Share

3. Ketakutan Vianca

Menjelang dini hari, meskipun mereka sudah melalui malam indah bersama, keduanya tidak terpejam. Seolah, waktu sayang untuk dilewatkan hanya dengan tidur. Besok, bisa saja mereka akan saling melupakan dan hari ini adalah hari di mana pertama dan terakhir kali mereka bertemu.

"Gua ingin melakukan banyak hal bersama lo, hanya dalam waktu satu malam."

"Ngapain lagi?" tanya Vianca setengah ngantuk.

"Ngobrol sama lo."

Vianca tidak menjawab, dirinya ingin tidur tapi tidak diijinkan. Tadi sempat dia terpejam, tapi bahunya diguncang oleh Zeva hingga akhirnya bangun lagi. 

Namun Zeva tidak peduli. Masa bodo dengan wajah Vianca yang menahan ngantuk. Dia ingin wanita itu mendengarkan apa pun yang Zeva ungkapkan. "Usia lo berapa tahun, kenapa bisa seimut ini?"

Vianca yang nyaris terlelap mendadak segar bugar hanya dengan satu kalimat pujian. "Imut?"

"Serius, imut banget. Jadi berapa taun usia lo?"

"22 tahun. Kalau Mas berapa tahun?"

"Muda banget, gua 30 tahun kurang dua hari."

"Bentar lagi ultah, dong. Happy birthday, ya! Wish you all the best."

"Kenapa kasih ucapan? Dua hari lagi 'kan? Bukan hari ini."

"Dua hari ke depan belum tentu kita bertemu lagi 'kan?"

"Selama lo gak blokir nomer gua. Lo bisa chat gua kapan aja. Jangan pernah diblokir, ya! Please!"

Vianca tersenyum, karena isi hatinya mudah ditebak Zeva, memang dia ada rencana memutus kontak dengan pelanggan yang terakhirnya ini. Sesuai rencananya semula, setelah mendapatkan uang dari Zeva, dia akan pergunakan uang itu untuk menyogok pekerjaan.

"Kenapa senyum? Jadi beneran nanti lo bakal blokir nomer gua?"

"Enggak, kok." Vianca tertunduk, dia menyembunyikan ekspresi, takut ketauan berbicara yang sebaliknya.

"Serius! Gua akan cari lo kemana pun. Kalau sampai lo berani blokir nomer gua."

"Oke, gak akan saya blokir. Kalau boleh tahu Mas kerja di mana? Punya info lowongan pekerjaan gak?"

Zeva tertawa saat ditanya info pekerjaan. "Yang bener aja lo tanya kerjaan sama gua. Gua gak kerja."

"Oh, selama ini emang gak kerja?"

"Gua baru keluar dari penjara. Gua udah habisin masa muda gua di dalam sel."

Vianca tertegun. Zeva baru keluar tahanan, tidak bekerja tapi bisa sewa kamar hotel dan membayar jasa dirinya tujuh kali lipat. Apa Zeva seorang bandit? Pertanyaan tersebut bersarang dalam benak Vianca.

"Lo tahu? Saat baru keluar dari tahanan gua udah ngincer lo. Dan akhirnya, kita beneran ketemu juga 'kan?"

Zeva tertawa, merasa bangga karena sudah berhasil membuat Vianca dan dirinya bertemu hingga bermalam bersama.

Lidah Vianca kaku, dia tidak mampu berkata apa-apa. Terlintas dalam benaknya penyesalan, takut Zeva mencelakainya. Bahkan, dia tidak berani bertanya kasus apa yang bisa membuat Zeva bisa dipenjara. 

Vianca semakin takut saat Zeva menatap dengan tajam ke arahnya. Pantas saja dari tadi tatapannya lain, hal itu karena Zeva punya masalah dalam hidupnya. Vianca berasumsi macam-macam, mungkin saja dirinya tidak akan dibayar dan malah akan dirampok. Atau saat tidur organ tubuhnya akan diambil dan dijual sehingga kesempatan untuknya hidup hanyalah malam ini.

Zeva semakin mendekat, menekan pipi Vianca dan mengarahkan wajah Vianca ke wajahnya. Mereka kini berhadapan dengan jarak yang sangat dekat.

"Hey, Nona PSK! Bahkan elo pun tidak ingin berdekatan sama gua, saat tahu gua ini mantan napi. Jangan lupakan lo juga seorang pendosa. Kita sama saja, dan jangan lagi bereaksi berlebihan kaya gitu! Paham?" 

Vianca sadar, dirinya tidak bisa menutupi rasa takutnya. Untuk itu, dia lebih memilih meminta maaf dengan jujur. "Maafkan, saya! Saya mohon!"

"Lo gua maafkan! Tapi ada syaratnya!"

"Syaratnya apa?"

"Lo harus selalu tersenyum dekat gua, bikin gua bahagia. Jangan kaya orang lain yang jaga jarak hanya karena gua mantan napi."

"Maafkan saya. Saya hanya takut sama Mas."

"Takut apa?" Zeva tahu ketakutan apa yang dirasakan Vianca, Zeva hanya ingin mendengar dari mulut Vianca saja.

Vianca diam, dia khawatir Zeva tersinggung.

"Katakan saja!" bujuk Zeva.

"Takut Mas jual organ tubuh saya. Jangan, ya! Kalau pun mau dijual, usahakan saya tetap hidup, dan kita pakai uangnya untuk nyogok kerja bareng aja."

Zeva terkekeh, dia tidak habis pikir wanita ini berpikir sejauh itu. Bahkan, Vianca tidak berpikiran bahwa dirinya tidak akan bisa bekerja yang berat jika organ ditubuhnya tidak lengkap. Terbersit dalam benak Zeva untuk menjahili wanita itu.

Zeva berkata, sambil memegang bahu Vianca. "Ayo berbaring yang benar! Kita akan mulai proses pembedahan. Kira-kira ginjal sama hati lo laku berapa, ya?"

Vianca memekik histeris, sambil memukul-mukul lengan Zeva, lalu mendorong pria itu agar menjauh walau usahanya gagal. 

"Woy ... woy! Lo kesurupan kayanya! Hahaha." Zeva tertawa sambil merasakan geli akibat pukulan Vianca yang tak seberapa baginya. Tubuhnya terlalu kekar jika hanya dipukul macam itu.

Vianca terhenti, saat sadar Zeva menertawakannya. Dia terlalu parno karena media masa banyak menayangkan kasus jual organ tubuh manusia.

"Vi, gua masih waras! Mana mau buka usaha atau kerja pakai modal hasil jual ginjal orang."

Vianca mengerucutkan bibir, matanya memerah menahan tangis.

Zeva mengelus puncak kepala Vianca. "Serius amat."

Zeva menggeleng sambil tersenyum, merasa lucu dengan reaksi polos dari Vianca. Hal itu cukup membuatnya terhibur. Zeva menarik kesimpulan bahwa Vianca adalah seorang wanita malam yang tidak begitu pengalaman dengan berbagai macam laki-laki.

"Lo kerja kaya gini berapa lama? Apa belum pernah pelanggan lo pria kriminal macam gua??"

Vianca mengangguk. 

"Jadi, pria macam apa yang pernah lo layani selama ini?"

Vianca menggaruk kepala sebelum menjawab. "Saya sebenarnya hanya pernah open BO beberapa kali saja. Dan sebelumnya, sempat terkekang hanya jadi simpanan CEO baik hati dan tampan selama enam bulan, jadi gak melayani siapa-siapa lagi selain pria itu."

Zeva mengerutkan alis. Dia melihat Vianca nampak berbunga-bunga saat menyebut kata CEO baik hati dan tampan. Zeva tidak mengerti kenapa dia bisa kesal seperti ini mendengarnya. Mungkin, dia merasa tersaingi. Bahkan, bisa saja dia cemburu. "Oh, jadi lo simpanan CEO tampan waktu itu?"

Vianca menjawab dengan semangat. "Iya, macam di novel-novel online gitu, lah, hidup saya. Saya cocok jika memerankan tokoh wanita berjudul Disayangi CEO Tampan."

Zeva makin kesal, dia mengacak rambutnya, menyembunyikan kecemburuannya dengan kalimat penghinaan. "Hah, jangan mimpi mana ada pelacur disayangi? Yang ada hanya dimanfaatkan. Hentikan impian kosong lo. Sebelum lo terjatuh dari harapan palsu itu."

Lamunan Vianca yang sudah melambung tinggi jatuh seketika. Dia yang sempat merasa menjadi tokoh utama akhirnya terbangun dan menghadapkan diri pada kenyataan. Bahwa, dirinya memang hina. Novel yang dia baca hanyalah fiktif dan pada kenyataannya dia hanya sampah masyarakat. 

Zeva tempramen, dia sadar akan hal itu. Begitu cepat dia membuat kesalahan lalu dengan cepat dia menyesal pula. Saat melihat mata Vianca memerah menahan air mata penyesalan itu semakin menjadi. Namun si pria arogan itu tidak akan dengan mudah meminta maaf.

Untuk kesekian kalinya Vianca harus berhati-hati menghadapi orang, dengan cara lebih menutup diri menyembunyikan isi hati. Sempat dihina orang dengan hal yang sama tidak membuatnya lebih kuat. Padahal, niatnya bilang menjadi tokoh utama novel bertema CEO hanya bercanda.

"Ya udah, Vi. Sekarang kalau lo mau tidur, tidur aja! Thanks udah nemenin gua ngobrol."

Zeva memejamkan mata. Namun giliran Vianca yang tidak mau tidur. 

Vianca menatap Zeva saat tidur. Rasanya, dia ingin mencakar wajah Zeva saat mengingat bagaimana arogannya pria ini saat berbicara. Vianca tidak mungkin berani, dia hanya mencakar udara kosong dengan jarak yang dekat dengan Wajah Zeva, sambil terus mengumpat dalam hati.

Sialnya, pria ini begitu tampan meskipun menyebalkan, Vianca tidak bisa menyangkal ketampanan Zeva. Vianca lebih mendekat, bersandar pada Zeva hanya untuk mengambil foto mereka berdua.

Akhirnya, Vianca mendapatkan foto berdua bersama Zeva, dalam keadaan Zeva sedang terpejam. Lumayan, dia jadi punya stok foto buat diajak halu jika sudah berpisah dengan Zeva nanti. 

***

Zeva mengantarkan Vianca pulang. Zeva melirik Vianca nampak murung walau sudah diberi uang. 

"Lo kenapa, duit dari gua kurang?"

Vianca terperanjat dari lamunan. "Enggak, lebih malah."

"Oh, kalau lebih, sini balikin!" 

Vianca membuka dompet dan mengambil beberapa lembar uang ratusan, menyerahkan pada Zeva.

"Astaga, gua cuma becanda kali. Hina banget gua udah ngasih terus diminta lagi."

Vianca tertunduk sambil memasukan kembali uang itu.

"Jadi, lo murung kenapa? Masih marah gara-gara gua ngata-ngatain lo semalam? Oke gua ngaku salah. Gua minta maaf."

Vianca tersenyum. "Kenapa harus minta maaf? Memang pada kenyataannya kaya gitu 'kan? Itu salah saya karena terlalu halu dan berharap disayangi seorang pria."

Hati Zeva makin tak tenang. Dia sebenarnya sanggup hanya sekadar menyayangi Vianca, sekaligus menyelamatkan wanita ini dari jerat dunia malam di kemudian hari. Namun, Zeva lebih memilih mengusir perasaan itu. Dia akan kalah saing dengan dua orang saudaranya yang memiliki kekasih dari kalangan atas.

Mengingat dua saudaranya begitu bersinar dengan karir cemerlang dan selalu ada perempuan smart di sampingnya, dirinya tidak ingin tersaingi dan bertekad untuk mendapatkan Savana kembali. Dia berambisi memiliki keturunan dari wanita yang memiliki derajat dan pendidikan tinggi, seperti Savana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status