Menjelang dini hari, meskipun mereka sudah melalui malam indah bersama, keduanya tidak terpejam. Seolah, waktu sayang untuk dilewatkan hanya dengan tidur. Besok, bisa saja mereka akan saling melupakan dan hari ini adalah hari di mana pertama dan terakhir kali mereka bertemu.
"Gua ingin melakukan banyak hal bersama lo, hanya dalam waktu satu malam."
"Ngapain lagi?" tanya Vianca setengah ngantuk.
"Ngobrol sama lo."
Vianca tidak menjawab, dirinya ingin tidur tapi tidak diijinkan. Tadi sempat dia terpejam, tapi bahunya diguncang oleh Zeva hingga akhirnya bangun lagi.
Namun Zeva tidak peduli. Masa bodo dengan wajah Vianca yang menahan ngantuk. Dia ingin wanita itu mendengarkan apa pun yang Zeva ungkapkan. "Usia lo berapa tahun, kenapa bisa seimut ini?"
Vianca yang nyaris terlelap mendadak segar bugar hanya dengan satu kalimat pujian. "Imut?"
"Serius, imut banget. Jadi berapa taun usia lo?"
"22 tahun. Kalau Mas berapa tahun?"
"Muda banget, gua 30 tahun kurang dua hari."
"Bentar lagi ultah, dong. Happy birthday, ya! Wish you all the best."
"Kenapa kasih ucapan? Dua hari lagi 'kan? Bukan hari ini."
"Dua hari ke depan belum tentu kita bertemu lagi 'kan?"
"Selama lo gak blokir nomer gua. Lo bisa chat gua kapan aja. Jangan pernah diblokir, ya! Please!"
Vianca tersenyum, karena isi hatinya mudah ditebak Zeva, memang dia ada rencana memutus kontak dengan pelanggan yang terakhirnya ini. Sesuai rencananya semula, setelah mendapatkan uang dari Zeva, dia akan pergunakan uang itu untuk menyogok pekerjaan.
"Kenapa senyum? Jadi beneran nanti lo bakal blokir nomer gua?"
"Enggak, kok." Vianca tertunduk, dia menyembunyikan ekspresi, takut ketauan berbicara yang sebaliknya.
"Serius! Gua akan cari lo kemana pun. Kalau sampai lo berani blokir nomer gua."
"Oke, gak akan saya blokir. Kalau boleh tahu Mas kerja di mana? Punya info lowongan pekerjaan gak?"
Zeva tertawa saat ditanya info pekerjaan. "Yang bener aja lo tanya kerjaan sama gua. Gua gak kerja."
"Oh, selama ini emang gak kerja?"
"Gua baru keluar dari penjara. Gua udah habisin masa muda gua di dalam sel."
Vianca tertegun. Zeva baru keluar tahanan, tidak bekerja tapi bisa sewa kamar hotel dan membayar jasa dirinya tujuh kali lipat. Apa Zeva seorang bandit? Pertanyaan tersebut bersarang dalam benak Vianca.
"Lo tahu? Saat baru keluar dari tahanan gua udah ngincer lo. Dan akhirnya, kita beneran ketemu juga 'kan?"
Zeva tertawa, merasa bangga karena sudah berhasil membuat Vianca dan dirinya bertemu hingga bermalam bersama.
Lidah Vianca kaku, dia tidak mampu berkata apa-apa. Terlintas dalam benaknya penyesalan, takut Zeva mencelakainya. Bahkan, dia tidak berani bertanya kasus apa yang bisa membuat Zeva bisa dipenjara.
Vianca semakin takut saat Zeva menatap dengan tajam ke arahnya. Pantas saja dari tadi tatapannya lain, hal itu karena Zeva punya masalah dalam hidupnya. Vianca berasumsi macam-macam, mungkin saja dirinya tidak akan dibayar dan malah akan dirampok. Atau saat tidur organ tubuhnya akan diambil dan dijual sehingga kesempatan untuknya hidup hanyalah malam ini.
Zeva semakin mendekat, menekan pipi Vianca dan mengarahkan wajah Vianca ke wajahnya. Mereka kini berhadapan dengan jarak yang sangat dekat.
"Hey, Nona PSK! Bahkan elo pun tidak ingin berdekatan sama gua, saat tahu gua ini mantan napi. Jangan lupakan lo juga seorang pendosa. Kita sama saja, dan jangan lagi bereaksi berlebihan kaya gitu! Paham?"
Vianca sadar, dirinya tidak bisa menutupi rasa takutnya. Untuk itu, dia lebih memilih meminta maaf dengan jujur. "Maafkan, saya! Saya mohon!"
"Lo gua maafkan! Tapi ada syaratnya!"
"Syaratnya apa?"
"Lo harus selalu tersenyum dekat gua, bikin gua bahagia. Jangan kaya orang lain yang jaga jarak hanya karena gua mantan napi."
"Maafkan saya. Saya hanya takut sama Mas."
"Takut apa?" Zeva tahu ketakutan apa yang dirasakan Vianca, Zeva hanya ingin mendengar dari mulut Vianca saja.
Vianca diam, dia khawatir Zeva tersinggung.
"Katakan saja!" bujuk Zeva.
"Takut Mas jual organ tubuh saya. Jangan, ya! Kalau pun mau dijual, usahakan saya tetap hidup, dan kita pakai uangnya untuk nyogok kerja bareng aja."
Zeva terkekeh, dia tidak habis pikir wanita ini berpikir sejauh itu. Bahkan, Vianca tidak berpikiran bahwa dirinya tidak akan bisa bekerja yang berat jika organ ditubuhnya tidak lengkap. Terbersit dalam benak Zeva untuk menjahili wanita itu.
Zeva berkata, sambil memegang bahu Vianca. "Ayo berbaring yang benar! Kita akan mulai proses pembedahan. Kira-kira ginjal sama hati lo laku berapa, ya?"
Vianca memekik histeris, sambil memukul-mukul lengan Zeva, lalu mendorong pria itu agar menjauh walau usahanya gagal.
"Woy ... woy! Lo kesurupan kayanya! Hahaha." Zeva tertawa sambil merasakan geli akibat pukulan Vianca yang tak seberapa baginya. Tubuhnya terlalu kekar jika hanya dipukul macam itu.
Vianca terhenti, saat sadar Zeva menertawakannya. Dia terlalu parno karena media masa banyak menayangkan kasus jual organ tubuh manusia.
"Vi, gua masih waras! Mana mau buka usaha atau kerja pakai modal hasil jual ginjal orang."
Vianca mengerucutkan bibir, matanya memerah menahan tangis.
Zeva mengelus puncak kepala Vianca. "Serius amat."
Zeva menggeleng sambil tersenyum, merasa lucu dengan reaksi polos dari Vianca. Hal itu cukup membuatnya terhibur. Zeva menarik kesimpulan bahwa Vianca adalah seorang wanita malam yang tidak begitu pengalaman dengan berbagai macam laki-laki.
"Lo kerja kaya gini berapa lama? Apa belum pernah pelanggan lo pria kriminal macam gua??"
Vianca mengangguk.
"Jadi, pria macam apa yang pernah lo layani selama ini?"
Vianca menggaruk kepala sebelum menjawab. "Saya sebenarnya hanya pernah open BO beberapa kali saja. Dan sebelumnya, sempat terkekang hanya jadi simpanan CEO baik hati dan tampan selama enam bulan, jadi gak melayani siapa-siapa lagi selain pria itu."
Zeva mengerutkan alis. Dia melihat Vianca nampak berbunga-bunga saat menyebut kata CEO baik hati dan tampan. Zeva tidak mengerti kenapa dia bisa kesal seperti ini mendengarnya. Mungkin, dia merasa tersaingi. Bahkan, bisa saja dia cemburu. "Oh, jadi lo simpanan CEO tampan waktu itu?"
Vianca menjawab dengan semangat. "Iya, macam di novel-novel online gitu, lah, hidup saya. Saya cocok jika memerankan tokoh wanita berjudul Disayangi CEO Tampan."
Zeva makin kesal, dia mengacak rambutnya, menyembunyikan kecemburuannya dengan kalimat penghinaan. "Hah, jangan mimpi mana ada pelacur disayangi? Yang ada hanya dimanfaatkan. Hentikan impian kosong lo. Sebelum lo terjatuh dari harapan palsu itu."
Lamunan Vianca yang sudah melambung tinggi jatuh seketika. Dia yang sempat merasa menjadi tokoh utama akhirnya terbangun dan menghadapkan diri pada kenyataan. Bahwa, dirinya memang hina. Novel yang dia baca hanyalah fiktif dan pada kenyataannya dia hanya sampah masyarakat.
Zeva tempramen, dia sadar akan hal itu. Begitu cepat dia membuat kesalahan lalu dengan cepat dia menyesal pula. Saat melihat mata Vianca memerah menahan air mata penyesalan itu semakin menjadi. Namun si pria arogan itu tidak akan dengan mudah meminta maaf.
Untuk kesekian kalinya Vianca harus berhati-hati menghadapi orang, dengan cara lebih menutup diri menyembunyikan isi hati. Sempat dihina orang dengan hal yang sama tidak membuatnya lebih kuat. Padahal, niatnya bilang menjadi tokoh utama novel bertema CEO hanya bercanda.
"Ya udah, Vi. Sekarang kalau lo mau tidur, tidur aja! Thanks udah nemenin gua ngobrol."
Zeva memejamkan mata. Namun giliran Vianca yang tidak mau tidur.
Vianca menatap Zeva saat tidur. Rasanya, dia ingin mencakar wajah Zeva saat mengingat bagaimana arogannya pria ini saat berbicara. Vianca tidak mungkin berani, dia hanya mencakar udara kosong dengan jarak yang dekat dengan Wajah Zeva, sambil terus mengumpat dalam hati.
Sialnya, pria ini begitu tampan meskipun menyebalkan, Vianca tidak bisa menyangkal ketampanan Zeva. Vianca lebih mendekat, bersandar pada Zeva hanya untuk mengambil foto mereka berdua.
Akhirnya, Vianca mendapatkan foto berdua bersama Zeva, dalam keadaan Zeva sedang terpejam. Lumayan, dia jadi punya stok foto buat diajak halu jika sudah berpisah dengan Zeva nanti.
***Zeva mengantarkan Vianca pulang. Zeva melirik Vianca nampak murung walau sudah diberi uang.
"Lo kenapa, duit dari gua kurang?"
Vianca terperanjat dari lamunan. "Enggak, lebih malah."
"Oh, kalau lebih, sini balikin!"
Vianca membuka dompet dan mengambil beberapa lembar uang ratusan, menyerahkan pada Zeva.
"Astaga, gua cuma becanda kali. Hina banget gua udah ngasih terus diminta lagi."
Vianca tertunduk sambil memasukan kembali uang itu.
"Jadi, lo murung kenapa? Masih marah gara-gara gua ngata-ngatain lo semalam? Oke gua ngaku salah. Gua minta maaf."
Vianca tersenyum. "Kenapa harus minta maaf? Memang pada kenyataannya kaya gitu 'kan? Itu salah saya karena terlalu halu dan berharap disayangi seorang pria."
Hati Zeva makin tak tenang. Dia sebenarnya sanggup hanya sekadar menyayangi Vianca, sekaligus menyelamatkan wanita ini dari jerat dunia malam di kemudian hari. Namun, Zeva lebih memilih mengusir perasaan itu. Dia akan kalah saing dengan dua orang saudaranya yang memiliki kekasih dari kalangan atas.
Mengingat dua saudaranya begitu bersinar dengan karir cemerlang dan selalu ada perempuan smart di sampingnya, dirinya tidak ingin tersaingi dan bertekad untuk mendapatkan Savana kembali. Dia berambisi memiliki keturunan dari wanita yang memiliki derajat dan pendidikan tinggi, seperti Savana.
Zeva merebahkan diri, mencoba memejamkan mata, tapi tidak berhasil. Dia tidak menyangka, sampai kini pun otaknya dipenuhi memori saat bersama dengan Vianca. Wanita itu, berhasil mencuri hatinya, walau hanya baru bertemu satu malam.Zeva meraih ponsel, kemudian mengirim pesan pada Vianca hanya sekadar menggoda tanpa ada maksud lain. "Gua ingin ketemu sama lo lagi. Setiap hari dan seumur hidup. Lo mau?"Zeva merasa geli sendiri. Jika dia bertemu setiap hari dengan Vianca, maka dia harus sedia uang yang banyak untuk membayar rutin wanita itu. Padahal, uang dari ayahnya sudah hampir menipis. Semakin ke sini, ayahnya terlalu rese dan susah memberikan uang lagi. Zeva jadi kepikiran untuk mencari pekerjaan dengan benar.Ada notifikasi pesan masuk, dan itu dari Vianca. "Jangan aneh-aneh, Mas."Zeva tidak suka balasan itu. Baginya, Vianca sudah lancang menolak dirinya."Lo adalah wanita malam paling rese yang pernah gua temui. Lo nolak keinginan gua?"
Zeva menyaksikan sendiri minuman yang diberikan pada Vianca jatuh. Alisnya berkerut, dia keberatan niat baiknya disambut dengan penolakan.Vianca mengigit bibir bawah, resah karena dia tidak sengaja menumpahkannya. Dia masih waras untuk tidak mencari gara-gara dengan Zeva. "Maafkan saya!"Zeva terkekeh, dia memang kesal. Namun melihat ekspresi Vianca saat ini, malah membuat Zeva ingin memeluk wanita itu."Ya sudah, lupakan minuman itu. Sekarang, lo mau gua antar beli baju tak senonoh, gak? Buat dipakai nanti malam.""Em, gak usah."Mendengar kata baju tak senonoh dari mulut Zeva, rasanya Vianca ingin sekali mencekik pria di hadapannya itu. Namun lagi-lagi Vianca hanya bisa ketakutan, apalagi Zeva saat ini kembali memakai stelan hitam-hitam seperti anggota mafia.Zeva menarik tangan Vianca, mengajaknya ke pusat perbelanjaan. "Ikut, yuk!""Gak mau!" Vianca menahan tubuhnya supaya tidak bergeser."Kenapa?"
Sudah kesekian kalinya Zeva dan Vianca bertemu. Sekadar berkeluh kesah layaknya teman yang saling mendukung. Namun, baru kali ini Vianca diajak ke kontrakan milik Zeva. Kontrakan yang lebih mirip persembunyian teroris karena letaknya yang jauh dari jalan utama. Serta, stiker logo death metal menempel penuh di jendela membuat kesan yang urakan.Vianca kembali berburuk sangka, dengan kontrakan sekecil ini mengapa Zeva selalu memiliki uang yang cukup banyak. Apa Zeva jualan obat-obatan terlarang? Langkah Vianca terhenti. Bahkan lebih daripada itu, kakinya bergetar."Ayo masuk! Kenapa diem kaya patung gitu? Alergi masuk kontrakan kecil?""Kontrakan aku juga kecil, emm tapi__""Tapi tidak menyeramkan seperti ini?" Zeva menebak.Vianca membulatkan mata. "Bukan begitu!""Atau lo takut gua rebus hidup-hidup di dalem? Atau mungkin, takut ada tikus dan kecoa? Asal lo tahu, biarpun stiker jendela gua band cadas tapi isi kontrakan rapi dan bersih, kok."
Setelah satu bulan lamanya, Vianca sudah tak mendengar kabar laki-laki itu lagi. Terakhir mereka bertemu, Zeva membantu menyiapkan lamaran pekerjaan. Hal kecil itu membuat kesan tersendiri bagi seorang Vianca, yang sangat jarang berinteraksi dengan orang sekitar. Saat Zeva tidak hadir, maka hari-harinya kembali sepi dan membosankan. Sebenarnya bukan karena jatuh hati pada pria itu. Dia hanya rindu suasana berisik yang Zeva ciptakan. Bahkan dia belum meminta maaf karena sudah menuduh Zeva adalah seorang buronan. Sehabis menandaskan sarapannya. Dia meraih ponsel. Mencoba memberanikan diri mengirim pesan pada pria itu. "Hallo Mas Zeva apa kabar? Saat Mas tidak menghubungiku,aku tahu itu artinya aku sedang tidak dibutuhkan. Tapi saat ini sepertinya aku yang membutuhkan Mas Zeva. Apa bisa kita bertemu?" Vianca masih memegang ponsel, menanti centang satu abu berubah menjadi centang dua biru. Namun, hal itu tidak terjadi meskipun sudah cukup lama dia m
Vianca sudah memakai pakaian putih-hitam karena hari ini ada panggilan kerja. Namun, walaupun masih pagi, dia diresahkan oleh kehadiran Melvin di depan rumahnya. Kakaknya itu, nampak kumal, serta belum mengganti pakaian hang out. Sepertinya, Melvin semalaman habis party bersama teman-temannya.Vianca berada dibalik pintu, dia tidak ingin berurusan dulu dengan kakaknya. Dia tahu, kakaknya akan datang jika sudah kehabisan uang."Vi ... Vi ... buka pintunya! Kakak tahu kamu ada di dalam!" teriak Melvin.Vianca terperanjat, berdiri dibalik pintu, tetap bertahan menunggu kakaknya itu pergi. Namun, cukup sulit membuat Melvin pergi. Vianca beberapa kali melihat jam di tangannya, cemas karena khawatir akan terlambat.Melvin lagi-lagi mengetuk pintu, kali ini lebih kencang karena sudah cukup pusing dari tadi menunggu. "Woy, buka, woy! Adik sialan, gak tahu diri! Udah syukur kamu disekolahin sama bokap, pas udah gede malah pelit kaya gini."Vianca melirik ke
Bukan hal yang mudah bagi Vianca berpura-pura tidak mengenal Zeva. Setelah beberapa malam dilewati bersama, tapi Zeva malah menyuruh wanita itu melupakan segala kenangan tentang mereka. Vianca bekerja ditempatkan di bagian resepsionis, dan mau tidak mau dia harus melihat Zeva berjalan tanpa melihat ke arahnya. Vianca terperanjat dari lamunan tentang Zeva, dari jarak beberapa meter ada pria tegap yang berdiri menatap lekat ke arahnya. Vianca menyipitkan mata, merasa pernah melihat pria itu, namun jarak pandangnya agak jauh sehingga dia takut salah orang. Pria itu mendekat, semakin mendekat dan tiba-tiba jantung Vianca berpacu tak terkendali. Bayangan kejadian saat SMA melintas dipikirannya. Hal yang pernah membuat dirinya putus asa dalam meraih cita-cita. "Selamat pagi, Pak!" sapa Vianca "Via!" Pria itu tidak menjawab ucapan salam. Malah, memanggil nama kecil Vianca. Risa yang berada di samping Vianca tercengang karena Vianca dipanggil de
Zeva menghempaskan diri pada kasurnya. Kemudian mengatur posisi yang baik untuk meluruskan kaki. Dia kelelahan, setelah pulang bekerja harus bersusah payah membujuk Savana untuk balikan padanya. Usahanya tak sia-sia, wanita itu memberi kesempatan ke dua dengan syarat Zeva harus memperbaiki imagenya yang buruk dan Zeva pun diminta untuk berusaha supaya naik jabatan. Atau bahkan, membuat Perusahan sendiri. Savana adalah motivasi hidupnya. Tentu saja sebagai laki-laki dia harus berusaha memenuhi yang Savana mau. Terlebih, Savana minta uang mahar yang tinggi jika mereka sampai maju ke pelaminan. Bel pintu berbunyi. Zeva mengumpat. Baru saja dia berhasil istirahat melepas aktivitas yang menguras energi. Akan tetapi malah ada tamu tak diundang malam-malam begini. "Tamu laknat dari mana yang ganggu istirahat gua?" Zeva yang bertelanjang dada memakai T-shirt, sebelum membuka pintu apartemen. Pintu dibuka. Dia melihat sosok pria tegap nyengir ke arahnya.
Zeva mengelak bahwa dirinya mencintai Vianca. "Savana jauh lebih cantik puluhan kali lipat daripada Vianca. Gak ada alasan buat gua jatuh cinta sama dia." "Karena cinta itu gak ada logika, Bang Zev. Buktinya, lo nyimpen celana dalam Vianca pake kado, di simpen baik-baik bareng sama baju lo. Itu artinya, logika lo pindah ke dengkul, Bang Zev." Zeva meraih celana dalam yang dibuang Edrick, kemudian menggulung dan menjejal benda tersebut ke mulut adiknya yang berisik itu, hingga Edrick batuk. "Nih, ambil! Ambil kalau lo mau Vianca, ambil aja sana!" Edrick, membenarkan posisi duduknya. Wajahnya nampak serius. "Vianca gak seperti yang lo banyangkan. Dia baik, hanya saja kehidupannya sulit. Andai saja Bang Zev tahu, Gua bersalah sudah buat situasi dia makin terpuruk. Dan jika ada kesempatan buat jadi pendampingnya, gua mau, kok." Zeva bungkam, dirinya mendengarkan tiap kalimat dari mulut Edrick. Bahkan, sudah langsung menyerap ke dalam otaknya. Ada perasaan