sekitar 40 tahunan sudah lima bulan terbaring lemah di atas brankar dengan peralatan medis terpasang di bagian tubuhnya.

"Kapan aku pulang? Aku sudah lelah berada di sini. Penyakitku ini tidak mungkin akan sembuh. Hanya kematian yang akan menghentikan penderitaanku," rintih pria bernama Rendy mengusap perutnya yang semakin hari semakin membuncit.

Sementara di samping brankar, dua orang wanita terisak mendengar keluhan yang Rendy keluhkan hampir setiap hari.

 

"Papa nggak boleh berkata seperti itu, pamali. Umur Papa masih panjang, masih ada jalan untuk kita hidup bersama. Percayalah dengan takdir! Papa pasti sembuh," bujuk Anna mengusap punggung tangan ayahnya.

Anna menyambar tissue basah di atas meja. Hendak membersihkan tubuh ayahnya yang sudah berdebu seharian belum dibersihkan. Hanya bantuan istri dan anaknya Rendy dapat membersihkan diri.

"Bagaimana Papa bisa sembuh, biaya berobatnya mahal sekali. Jangankan bayar biaya berobat, untuk makan sekali sehari saja sudah syukur. Jadi kesembuhan Papa hanyalah sebuah harapan belaka," desis Rendy merasa harapan hidup sudah tidak ada lagi.

"Papa tidak usah memikirkan biaya berobat. Aku yakin akan ada keajaiban dalam bentuk apapun itu. Ada banyak jalan rencana Tuhan mengangkat penyakitmu," sahut Anna sambil membersihkan kulit tangan ayahnya yang berdebu. 

"Benar kata Anna. Kalau Tuhan berkehendak tidak mustahil," tambah Fatiya menyeka air matanya. 

Klek! Tiba-tiba pintu didorong ke dalam oleh seseorang dari luar. Tiga orang di dalam ruangan itu, mengarahkan pandangan ke pintu yang terbuka.

Seorang pria dengan tinggi badan 180 sentimeter, berkumis tipis, serta bentuk tubuh kekar, berdiri di ambang pintu menatap semua orang di dalam ruangan tersebut.

Rendy, Fatiya, dan Anna menatap pria itu dari ujung kaki hingga kepala. Dari penampilannya, dia bukanlah sembarangan orang. Semua barang yang ia kenakan, branded berharga jutaan yang hanya dijual di pusat perbelanjaan ternama.

"Selamat siang Om, Tante!" sapanya lembut sembari melangkah masuk ke dalam ruangan.

"Kamu siapa? Apakah kita pernah saling mengenal?" tanya Rendy mengerutkan keningnya.

Ia hanya tersenyum seraya menjulurkan tangan kanannya ke hadapan Rendy. Dengan tangan bergetar, Rendy membalas uluran tangannya. Rendy merasakan tangan pria muda itu sangat lembut, bak tissue.

"Perkenalkan … saya Levin Adipura Jailani …," ujarnya menggantungkan kalimat berganti menjabat tangan Fatiya dan Anna.

"Apakah kalian mengingat akan sesuatu dengan nama belakangku?" tanya Levin menatap ketiga orang di depannya silih berganti. "Aku adalah putra Ryder Adipura Jailani, pemilik perusahaan Adipura Jailani Crop. Perusahaan paling terbesar kedua di Asia," jelas Levin mengejutkan Rendy dan Fatiya. Sedangkan Anna yang masih polos hanya diam mendengarkan.

"Jadi, kamu anaknya Ryder?" Rendy bertanya dengan detakan jantung yang begitu kencang.

"Iya. Om ingat dengan Ayahku, 'kan?" tanya balik Levin membuka kembali lembaran usang kisah dirinya dulu dengan Ryder.

Ruangan yang tidak hanya ada dua orang di sana, hening seketika. Hanya suara tarikan dan uluran nafas sebagai tanda kehidupan.

"Ehem …." Levin mendehem, mengalihkan perhatian Rendy yang tengah teringat tentang persahabatannya dengan Ryder sebelum pada akhirnya mereka bermusuhan karena berebut kekuasaan.

"Kamu beneran putra Ryder?" tanya Fatiya rada kurang percaya.

Levin menghela nafas panjang sembari membuka dompet dan mengambil kartu identitasnya di dalam sana. "Tante bisa membaca, bukan?" Levin menyerahkan potongan kertas kecil itu ke Fatiya untuknya membaca sendiri. 

Setelah selesai membaca, Fatiya menyenggol pergelangan tangan suaminya. "Pah, dia beneran anak Ryder. Dia pewaris satu-satunya perusahaan AJ Crop," bisik Fatiya pelan, tetapi tetap terdengar oleh telinga Levin yang sengaja menguping.

Levin sedikit menyeringai melihat wajah tegang tiga orang di depannya yang tampak mendapatkan informasi menggemparkan.

Fatiya mengembalikan kartu identitas milik Levin. "Kamu datang ke sini pasti mau mengolok-olok kami. Perusahaan Ayahmu sekarang menjadi perusahaan satu-satunya terkenal se-Asia. Sementara perusahaan kami bangkrut. Begitukan maksud kedatanganmu?" cela Fatiya dengan wajah memerah seperti darah.

"Aku tidak bermaksud begitu," ujar Levin memelas.

"Mah, jaga lisan!" bentak Rendy melototkan mata.

"Aku telah mendengar informasi tentang keadaan Om. Tentang perusahaanmu dan sakit yang Om deri–"

"Masalah keluarga kami, apa urusannya denganmu? Ini pribadi. Kamu cukup tau tidak usah sok perhatian datang kemari," kelakar Fatiya lantang.

"Jangan begitu sama Kak Levin, Mah!" bisik Anna merasa tidak enak.

"Mah, diam!" titah Rendy menatap tajam.

"Jadi apa maksud kedatanganmu? Tolong jangan berbelit-belit!" perintah Rendy.

"Aku ingin membantu biaya berobatmu. Berapapun itu aku bersedia menanggung. Semua aku lakukan, atas dasar pesan dari Ayahku juga." Levin menjelaskan.

Fatiya yang tadi mencaci Levin, kini menyebut kedatangan pria itu sebagai malaikat berwujud manusia. Anna juga ikut bahagia mendengar penuturan Levin.

"Kamu serius?" usul Rendy begitu berharap.

Levin mengangguk tegas. "Iya Om."

Disaat Levin mengarahkan pandangan ke gadis muda di sebelah Fatiya, ekspresi wajahnya berbeda. Mulanya kelihatan datar, tiba-tiba tajam bagaikan belati.

Rasa sakit tiba-tiba menyeruak di dada Levin, ketika mengingat nasib malang yang dulu dialami dirinya sebelum menjadi seorang CEO.

Anna menatap sekilas wajah Levin yang juga menatapnya. Bibir memang tersenyum manis, tetapi tatapannya begitu menusuk.

"Om, Tante, Jangan senang dulu!" penggal Levin.

"Pertolonganku ini tidaklah cuma-cuma. Ada imbalan yang harus kalian bayar!" ujar Levin memfokuskan pandangan ke Anna.

Sementara Rendy, sudah menebak akan ada imbalan di balik kebaikan Levin. "Kami akan memberikan apa yang kamu minta jika kami mampu," tutur Rendy.

Levin mengarahkan pandangan ke gadis polos berseragam SMA di sebelah Fatiya.

"Aku ingin kalian menikahkan aku dengan Anna," pungkas Levin terus terang.

Permintaan yang Levin ucapkan, mengejutkan Rendy dan Fatiya. Yang amat terkejut lagi, gadis yang saat ini menjadi tokoh utama dalam pembahasan mereka.

"Menikah?" tanya Anna matanya terbuka lebar.

"Iya. Kamu dan aku akan menikah," jawab Levin terus terang.

"Bagaimana Om, Tante? Apakah kalian bersedia menuruti permintaanku?" tanya Levin memegang erat tangan Anna, seakan tidak ingin melepaskannya.

"Ini pesan terakhir dari Ayahku. Dia ingin kembali merajut persahabatan denganmu. Dengan menikahi Anna, kita bisa menyambung tali persahabatan kalian yang telah lama putus itu. Bahkan lebih dekat lagi. Om akan menjadi mertua untukku," jelas Levin menggoda Rendy.

Sebagai orang tua, Rendy dan Fatiya inginkan yang terbaik untuk putri semata wayang mereka. Termasuk masalah masa depan. Sekarang ada tawaran menarik, seorang CEO muda melamarnya. Tidak mungkin untuk ditolak.

Setelah berdiskusi di dalam hati, Rendy akhirnya memutuskan pilihan. "Aku bersedia menerima tawaranmu," ujar Rendy melayukan perasaan Anna yang masih ingin melanjutkan pendidikan. Namun ia tidak bisa membantah keputusan ayahnya.

"Keputusan yang bagus Pak Rendy. Eh maksudnya Ayah mertua," ujar Levin mengusap pundak Rendy lembut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status