Share

Bab 8. Menarik

Author: Anggun_sari
last update Huling Na-update: 2025-10-01 15:38:37

“Jangan dibuka, aku mohon….”

Xavier tersenyum samar. Matanya menatap lurus Zoe yang tiba-tiba saja menutup matanya, saat larangan yang diberikannya tidak dia dengarkan. Mahasiswinya ini terlihat ketakutan dan sedang berupaya melarikan diri dari kejaran penjahat.

“Pak, ponsel Anda ketinggalan.”

“Terima kasih,” sahut Xavier mengambil ponselnya lalu menutup kembali kaca jendela mobilnya.

Zoe yang tadi menutup rapat matanya, seketika membuka mata. Helaan napas lega menguar begitu saja ketika tahu siapa yang mengetuk kaca mobil Xavier. Ketakutan yang dialaminya membuat dia melakukan sesuatu di luar akal.

“Keluar!” Usir Xavier.

Zoe menggelengkan kepala. Tangannya bergerak tanpa diperintah menggoyangkan lengan Xavier. Dia benar-benar tidak mau turun dari mobil Xavier. Apapun akan dia lakukan asal dia bisa keluar dari kampus tanpa harus bertemu dengan para rentenir itu.

“Biarkan saya ikut dengan Anda, Pak…” mohon Zoe, lagi. Ia sampai menunjukkan puppy eyesnya demi mengambil belas kasihan Xavier.

“Saya janji saya akan melakukan apa saja, asal Bapak mau menolong saya. Atau kalau tidak begitu, Bapak bisa turunkan saya di lampu merah di persimpangan jalan?” imbuh Zoe saat melihat wajah Xavier yang seakan mengatakan bahwa pria itu tak sudi membantunya.

Xavier berdehem. Tatapannya yang tadi tertuju pada Zoe, kini menatap lurus ke depan memberikan instruksi pada supirnya dengan suara dingin, tapi tegas.

“Jalan!”

Mata Zoe bersinar terang. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mobil Xavier perlahan meninggalkan halaman kampus. Setidaknya hari ini dia bisa lolos dari kejaran para rentenir itu. Nanti malam dia akan melakukan live dan membayar mereka dari penghasilan livenya.

“Pak, mau kemana kita? Bukankah saya—”

“Bengkel,” potong Xavier tanpa menoleh pada Zoe. Matanya menatap lurus pada Ipad di tangannya.

“Bengkel?” ulang Zoe. “Kenapa kita ke bengkel?” lanjutnya.

Xavier menarik napas panjang. Matanya yang tadi fokus memeriksa pekerjaannya, seketika beralih pada Zoe. Tatapannya dingin dan menusuk, membuat Zoe yang tadi terus bertanya seketika menciut. Aura Xavier terlalu menakutkan meskipun tanpa bicara.

“Biasa turunkan saya di depan?” cicit Zoe dengan suara pelan. Sangat pelan. 

“Tidak bisa!” jawab Xavier yang sudah fokus pada ipadnya lagi. “Aku terlalu sibuk untuk menurunkanmu!” lanjutkan.

Zoe mengangga, hampir tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Xavier. Pria itu hanya perlu memerintahkan supirnya untuk berhenti! Bukankah itu sesuatu yang mudah? Tidak akan mengganggu waktunya juga, tapi sudahlah, tidak akan ada habisnya jika menilai dan mengkritik kelakuan pria tampan berhati iblis di sampingnya ini.

“Kenapa? Tidak suka?” celetuk Xavier saat mendengar helaan napas panjang Zoe. Kepalanya menoleh, matanya menatap lekat pada sosok Zoe yang tengah tersenyum terpaksa.

“Ha ha ha…tidak, sama sekali tidak,” jawab Zoe.

“Bagus. Bukankah tadi kamu sendiri yang mengatakan akan melakukan apapun jika aku membawamu kabur dari preman-preman yang mengejarmu.” Xavier bicara panjang lebar, tapi matanya sudah kembali fokus pada ipadnya.

Zoe mengerjapkan mata beberapa kali, shock karena Xavier tahu apa yang tengah dialaminya. Pria itu benar-benar cerdas. Tak salah jika Xavier dijuluki si paling tahu apapun.

“Bapak tahu?!” seru Zoe.

Xavier tersenyum miring. Ia yang tadinya sibuk mengecek pekerjaannya, langsung menoleh menatap Zoe. Tatapannya lekat. Namun, tak bisa diartikan.

”Jadi kamu benar-benar dikejar oleh preman?” Kali ini Xavier mematikan ipadnya. Mendengar jawaban Zoe terlihat lebih menarik ketimbang tumpukan pekerjaan yang harus diselesaikannya dengan cepat hari ini. Mahasiswinya ini terlalu—menimbulkan banyak pertanyaan di benaknya.

Zoe menghela napas panjang. Hampir saja dia percaya dengan kata orang-orang yang mengatakan bahwa Xavier adalah si raja tahu segalanya. Namun, nyatanya pria itu hanya sedang mencoba memancingnya untuk mendapatkan jawaban.

”Tidak!” sahut Zoe bertolak belakang dari jawaban sebelumnya.

”Jadi kamu benar-benar sedang di kejar preman?” ujar Xavier. Tangannya terlihat di atas dada sedangkan manik matanya yang tajam masih setia menatap Zoe.

“Tidak!” seru Zoe. Dia memutar tubuhnya, memalingkan wajah agar tidak melihat wajah Xavier lagi. Tatapan pria itu membuatnya gugup.

Xavier tersenyum miring. “Menarik,” ungkapnya dengan suara lirih. Namun, masih bisa didengar oleh Zoe.

“Maksud Bapak?” tanya Zoe kembali memutar tubuhnya, menatap Xavier.

“Kenapa menghadap ke sini lagi, bukankah pemandangan di luar sana jauh lebih menarik dari pada melihatku?” ujar Xavier saat Zoe menghadapnya.

Zoe menarik napas berat, seraya berkata dalam hati, “Sabar, sabar…dia memang selalu menyebalkan. Kendalikan dirimu Zoe.”

“Tidak melihat ke arah luar jendela lagi? Lihat dan nikmati pemandangan indah di luar sana,” komentar Xavier yang sudah kembali sibuk dengan ipadnya.

Zoe berusaha melebarkan senyumnya. “Tapi Bapak belum menjawab pertanyaan saya,” ucap Zoe.

Xavier menghentikan kesibukannya sebentar, melirik Zoe yang terlihat menunggu jawabannya.

“Pertanyaan? Pertanyaan yang mana?” sahut Xavier.

“Yang Bapak berbicara menarik tadi. Bapak bisa jelaskan maksud dari kata-kata itu?” tanya Zoe menuntut. 

“Tidak ada. Aku hanya sedang membicarakan tentang pekerjaanku.”

Zoe mendengus. Tidak ada gunanya dia mengharapkan sesuatu dari orang tidak berperasaan seperti Xavier. Memang paling betul dia menikmati pemandangan di luar. Terlalu lama terlibat percakapan dengan dosen menyebalkan itu hanya akan membuat tensinya naik.

“Pak, kemana kita akan pergi?” Zoe mengernyitkan keningnya saat mobil yang ditumpanginya bergerak jauh ke pusat kota.

“Bengkel. Bukankah aku sudah mengatakan padamu tadi!” jawab Xavier.

Zoe tidak menyahuti. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya untuk menanggapi ucapan Xavier dan kembali menatap jalan ibu kota yang mulai memperlihatkan cahaya gelapnya. 

Keheningan dia biarkan menemani laju kendaraan yang mereka tumpangi, hingga mobil itu berhenti di sebuah bengkel yang besar dan mewah.

“Turun! Aku harus menemui orang picik yang berharap mengambil keuntungan dariku!” perintah Xavier, dingin dan tak ingin dibantah.

Zoe menghela napas panjang. Entah sudah berapa kali dia menghela napas saat bersama Xavier. Pria itu terlalu membuatnya pusing dengan segala keinginan dan tingkahnya. Seharusnya dia tidak perlu turun bukan? Masalah yang dihadapinya saat ini juga tidak ada kaitannya dengannya. Namun, demi menjaga keselamatan jiwanya, dia tetap turun meski dengan berat hati.

“A–ayah…?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 53. Kamu adalah milikku

    Zoe melangkah masuk ke dalam lift, tubuhnya sedikit membungkuk ketika melewati Aluna. Zoe keluar dari apartemen Xavier karena mengira pria itu memilih menunggu di luar karena adanya Aluna tadi. Namun, siapa yang menyangka bahwa percakapan mereka masih terus berlanjut hingga di depan lift. Dan sialnya dia harus mendengar apa yang tak ingin didengarnya.Xavier–pria itu mengatakan dengan sangat jelas bahwa dia sama sekali tidak menganggapnya sebagai sosok yang spesial.“Maaf, mengganggu pembicaraan kalian,” ucap Zoe memecah kesunyian di dalam lift. Saat ini di dalam lift hanya ada Xavier dan dirinya, sementara Aluna–wanita itu memilih untuk tidak ikut masuk entah karena apa.Xavier menyeringai. Kakinya melangkah dua langkah, mendekat tepat di belakang Zoe.Kepala Xavier sedikit menunduk, maju ke depan. Bibirnya sejajar dengan telinga Zoe. Dari dinding lift, Xavier bisa melihat wajah wanitanya yang ditekuk.“Cemburu…?”Zoe mensengus. Tangan Xavier yang hendak merengkuh pinggangnya, ia he

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 52. Tertampar kenyataan

    “Xavier….”Aluna tersenyum manis menyapa Xavier yang kebetulan membuka pintu apartemennya bahkan sebelum dia menekan bel. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh. Tanpa dipanggil mereka sudah datang sendiri.Membayangkannya hal itu, pipi Aluna memerah. Rasa tertariknya pada Xavier memang begitu besar, jadi wajar saja jika dia mudah tersipu bahkan hanya karena sebuah khayalannya yang belum tentu terwujudnya.“Apa aku mengganggu?” tanya Aluna dengan suara lemah lembut. Tangannya menenteng lunch box yang dibawanya dari rumah mamah Xavier.Xavier mendesah malas. Matanya terlihat enggan menatap wajah Aluna. Wanita di depannya ini sudah seperti hama yang terus berkeliaran di sekitarnya. “Tante Nora yang memintaku kemari untuk mengantarkan ini.” Aluna menyerahkan lunch box yang dibawanya, tapi saya Xavier sama sekali tidak memperdulikannya. Tangan pria itu bahkan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya yang sedang bersedekap dada.Aluna menggigit bibir bawahnya. Rasa tidak percaya diri itu mul

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 51. Tamu tak diundang

    “Surprise….”Xavier mendengus kesal, matanya menatap malas pada sosok Reyhan dengan senyum sejuta pesona di wajahnya. Dari sekian banyak hari dan waktu, kenapa sahabatnya itu harus datang di waktu yang tidak tepat.Xavier menolehkan kepalanya ke belakang, memastikan bahwa Zoe tidak atau belum keluar dari kamar, sementara tangannya menahan pintu agar Reyhan tidak masuk ke dalam.“Buka dong, aku bawa kabar bagus nih!” ucap Reyhan berusaha untuk masuk ke dalam.“Aku sibuk! Datang saja lain waktu,” sahut Xavier menolak kedatangan Reyhan mentah-mentah.Reyhan menghela napas panjangnya. Kakinya ia gunakan untuk menahan daun pintu ketika Xavier akan menutup pintu apartemennya. Matanya memelas memohon agar diperbolehkan masuk.“Aku benar-benar sibuk, Rey!” ujar Xavier menekankan setiap kalimat yang meluncur dari mulutnya. “Kembalilah dua jam lagi, oke?”Reyhan mengernyitkan keningnya. Xavier memang tidak terlalu suka menerima tamu, tapi kelakuan sahabatnya ini membuat sisi hatinya bertanya-t

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 50. Tamu tak diundang

    “Bawa ini bersamamu. Xavier sangat menyukainya.” Nora menyerahkan lunch box berisi bubur kacang marah kepada Aluna.“Tapi….” Aluna meremas lunch box yang sudah ada di tangannya. Kata-kata Xavier masih terngiang-ngiang di otaknya. Laki-laki itu seakan tak pernah menyisakan tempat untuknya. Kata-katanya terlalu menohok dan menyakitkan.Nora tersenyum manis. Ia mengambil lunch box yang tadi diserahkannya pada Aluna, meletakkannya di atas meja lalu menggengam tangan wanita pilihannya itu. “Percayalah pada Tante, kamu adalah satu-satunya wanita yang tepat untuk mendampingi Xavier.”Aluna menggigit bibirnya. “Tapi Xavier tidak menyukaiku, Tante.” Rengek Aluna seakan tak memiliki kepercayaan diri.Nora menepuk pelan pundak Aluna. Senyum di wajahnya tidak memudar sama sekali. “Tidak menyukai bukan berarti hatinya tidak akan pernah berubah, Luna. Kamu lihat Tante dan om, kami berdua menikah tanpa cinta. Tapi sekarang kami bisa hidup bahagia.”“Kamu menyukai Xavier kan?”Aluna tersenyum malu. W

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 49. Aku menginginkanmu lagi (21+)

    Tangan Xavier sudah menyusup masuk mengusap perut Zoe, sementara bibirnya mulai mengecup basah setiap jengkal leher wanita itu tanpa jeda. “Eugghh…Eros….” Satu desahan lolos begitu saja dari bibir Zoe. Tubuhnya memang tak akan pernah bisa menolak sentuhan Xavier. “Iya, Angel? Katakan bahwa kamu juga menginginkanku,” balas Xavier. Zoe menggenggam tangan Xavier yang semakin merambat ke atas. Kepalanya menoleh ke belakang, menggeleng meminta Xavier menghentikan sentuhannya. Namun, permintaan kecil itu bagaikan angin lalu bagi Xavier yang sudah dipenuhi oleh kabut gairah. Tangan Zoe yang tadi mencoba menghentikan gerakan tangan Xavier dihempaskan begitu saja, membuat tangan yang tadinya berhenti mengusap, kini mulai merambat naik mengusap dan meremas dua bongkahan padat milik Zoe.“Ahh…Eros….” Mata Zoe terpejam, menikmati sensasi nyeri sekaligus nikmat yang diciptakan oleh Xavier. “Mendesahlah dan panggil namaku, Angel. Aku menyukai saat kamu menikmati semuanya,” sahut Xavier dengan

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 48. Aku menginginkanmu sebagai kadoku

    Zoe melirik wajah Xaver beberapa kali. Kalimat yang diucapkan Xavier saat di ruang dokter obgyn tadi membuatnya berpikir berulang kali kenapa Xavier mengatakan hal itu. Hubungan mereka tertutup dan tidak diketahui oleh siapapun. Namun, sekarang Xavier seolah ingin mempertontonkan hubungan mereka di depan khalayak ramai.Seperti saat ini, setelah berkonsultasi dengan dokter obgyn, Xavier mengajaknya pergi ke mall untuk membeli kebutuhan dapur. Meski berjalan tanpa bergandengan tangan. Namun, kebersamaan mereka bukan tidak mungkin bisa dikenali oleh orang yang mereka kenal. Biasanya selama ini mereka selalu bertemu di apartemen atau hotel.“Apa kamu pembantuku?” celetuk Xavier yang sibuk memilih beberapa jenis daging.“Huh…?” sahut Zoe. Ia mengusap belakang lehernya sambil melemparkan senyum dua belas jari.Xavier mendengus kesal. Tangannya memasukkan beberapa potong daging ke dalam troli yang dibawanya. Bukan tanpa alasan Xavier berkata seperti tadi, Zoe yang sejak tadi turun dari mobi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status