Share

2. Bersama Wanita Malam

Vianca menatap jam di dinding, resah karena sebentar lagi dia harus menemui Zeva. Dia meregangkan badan dengan durasi yang lama, mengulur waktu menuju meja rias di kamarnya. Hatinya tidak bisa tenang, walau demikian dia tetap membuka lemari memilih beberapa pakaian terkutuk yang sudah beberapa bulan tidak gunakan.

Tidak ada satu pun yang baik untuk digunakan. Semua pakaian itu membuat dirinya nampak terlalu sexy. Vianca tidak merasa risi sama sekali untuk memakainya, karena sudah biasa memakainya dulu. Namun, seakan menjilat ludah sendiri saat dia berkata tidak akan memakai baju ini lagi, dan saat ini dia malah memakainya. Pilihannya, jatuh pada dress warna maroon dengan belahan dada terbuka.

Dia membuka kotak make up. Memoles dengan make up yang lebih mencolok namun masih terlihat apik dan memukau. Seimbang dengan kulit putih mulusnya. Kemudian, menyemprot parfume mahal, yang akan dia semprotkan jika pergi dengan tamu saja.

Ponsel Vianca berdering, ada notifikasi masuk dan itu dari Zeva. "Gua OTW, lo OTW sekarang karena gua orangnya gak mau nunggu lama."

Vianca mengangkat alis, saat membaca pesan itu. Ada sedikit perbedaan sikap Zeva kemarin dan hari ini. Zeva yang hari ini terlihat lebih blak-blakan, dengan memperlihatkan sedikit sisi egois. Vianca menyadari, bahwa ini adalah sifat Zeva yang sebenarnya. Pria menyebalkan.

"Iya, saya OTW sekarang, Pak."

"Bapak? Gua bukan bapak-bapak."

Vianca memutar bola mata, membaca balasan dari Zeva. Sebenarnya, dia tidak tahu pria itu berusia berapa tahun, karena foto profil Zeva adalah penyanyi senior Iwan Fals. Vianca hanya menduga usia Zeva tidak jauh beda dengan usia sang idola yang terpampang di foto profil tersebut.

Vianca pun akhirnya pergi ke sebuah cafe tempat mereka janjian. 

Memakan waktu lima belas menit, akhirnya Vianca sampai di tempat janjian.

"Bapak yang mana? Ciri-cirinya kaya gimana?" Vianca mengirim pesan pada Zeva. Sambil menunggu balasan, matanya sibuk mencari tiap bapak-bapak yang berada di ruang itu. Pasti gerak-geriknya beda.

"Kaos hitam, jaket hitam, topi hitam, sepatu hitam, kaos kaki hitam, dan wajah tampan."

Vianca mendengus, ciri-ciri macam apa ini? Apa wajah dan giginya juga hitam? Apa selama ini dia janjian dengan bangsa Jin? Tapi masa Bangs Jin punya nomer WA. Matanya fokus pada pria yang memakai pakaian serba hitam di ruangan ini. Hanya ada satu orang dengan ciri tersebut. 

Dia mengarahkan pandangan ke arah lain. Karena tidak mungkin pria blasteran berbadan tegap dan gagah yang dia lihat tadi, menyewa pelacur murahan dengan susah payah. Yang ada para wanita mengantri untuk kencan dengan pria itu, atau bisa saja pria itu jadi gigolo untuk Tante kaya raya pasti laku keras. Namun, tidak ada pria lain yang memakai pakaian hitam.

Zeva kirim pesan. "Mendekat! lo yang pelanga-pelongo pakai baju merah bata itu kan?" 

"Ini bukan merah bata, Pak. Tapi maroon. Kalau merah bata agak orange sedikit. Coba saja bandingkan baju saya dengan batu bata pasti beda."

"Terserah! Anggap gua buta warna.  Tapi coba mendekat, sini!"

Vianca mendekat, benar itu orangnya. Saat Vianca melangkah, orang itu tersenyum sambil menatap lekat padanya. Bahkan Zeva tetap menyebalkan di mata Vianca walaupun sedang tersenyum. 

Zeva mendongak, menatap manik wanita yang berada di hadapannya dengan takjub. Benar-benar seperti apa yang ada di dalam imajinasinya selama ini. Zeva tidak berkedip, hanya untuk mengamati setiap inchi garis wajah Vianca.

Vianca tertunduk, bukan tertunduk malu, ya! Tapi risi, sangat risi. Sampai-sampai dia ingin menyiram mata jelalatan Zeva dengan air teh tubruk, hingga dedak tehnya mampu membuat mata itu terpejam cukup lama. Namun, hal itu hanya ada dalam otaknya, karena nyatanya Vianca hanya bisa tersenyum pada pria yang akan memberinya uang.

"Duduk, Vi!"

"Makasih. Mas Zeva, ya?" Vianca memanggil Mas, saat sadar Zeva masih terlihat seperti usia dibawah 30 tahun.

"Panggil aja gua Zeva."

Vianca mengangguk, memperhatikan kemampuannya memikat hati pria walau hanya lewat gerak tubuh. 

"Makan dulu, ya! Lo mau pesan apa?"

"Apa, ya? Terserah aja, deh!"

Zeva membuka buku menu dengan tatapan lekat sambil menunjuk list makanan yang ada. Tak lama, dia menyerahkan buku menu pada Vianca. "Setelah gua teliti, di situ gak ada menu terserah. Jadi lo harus tunjuk salah satu supaya gua gak bingung."

Vianca mendengkus. Fix, pria yang ada di hadapannya ini lebih menyebalkan dari apa yang dia pikirkan. Namun tidak mengapa, Zeva adalah pelanggan barunya, maka Zeva bebas apapun yang dia mau.

Akhirnya, mereka pergi dari tempat itu dan menuju hotel yang Zeva sudah pesan sebelumnya. 

Sepanjang perjalanan hati Vianca tidak bisa tenang. Dia masih kepikiran karena sudah melanggar sumpah untuk meninggalkan dunia malam. Dia hanya bisa melihat lampu-lampu di pinggir jalan untuk menemani kegelisahannya. Hingga akhirnya, Vianca dan Zeva melewati jalanan sepi dan sunyi.

Mobil terhenti. Vianca bingung dan merinding. Tidak ada hotel di sekitar sini. Hanya ada semak-semak tempat berkumpulnya nyamuk dan binatang kecil lainnya.

"Aghh ... sialan! Udah gak tahan gua."

Tubuh Vianca merinding. "Jangan bilang, kita akan melakukan hal seperti itu di semak belukar! Mas tahu? Biasanya tempat kaya gitu tuh, angker. Kita bisa-bisa malah mati di tangan jin jahat."

Zeva mengerutkan alis, dia tersinggung. "Vianca, tatap wajah gua! Apa gua terlihat seperti orang melarat yang tidak sanggup menyewa penginapan?"

"Mana saya tahu! Kekayaan tidak bisa dinilai dari tampang. Tapi sungguh, nanti kita akan diliput wartawan Buser, dengan kasus kematian tidak wajar, kalau sampai begituan di tempat angker."

"Sialan! Tutup mulut lo! Lo nyumpahin gua, hah?"

Zeva turun dari mobil dengan tergesa-gesa. Pria tampan, gagah, perkasa, dan sempurna itu mendadak menjadi konyol saat dirinya melompat-lompat demi menahan sesuatu. Setelah itu, lantas berlari menghampiri bawah pohon.

Vianca tertegun. Kini dirinya sadar bahwa Zeva tidak tahan untuk kencing bukan tidak tahan ingin anu. Dia menyembunyikan wajah saat Zeva kembali, tersadar pria gampang marah itu menatap ke arahnya dengan kesal.

"Gara-gara lo ngajak ngobrol, waktu gua jadi makin mepet buat kencing. Untung masih keburu."

Vianca mengumpat dalam hati, tak terima saat Zeva memarahinya. Namun wajahnya nampak biasa-bisa saja. Dia terbiasa menahan rasa kesalnya hanya demi lembaran uang. Dia berusaha supaya Zeva masih mau memberinya uang jika semuanya sudah selesai.

Hotel bintang lima dengan desain yang elegan, sangat nyaman jika berkencan dengan suasana mewah dan estetika seperti tempat ini.

Vianca berdebar ratusan kali lipat saat masuk kamar hotel. Sudah cukup lama dia tidak melayani pria, dan berharap Zeva menyergapnya duluan supaya tidak usah cape-cape menggoda. Lagipula, Vianca begitu malas menggoda pria yang wajahnya angkuh macam Zeva. Seolah, di dunia ini hanya dirinya yang tampan dan pria lain hanya remahan rengginang.

Harapan Vianca musnah, karena Zeva langsung duduk santai di kursi samping nakas sambil menatap lekat ke arah Vianca. Apa itu artinya Vianca harus menggoda duluan? Dia dibayar untuk itu 'kan? Vianca masih bingung untuk memulai, karena belum tahu kesukaan pelanggannya ini.

Vianca kaku saat Zeva mengalihkan pandangan bukan ke arahnya lagi, tapi pada tas yang Zeva bawa. Dia pikir pria itu akan mengeluarkan pakaian ganti atau alat kontrasepsi. Ternyata, hanya mengeluarkan kertas dan pensil dan tak lama Zeva menatap dirinya kembali. 

"Emm, Mas mau gambar saya?" tanya Vianca.

"Iya. Diam, ya! Gua suka banget sama wajah lo."

Vianca tidak berada dalam pose yang baik sehingga cepat merasa pegal. Namun dia malu untuk merubah posisi dia berdiri. Vianca tersenyum supaya hasil lukisan Zeva nampak cantik. 

Vianca bahagia, beranggapan bahwa pelanggannya kali ini adalah seorang seniman lukis. 

Batin Vianca berkata, "Pantas saja orangnya tampan dan wangi, pasti seorang seniman yang satu lukisannya bisa seharga ratusan juta atau paling murah puluhan juta."

"Done!" ucap Zeva.

Vianca menghampiri Zeva yang masih memegang kertas. Dia memegangi kedua pipinya yang saat ini sudah memerah. "Saya boleh lihat gambarnya?"

"Sure! Simpan gambarnya buat lo."

Vianca menerima kertas, dan terbelalak saat menatap lukisan dirinya sendiri nampak seperti badut sawer yang keliling rumah untuk minta uang. "Wa-jah saya, gak kaya gini 'kan, Mas?"

"Gua gak bisa gambar, sebenernya. Nilai seni rupa gua 5.5. Tapi gimana, ya? Gua gemes aja lihat wajah lo, makannya nekad gambar."

Vianca tersenyum, walau di dalam hatinya ingin meremas kertas dan melemparnya ke muka Zeva, saat melihat lukisan laknat itu. 

Zeva sadar bahwa Vianca tersenyum dengan terpaksa. Lalu Zeva pun meraih dagu Vianca, menghadapkan wajah Vianca padanya. 

"Gua suka sama wajah lo, tapi jangan senyum terpaksa gitu di depan gua."

Zeva mengecup pipi Vianca. Dan setelah itu, mereka menghabiskan malam bersama.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sagala Cellular
bagus banget certanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status