Zeva meraup udara di sekitar. Dia mengedarkan pandangan, merasa mimpi dirinya bisa terbebas dari jeruji besi yang mengekang hidupnya selama ini. Hal pertama yang dia ingin lakukan selepas dari tahanan adalah, memeluk seorang wanita. Lima tahun dipenjara membuat dia kehilangan kesempatan itu.
Namun, wanita mana yang bisa dia peluk? Statusnya sebagai mantan napi membuat dia ragu untuk menjalin hubungan serius. Prasangka buruk itu semakin menjadi saat dia mencoba menghubungi mantan kekasihnya Savana, tapi Savana menolak walau hanya sekadar bertemu.
Zeva memasukan kembali ponsel yang sempat dia buka barusan. Nomer Savana masih yang lama, masih bisa dihubungi. Namun wanita itu sudah berubah sejak Zeva ditangkap oleh polisi. Bagi Zeva, prilakuan Savana masuk akal karena wanita mana yang mau menjadi kekasih seorang pria yang sudah menghabiskan masa mudanya di tahanan. Kecuali, wanita tersebut sama brengseknya dengan dirinya.
Zeva tidak pulang ke rumah. Meskipun sudah bebas tapi rumah seperti di neraka, ketika dia mengingat dua saudara kandungnya sudah berhasil membuat orang tua bangga dengan gelar dan pekerjaan yang baik. Dia hanya akan jadi sampah di antara dua berlian yang bersinar.
Bermodal tidak tahu diri dan tak tahu malu, Zeva dengan lancang menumpang di rumah Leon yang ukurannya kecil jika dibanding dengan rumah ayahnya. Namun, karena dia sudah terbiasa di hidup di penjara, tidak menjadi masalah walau tinggal di kontrakan yang sempit. Toh, hanya sementara, sebelum dirinya dapat tempat tinggal sendiri.
"Lagi ngapain Bang Zev? Serius amat!" tanya Leon sambil diam-diam mengamati mantan bos besarnya dulu mengutak-atik ponsel.
"Lagi cari yang open BO!"
Leon mendengus. "Bapak kasih uang bukannya buat cari kerja 'kan? Bukan nyari PSK!"
Zeva tidak menjawab. Dia berjanji akan pulang ke rumah jika sudah bekerja. Entahlah, dia sendiri bingung cari kerja ke mana gara-gara sempat menjadi napi. Dia malas menulis lamaran karena merasa akan sia-sia juga. Sementara, dirinya pun tidak diijinkan masuk ke perusahaan ayahnya dengan alasan sering membuat ulah dan masalah.
"Susah juga ya, cari wanita malam," celetuk Zeva.
"Susah apanya? Di ibukota banyak banget PSK."
"Susah, karena rata-rata mukanya gak sesuai dengan imajinasi gua."
Leon memberanikan diri mengintip ponsel Zeva, hanya untuk melihat wanita yang menawarkan diri via medsos di aplikasi kencan. "Cantik-cantik, kok."
"Iya, cantik. Tapi wajahnya ngeselin."
Leon berpikir keras, tapi tetap saja dia bingung wajah yang ngeselin itu seperti apa. "Ya sudah, Bang. Saat hubungan jangan lihat wajahnya aja. Yang penting badannya sexy 'kan?"
"Gak bisa, gua harus lihat wajahnya jelas."
Begadang sampai lewat tengah malam hanya untuk mencari wanita bayaran yang sesuai dengan imajinasinya. Akhirnya Zeva mendapatkan satu yang sesuai. Lalu akhirnya Zeva mulai mengirim WA karena tertera nomer WA langsung di situ.
"Open BO? Fix jadi besok malam."
"Maaf, saya sudah gak open BO. Maaf postingannya belum sempat dihapus."
"Besok malam, fix. Please."
Zeva mengumpat, mengabsen nama kebun binatang di tengah malam yang sunyi. Beberapa kali Leon terperanjat dari tidurnya karena mendengar suara Zeva yang gaduh. Untungnya, Leon berhasil tidur lagi.
Dia tidak menyerah, terus membujuk wanita degan nama akun Vianca. Tentu saja dengan taktik jitu buaya darat yang dia miliki, karena dia takut malah diblokir jika memperlihatkan sifat asli dirinya yang tempramen.
Zeva menulis pesan teks untuk kesekian kalinya. Hingga menawar tinggi. "Gua bisa bayar lo berkali lipat. Serius gua tertarik banget sama lo."
Wanita itu tidak membalas. Dan Zeva tidak suka penolakan wanita yang bernama Vianca itu. Baginya penolakan itu adalah penghinaan besar. Zeva lantas mengirim pesan kembali, untuk terakhir kali di malam ini.
"Vianca, save nomer gua! Siapa tahu lo butuh bantuan gua kapan-kapan."
Komunikasi mereka berakhir malam itu. Zeva pun tidak mencari wanita lain karena dia hanya ingin Vianca. Wanita yang masih kalah cantik dibanding dengan mantan Zeva. Vianca tidak secantik Savana, hanya saja wajahnya sesuai dengan imajinasi yang Zeva inginkan, menenangkan hati dengan senyuman yang tulus.
Tentu saja imajinasi seperti itu sangat sulit didapatkan Zeva, karena pada umumnya penampilan wanita malam itu glamor dan menantang.
***Zeva sudah mengantongi setiap medsos Vianca baik F*, IG, maupun Tiktok. Dia meminta bantuan Leon untuk mendapatkannya. Setiap hari dia melihat postingan Vianca, sambil berharap Vianca akan kena musibah dan memilih menjual diri kembali, tapi sudah satu bulan berlalu nampaknya Vianca hidup dengan biasa-biasa saja.
Hingga akhirnya, dia melihat status WA wanita incarannya itu memasang emoticon menangis. Zeva akhirnya memilih untuk mengirim pesan.
"Hallo Vianca! Kenapa statusnya sedih gitu?"
"Lagi ada masalah aja."
Zeva tersenyum, dia tidak berani bertanya blak-blakan untuk menghindari pemblokiran nomer. Hanya saja, dia sangat berharap bahwa Vianca mendapat kesulitan keuangan, dan tidak bisa mendapat jalan keluar selain menyerahkan diri pada dekapan Zeva.
Zeva mengirim pesan kembali."Sesuai janji gua sama lo, lo bisa minta bantuan sama gua dalam hal apa pun. Emang ada masalah apa? Cerita aja."
"Lagi pusing aja, belum dapat pekerjaan," balas Vianca.
"Sabar aja, nanti juga dapat. Jangan dulu putus asa."
Sebenarnya, Zeva juga pengangguran 'kan? Tapi melalui harta ayahnya Zeva tidak terlalu khawatir. Dia hanya tinggal bilang belum ada pekerjaan yang cocok, nanti akan dikirim uang oleh ayahnya. Lain halnya dengan Vianca yang tidak memiliki nasib sebagus Zeva. Walau sudah setengah mati kirim lamaran dan mengikuti berbagai tes. Tapi akhirnya gagal juga, kalah dengan orang yang bawa uang untuk menyogok pekerjaan.
Vianca selalu mendapat nilai tes yang sempurna. Baik tes tulisan maupun interview. Namun saat akan medical cek up biasanya tidak ada kejelasan. Dan tahu-tahu, orang yang sudah gagal interview sudah diterima di perusahaan tersebut. Vianca tahu, orang itu punya orang dalam sementara dirinya tidak. Dia sering melamun karena hal itu.
Vianca akhirnya mengeluarkan unek-unek pada pria yang baru saja dia kenal lewat chat. "Saya kesal, gara-gara gak ada uang sogokan jadi susah cari kerja."
"Lo bisa kerja kaya dulu lagi, Vi."
"Enggak, ah. Capek kaya gitu terus."
"Lo tenang aja! Gua akan lakuinnya pelan-pelan. Jadi nanti gak bakal cape."
"Astaga! Bukan itu maksudnya. Maksud saya, cape hidup gak berkah terus." Vianca membalas chat Zeva dengan menambahkan emoticon wajah datar yang banyak.
Zeva terkekeh atas balasan Vianca yang membuat layar ponselnya dipenuhi emoticon tersebut. "Sementara aja, Vi! Sambil cari pekerjaan, open BO lagi aja, nanti gampang bisa tutup lagi 'kan? Please, jangan dulu taubat!"
Zeva menatap layar ponsel, tidak ada balasan lagi dari Vianca. Untuk pertama kalinya Zeva merasa bodoh menunggu balasan sampai tidak bisa menjauhkan mata dari layar ponsel seperti ini. Dan ini sangat menyiksa batinnya. Dia hanya ingin bersenang-senang tapi kenapa harus seribet ini.
Mata Zeva membulat saat ada notifikasi masuk dari Vianca. Nyaris saja ponsel di tangannya dia lempar karena terlalu senang. Harapannya tidak musnah, karena Vianca setuju untuk diajak bertemu.
Zeva merasa puas dengan kebodohan Vianca. Dia membaca kembali pesan wanita itu.
"Saya bersedia bertemu, tapi mau dikasih bayaran 7 kali lipat. Maaf, soalnya nyogok kerja jaman sekarang gak ada yang murah, semuanya seakan mencekik leher. Boleh 7 kali lipat?"
"Fix! Tapi syarat dan ketentuan berlaku kalau mau 7 kali lipat. Jangan pernah mau lagi layani pria lagi selain gua."
Vianca menatap jam di dinding, resah karena sebentar lagi dia harus menemui Zeva. Dia meregangkan badan dengan durasi yang lama, mengulur waktu menuju meja rias di kamarnya. Hatinya tidak bisa tenang, walau demikian dia tetap membuka lemari memilih beberapa pakaian terkutuk yang sudah beberapa bulan tidak gunakan.Tidak ada satu pun yang baik untuk digunakan. Semua pakaian itu membuat dirinya nampak terlalu sexy. Vianca tidak merasa risi sama sekali untuk memakainya, karena sudah biasa memakainya dulu. Namun, seakan menjilat ludah sendiri saat dia berkata tidak akan memakai baju ini lagi, dan saat ini dia malah memakainya. Pilihannya, jatuh pada dress warna maroon dengan belahan dada terbuka.Dia membuka kotak make up. Memoles dengan make up yang lebih mencolok namun masih terlihat apik dan memukau. Seimbang dengan kulit putih mulusnya. Kemudian, menyemprot parfume mahal, yang akan dia semprotkan jika pergi dengan tamu saja.Ponsel Vianca berdering, ada notifika
Menjelang dini hari, meskipun mereka sudah melalui malam indah bersama, keduanya tidak terpejam. Seolah, waktu sayang untuk dilewatkan hanya dengan tidur. Besok, bisa saja mereka akan saling melupakan dan hari ini adalah hari di mana pertama dan terakhir kali mereka bertemu."Gua ingin melakukan banyak hal bersama lo, hanya dalam waktu satu malam.""Ngapain lagi?" tanya Vianca setengah ngantuk."Ngobrol sama lo."Vianca tidak menjawab, dirinya ingin tidur tapi tidak diijinkan. Tadi sempat dia terpejam, tapi bahunya diguncang oleh Zeva hingga akhirnya bangun lagi.Namun Zeva tidak peduli. Masa bodo dengan wajah Vianca yang menahan ngantuk. Dia ingin wanita itu mendengarkan apa pun yang Zeva ungkapkan. "Usia lo berapa tahun, kenapa bisa seimut ini?"Vianca yang nyaris terlelap mendadak segar bugar hanya dengan satu kalimat pujian. "Imut?""Serius, imut banget. Jadi berapa taun usia lo?""22 tahun. Kalau Mas berapa tahun?"
Zeva merebahkan diri, mencoba memejamkan mata, tapi tidak berhasil. Dia tidak menyangka, sampai kini pun otaknya dipenuhi memori saat bersama dengan Vianca. Wanita itu, berhasil mencuri hatinya, walau hanya baru bertemu satu malam.Zeva meraih ponsel, kemudian mengirim pesan pada Vianca hanya sekadar menggoda tanpa ada maksud lain. "Gua ingin ketemu sama lo lagi. Setiap hari dan seumur hidup. Lo mau?"Zeva merasa geli sendiri. Jika dia bertemu setiap hari dengan Vianca, maka dia harus sedia uang yang banyak untuk membayar rutin wanita itu. Padahal, uang dari ayahnya sudah hampir menipis. Semakin ke sini, ayahnya terlalu rese dan susah memberikan uang lagi. Zeva jadi kepikiran untuk mencari pekerjaan dengan benar.Ada notifikasi pesan masuk, dan itu dari Vianca. "Jangan aneh-aneh, Mas."Zeva tidak suka balasan itu. Baginya, Vianca sudah lancang menolak dirinya."Lo adalah wanita malam paling rese yang pernah gua temui. Lo nolak keinginan gua?"
Zeva menyaksikan sendiri minuman yang diberikan pada Vianca jatuh. Alisnya berkerut, dia keberatan niat baiknya disambut dengan penolakan.Vianca mengigit bibir bawah, resah karena dia tidak sengaja menumpahkannya. Dia masih waras untuk tidak mencari gara-gara dengan Zeva. "Maafkan saya!"Zeva terkekeh, dia memang kesal. Namun melihat ekspresi Vianca saat ini, malah membuat Zeva ingin memeluk wanita itu."Ya sudah, lupakan minuman itu. Sekarang, lo mau gua antar beli baju tak senonoh, gak? Buat dipakai nanti malam.""Em, gak usah."Mendengar kata baju tak senonoh dari mulut Zeva, rasanya Vianca ingin sekali mencekik pria di hadapannya itu. Namun lagi-lagi Vianca hanya bisa ketakutan, apalagi Zeva saat ini kembali memakai stelan hitam-hitam seperti anggota mafia.Zeva menarik tangan Vianca, mengajaknya ke pusat perbelanjaan. "Ikut, yuk!""Gak mau!" Vianca menahan tubuhnya supaya tidak bergeser."Kenapa?"
Sudah kesekian kalinya Zeva dan Vianca bertemu. Sekadar berkeluh kesah layaknya teman yang saling mendukung. Namun, baru kali ini Vianca diajak ke kontrakan milik Zeva. Kontrakan yang lebih mirip persembunyian teroris karena letaknya yang jauh dari jalan utama. Serta, stiker logo death metal menempel penuh di jendela membuat kesan yang urakan.Vianca kembali berburuk sangka, dengan kontrakan sekecil ini mengapa Zeva selalu memiliki uang yang cukup banyak. Apa Zeva jualan obat-obatan terlarang? Langkah Vianca terhenti. Bahkan lebih daripada itu, kakinya bergetar."Ayo masuk! Kenapa diem kaya patung gitu? Alergi masuk kontrakan kecil?""Kontrakan aku juga kecil, emm tapi__""Tapi tidak menyeramkan seperti ini?" Zeva menebak.Vianca membulatkan mata. "Bukan begitu!""Atau lo takut gua rebus hidup-hidup di dalem? Atau mungkin, takut ada tikus dan kecoa? Asal lo tahu, biarpun stiker jendela gua band cadas tapi isi kontrakan rapi dan bersih, kok."
Setelah satu bulan lamanya, Vianca sudah tak mendengar kabar laki-laki itu lagi. Terakhir mereka bertemu, Zeva membantu menyiapkan lamaran pekerjaan. Hal kecil itu membuat kesan tersendiri bagi seorang Vianca, yang sangat jarang berinteraksi dengan orang sekitar. Saat Zeva tidak hadir, maka hari-harinya kembali sepi dan membosankan. Sebenarnya bukan karena jatuh hati pada pria itu. Dia hanya rindu suasana berisik yang Zeva ciptakan. Bahkan dia belum meminta maaf karena sudah menuduh Zeva adalah seorang buronan. Sehabis menandaskan sarapannya. Dia meraih ponsel. Mencoba memberanikan diri mengirim pesan pada pria itu. "Hallo Mas Zeva apa kabar? Saat Mas tidak menghubungiku,aku tahu itu artinya aku sedang tidak dibutuhkan. Tapi saat ini sepertinya aku yang membutuhkan Mas Zeva. Apa bisa kita bertemu?" Vianca masih memegang ponsel, menanti centang satu abu berubah menjadi centang dua biru. Namun, hal itu tidak terjadi meskipun sudah cukup lama dia m
Vianca sudah memakai pakaian putih-hitam karena hari ini ada panggilan kerja. Namun, walaupun masih pagi, dia diresahkan oleh kehadiran Melvin di depan rumahnya. Kakaknya itu, nampak kumal, serta belum mengganti pakaian hang out. Sepertinya, Melvin semalaman habis party bersama teman-temannya.Vianca berada dibalik pintu, dia tidak ingin berurusan dulu dengan kakaknya. Dia tahu, kakaknya akan datang jika sudah kehabisan uang."Vi ... Vi ... buka pintunya! Kakak tahu kamu ada di dalam!" teriak Melvin.Vianca terperanjat, berdiri dibalik pintu, tetap bertahan menunggu kakaknya itu pergi. Namun, cukup sulit membuat Melvin pergi. Vianca beberapa kali melihat jam di tangannya, cemas karena khawatir akan terlambat.Melvin lagi-lagi mengetuk pintu, kali ini lebih kencang karena sudah cukup pusing dari tadi menunggu. "Woy, buka, woy! Adik sialan, gak tahu diri! Udah syukur kamu disekolahin sama bokap, pas udah gede malah pelit kaya gini."Vianca melirik ke
Bukan hal yang mudah bagi Vianca berpura-pura tidak mengenal Zeva. Setelah beberapa malam dilewati bersama, tapi Zeva malah menyuruh wanita itu melupakan segala kenangan tentang mereka. Vianca bekerja ditempatkan di bagian resepsionis, dan mau tidak mau dia harus melihat Zeva berjalan tanpa melihat ke arahnya. Vianca terperanjat dari lamunan tentang Zeva, dari jarak beberapa meter ada pria tegap yang berdiri menatap lekat ke arahnya. Vianca menyipitkan mata, merasa pernah melihat pria itu, namun jarak pandangnya agak jauh sehingga dia takut salah orang. Pria itu mendekat, semakin mendekat dan tiba-tiba jantung Vianca berpacu tak terkendali. Bayangan kejadian saat SMA melintas dipikirannya. Hal yang pernah membuat dirinya putus asa dalam meraih cita-cita. "Selamat pagi, Pak!" sapa Vianca "Via!" Pria itu tidak menjawab ucapan salam. Malah, memanggil nama kecil Vianca. Risa yang berada di samping Vianca tercengang karena Vianca dipanggil de