Vianca menatap jam di dinding, resah karena sebentar lagi dia harus menemui Zeva. Dia meregangkan badan dengan durasi yang lama, mengulur waktu menuju meja rias di kamarnya. Hatinya tidak bisa tenang, walau demikian dia tetap membuka lemari memilih beberapa pakaian terkutuk yang sudah beberapa bulan tidak gunakan.
Tidak ada satu pun yang baik untuk digunakan. Semua pakaian itu membuat dirinya nampak terlalu sexy. Vianca tidak merasa risi sama sekali untuk memakainya, karena sudah biasa memakainya dulu. Namun, seakan menjilat ludah sendiri saat dia berkata tidak akan memakai baju ini lagi, dan saat ini dia malah memakainya. Pilihannya, jatuh pada dress warna maroon dengan belahan dada terbuka.
Dia membuka kotak make up. Memoles dengan make up yang lebih mencolok namun masih terlihat apik dan memukau. Seimbang dengan kulit putih mulusnya. Kemudian, menyemprot parfume mahal, yang akan dia semprotkan jika pergi dengan tamu saja.
Ponsel Vianca berdering, ada notifikasi masuk dan itu dari Zeva. "Gua OTW, lo OTW sekarang karena gua orangnya gak mau nunggu lama."
Vianca mengangkat alis, saat membaca pesan itu. Ada sedikit perbedaan sikap Zeva kemarin dan hari ini. Zeva yang hari ini terlihat lebih blak-blakan, dengan memperlihatkan sedikit sisi egois. Vianca menyadari, bahwa ini adalah sifat Zeva yang sebenarnya. Pria menyebalkan.
"Iya, saya OTW sekarang, Pak."
"Bapak? Gua bukan bapak-bapak."
Vianca memutar bola mata, membaca balasan dari Zeva. Sebenarnya, dia tidak tahu pria itu berusia berapa tahun, karena foto profil Zeva adalah penyanyi senior Iwan Fals. Vianca hanya menduga usia Zeva tidak jauh beda dengan usia sang idola yang terpampang di foto profil tersebut.
Vianca pun akhirnya pergi ke sebuah cafe tempat mereka janjian.
Memakan waktu lima belas menit, akhirnya Vianca sampai di tempat janjian.
"Bapak yang mana? Ciri-cirinya kaya gimana?" Vianca mengirim pesan pada Zeva. Sambil menunggu balasan, matanya sibuk mencari tiap bapak-bapak yang berada di ruang itu. Pasti gerak-geriknya beda.
"Kaos hitam, jaket hitam, topi hitam, sepatu hitam, kaos kaki hitam, dan wajah tampan."
Vianca mendengus, ciri-ciri macam apa ini? Apa wajah dan giginya juga hitam? Apa selama ini dia janjian dengan bangsa Jin? Tapi masa Bangs Jin punya nomer WA. Matanya fokus pada pria yang memakai pakaian serba hitam di ruangan ini. Hanya ada satu orang dengan ciri tersebut.
Dia mengarahkan pandangan ke arah lain. Karena tidak mungkin pria blasteran berbadan tegap dan gagah yang dia lihat tadi, menyewa pelacur murahan dengan susah payah. Yang ada para wanita mengantri untuk kencan dengan pria itu, atau bisa saja pria itu jadi gigolo untuk Tante kaya raya pasti laku keras. Namun, tidak ada pria lain yang memakai pakaian hitam.
Zeva kirim pesan. "Mendekat! lo yang pelanga-pelongo pakai baju merah bata itu kan?"
"Ini bukan merah bata, Pak. Tapi maroon. Kalau merah bata agak orange sedikit. Coba saja bandingkan baju saya dengan batu bata pasti beda."
"Terserah! Anggap gua buta warna. Tapi coba mendekat, sini!"
Vianca mendekat, benar itu orangnya. Saat Vianca melangkah, orang itu tersenyum sambil menatap lekat padanya. Bahkan Zeva tetap menyebalkan di mata Vianca walaupun sedang tersenyum.
Zeva mendongak, menatap manik wanita yang berada di hadapannya dengan takjub. Benar-benar seperti apa yang ada di dalam imajinasinya selama ini. Zeva tidak berkedip, hanya untuk mengamati setiap inchi garis wajah Vianca.
Vianca tertunduk, bukan tertunduk malu, ya! Tapi risi, sangat risi. Sampai-sampai dia ingin menyiram mata jelalatan Zeva dengan air teh tubruk, hingga dedak tehnya mampu membuat mata itu terpejam cukup lama. Namun, hal itu hanya ada dalam otaknya, karena nyatanya Vianca hanya bisa tersenyum pada pria yang akan memberinya uang.
"Duduk, Vi!"
"Makasih. Mas Zeva, ya?" Vianca memanggil Mas, saat sadar Zeva masih terlihat seperti usia dibawah 30 tahun.
"Panggil aja gua Zeva."
Vianca mengangguk, memperhatikan kemampuannya memikat hati pria walau hanya lewat gerak tubuh.
"Makan dulu, ya! Lo mau pesan apa?"
"Apa, ya? Terserah aja, deh!"
Zeva membuka buku menu dengan tatapan lekat sambil menunjuk list makanan yang ada. Tak lama, dia menyerahkan buku menu pada Vianca. "Setelah gua teliti, di situ gak ada menu terserah. Jadi lo harus tunjuk salah satu supaya gua gak bingung."
Vianca mendengkus. Fix, pria yang ada di hadapannya ini lebih menyebalkan dari apa yang dia pikirkan. Namun tidak mengapa, Zeva adalah pelanggan barunya, maka Zeva bebas apapun yang dia mau.
Akhirnya, mereka pergi dari tempat itu dan menuju hotel yang Zeva sudah pesan sebelumnya.
Sepanjang perjalanan hati Vianca tidak bisa tenang. Dia masih kepikiran karena sudah melanggar sumpah untuk meninggalkan dunia malam. Dia hanya bisa melihat lampu-lampu di pinggir jalan untuk menemani kegelisahannya. Hingga akhirnya, Vianca dan Zeva melewati jalanan sepi dan sunyi.
Mobil terhenti. Vianca bingung dan merinding. Tidak ada hotel di sekitar sini. Hanya ada semak-semak tempat berkumpulnya nyamuk dan binatang kecil lainnya.
"Aghh ... sialan! Udah gak tahan gua."
Tubuh Vianca merinding. "Jangan bilang, kita akan melakukan hal seperti itu di semak belukar! Mas tahu? Biasanya tempat kaya gitu tuh, angker. Kita bisa-bisa malah mati di tangan jin jahat."
Zeva mengerutkan alis, dia tersinggung. "Vianca, tatap wajah gua! Apa gua terlihat seperti orang melarat yang tidak sanggup menyewa penginapan?"
"Mana saya tahu! Kekayaan tidak bisa dinilai dari tampang. Tapi sungguh, nanti kita akan diliput wartawan Buser, dengan kasus kematian tidak wajar, kalau sampai begituan di tempat angker."
"Sialan! Tutup mulut lo! Lo nyumpahin gua, hah?"
Zeva turun dari mobil dengan tergesa-gesa. Pria tampan, gagah, perkasa, dan sempurna itu mendadak menjadi konyol saat dirinya melompat-lompat demi menahan sesuatu. Setelah itu, lantas berlari menghampiri bawah pohon.
Vianca tertegun. Kini dirinya sadar bahwa Zeva tidak tahan untuk kencing bukan tidak tahan ingin anu. Dia menyembunyikan wajah saat Zeva kembali, tersadar pria gampang marah itu menatap ke arahnya dengan kesal.
"Gara-gara lo ngajak ngobrol, waktu gua jadi makin mepet buat kencing. Untung masih keburu."
Vianca mengumpat dalam hati, tak terima saat Zeva memarahinya. Namun wajahnya nampak biasa-bisa saja. Dia terbiasa menahan rasa kesalnya hanya demi lembaran uang. Dia berusaha supaya Zeva masih mau memberinya uang jika semuanya sudah selesai.
Hotel bintang lima dengan desain yang elegan, sangat nyaman jika berkencan dengan suasana mewah dan estetika seperti tempat ini.
Vianca berdebar ratusan kali lipat saat masuk kamar hotel. Sudah cukup lama dia tidak melayani pria, dan berharap Zeva menyergapnya duluan supaya tidak usah cape-cape menggoda. Lagipula, Vianca begitu malas menggoda pria yang wajahnya angkuh macam Zeva. Seolah, di dunia ini hanya dirinya yang tampan dan pria lain hanya remahan rengginang.
Harapan Vianca musnah, karena Zeva langsung duduk santai di kursi samping nakas sambil menatap lekat ke arah Vianca. Apa itu artinya Vianca harus menggoda duluan? Dia dibayar untuk itu 'kan? Vianca masih bingung untuk memulai, karena belum tahu kesukaan pelanggannya ini.
Vianca kaku saat Zeva mengalihkan pandangan bukan ke arahnya lagi, tapi pada tas yang Zeva bawa. Dia pikir pria itu akan mengeluarkan pakaian ganti atau alat kontrasepsi. Ternyata, hanya mengeluarkan kertas dan pensil dan tak lama Zeva menatap dirinya kembali.
"Emm, Mas mau gambar saya?" tanya Vianca.
"Iya. Diam, ya! Gua suka banget sama wajah lo."
Vianca tidak berada dalam pose yang baik sehingga cepat merasa pegal. Namun dia malu untuk merubah posisi dia berdiri. Vianca tersenyum supaya hasil lukisan Zeva nampak cantik.
Vianca bahagia, beranggapan bahwa pelanggannya kali ini adalah seorang seniman lukis.
Batin Vianca berkata, "Pantas saja orangnya tampan dan wangi, pasti seorang seniman yang satu lukisannya bisa seharga ratusan juta atau paling murah puluhan juta."
"Done!" ucap Zeva.
Vianca menghampiri Zeva yang masih memegang kertas. Dia memegangi kedua pipinya yang saat ini sudah memerah. "Saya boleh lihat gambarnya?"
"Sure! Simpan gambarnya buat lo."
Vianca menerima kertas, dan terbelalak saat menatap lukisan dirinya sendiri nampak seperti badut sawer yang keliling rumah untuk minta uang. "Wa-jah saya, gak kaya gini 'kan, Mas?"
"Gua gak bisa gambar, sebenernya. Nilai seni rupa gua 5.5. Tapi gimana, ya? Gua gemes aja lihat wajah lo, makannya nekad gambar."
Vianca tersenyum, walau di dalam hatinya ingin meremas kertas dan melemparnya ke muka Zeva, saat melihat lukisan laknat itu.
Zeva sadar bahwa Vianca tersenyum dengan terpaksa. Lalu Zeva pun meraih dagu Vianca, menghadapkan wajah Vianca padanya.
"Gua suka sama wajah lo, tapi jangan senyum terpaksa gitu di depan gua."
Zeva mengecup pipi Vianca. Dan setelah itu, mereka menghabiskan malam bersama.
***Savana baru pulang dari luar negeri. Dia kembali ke rumah orang tuanya dengan hati bahagia. Bahagia saat melihat di internet orang-orang ramai-ramai menghujat Vianca. Pasti saat ini Vianca stres berat, suruh siapa merebut Zeva dari dirinya. Sungguh sangat beruntung, dia adalah seorang selebgram berwajah cantik yang disayangi para netizen. Selama penampilan good looking, jika berkeluh kesah di sosial media akan cepat mendapatkan simpati orang lain.High heels Savana berbunyi saat melangkahkan kaki menuju rumah. Dia saat ini menggunakan mini dress warna maroon sebagai lambang keberanian. Selain itu, kakinya sudah sembuh total membuat dia bebas bergerak. Mungkin, nanti malam dia harus mengadakan pesta, pesta atas penderitaan Vianca.Langkah Savana terhenti. Rupanya, di depan orang tuanya yang megah bernuansa art Deco itu ada seorang pria tinggi bertubuh atletis sedang berdiri menantinya.Mata tajam Zeva tersebut terus menatap ke arah wanita yang pernah singga
Sudah sekian lama Zeva tidak menginjakan kaki di rumah ibunya ini. Sejak memilih hidup bersama Vianca, sejak saat itu pula Zeva tidak pernah ke rumah orang tuanya. Namun, semuanya tidak berubah orang tua Zeva tidak pernah bisa sedikit saja mengerti dirinya.Semilir angin malam bertiup halus di depan wajah Zeva. Dia berjalan dari area parkir, menuju ke dalam rumah dengan langkah yang hampa. Dia mengingat video itu kembali, alasan istrinya memilih pergi jauh dari hidupnya."Bi, di mana mamah?" tanya Zeva pada asisten rumah tangga."Beliau sedang ada di kamar."Zeva tak berkata apa-apa lagi, dia menuju kamar ibunya yang berada di lantai dua dengan langkah yang terburu-buru. Sementara itu, dia juga tahu saat ini ayahnya sedang berada di luar kota.Zeva mengetuk pintu. "Mah, ini Zeva!"Lama Zeva menunggu, hingga akhirnya ibunya yang berada di dalam kamar menyahut panggilannya. "Zeva, masuk saja."Zeva membuka pintu, dia melihat sang ibu se
Keadaan rumah dikunci dari luar. Zeva membuka gerbang dengan kunci cadangan yang dia bawa. Rumahnya sepi, asisten rumah tangga sudah jelas sedang mudik. Namun, istrinya juga tidak ada di rumah. Zeva hanya berpikiran bahwa Vianca sedang pergi ke mini market membeli sesuatu.Namun, sang rumah menampakan kesunyian pula. Seolah dia pun merasakan sedih ditinggal sang nyonya rumah. Sementara itu, tuan rumah tak memiliki prasangka apapun karena merasa baik-baik saja dengan istrinya.Vianca baik, menerima semua kekurangan Zeva, tak mungkin Vianca pergi sembarangan. Kecuali wanita itu sudah berada di puncak kelelahan. Zeva membersihkan badan, mandi di bawah guyuran shower dan merasakan setiap rintik air yang menetes ke tubuhnya dalam kegalauan. Dia terbayang wajah Vianca.Vianca selalu ada di rumah ketika Zeva pulang. Zeva tak menuntut Vianca selalu menyambutnya. Namun, rasanya berbeda saat wanita itu sudah tak melakukan ritual sederhana. Yaitu, hanya sekadar senyum meny
Savana mendapat pesan 'WA dari ibunya. Dia merasa terharu ternyata ibu dan ibu mertuanya sangat sayang padanya. Hingga rela melabrak wanita yang sudah dia ketahui bernama Vianca itu.Awalnya, dia posting di sosial media untuk mencari perhatian orang lain. Setelah berhasil menjadi selebgram dengan kisah cinta yang rumit, rupanya dia mendapatkan kenyamanan. Hal itu dikarenakan, apapun yang dia posting selalu mendapat dukungan.Terbersit dalam hatinya untuk mengunggah video ini. Apalagi jika dia menambahkan soundtrack lagu yang menyayat hati. Pasti setiap orang yang melihat akan iba akan kisah cintanya.Savana tanpa ragu melakukan hal itu. Toh, apapun yang dia lakukan tidak akan membuat Zeva kembali padanya. Dia kini benar-benar menyerah, dan hanya ingin balas dendam pada Vianca. Jika dirinya tak bahagia, maka Vianca juga harus mendapatkan luka yang sama.Akhirnya, video itu berhasil terkirim ke publik dengan judul. "Penggerebegan pelakor mantan suamik
"Kamu wanita playing victim. Yang sebenarnya korban adalah anak saya, Savana." Ibunya Savana mulai berkata-kata lagi, tapi saat ini dengan intonasi yang pelan. Dia pun takut anaknya Vianca menangis lagi."Saya tahu, tapi Savana korban dari kelakuan Zeva. Saya tidak tahu menahu kisah Zeva dan Savana seperti apa. Yang saya tahu, Mas Zeva sudah putus dari Savana sebelum menikah dengan saya.""Berarti Zeva dan Savana putus gara-gara kamu, kamu biang kerok semua masalah.""Mas Zeva bilang, saat itu Savana dan Adam kakaknya Zeva ada hubungan, maka dari itu Zeva kesal.""Jangan so tahu kamu. Malah fitnah anak saya."Ibunya Vianca berkata kembali. "Kamu, wanita murahan! Jangan pernah sekali-kali mencoba memfitnah menantu kesayangan saya. Kamu mau melahirkan berapa belas anak pun dari Zeva, tetap saja kamu wanita murahan yang tidak akan mendapat tempat di kehidupan saya."Ibunya Zeva emosi saat melihat teman akrabnya sekaligus besannya sakit hati ole
Di rumah baru ini, Vianca melewati berbagai hal. Terutama menyaksikan tumbuh kembang anaknya yang sudah mau satu tahun. Anak nya sudah bisa jalan, sering menggapai benda-benda bahaya disekitar. Vianca kewalahan dan kecapean akan hal itu, tapi itu adalah hal yang menyenangkan dalam hidupnya. Saat melihat canda tawa Rafael, Vianca merasa hidupnya sempurna.Rafael pun tak pernah kekurangan kasih sayang ayahnya. Zeva saat pulang bekerja selalu mengajak anak itu bermain baik di rumah maupun di taman dekat rumah. Mengajak Rafael mandi bola dan yang lainnya.Vianca selalu sibuk di sore hari menyiapkan hidangan kesukaan Zeva. Namun memang, hasil masakan Vianca tidak mengecewakan. Zeva selalu lahap bahkan sampai nambah dua kali sangking bersemangatnya menyantap hidangan dari istrinya itu.Yang kurang dari hidup mereka adalah. Tidak adanya restu dari orang tua mereka. Terlebih Savana pergi ke luar negeri dengan alasan berobat, dia
Savana meletakan ujung pena untuk menandatangani surat gugatan cerai dari Zeva. Tangannya bergetar, air matanya berderai. Dia tak pernah mengira nasibnya akan menjadi janda di usianya yang sangat muda. Apa kata orang nanti?Apalagi, saat ini dirinya masih di atas kursi roda. Ingin mendapat perhatian malah dapat celaka yang berkali lipat.Keluarga Savana begitu terpandang dan disegani. Hal itu semakin membebani batin Savana. Dia kembali terisak mengingat bagaimana nanti reaksi ibunya yang mengetahui kejadian ini.Savana tak sanggup menandatangani kertas itu. Surat tersebut malah dibanjiri air mata dan Savana segera meletakan kembali surat itu ke nakas.Dia menelepon Adam, pria yang pernah menenangkan jiwanya walaupun statusnya adalah suami orang.Adam mengangkat telepon. Dan sepertinya mendengar rintihan Savana. "Hallo, Savana! Kamu menangis?"
Vianca melihat istri Melvin membawa kado yang besar. Tadinya dia tidak fokus pada kado yang keluarga itu bawa. Vianca menjadi lega, sepertinya kedatangan Melvin bukan untuk hal yang jahat, tapi untuk berkunjung layaknya saudara."Vianca, ini untuk anak kamu!""Makasih banyak, kak!"Siapa namanya anakmu itu.""Namanya Rafael Nichole. Panggilannya Rafael atau Rafa, tapi kadang aku panggil aja Dek Fael."Lucu banget panggilannya."Cindy masuk ruangan tamu sambil membawa Rafael. "Wah, ada Kak Melvin di sini. Ya, ampun, kak Melvin kemana aja, gak pernah mudik. Ibu sama aku hampir lupa punya kakak cowok.""Iya, maafin Kaka Cindy. Sini bawa dedeknya, kakak mau lihat wajahnya mirip Vianca atau Zeva.""Wajahnya mirip tantenya, dong hahaha." Cindy mendekat ke arah Melvin.Melvin menatap Rafael dengan lekat. "Ganteng banget, mirip gua ternyata.""Huhuuuuu ...." Cindy bersorak meledek Melvin."Saat lahiran berapa kilo?
Vianca sudah menunggu Cindy di depan pintu. Saat Cindy tiba dengan menggunakan mobil Edrick, Vianca sangat heran karena wajah adiknya itu murung sambil buru-buru masuk kamar tanpa ucap salam."Edrick, katanya kamu mau pulang sore, tapi malah pulang semalam ini.""Sorry, Vi. Aku keterusan mainnya.""Lain kali jangan gitu, lalu kenapa Cindy kelihatan kesal? Apa yang kamu perbuat padanya.""Aku tidak melakukan apa-apa. Mungkin dia lelah.""Oh, gitu.""Ya." Edrick tertunduk, takut ketahuan bohong. "Ya, sudah, aku pulang dulu, Vi.""Hati-hati di jalan.""Oke."Vianca berjalan menuju kamar Cindy. Dia melihat Cindy berbaring di kasur dengan selimut menutupi perut."Udah mau tidur? Udah cuci kaki dan cuci muka belum? Atau kamu mau mandi air hangat?""Aku lagi bete, mau tidur aja.""Jangan gitu, dong jorok, tahu.""Bodo amat, lagi bete.""Emang kesal sama siapa, sama Edrick!""Ya sama sia