“A–ayah…?”
Xavier menghentikan langkahnya. Kepalanya sedikit menoleh menatap reaksi Zoe yang terlihat terkejut. Zoe yang berada tepat di belakangnya, membuat dia masih bisa mendengar apa yang dikatakan oleh gadis tersebut meski dengan suara lirih. Semalam dia mendapatkan musibah. Pria tua dengan mengenakan sepeda motor menabrak mobilnya dari arah berlawanan. Awalnya pria itu itu marah dan menuntut ganti rugi dengan alasan dia telah dirugikan. Namun, dengan akalnya yang cukup cerdas, dia dengan mudah membalikkan keadaan. Si pria tua yang hendak memerasnya justru harus membayarnya dengan nominal yang tak sedikit. Mobil ferrari kesayangan lecet dan harus masuk ke bengkel. Dia bisa saja mengeluarkan uang pribadinya, tapi untuk memberikan efek jera pada orang-orang berhati licik seperti pria tua itu, dia sengaja meminta ganti rugi. “Ayah? Dia…ayahmu?” tanya Xavier dengan nada tak percaya. Mata Xavier tengah melakukan penilaian. Keadaan pria tua yang menabraknya semalam dan Zoe sungguh berbanding terbalik. Jika pria tua itu terlihat lusuh dan tidak terawat, tidak dengan Zoe. Meski berpenampilan sederhana, Zoe terlihat bersih dan–wangi. “I–iya,” jawab Zoe dibarengi dengan senyum kaku. Zoe menggigit bibirnya keras-keras. Hatinya mulai berdebar tak karuan saat Xavier kembali melangkahkan kakinya. Otaknya tak sanggup membayangkan jika kenyataannya sang ayahlah pria picik yang dibicarakan oleh Xavier tadi. Dan benar saja, hal itu benar-benar terjadi. Xavier berjalan mendekat ke arah ayahnya yang sudah menunggu. Aura tegas dan mendominasi terlihat begitu jelas. “Zoe…? Kamu—” Zoe yang tadinya berdiri di belakang Xavier, langsung berpindah ke sisi ayahnya. Keadaannya saat ini sama seperti keluar dari kandang singa, masuk ke dalam kandang buaya. Uang dua ratus juta yang diminta oleh ayahnya tadi malam, ternyata untuk membayar ganti rugi Xavier. Sungguh ini kebetulan yang sangat tidak dia inginkan. ”Yah, jadi Pak Xavier yang Ayah tabrak semalam?” tanya Zoe sambil berbisik. Ia sesekali melemparkan senyum saat Xavier menatapnya dengan tatapan tak bisa diartikan. Baskoro mengangguk dengan semangat. Otaknya yang licik, mulai memikirkan sesuatu yang bisa menguntungkan dirinya. “Kamu mengenal pria tampan ini dengan baik?” tanya Baskoro sama seperti Zoe, berbisik. Zoe memberengut. Tanpa bertanya, dia cukup tahu apa yang ada di otak ayahnya. “Mana?” Baskoro menatap Zoe penuh tanya saat melihat tangan putrinya menengadah ke arahnya. “Mana uanganya?” geram Zoe saat sang ayah hanya diam dan berputar-putar bodoh. “Cepat keluarkan uang yang aku berikan dan jangan banyak alasan!” lanjut Zoe tak ingin dibantah. Baskoro mendengus kesal. Ia mengeluarkan uang yang dibungkusnya di kantong kresek hitam dan memberikannya kepada sang putri. Tangannya begitu erat menggenggam bungkusan itu seakan tak rela menyerahkannya. ”Pak, ini uang yang Bapak minta. Saya minta maaf atas apa yang dilakukan oleh ayah saya kepada Bapak. Dan saya berharap Bapak mau memaafkan ayah saya?” ucap Zoe panjang lebar. Dia memberikan uang terbungkus kantong kresek itu pada Xavier. Dia benar-benar malu saat ini. Jika bisa dia ingin mengelupas wajahnya dan mengganti dengan wajah baru. ”Eum…kalau begitu kami permisi dulu.” Pamit Zoe, menyeret tangan sang ayah pergi dari hadapan Xavier secepat mungkin. “Tunggu!” panggil Xavier, menghentikan langkah tergesa Zoe. “Temui saya besok.” *** Zoe merebahkan tubuhnya di atas kasur. Di tangannya sudah tidak ada lagi uang tersisa. Namun, esok dia masih harus memikirkan cara menghadapi rentenir yang pasti akan mendatanginya lagi. Tubuh dan pikirannya juga terasa sangat lelah hari ini, tapi dia harus melakukan live agar bisa memenuhi kebutuhan yang mendesaknya. Kebutuhan yang bukan benar-benar kebutuhannya. “Siapa yang menghubungiku malam-malam begini. Tidak bisakah mereka membiarkan hidupku tenang meski sebentar,” gerutu Zoe. Zoe berjalan dengan malas mengambil ponsel yang diletakkannya di atas meja rias. Dia memang jarang memegang ponsel. Benda berbentuk persegi itu tidak terlalu penting baginya, jika bisa dia lebih memilih tidak memiliki ponsel. Hanya ada ayah dan adiknya yang rajin menghubunginya untuk meminta uang, selebihnya ponsel itu tidak memiliki fungsi berarti. “Eros…?” Zoe berdehem, mencoba menenangkan hatinya. Hari ini seharusnya mereka bertemu, tapi karena masalah tak terduga, mereka akhirnya membatalkan janji. “Halo…?” Suara berat Eros yang menyapu indra pendengarannya, membuat tubuh Zoe semakin menegang. Tubuhnya bereaksi berlebihan, bahkan sebelum pria itu berbicara. “Apa aku mengganggumu?” tanya Eros ketika tidak mendapatkan sahutan dari Zoe. “Angel?” panggil Eros pada Zoe. “Ah…ti–tidak. Sama sekali tidak,” jawab Zoe tergagap. “Baguslah!” kata Eros. “Aku sengaja menghubungimu lebih awal agar kamu bisa melakukan live malam ini,” sambung Eros menerangkan. Zoe hanya menganggukkan kepalanya seolah Eros bisa melihatnya. Dia terlalu gugup untuk membuka mulut. Bayang-bayang dimana mereka akan melakukan kegiatan gila bersama, membuatnya tak bisa bersikap biasa-biasa saja. “Aku ingin membicarakan sesuatu, boleh?” tanya Eros meminta izin. “Tentu. Katakan!” sahut Zoe. ia memilih naik ke atas ranjangnya, duduk bersandar di sandaran kasur. “Eum…ada sedikit permintaan dariku sebelum kita bertemu dan melakukannya. Apa kamu bisa melakukannya?” tanya Eros kembali. “Katakan saja. Aku pasti akan melakukannya,” jawab Zoe begitu enteng, padahal sebenarnya hatinya sudah berdebar tak karuan. “Begini….” Suasana hening sesaat. Zoe sudah meremas selimutnya menjadi tak karuan. Hatinya dag dig dug menunggu kata-kata yang ingin diucapkan oleh Eros. “Aku ingin kamu mengenakan lingerie seksi dan beberapa perlengkapannya.” “Uhuk…uhuk….” Zoe tersedak air liurnya sendiri mendengar permintaan aneh Eros. Belum juga bertemu, otaknya mulai membayangkan yang tidak-tidak. Tentang fantasi liar yang dimiliki oleh pria yang berhasil membayarnya tersebut. “Kamu baik-baik saja?’ tanya Eros saat mendengar Zoe batuk. “Aku baik-baik saja,” sahut Zoe. “Bisa aku lanjutkan lagi kata-kataku?” Izin Eros. Zoe menganggukkan kepalanya. “Tentu.” “Aku ingin melihatmu terlihat tak berdaya di bawahku. Jadi—” Zoe menelan ludahnya susah payah. Tubuhnya meremang hanya dengan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Eros pada tubuhnya. “Aku membutuhkan perlengkapan lainnya. Apa kamu memilikinya?” tanya Eros. “Perlengkapan lainnya?” ulang Zoe. “Misalnya…?” imbuh Zoe. Dia sama sekali tidak memiliki hal-hal yang berkaitan dengan semua itu. Hanya ada kostum menggoda yang menjadi barang koleksinya untuk menghibur para penonton setianya. “Penutup mata, belenggu tangan, dan semacamnya,” jawab Eros. Zoe tersenyum kaku. Sungguh ini diluar prediksinya. “Aku tidak memiliki itu,” jawab Zoe. “Kalau begitu bagaimana jika kamu membelinya. Aku akan memberimu banyak koin saat live nanti, dan pergilah berbelanja kebutuhanmu esok paginya.’ Zoe masih diam tak menjawab. Otaknya sedang mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Eros. pria itu benar-benar—liar. “Aku ingin melihatmu memakai semua itu. Bisa?” sambung Eros. “Bi–bisa,” gagap Zoe. “Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu. Aku menunggumu.” Tit! Panggilan berakhir. Zoe menghirup napas banyak-banyak. Berbicara dengan Eros malam ini membuatnya lupa cara bernapas yang benar. Ting. Sebuah pesan masuk, pengirimnya adalah Eros. “Four Seasons, jam sembilan malam.”Zoe melangkah masuk ke dalam lift, tubuhnya sedikit membungkuk ketika melewati Aluna. Zoe keluar dari apartemen Xavier karena mengira pria itu memilih menunggu di luar karena adanya Aluna tadi. Namun, siapa yang menyangka bahwa percakapan mereka masih terus berlanjut hingga di depan lift. Dan sialnya dia harus mendengar apa yang tak ingin didengarnya.Xavier–pria itu mengatakan dengan sangat jelas bahwa dia sama sekali tidak menganggapnya sebagai sosok yang spesial.“Maaf, mengganggu pembicaraan kalian,” ucap Zoe memecah kesunyian di dalam lift. Saat ini di dalam lift hanya ada Xavier dan dirinya, sementara Aluna–wanita itu memilih untuk tidak ikut masuk entah karena apa.Xavier menyeringai. Kakinya melangkah dua langkah, mendekat tepat di belakang Zoe.Kepala Xavier sedikit menunduk, maju ke depan. Bibirnya sejajar dengan telinga Zoe. Dari dinding lift, Xavier bisa melihat wajah wanitanya yang ditekuk.“Cemburu…?”Zoe mensengus. Tangan Xavier yang hendak merengkuh pinggangnya, ia he
“Xavier….”Aluna tersenyum manis menyapa Xavier yang kebetulan membuka pintu apartemennya bahkan sebelum dia menekan bel. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh. Tanpa dipanggil mereka sudah datang sendiri.Membayangkannya hal itu, pipi Aluna memerah. Rasa tertariknya pada Xavier memang begitu besar, jadi wajar saja jika dia mudah tersipu bahkan hanya karena sebuah khayalannya yang belum tentu terwujudnya.“Apa aku mengganggu?” tanya Aluna dengan suara lemah lembut. Tangannya menenteng lunch box yang dibawanya dari rumah mamah Xavier.Xavier mendesah malas. Matanya terlihat enggan menatap wajah Aluna. Wanita di depannya ini sudah seperti hama yang terus berkeliaran di sekitarnya. “Tante Nora yang memintaku kemari untuk mengantarkan ini.” Aluna menyerahkan lunch box yang dibawanya, tapi saya Xavier sama sekali tidak memperdulikannya. Tangan pria itu bahkan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya yang sedang bersedekap dada.Aluna menggigit bibir bawahnya. Rasa tidak percaya diri itu mul
“Surprise….”Xavier mendengus kesal, matanya menatap malas pada sosok Reyhan dengan senyum sejuta pesona di wajahnya. Dari sekian banyak hari dan waktu, kenapa sahabatnya itu harus datang di waktu yang tidak tepat.Xavier menolehkan kepalanya ke belakang, memastikan bahwa Zoe tidak atau belum keluar dari kamar, sementara tangannya menahan pintu agar Reyhan tidak masuk ke dalam.“Buka dong, aku bawa kabar bagus nih!” ucap Reyhan berusaha untuk masuk ke dalam.“Aku sibuk! Datang saja lain waktu,” sahut Xavier menolak kedatangan Reyhan mentah-mentah.Reyhan menghela napas panjangnya. Kakinya ia gunakan untuk menahan daun pintu ketika Xavier akan menutup pintu apartemennya. Matanya memelas memohon agar diperbolehkan masuk.“Aku benar-benar sibuk, Rey!” ujar Xavier menekankan setiap kalimat yang meluncur dari mulutnya. “Kembalilah dua jam lagi, oke?”Reyhan mengernyitkan keningnya. Xavier memang tidak terlalu suka menerima tamu, tapi kelakuan sahabatnya ini membuat sisi hatinya bertanya-t
“Bawa ini bersamamu. Xavier sangat menyukainya.” Nora menyerahkan lunch box berisi bubur kacang marah kepada Aluna.“Tapi….” Aluna meremas lunch box yang sudah ada di tangannya. Kata-kata Xavier masih terngiang-ngiang di otaknya. Laki-laki itu seakan tak pernah menyisakan tempat untuknya. Kata-katanya terlalu menohok dan menyakitkan.Nora tersenyum manis. Ia mengambil lunch box yang tadi diserahkannya pada Aluna, meletakkannya di atas meja lalu menggengam tangan wanita pilihannya itu. “Percayalah pada Tante, kamu adalah satu-satunya wanita yang tepat untuk mendampingi Xavier.”Aluna menggigit bibirnya. “Tapi Xavier tidak menyukaiku, Tante.” Rengek Aluna seakan tak memiliki kepercayaan diri.Nora menepuk pelan pundak Aluna. Senyum di wajahnya tidak memudar sama sekali. “Tidak menyukai bukan berarti hatinya tidak akan pernah berubah, Luna. Kamu lihat Tante dan om, kami berdua menikah tanpa cinta. Tapi sekarang kami bisa hidup bahagia.”“Kamu menyukai Xavier kan?”Aluna tersenyum malu. W
Tangan Xavier sudah menyusup masuk mengusap perut Zoe, sementara bibirnya mulai mengecup basah setiap jengkal leher wanita itu tanpa jeda. “Eugghh…Eros….” Satu desahan lolos begitu saja dari bibir Zoe. Tubuhnya memang tak akan pernah bisa menolak sentuhan Xavier. “Iya, Angel? Katakan bahwa kamu juga menginginkanku,” balas Xavier. Zoe menggenggam tangan Xavier yang semakin merambat ke atas. Kepalanya menoleh ke belakang, menggeleng meminta Xavier menghentikan sentuhannya. Namun, permintaan kecil itu bagaikan angin lalu bagi Xavier yang sudah dipenuhi oleh kabut gairah. Tangan Zoe yang tadi mencoba menghentikan gerakan tangan Xavier dihempaskan begitu saja, membuat tangan yang tadinya berhenti mengusap, kini mulai merambat naik mengusap dan meremas dua bongkahan padat milik Zoe.“Ahh…Eros….” Mata Zoe terpejam, menikmati sensasi nyeri sekaligus nikmat yang diciptakan oleh Xavier. “Mendesahlah dan panggil namaku, Angel. Aku menyukai saat kamu menikmati semuanya,” sahut Xavier dengan
Zoe melirik wajah Xaver beberapa kali. Kalimat yang diucapkan Xavier saat di ruang dokter obgyn tadi membuatnya berpikir berulang kali kenapa Xavier mengatakan hal itu. Hubungan mereka tertutup dan tidak diketahui oleh siapapun. Namun, sekarang Xavier seolah ingin mempertontonkan hubungan mereka di depan khalayak ramai.Seperti saat ini, setelah berkonsultasi dengan dokter obgyn, Xavier mengajaknya pergi ke mall untuk membeli kebutuhan dapur. Meski berjalan tanpa bergandengan tangan. Namun, kebersamaan mereka bukan tidak mungkin bisa dikenali oleh orang yang mereka kenal. Biasanya selama ini mereka selalu bertemu di apartemen atau hotel.“Apa kamu pembantuku?” celetuk Xavier yang sibuk memilih beberapa jenis daging.“Huh…?” sahut Zoe. Ia mengusap belakang lehernya sambil melemparkan senyum dua belas jari.Xavier mendengus kesal. Tangannya memasukkan beberapa potong daging ke dalam troli yang dibawanya. Bukan tanpa alasan Xavier berkata seperti tadi, Zoe yang sejak tadi turun dari mobi